Tadinya saia mau nulis artikel ini pas Fantasy Fiesta 2011 kelar. Maksudnya biar bombastis gitu, dan bisa bikin talkshow imajiner sama pemenang tahun ini.
Apa daya para penjaga bilang kalo pengumuman diundur. Yo wis, saia manut. Jadilah entri kali ini gak ngomongin pemenang, tapi hasil pengamatanku terhadap 332 cerita Fantasy Fiesta 2011. Yang barangkali, semoga saja, bisa membantu kita untuk menulis lebih baik.
Tapi kalau hasilnya malah menjerumuskan, saia gak mau tanggung jawab. Sesuai ajaran Almarhumah R. A. Eyang Putri Saia tentang pedoman bijak istri bangsawan Jawa dalam mengikuti suami: Ke Surga Manut, ke NerakaKatut Pergi Aja Sendiri.
Apa daya para penjaga bilang kalo pengumuman diundur. Yo wis, saia manut. Jadilah entri kali ini gak ngomongin pemenang, tapi hasil pengamatanku terhadap 332 cerita Fantasy Fiesta 2011. Yang barangkali, semoga saja, bisa membantu kita untuk menulis lebih baik.
Tapi kalau hasilnya malah menjerumuskan, saia gak mau tanggung jawab. Sesuai ajaran Almarhumah R. A. Eyang Putri Saia tentang pedoman bijak istri bangsawan Jawa dalam mengikuti suami: Ke Surga Manut, ke Neraka
Iyah. Almh. Eyang Putrilah yang ngajarin (Mami) saia tiga kata setelah coretan itu. Saia gak bercanda. Ngenye' memang bawaan darah.
Ahem! Seperti kita ketahui bersama, peserta Fantasy Fiesta 2011 berjumlah 332 orang. Ini berarti nyaris 5 kali lipat peserta tahun lalu, yang cuma 74 orang. Kalau angka-angka ini salah, jangan salahkan saia. Salahkan Om Roy Suryo, karena kambing hitam itu lebih nikmat daripada kambing guling.
Peningkatan jumlah peserta ini, sekalipun memusingkan bagi para penyelenggara, ternyata menyenangkan buat saia. Pasal pertama adalah karena saia paling gumbira kalau bisa menari-nari di atas penderitaan orang lain. Pasal kedua adalah, karena jumlah peserta yang demikian tinggi, ada lebih banyak bahan yang bisa kita ambil untuk dipelajari/diamat-amati/dicontek.
Untuk kali ini saia akan menulis tentang hal-hal apa saja yang, setelah saia amat-amati, bisa membuat sebuah cerita lebih menarik bagi pembaca. Barangkali ini bisa berguna untuk anda yang ingin merevisi cerita, tapi gak tahu harus mulai dari mana.
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah, cerita itu sebaiknya dipahami sama pembaca yang menjadi targetnya. Ini peraturan paling dasar, paling bare minimum, yang sangat kuadrat saia sarankan untuk pembuat cerita. Kalau cerita anda nggak dipahami, bagaimana caranya pembaca mau konak... eh, konek?
Mohon perhatikan bahwa pemahaman terhadap satu cerita, sementara memang terkorelasi sama ide cerita tersebut, bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Dengan kata lain, pernyataan, "Ide gue terlalu gak komersil/terlalu radikal/terlalu tinggi jadi orang ga paham," bisa saja benar, tapi tidak selalu terjadi. Ide yang radikal, kalau disampaikan dengan tidak membingungkan, tetap bisa dipahami.
Bagaimana kita menyampaikan cerita secara tidak membingungkan? Pertama, tentu saja, lihat umur pembaca anda. Apa mereka orang dewasa? Apa mereka anak-anak? Apa mereka remaja?
Langkah selanjutnya adalah coba tulis cerita dengan bahasa yang bisa dipahami pembaca yang anda sasar. Ini bukan berarti kalau kita menulis untuk remaja, misalnya, kita harus memakai narasi informal dan bahasa lo-gue. Ini kesalahan paham yang beneran dudud. Kenapa saia bilang begini? Perhatikan penggalan narasi di bawah.
Peningkatan jumlah peserta ini, sekalipun memusingkan bagi para penyelenggara, ternyata menyenangkan buat saia. Pasal pertama adalah karena saia paling gumbira kalau bisa menari-nari di atas penderitaan orang lain. Pasal kedua adalah, karena jumlah peserta yang demikian tinggi, ada lebih banyak bahan yang bisa kita ambil untuk dipelajari/diamat-amati/dicontek.
Untuk kali ini saia akan menulis tentang hal-hal apa saja yang, setelah saia amat-amati, bisa membuat sebuah cerita lebih menarik bagi pembaca. Barangkali ini bisa berguna untuk anda yang ingin merevisi cerita, tapi gak tahu harus mulai dari mana.
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah, cerita itu sebaiknya dipahami sama pembaca yang menjadi targetnya. Ini peraturan paling dasar, paling bare minimum, yang sangat kuadrat saia sarankan untuk pembuat cerita. Kalau cerita anda nggak dipahami, bagaimana caranya pembaca mau konak... eh, konek?
Mohon perhatikan bahwa pemahaman terhadap satu cerita, sementara memang terkorelasi sama ide cerita tersebut, bukan satu-satunya faktor yang menentukan. Dengan kata lain, pernyataan, "Ide gue terlalu gak komersil/terlalu radikal/terlalu tinggi jadi orang ga paham," bisa saja benar, tapi tidak selalu terjadi. Ide yang radikal, kalau disampaikan dengan tidak membingungkan, tetap bisa dipahami.
Bagaimana kita menyampaikan cerita secara tidak membingungkan? Pertama, tentu saja, lihat umur pembaca anda. Apa mereka orang dewasa? Apa mereka anak-anak? Apa mereka remaja?
Langkah selanjutnya adalah coba tulis cerita dengan bahasa yang bisa dipahami pembaca yang anda sasar. Ini bukan berarti kalau kita menulis untuk remaja, misalnya, kita harus memakai narasi informal dan bahasa lo-gue. Ini kesalahan paham yang beneran dudud. Kenapa saia bilang begini? Perhatikan penggalan narasi di bawah.
Inyi Budi. Budi bayi gulita. Budi cayaaaaang deh cama Mama Klaken dan celingkuhan Mama, Om Ctulthu...
Pernah gak nemu cerita anak yang pakai bahasa kayak di atas? Nggak. Kita ga usah pakai bahasa cadel waktu bicara sama anak-anak. Sama halnya kita nggak perlu pake bahasa lo-gue supaya kita kelihatan hip untuk remaja.
Saia nggak menyangkal bahasa lo-gue ini bisa membantu mendekatkan si pengarang kepada pembaca remaja. Tapi kalau kita termasuk di antara mereka yang nggak nyaman memakai bahasa ini, ga usah sok ngetren. Pakai aja bahasa yang normal.
Lalu apa gunanya saia menyuruh kita memerhatikan pembaca, kalau akhirnya bahasa lo-gue ini nggak ngaruh? Tingkat kerumitannya.
Kalau kita bicara pada anak-anak, kita hendaknya membatasi diksi dan panjang kalimat. Jangan pakai kata-kata macam "jukstaposisi" atau "bifurkasi," dan jangan bikin kalimat yang panjangnya lebih dari 6 atau 7 kata. Kalau ke remaja, oke, kita bisa mulai memakai diksi dan kalimat yang lebih jelimet dikit. Kalau ke orang dewasa, ya udah, sakarepmu wae.
Namun, ini tidak berarti kalimat kita boleh jumpalitan akrobatik saat menulis untuk remaja dan dewasa. Semakin rumit struktur kalimat kita, semakin tinggi kemungkinan kalimat itu perlu dibaca beberapa kali untuk dipahami.
Kalau lebih dari separuh pembaca ngasih komentar, "Saia kok ya harus baca berkali-kali sampai paham," hendaknya kalimat-kalimat anda disederhanakan. Mengapa? Kalau setiap kalimat harus dibaca beberapa kali sampai paham, aliran cerita akan terputus-putus. Pembaca harus berhenti untuk memahami. Dan tiap kali pembaca berhenti, ada resiko mereka terlempar keluar dari dunia cerita.
Apalagi kalau ada cerita lain yang lebih menarik.
Ibaratnya kita nunggu bus. Kalau kelamaan, apa kita nolak kalau ada temen nawarin tebengan?
Perlu diingat juga, fenomena baca-satu-kalimat-beberapa-kali mungkin bisa diterima kalau naskahnya berupa cerpen. Tapi kalau novel 100.000 kata, gimana?
Untuk itu, advis medis paling bagus yang bisa kutawarkan adalah, pastikan minimal 85% kalimat yang anda gunakan bisa dipahami dalam sekali baca.
Cara termurah, sekaligus mungkin tersusah, untuk memastikannya adalah, tempatkan diri anda sebagai pembaca. Renungi setiap kalimat yang anda tulis. Ini nyambung gak dengan kalimat sebelumnya? Kalau gue gak ngerti apa-apa soal dunia cerita ini, ngeh nggak pas baca ini? Perlu nggak gue pake kata-kata canggih atau struktur rumit gini?
Dan akhirnya, pertanyaan ini:
Apa gue make segala kata canggih dan struktur rumit ini karena ini bisa bikin si pembaca makin paham/menikmati cerita, atau gue cuma ngebet mau menunjukkan imej sebagai penulis yang dewasa/canggih/intelek/artistik/inovatif?
Memang ngejawabnya susah. Kadang saat mengerjakan satu naskah, saia sendiri masih susah menjernihkan niat.
Tapi sekali jernih, melanjutkan tulisan saia akan jadi lebih mudah.
Tapi sekali jernih, melanjutkan tulisan saia akan jadi lebih mudah.
Cara kedua, yang mudah dilakukan tapi barangkali nggak murah, adalah cari beta reader yang jujur dan mumpuni. Kalau bisa yang gratis. Tapi kalau yang bersangkutan minta upah, hendaknya anda mulai mengasah teknik-teknik bernegosiasi. Saia biasanya bisa dapat beta reader gratis, tapi kalau terpaksa bayar, saia gak pernah bayar lebih dari traktiran satu mangkok Bakwan Malang Cak Su.
Dan selalu, selalu, selalu suruh beta reader anda membaca dulu, baru diupah. Dengan demikian anda bisa menyesuaikan nilai traktiran, apakah naik atau turun, sesuai kerelaan anda berzakar... eh, berzakat.
Nah. Selama proses membaca/menyiksa diri/dingenye'in beta reader seperti yang kusebut di atas, saia yakin ada satu konflik yang mulai mengaduk-aduk jiwa anda: Tapi kalau gue pake bahasa yang biasa, cerita gue juga pasti ikutan biasa banget. Nggak menonjol. Padahal gue pengen banget punya gaya cerita yang keren!
Dipahami. Ada yang bilang, a writer is not a writer because of what s/he writes, but how s/he writes. Ini ada benarnya. Namun, pengamatanku di kastil menunjukkan, pembaca sangat bisa menghargai ide bagus, sekalipun disampaikan dengan cara biasa.
Jadi kecuali kita menemukan gaya literer spesifik yang menunjang ide tersebut, tujuan primer kita sebagai penulis adalah memastikan ide yang bagus itu sampai. Salah satu cara terbaik melakukannya adalah memakai bahasa yang sederhana. Jangan sampai, saking kita berusaha memakai bahasa dan kalimat canggih, ide itu ketutupan.
Seseorang tiba-tiba angkat tangan. "Tapi kan sebaliknya juga bisa gituh, Mbak? Ide biasa-biasa aja jadi keurreeeeen karena ketutupan sama bahasa canggih?"
Bisa. Bisa banget, malah. Tapi sepanjang pengamatanku itu nggak akan berhasil kalau idenya terlalu dangkal. Kayak film yang special effect-nya canggih, tapi ceritanya biasa aja. Hasil pengamatanku menunjukkan bahwa pembaca lebih gembira jika kita mencoba memberi mereka kisah yang bagus, daripada kalau kita berusaha menampilkan diri sebagai Orang Keren™. Apakah pengamatan ini benar atau tidak, saia persilakan anda untuk merenungi dan kroscek sendiri.
Selesai dari merenungi gaya bahasa, mari kita kembali ke awal. Apa lagi hal yang bisa kita utak-atik untuk membuat cerita kita lebih menarik? Ide itu sendiri.
Ide yang radikal, yang nggak pernah kepikiran sebelumnya, pasti menarik bagi pembaca. Sebab itu banyak orang yang tergoda untuk memikirkan ide-ide yang wah.
Tapi di lain pihak, kalau ide wah itu nggak keterima, kita akan tergoda untuk bilang, "Ah, cerita saia terlalu canggih jadi ga bisa diterima."
Sebetulnya, mengulang pernyataanku di atas, ide canggih nggak dengan otomatis nggak bisa dipahami oleh pembaca. Pernah dengan buku And Tango Makes Three? Ini buku anak-anak tentang dua penguin jantan yang menetaskan satu telur. Yup, ini cerita tentang homoseksualitas. Untuk para bocah.
Jangan dulu teriak kenceng-kenceng, "Saia gak setuju homoseksualitas disampaikan pada anak-anak!" Percuma, Bung. Pak Ka Ha Abugosok Berair lagi sibuk ngadepin aparat. Beliau nggak akan dengerin situ.
Mari sejenak kita geser kerangka pikir kita. Lepaskan dulu masalah moralitas, dan fokus ke radikalitas idenya. Buku ini adalah satu bukti bahwa ide radikal/inovatif/revolusioner tidak identik dengan kerumitan penyampaian. Dengan penulisan yang tepat, penyederhanaan yang tepat, seorang penulis bisa menyampaikan ide yang paling radikal ke kelompok pembaca yang dipandang paling 'belum mengerti apa-apa'.
Jadi buat mereka yang merasa punya ide radikal, jangan pasrah berkata, "ide saia terlalu tinggi hingga nggak bisa dimengerti." Nggak. Kalau ide itu terlalu tinggi, ingat lagi target pembaca anda. Sederhanakan ide tersebut dan berangkatlah dari sana.
Bagaimana cara menyederhanakan? Saia mendapat satu saran bagus dari sebuah buku: Pare Down to the Essence. Potong semuanya, hingga tak ada yang tersisa selain inti ide tersebut.
Lupakan dulu karakter, setting, dan narasi. Tuliskan ide radikal anda hanya dalam satu kalimat. Baru setelah itu, bangun ide tersebut ke dalam semua unsur cerita (plot, karakter, whatever) yang bisa dimengerti oleh pembaca dalam kelompok usia yang kita sasar.
Hal terakhir yang barangkali layak diperhatikan sehubungan dengan ide adalah, pembaca lebih gampang menyukai ide yang sesuai dengan pendapat pribadi mereka. Kalaupun ada bisa menyampaikan ide yang revolusioner sehingga mudah dipahami, selalu ada kemungkinan pembaca tidak menyukainya karena mereka tidak setuju dengan nilai atau gagasan yang anda sampaikan di dalam cerita tersebut.
Pada titik ini barulah sebagai penulis kita sah "membela diri" bahwa masalahnya adalah selera. Sebelum mencapai bagian ini, hendaknya kita jangan berkata, "cerita gue terlalu canggih untuk dipahami pembaca." Tanya pada diri sendiri, "Sudahkah saia berupaya agar kecanggihan itu bisa diterima? Apa saia sudah berusaha memakai gaya bahasa yang mudah dipahami? Apa saia sudah mencoba fokus agar sedikitnya, inti dari gagasan radikal ini sampai ke pembaca?"
Jadi apa petuah-petuah saia untuk hari ini?
1. Kalau harus memilih antara menyampaikan gagasan dan mempercanggih gaya menulis, prioritaskan menyampaikan gagasan.
2. Ide radikal nggak sama dengan ide yang nggak bisa dipahami. Kalau satu gagasan kelihatan rumit, potong sampai intinya, dan fokus agar intinya itu sampai ke pembaca.
3. Kalau anda pengen cerita anda lebih menarik, ide utama cerita itu sebaiknya sesuai dengan pandangan umum pembaca yang anda sasar. Kalau anda mau memilih pandangan yang berbeda, nggak ada salahnya. Hanya saja, resikonya, cerita anda mungkin tidak akan seberapa disukai, dibanding jika anda mengambil ide yang sesuai dengan isi kepala mereka.
Untuk entry berikutnya, saia mungkin mau membedah karya sendiri. Atau menulis sedikit lagi tentang gaya bahasa. Atau bikin wawancara imajiner menyambut bulan ramadan. Hehe. Ga tau juga sejujurnya.
Jadi baiklah, mari kita lihat saja pertanyaan-pertanyaan apa yang saia dapat dan kebetulan menggelitik otak saia.
In the mean time, Semper Excelsior.
Luz Balthasaar
Jangan dulu teriak kenceng-kenceng, "Saia gak setuju homoseksualitas disampaikan pada anak-anak!" Percuma, Bung. Pak Ka Ha Abugosok Berair lagi sibuk ngadepin aparat. Beliau nggak akan dengerin situ.
Mari sejenak kita geser kerangka pikir kita. Lepaskan dulu masalah moralitas, dan fokus ke radikalitas idenya. Buku ini adalah satu bukti bahwa ide radikal/inovatif/revolusioner tidak identik dengan kerumitan penyampaian. Dengan penulisan yang tepat, penyederhanaan yang tepat, seorang penulis bisa menyampaikan ide yang paling radikal ke kelompok pembaca yang dipandang paling 'belum mengerti apa-apa'.
Jadi buat mereka yang merasa punya ide radikal, jangan pasrah berkata, "ide saia terlalu tinggi hingga nggak bisa dimengerti." Nggak. Kalau ide itu terlalu tinggi, ingat lagi target pembaca anda. Sederhanakan ide tersebut dan berangkatlah dari sana.
Bagaimana cara menyederhanakan? Saia mendapat satu saran bagus dari sebuah buku: Pare Down to the Essence. Potong semuanya, hingga tak ada yang tersisa selain inti ide tersebut.
Lupakan dulu karakter, setting, dan narasi. Tuliskan ide radikal anda hanya dalam satu kalimat. Baru setelah itu, bangun ide tersebut ke dalam semua unsur cerita (plot, karakter, whatever) yang bisa dimengerti oleh pembaca dalam kelompok usia yang kita sasar.
Hal terakhir yang barangkali layak diperhatikan sehubungan dengan ide adalah, pembaca lebih gampang menyukai ide yang sesuai dengan pendapat pribadi mereka. Kalaupun ada bisa menyampaikan ide yang revolusioner sehingga mudah dipahami, selalu ada kemungkinan pembaca tidak menyukainya karena mereka tidak setuju dengan nilai atau gagasan yang anda sampaikan di dalam cerita tersebut.
Pada titik ini barulah sebagai penulis kita sah "membela diri" bahwa masalahnya adalah selera. Sebelum mencapai bagian ini, hendaknya kita jangan berkata, "cerita gue terlalu canggih untuk dipahami pembaca." Tanya pada diri sendiri, "Sudahkah saia berupaya agar kecanggihan itu bisa diterima? Apa saia sudah berusaha memakai gaya bahasa yang mudah dipahami? Apa saia sudah mencoba fokus agar sedikitnya, inti dari gagasan radikal ini sampai ke pembaca?"
Jadi apa petuah-petuah saia untuk hari ini?
1. Kalau harus memilih antara menyampaikan gagasan dan mempercanggih gaya menulis, prioritaskan menyampaikan gagasan.
2. Ide radikal nggak sama dengan ide yang nggak bisa dipahami. Kalau satu gagasan kelihatan rumit, potong sampai intinya, dan fokus agar intinya itu sampai ke pembaca.
3. Kalau anda pengen cerita anda lebih menarik, ide utama cerita itu sebaiknya sesuai dengan pandangan umum pembaca yang anda sasar. Kalau anda mau memilih pandangan yang berbeda, nggak ada salahnya. Hanya saja, resikonya, cerita anda mungkin tidak akan seberapa disukai, dibanding jika anda mengambil ide yang sesuai dengan isi kepala mereka.
Untuk entry berikutnya, saia mungkin mau membedah karya sendiri. Atau menulis sedikit lagi tentang gaya bahasa. Atau bikin wawancara imajiner menyambut bulan ramadan. Hehe. Ga tau juga sejujurnya.
Jadi baiklah, mari kita lihat saja pertanyaan-pertanyaan apa yang saia dapat dan kebetulan menggelitik otak saia.
In the mean time, Semper Excelsior.
Luz Balthasaar
14 komentar:
Great! Saia harus catat ini tiap kali saia ingin mempublish suatu karya. Thx for the tip! (liat pengalaman sendiri jadi harusnya introspeksi abis2an, thx sudah mengingatkan).
Senang ini berguna. XD
Berikutnya aku pengen mengkompilasi tips menyiasait wordcount. NANTIKEUN!
Yay, update juga blog nya kk.
**langsung catat tips2 saktinya**
Ku termasuk penerima komen "cerita anda susah dimengerti" soalnya hehehehe. Padahal y g niat bikin ala Orang Keren XD
Thanks kk ^^
**duduk menunggu entri berikutnya
Eh lupa kasi nama...
Yg di atas itu saia, Yin XD
Kalau memang nggak niat jadi orang keren tapi masih nerima komen 'cerita anda saia ga ngerti', coba sederhanakan kalimat dan bikin plotnya lebih 'keraba'. Orang biasanya lebih gampang konek ke cerita yang plotnya jelas dibanding ke cerita rada abstrak kayak cerpen sastra kompas.
Tapi balik lagi, ingat kepada siapa cerpen itu ditujukan, dan siapa yang ngasih komen itu susah dicerna. Kalau kita nulis itu buat dewasa, dan yang komen "saia ga ngerti" itu remaja, ya berarti bukan salah kita juga. Cuma salah target market aja.
Whew, bisa jadi emang begitu. Suka lupa mikirin target market saia, biasanya cuma pelampiasan seneng2 doank.
Thanks kk ^^ (nyatet tips lagi)
Yin
Untungnya Luz termasuk kaum beta reader yang (masih) gratisan hahahahaha.
*buru-buru kabur sebelum dimintain bayaran* XD
@DPK You kira ai gratisan? Ai nanti pasti minta traktiran begitu you dapat royalti! Wkwkwkwkw...
Aniwee, OOT Pemilik blog: saia lagi bahagia soalnya novel rahasia saia sudah 76.000 kata. XD Ada beberapa bab harus ditulis ulang si, tapi pada intinya saia lagi gumbira. Awakwakwak...
Nyante Cin, you bakal ai traktir ampe hoek kalo ai dapet royalti XD XD XD
Amen to that royalti thing sista :D
Ooohh jadi lagi ngerjain proyek novel rahasia tho? Pantesan beberapa bulan ini ngilang dari peredaran :D
Perhatian: Posting di atas dihapus karena typo :P
@DPK :Iya. Memang niat untuk mengerjakan itu gede banget. Plus kesibukan yang numpuk. Tapi hasilnya lumayan, dari 'coret2' konsep dunia dan cerita di bulan Jan-Feb-Mar, draft serius mulai pertengahan Feb, sekarang dah segini.
Mungkin bisa kujadikan dwi atau trilogi. Kita lihat sahaja, awakwakwak...
halo saya ketemu anda dari fiksi dan fantasi blog. saya seorang penulis yang bisa dibilang amatir dan butuh bimbingan dari para penulis yang bukunya sudah beredar. saya kurang ngerti cara bloging, dan saya juga tidak punya blog, tapi kalau mau mampir dan lihat-lihat cerita saya, bisa langsung saja ke website saya, www.dragnethar.com terima kasih...
Febndy Kwik,
benar juga! Aku harus bertindak memperbaiki diri!
tengselotsistahyuwarmaihiro
-
ehem. kadang. eh kadang apa nggak ya?
ehem. bahagia karena tidak dimengerti.
bohong? mungkin? bingung? aduh mules.
-
wekekekekek hoihooo hoihooo
@Febndy Kwik : Saia udah ke situs dikau. Harus member yah?
Kalau mau blogging saia rasa malah lebih gampang daripada bikin situs. Bikin akun di Blogger atau Wordpress, pilih template, dan mulailah menulis.
Kalau soal "buku sudah terbit..." Baru satu, itu juga yang karya keroyokan.
Tapi semoga saia bisa segera menyelesaikan satu proyek solo...
___
@orangorangan... sawah?
Kok kesini berani-beraninya kau gak pake bikini? Grr...
Posting Komentar