Mengingat waktu event Fantasy Fiesta 2012 bertepatan banget dengan penugasan saia ke Negeri Singa Muntah, entry babi halal terpaksa disela dulu dengan cerita yang saia ikutsertakan di Fantasy Fiesta 2012.
Uploadnya terpaksa malam ini, meski aslinya cerita saia tampil besok di Website Kastil Fantasi. Soalnya besok saia kerja rodi lagi seharian. Terlebih lagi, karena Wireless@SG di lobi hotel serta Marina Bay Sands Expo ternyata BYARPET, sudara-sudari.
Subhanaloooh~! Ternyata bukan inet Indonesia doang yang doyan byarpet~!
Tapi itulah Singapura. SPF. Maksudnya bukan Sun Protection Factor yang ada di label-label kosmetik itu, tapi SHOP, PAY, FINE. Mau yang bagus? Gelontorin dulu tuh duit.
(Pantesan orang di sini pada doyan buku gretongan dari booth Jakarta...)
Tapi Balada Gretongan Singapura - Jakarta akan saia tunda sampai minggu depan. Iya, nyela entry babi halal lagi. Mahap sungguh, tapi ada kisah menarik di sini, yang mungkin inspiratif bagi kita yang merasa orang Indonesia, yang sayang kalau gak diceritakan selagi panas.
(Yang sekaligus mungkin bisa ngasih pengertian sama semua orang, bahwa kita para PNS muda berusaha keras untuk melakukan pembenahan. Gak gampang memang, tapi kami sangat menghargai dukungan serta bantuan dari semua pihak.)
Untuk sekarang, saia ingin berbagi cerita FF 2012 saia saja.
Ide cerita ini sebetulnya datang dari pengalaman masa kecil saia. Pas masi bocah, saia dilepas sama bokap berenang di Pantai Natsepa, Ambon. Namanya bocah, jadilah saia kegulung ombak dan nyaris tenggelam. Tapi untunglah waktu itu saia pegangan pada kayu.
Jelang FF 2012 ini saia dapat ide untuk menuliskannya dalam cerpen. Tokohnya saia ganti cowok aja. Pasalnya, saia ditantang sama Noirciel untuk bikin cerpen dengan tema yang "berani". Jadilah saia GAME ON!!
Kebetulan Dalam Budaya Bugis-Makassar juga dikenal lima macam gender, yaitu oroane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki), calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan), dan bissu (pendeta yang mencakup semua ciri-ciri jender.)
Saia kira mudah untuk memparalelkan calalai dan calabai dengan sebutan denotatif apapun yang kita gunakan untuk menyebut rekan-rekan yang berorientasi kepada sesama jenis. Hal ini tidak sebaiknya dilakukan. Pertama, menyebut calalai dan calabai dengan konotasi denotatif berarti menjelekkan unsur budaya yang lebih tua daripada Indonesia sendiri. Kedua, pemadanan tersebut tidak sepenuhnya tepat; istilah calalai dan calabai mengandung nilai rasa yang menunjukkan peran seseorang di masyarakat, bukan (sekadar) preferensi seksual.
Sebab itu, saia mencoba untuk sedikit menunjukkan peran sosial seorang calabai disini; dia adalah laki-laki, tapi dia juga harus menjadi ibu pembimbing. Mohon maaf kepada semua sudara-sudari di Makassar jika masih ada kekurangan. Kesalahan ada di saia, bukan di narasumber saia. T_T
Elemen fantasinya saia dapat dari menantang diri sendiri untuk membuat cerita tipikal Hero's Journey--dan mendekonstruksinya--dalam 3000 kata. Soundtrack selama menulis cerita ini adalah OST Beowulf ~ A Hero Comes Home yang dinyanyikan Idina Menzel. Berikut petikan liriknya:
Out of the mist of history
He'll come again
Sailing on ships across the sea
To a wounded Nation
Signs of a savior
Like fire on the water
It's what we prayed for
One of our own
Just wait
Though while he may roam
Always
A hero comes home
He goes where no one has gone
But always
A hero comes home
Baiklah! Tanpa tunda-tunda lagi, silakan nikmati cerita saia. Komen silakan dilakukan di sini, atau di halaman cerita saia di Kastil Fantasi. (Itu akan saia link belakangan; entah kenapa malam ini situs yang bersangkutan lambat banget loadnya dari Spore, dan saia kehilangan e-mail yang memuat HTML code cerita saia.)
***
Pangeran yang Dikasihi Laut
Tahun Seribu, Bulan Mendung Perak, Hari Sepuluh.
Karaeng Somba Opu Keduapuluh Dua mati dan dilarung.
*
Itulah
kalimat terakhir di dalam buku riwayat Karaeng Somba Opu Keduapuluh Dua. Memang singkat sekali; para Tua-tua telah memutuskan bahwa rakyat tidak perlu tahu
banyak tentang kematianku.
Kulihat
dahimu berkerut. Sabarlah, Daeng! Nanti engkau akan tahu alasan mereka memutuskan begitu. Untuk saat ini, tataplah saja pantai Somba Opu. Kaulihat ribuan manusia
yang berbaris di pasir putihnya? Mereka rakyatku. Mereka sedang berkabung
untukku.
Sekarang
amati baik-baik laut dan dermaga di depan pantai. Sebentuk pinisi lamba berlayar tujuh sedang berlabuh di
sana. Intiplah bagian dalam kapal itu. Di atas sebuah sekoci berhias, kaubisa
melihat tubuhku yang diselimuti cindai laut putih. Kaujuga bisa melihat tangan kananku yang
menyandang badik, dan mataku yang tidak akan pernah terbuka lagi.
Engkau
terhenyak. “Astaga! Engkau masih begitu muda! Bagaimana bisa?”
Sebetulnya
kita tidak usah heran. Langit bisa kikir membagi usia kepada siapa saja. Tapi aku
yakin, Daeng, menyalahkan Langit tidak akan membunuh penasaranmu.
***
Sebelum
menjadi Karaeng Somba Opu Keduapuluh Dua, aku diberi gelar Andi Pangerang
Ningai ri Tamparang. Artinya, Pangeran yang Dikasihi Laut.
Sebutan
itu bermula dari suatu upacara adat untuk para pemuda Somba Opu. Saat kami
ingin melamar seorang gadis, kami harus membawakan hadiah yang kami ambil
sendiri dari kedalaman laut.
Aku
tidak suka adat itu. Pasalnya aku bukan penyelam tangguh. Namun, para Tua-tua
tidak bersedia mengecualikan siapapun--bahkan seorang pangeran--maka jadilah pada suatu siang,
aku berdiri di bibir pantai. Teman-temanku bersorak menyemangati. Hanya
kekasihku, Andi Putri Kananga, yang tetap tidak bersuara. Tangannya terkatup dan bibirnya membisikkan doa. Wajahnya pasrah menghadap terang Langit.
Saat
tubuhku menyambut pelukan gelombang, takutnya menjadi takutku.
Entah
dari mana ombak besar datang. Tubuhku terlilit arus. Napas yang kusimpan
terhambur menjadi gelembung. Pandanganku kabur; meski pengawal-pengawalku berjaga
di bawah air, aku tidak bisa melihat mereka, apalagi memberi isyarat minta
tolong.
Engkau
menebak, “Ah! Engkau mati tenggelam!”
Tidak,
Daeng. Ketika itu sesuatu menghampiriku dari kedalaman. Kusangka itu seekor nagajene, atau ular air raksasa, karena
tubuhnya panjang dan penuh sisik perak. Pun di kepalanya tumbuh rambut berwarna
mutiara yang sangat panjang dan berkilau; bagian itulah yang biasa dipangkas
para penyelam untuk ditenun menjadi cindai laut.
Tapi
kemudian makhluk itu menarik tubuhku dengan tangan-tangan manusia. Juga
menyambung napasku dengan napas manusia. Baru setelah menghirup udara di atas
laut, kulihat bahwa ia memiliki tubuh bawah ular air, dan tubuh atas seorang
pemuda.
Serta-merta
aku berkata, “Makhluk apa kau?”
Ia
menyahut, “Nagajene.”
Kami
berpandangan takjub.
Kemudian
ia berkata, “Demi Langit, aku bisa mengerti ucapanmu! Apa kaujuga paham
ucapanku?”
Aku
mengangguk.
Begitulah
awal mulanya, Daeng, hingga aku terikat pada Arung, dan bisa memberi Andi
Putri Kananga sembilan kumpar cindai laut terbaik sebagai hadiah lamaran.
***
Arung
tidak pernah mempersoalkan mengapa kami bisa saling paham. Tidak juga mengapa
bagiku seorang, ia terlihat lain dari nagajene biasa.
“Anggap
saja semua ini hadiah Langit,” begitu katanya suatu kali. “Katamu Ia kikir,
tapi kataku, Ia murah hati.”
Aku
tidak pernah menerima pendapat Arung. Meski demikian, ia mengubah caraku
memandang laut. Bagiku tempat itu bukan lagi sekadar genangan raksasa yang
menghidupi seluruh rakyat Somba Opu. Jauh di bawah ombak, di mana tidak ada
manusia, adat, maupun cakap, Arung menunjukkan padaku suatu tatanan yang dapat
kuanandai-andaikan sebagai negeri. Warganya para nagajene; mereka
tinggal di gua-gua bawah air, dan menjalani hari dengan menyebar bakal bunga
karang ke seluruh penjuru laut.
Mereka
juga menggembala ikan dan berburu camar.
“Tunggu,”
engkau menyela. “Bagaimana caranya ular air berburu camar?”
Aku
pernah menanyakan hal yang sama kepada Arung. Alih-alih menjelaskan, ia
menyuruhku naik ke perahu cadik dan mengikutinya ke tengah laut. Ia menyelam tidak
jauh dari permukaan air dan mulai bergerak meliuk. Sisiknya berkilau, persis sekawanan ikan baronang.
Selang sebentar seekor camar terpancing turun, tampaknya hendak menyambar
makan siang. Begitu si burung melayang cukup rendah, Arung melompat keluar dari
permukaan air.
Tangan-tangannya menyambar makhluk itu.
Ekornya,
dan rambutnya yang telah kembali panjang setelah dulu kupangkas, membentuk
sepasang lengkung perak.
Menjelang
senja kami kembali ke pantai. Di sana aku belajar bahwa camar bakar ternyata
lezat, walau Arung bersikeras daging burung lebih enak mentah. Para
nelayan dan penyelam menatap gentar ke arah kami. Wajar saja; bagi orang
selain diriku, Arung kelihatan seperti nagajene biasa, seekor ular
laut raksasa yang cukup besar untuk melahap orang.
Aku tidak begitu acuh pada mereka. Sampai kemudian datang
para tubarani, alias ksatria-ksatria
istana, para lelaki dan perempuan tangguh yang menyandang badik dan memakai ikat
kepala bersulam ikan pedang. Kulihat cemas pada raut mereka, maka kuberi
isyarat agar sang pemimpin tubarani datang mendekat.
Ia mematuhi; begitu Arung melonggarkan ekornya--yang melingkar longgar di sekitarku--ia berlutut dan mengatupkan tangan di depan kening.
Ia mematuhi; begitu Arung melonggarkan ekornya--yang melingkar longgar di sekitarku--ia berlutut dan mengatupkan tangan di depan kening.
“Andi
Pangerang Ningai ri Tamparang,” begitu ia menyapa, “Maafkan kami karena membawa
berita buruk. Andi Putri Kananga tiba-tiba tak sadarkan diri. Kembalilah ke
istana, sekarang juga!”
***
“Istrimu
terkena teluh.”
Demikian
kata Dukun Tenri, ahli nujum istana yang juga bibi istriku.
“Sebetulnya,
kaulah yang disasar, Andi Pangerang,” ia melanjutkan. “Tapi laut mengasihimu.
Laut melindungimu, maka teluh itu tertepis kepada dua orang yang paling dekat
denganmu.”
“Dua?”
“Kemenakanku
sedang mengandung putramu.”
Pernahkah
kaualami apa yang saat itu kualami, Daeng? Kekasih dan darah dagingmu, menyambut
maut yang sebetulnya dikirim untukmu? Mungkin tidak. Tapi kalau pernah, kuyakin
engkau akan menanyakan hal yang berikutnya kutanyakan, disertai murka yang
sama.
“Perbuatan
siapa ini?”
“I
Manrabbia Karaeng ri Tallo. Pamanmu.”
Ah, seharusnya aku bisa menduga. Karaeng Tallo. Raja Tallo, negeri tetangga Somba
Opu. Ia kakak Ayah. Hubungan mereka terlihat baik, tapi Ayah tahu benar bahwa saudaranya
itu luar biasa licik.
“Jika
engkau dan ayahmu lenyap, Andi Pangerang, Somba Opu akan jadi miliknya,” kata
Dukun Tenri lagi. “Apalagi kalau menimbang keadaan kemenakanku dan putramu yang sekarang.”
Selama
tiga malam setelah itu, aku tidak beranjak dari sisi Andi Putri Kananga. Pada
pagi hari keempat ia sadar. Ia tersenyum, menyentuh wajahku, lalu berbisik
lemah, “Teluh ini luar biasa kuat. Kukira Karaeng Tallo melahirkannya dengan
menggunakan segenap murkanya kepadamu. Pergilah cari nenek buyut dari nenek
buyutku, Tumangissengi I Balangkoa, yang tinggal di Pulau Padengo. Ia tahu cara
mematahkan segala teluh.”
Maka
aku melaksanakan pesan istriku, dan engkau menerka lagi, “Ah! Engkau mati saat
mencari pulau itu! Perahumu tergulung ombak!”
Mana
mungkin aku mati tenggelam, Daeng. Lupakah engkau pada Arung?
Satu
malam sebelum berangkat, aku merenung di lepas pantai. Arung datang. Ia
memanjat ke dalam perahu tempatku duduk. Separuh ekornya melingkar di dalam,
separuh lagi menjuntai di air. Matanya terpejam. Sisik dan rambutnya cemerlang
di bawah purnama.
“Jangan
takut,” begitu ia berkata. “Engkau tidak akan berlayar sendirian. Aku
bersamamu.”
“Tak
bisa begitu,” bantahku. “Kata Dukun Tenri, Pulau Padengo tidak akan terlihat
oleh manusia yang mencoba datang bersama satu atau lebih manusia lain.”
Arung
tertawa. “Satu atau lebih manusia,” ujarnya. “Aku bukan manusia, dan kalaupun
manusia, hanya separuh.”
***
Telah
seminggu lebih kami berlayar ke selatan. Laut tenang dan angin bersahabat, tapi
keduanya tidak kunikmati. Bayangan istriku yang pucat terus-menerus hadir
mengusik. Aku berusaha mengaburkannya dengan menyibukkan diri. Kadang membaca
bintang, kadang mengikat temali, paling sering menangkap ikan.
Tapi tidak ada yang berhasil. Tidak bahkan berlatih badik. Padahal, aku adalah
petarung tertangguh di Somba Opu. Biasanya, sekali aku memegang senjata, tidak sesuatupun bisa mengusik untai jurusku.
Mungkin
karena itulah, semakin hari, aku semakin tidak menyukai saat-saat Arung naik ke
perahu. Aku tahu ia bermaksud baik. Ia giat mengajak bicara agar aku tidak
berkubang sedih. Kadang bahkan ia membawakan tiram agar tubuhku tetap kuat,
atau mencarikan rumput lawi-lawi lezat yang
hanya tumbuh di laut dalam.
Tetapi
sungguh, aku tidak tahan melihat senyumnya. Betapa ia begitu tenang, begitu
bebas, begitu bahagia! Bagi Arung, perjalananku adalah petualangan mendebarkan
dua orang sahabat. Bukan pertaruhan menyakitkan untuk menolong seorang kekasih.
Pada
suatu malam aku hampir meminta Arung agar tidak datang terlalu sering. Tapi
belum lagi kata kususun, ia mendongak ke langit dan berseru, “Parakang!”
Serta-merta
kuhunus badik. Di atas kepala kami, tampak makhluk-makhluk yang disebut Arung. Parakang, mayat-mayat manusia yang dihidupkan lewat kuasa teluh, dengan ekor kalajengking
raksasa alih-alih kaki, dan sayap-sayap lebar yang dianyam dari bayangan.
Tampaknya Karaeng Tallo mengirim mereka karena teluh biasa tidak mampu mencapaiku
di tengah laut.
Makhluk-makhluk
itu menukik. Satu kusabet tepat di pinggang. Selagi ia terhuyung, Arung
menyambar dan menariknya ke bawah air, membuyarkan napasnya.
Kami
melakukan hal yang sama untuk membunuh empat ekor parakang sisanya. Tiga mati
mudah sementara satu melawan gigih. Saat hendak ditenggelamkan, ia menyengat bahu Arung. Mereka bergumuk, keluar masuk permukaan air, sementara aku hanya bisa diam. Terlalu
cepat, silih ganti ekor perak dan sayap bayangan itu; jika aku menebas, bisa
jadi jurusku hanya akan melukai sahabatku.
Lama
kemudian baru makhluk itu diam. Arung membiarkannya tenggelam lalu mendekat ke
perahu. Di sekitar luka sengat pada bahunya, tampak pembuluh-pembuluh darah yang
berdenyut, ungu bersisip racun.
“Kita
harus mencari dukun,” aku berkata.
“Ke
mana kauhendak mencari, di tengah laut seperti ini?”
“Ke
manapun!” balasku sengit. “Engkau teracuni oleh teluh yang lahir dari murka
raja. Luka ini kecil, tapi kalau dibiarkan, kaupasti mati. Jangankan engkau; istriku
nyaris meninggal karena teluh Karaeng Tallo, padahal di dalam nadinya mengalir
darah para dukun terkuat!”
“Tetapi
istrimu bukan raja. Padahal, murka seorang raja hanya bisa dilawan dengan kasih
seorang raja.”
Aku
tidak mengerti. Pun Arung tidak menjelaskan. Ia hanya menyentuh dadanya dengan
telapak kanan, lalu memindahkan tangan itu ke dadaku.
Pembuluh ungu di sekitar lukanya pupus seketika. Pagi
harinya, luka tersebut sudah hilang tanpa bekas.
Sejak
itu malam-malam kami tidak pernah tenang. Menjelang senja parakang selalu
datang. Kadang lima. Kadang tujuh. Tapi pernah pula hanya tiga. Arung
menjelaskan kalau itu adalah pertanda bahwa kekuatan Karaeng Tallo melemah, karena, “Istri dan dukunmu mencoba memakai kasih ayahmu
untuk melawan pamanmu.”
“Apa
mereka akan menang?”
“Jika
kasih ayahmu lebih kuat daripada murka pamanmu.”
Mendengar
itu harapanku naik. Aku menimbang untuk pulang, tapi Arung tidak setuju.
“Tetaplah mencari I Balangkoa,” ia berkata. “Dukunmu akan mengirim kabar kalau
mereka menang.”
Aku
menurut.
Tiga
hari kemudian, seekor gagak putih turun ke perahu. Dari hiasan manik-manik pada
lehernya, aku tahu bahwa burung itu dikirim oleh Dukun Tenri.
Pada
cakarnya tergenggam dua benda.
Yang
pertama adalah sehelai ikat kepala merah, bersulam nagajene emas dan bunga
karang. Ikat kepala ayahku, Sang Karaeng Somba Opu Keduapuluh Satu.
Yang
satu lagi adalah carikan selendang. Aku mengenali bahannya. Cindai laut
terbaik, rambut Arung yang kujadikan hadiah saat melamar istriku.
Kedua
benda tersebut ditulisi pesan yang sama. Bukan dengan huruf tapi dengan noda darah,
hitam dan busuk oleh kemenangan teluh.
***
Jika
saat itu engkau kutanya, “Apa yang baiknya kulakukan?” apakah jawabmu, Daeng?
Akankah kausuruh aku kembali ke Somba Opu untuk melawan Karaeng Tallo?
Engkau
menggeleng.
Benar,
Daeng. Kembali adalah perbuatan bodoh. Barangkali aku bisa melawan Karaeng
Tallo karena aku dilindungi laut, tetapi itu berarti menepiskan teluh kepada
mereka yang kukasihi. Ayah dan istriku telah mati. Mungkin berikutnya Ibu yang kena. Lalu saudara-saudaraku. Lalu pengawal-pengawalku. Dan akhirnya, rakyatku.
Tetapi
pada saat itu akalku sudah hilang. Sambil berteriak-teriak aku mengayuh ke arah
darat. Arung mencegah; ia menggerakkan tabir awan menutup Langit, membuatku tidak
bisa membaca bintang. Ia juga menyuruh arus merampas dayungku, dan memerintah
kawanan nagajene untuk mendorong perahuku menjauhi Somba Opu.
Pada
akhirnya ia menang. Perahuku merapat di Pulau Padengo. Aku merangkak keluar,
dan berteriak mengutuki Arung sampai sadarku hilang.
Saat
bangun aku telah berada di sebuah kuil pualam. Penghuninya para gadis dan
pemuda berbaju putih. Mereka merawatku selama dua hari, lalu membawaku menemui
Tumangissengi I Balangkoa yang cantik tapi mengerikan, yang memakai gaun dari
bulu-bulu gagak putih.
“Karaeng
Somba Opu,” demikian ia menyapa, sama sekali tidak lalai bahwa kematian Ayah telah
menjadikanku raja. “Engkau kemari untuk membalas Karaeng Tallo. Benarkah?”
Aku
mengangguk. Kepalanku erat, menggenggam ikat kepala ayah dan selendang istriku.
“Ini
perkara pelik, Karaeng. Teluh semakin kuat seiring bertambahnya jiwa yang ia
renggut. Karaeng Tallo telah membunuh cicit dari cicitku, juga ayahmu. Satu
berdarah dukun, satu seorang raja. Jika kita hendak mematahkan teluhnya, kita
juga harus mengorbankan darah dukun dan seorang raja.”
I
Balangkoa berhenti sejenak.
“Aku
bisa membayar syarat pertama dengan darahku. Tetapi yang kedua—”
Aku
lekas memotong, “Engkau menginginkan jiwaku.”
I
Balangkoa menggeleng.
“Jika
engkau mati, Karaeng, murka siapa yang harus kupakai untuk melahirkan teluh
balasan?”
Setelah
itu ia tersenyum pahit dan mengajukan satu pertanyaan kejam.
“Ribuan tahun lalu, kami, para penghuni Pulau Padengo, memberi gelar karaeng kepada raja-raja yang lahir di atas tanah. Tapi tahukah kau, gelar apa yang kami berikan kepada raja-raja yang menjelma dari kasih laut?”
“Ribuan tahun lalu, kami, para penghuni Pulau Padengo, memberi gelar karaeng kepada raja-raja yang lahir di atas tanah. Tapi tahukah kau, gelar apa yang kami berikan kepada raja-raja yang menjelma dari kasih laut?”
***
“Arung.”
Makhluk
yang kupanggil muncul dari antara lipatan ombak. Ia melata di atas pasir pantai
dan menghampiriku.
“Ada
apa, Karaeng?”
Saat
itu adalah kali pertama Arung menyebut gelarku. Harusnya aku sadar bahwa hal
tersebut adalah suatu pertanda. Ia sudah tahu mengapa aku ingin bertemu dengannya, dan juga niat apa yang bermain di benakku.
“Maaf
aku mengumpatmu kemarin.”
Tapi
ia tidak lari.
“Tidak
mengapa.”
Aku
melanjutkan, “Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”
“Dan
itu adalah?”
“Jika
raja Somba Opu bertitah, semua yang ada di Somba Opu, baik itu nelayan,
prajurit, maupun dukun, patuh kepadanya. Bukan begitu?”
“Benar.”
“Seperti
halnya jika raja laut bertitah, semua yang ada di laut, baik arus, awan, dan para
nagajene, patuh kepadanya.”
Arung
mengangguk lemah.
Dulu,
ia pernah berkata bahwa Langit murah hati. Jika itu benar, tentu Langit akan
mencegah hal-hal yang berikutnya terjadi di antara kami. Langit akan memutar balik waktu. Langit akan mengembalikan masa-masa ketika aku masih menjadi Pangeran yang Dikasihi
Laut, ketika aku tidak tahu bahwa arung
bukanlah nama, tetapi gelar.
Kami
berhadapan.
Arung
menutup mata.
Napasnya,
yang dulu pernah menyambung napasku, berubah menjadi dangkal dan putus-putus.
***
Aku
yakin Daeng, engkau bisa membayangkan apa yang berikutnya kulakukan.
Engkau
bisa merasai getar tanganku saat menghunjam badik.
Engkau
bisa mendengar raunganku, saat tertunai syarat I Balangkoa untuk membalas
Karaeng Tallo; saat degup-degup terakhir jantung Arung merambat pada kale badikku, dan menjerit, dari tubuhnya
ke jiwaku.
Engkau
diam, Daeng. Langit juga. Tetapi berbeda darimu, Ia diam bukan karena kaget
atau muak.
Ia
tidak peduli.
Ia
membiarkan aku mencicipi kematian.
Ia
juga tidak mencegah Arung menunjukkan kepada siapa kasihnya tertuju. Begitu
singkat, dengan ketulusan yang membunuhku pelan-pelan, tidak ubahnya luka yang terus
berdarah.
***
Ketika
aku pulang, para Tua-tua telah menulis beberapa catatan baru di dalam buku riwayatku.
Bunyinya seperti ini:
Tahun Sembilan Ratus Sembilan Puluh Empat, Bulan Karang
Surut, Hari Delapan.
Karaeng Tallo berupaya merebut Somba Opu dengan teluh.
Andi Pangerang Ningai ri Tamparang menghalangi niatnya, dengan berlayar ke
Pulau Padengo . . . .
*
Tahun Sembilan Ratus Sembilan Puluh Sembilan, Bulan Badai
Kelana, Hari Tiga.
Andi Pangerang Ningai ri Tamparang kembali. Nyaris
seluruh keluarganya telah mangkat, tetapi perjalanannya tidak percuma. Ia
berhasil mengajukan pinta kepada Tumangissengi I Balangkoa, yang melahirkan
teluh balasan dan membunuh Karaeng Tallo . . . .
*
Tetapi
lihatlah, Daeng! Tidak mereka sebut mengapa kuperlu lima tahun untuk kembali.
Sesungguhnya, I Balangkoa menahanku, dan mencoba segala cara untuk memulihkan
jiwaku setelah apa yang kuperbuat.
Ia
gagal.
Maka
pulanglah aku sebagai jasad bernapas yang dihantui kenangan. Setiap hari aku
meracau tentang ikat kepala nagajene. Atau selendang putih. Tapi paling sering,
tentang laut yang mengasihiku, dan kubunuh dengan tangan sendiri.
Puncak
kegilaanku terjadi pada suatu senja. Ketika itu aku dikunjungi oleh Patarai,
anakku lelaki, hadiah terakhir dari Andi Putri Kananga. Dukun Tenri telah
menyelamatkannya, dengan memohon pada Langit, agar ia boleh tumbuh dan lahir
dari dalam anyaman daun lontara
bertulis doa. Seharusnya ia kujaga dan kukasihi. Tetapi apa yang kuperbuat?
Aku
mencekiknya.
Padahal
apakah dosanya, selain bahwa ia memberiku pelukan, dan berkata bahwa ia
mengasihiku? Selain bahwa ia kebetulan
mengulangi apa yang diperbuat Arung sebelum mati?
Maka
para Tua-tua membuat keputusan. Hal terbaik untuk Somba Opu adalah meracuniku,
dan tidak membiarkan rakyat tahu terlalu banyak tentang kematianku.
Engkau
tidak menyalahkan mereka. Aku tahu itu.
***
Nah,
Daeng, telah kupenuhi janjiku. Kautahu kini bagaimana aku mati. Kaujuga paham
tentu, mengapa Langit mengembalikan warasku, sekaligus mengutukku menjadi arwah
kelana: Ia ingin aku meratapi semua perbuatanku untuk selamanya.
Apa
kau ingin mengatakan sesuatu?
Engkau menggeleng dan menatap iba. Pertama kepadaku, lalu ke arah pinisi pelarunganku. Tambatan kapal itu baru saja dilepas. Angin dan ombak mendorongnya ke tengah laut, menuju titik di mana jasadku akan meninggalkan geladaknya.
Engkau menggeleng dan menatap iba. Pertama kepadaku, lalu ke arah pinisi pelarunganku. Tambatan kapal itu baru saja dilepas. Angin dan ombak mendorongnya ke tengah laut, menuju titik di mana jasadku akan meninggalkan geladaknya.
Saat
itu tak akan lama lagi, Daeng. Maukah engkau menemaniku sampai semuanya
selesai?
Engkau
mengangguk.
Maka
ijinkanlah aku pamit sejenak untuk berbaring di dalam jasadku. Para pengawal
istana telah menurunkan sekoci berhias ke permukaan laut, Dukun Tenri mengawasi
mereka. Di sebelahnya Patarai berdiri, memakai ikat kepala bersulam nagajene
dan bunga karang. Bekas-bekas
jemariku di lehernya belum hilang. Namun, ia masih bisa menangis untukku.
Begitu
sekoci berada di atas air, Dukun Tenri membaca doa agar laut menerima tubuhku
dan Langit menerima jiwaku. Tetapi entah dari mana, ombak besar
menggulung sekociku. Sama seperti ketika aku dulu menyelam demi mencari hadiah
lamaran. Dan seperti dulu juga, tangan-tangan manusia menarik tubuhku.
Seseorang menyapaku.
Selamat datang, Karaeng.
Arung?
Mustahil.
Apa begitu mustahil, jika kukata Langit mengijinkanku
menunggumu?
Tidak
mungkin. Tidak mungkin Arung menolak ketenangan abadi, hanya demi menunggu aku,
arwah kelana yang dikutuk Langit.
Engkau tidak dikutuk, Karaeng. Dulu engkau merampas
seorang raja dari laut. Tetapi baru saja, rakyatmu menyerahkan seorang raja
kepada laut. Bagi Langit, engkau sekedar berhutang, dan sekarang, Ia memberimu
kesempatan membayar.
Ah,
Arung! Bagaimana aku harus membayar?
Ia menjawab, seketika, dengan memberiku napas untuk kali kedua. Desir-desir tenaga
memasuki relung-relung jasadku dan mengisi kekosongan yang dahulu pernah
ditempati hidup. Pelan-pelan jemariku bergerak. Mataku mengerjap, lalu terbuka
lebar.
Adakah
kaulihat apa yang kulihat, Daeng? Negeri di bawah laut, menampakkan diri tanpa
aku perlu berandai-andai. Bunga-bunga karang, dalam kecerahan yang tidak pernah
terindra mata manusia, menari di bawah jejaring sinar matahari dan buih ombak.
Arus, awan, serta angin bergulung sepintalan, Ketiganya berbisik kepadaku, mengajariku
bercakap dalam bahasa mereka.
Dan
para nagajene, semua nagajene, kini
tampak separuh manusia. Tangan mereka terkatup di depan dada. Serempak mereka memanggil aku sekaligus
memanggil laut yang mengasihiku. Tunduk menghormat, kepada kami yang telah satu.
Selamat datang kembali, Arung.
***
Adakah
kauduga ceritaku berakhir begini?
Jika
kaubalikkan pertanyaan tersebut kepadaku, akan kujawab, “Tidak.”
Pun
tak kusangka, bahwa ketika aku menengadah, terjadi sesuatu yang luar
biasa.
Dari
bawah permukaan laut, kulihat seekor camar terbang di Langit. Aku melompat
ke luar air untuk menyambar burung tersebut. Tidak kusangka, tubuhku rupanya
melonjak tepat di depan pinisi pelarunganku sendiri.
Para
tubarani berseru takjub, “Nagajene! Nagajene!”
Dukun
Tenri mengucap doa puji. Setelahnya ia berseru lantang, “Ini suatu pertanda! I
Malombassi Karaeng ri Somba Opu telah damai!”
Sorak
bergemuruh sorai. Di tengahnya Patarai menengadah. Takjub ia menatap sepasang
lengkung perak, tubuh dan rambutku yang berkilau di bawah matahari.
Senyumnya berubah menjadi satu kata indah.
Engkau
tertawa. “Apa ia bilang, ‘Ayah’?”
Ah,
Daeng! Akhirnya ada juga tebakanmu yang tepat!
~fin
22 komentar:
Padat kenyal, setiap katanya bergizi ... susah kalo memaksakan diri untuk mencari bagian mana yang pantas untuk diskip.
H O W ??!!?!
Rada kurang berasa 'feel'nya ya. Apa karena cuma 3000 kata? Hehehehe.
Menurut saya, endingnya sampe si Karaeng 'dibuang' ke laut juga oke kok. Justru cerita ini (lagi-lagi menurut saya) lebih cocok kalo sad ending. ._.
Terus ada beberapa narasi kurang sreg gitu. Misalnya:
Napasnya, yang dulu pernah menyambung napasku, berubah menjadi dangkal dan pendek-pendek.
Saya paham itu maksudnya dia mau mati, tapi kayaknya penggunaan 'pendek-pendek' kurang tepat deh (kurang cantik juga). Lebih baik kalau misalnya 'terputus-putus' atau 'kian lama kian luntur' *sok tahu banget sih saya*
Oh iya. Karena saya baca di blog, makanya saya tahu ini berhubungan dengan Makassar dan gak terlalu terganggu dengan pengunaan istilahnya. Tapi... misalnya saya baca di KasFan (tanpa keterangan), apa saya bakal gak bingung? ...Entahlah.
Satu lagi, penulisan 'siapapun' (termasuk apapun, kapanpun, dan di manapun) itu dipisah. Jadinya 'siapa pun' :)
Segitu aja deh. Saya gak mau dikatain sok tahu. *huahahahaha*
NB: Saya lebih suka Dongeng Kanvas. :(
Terbukti, tantangannya sudah terealisasikan dengan baik bbbbbbuaaaaaaaangettttttttt *uhuk
Apakah cerita ini ada extended versionnya? Oya, ilustrasinya juga bagus. Pun sempurnanya hingga pada titik komanya.
=D
Ah, thanks! Saia mikir lama untuk bikin cerita ini. Glad you enjoyed everything. ^^
Sebetulnya, gak semua partikel "pun" harus terpisah. Saia liat di wikisource versi mobile ini...
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_ejaan_dan_penulisan_kata#section_1
Tapi yang dianggap yang lazim diserangkaikan bagaimana, saia belum bisa cari resource. :(
Dan saia pikir kian lama kian luntur itu malah... Lebai max. Hehehe.
Extended? Ga ada rencana si. Tapi kalau mau dibikin cerita pakai dunia ini, kayaknya bisa banget.
Makasih da mampir n baca~
All hail Spork!
Akhirnya, ada juga cerita fantasi bertema lokal yang dibawakan dengan gaya gak sotoy, ramah awam dan terasa keindahannya. Komen? Akhir cerita ini membuatku sedih. Sedih karena nagih... T_T
Makaci Bu Phantabib, Oink~
Moga2 ramah awamnya masi dapet pas di Kasfan. Nyderhanain nama2 nya sulit soale. (Iya, yang di atas itu dah sederhana. Nama raja Bugis atau Makassar itu bisa sampe 9 kata...T_T)
Kalaupun yang baca ga tau itu dari Makassar (seperti yang dicemaskan Maryos di atas), saia ngebidik asal suasana lautnya dapet, aja...
Dan saia gumbira karena ternyata Pemda Makassar bikin proyek transplantasi terumbu karang di Somba Opu~ yay! #OOT
Makasih dah baca~ dan buat Maryos--maap saia kecepetan ngetik posting reply dikau sebelum inet byarpet lagi--thanks komennya. Minta resource digital/online tata bahasa yang bagus dong, kalau ada~
Hum.. Tambahan ikutan sotoy nanggapin Maryos.
Fyi. Aku buta sama sekali sama daerah Makasar. Dan tahu ini Makasar karena dikasih tahu penulisnya sendiri.
Persoalan yang selalu jadi halanganku menikmati fantasi tema lokal bukan soal tahu nggaknya ini dari daerah mana, tapi penggunaan-penggunaan istilah daerah dalam cerita. Yang mana, bahasa keren high-fantasinya: Babi.
Saya ada turunan Jawa. Seumur hidup tinggal di Pulau Jawa. Masa sih, saya ga familiar dengan nuansa Jawa? Tapi tetap aja, beberapa cerita fikfan yang angkat budaya Jawa membuat saya ngos-ngosan karena istilah-istilah yang dipakai penulisnya. Maklumlah. Saya ndak fasih basa jawa. XD
Jadi, walaupun cerita ini ditaruh di kasfan tanpa intro dan daftar istilah, saya yakin, saya masih bisa menikmatinya. Hohoho~
Grao~
Ada yang kehapus di tengah >.<;;;
*Tetapi cerita yang ini. Kendati banyak istilah-istilah yang saya ga tau pada awalnya, namun berhasil dijelaskan Luz melalui jalannya cerita. Sehingga dengan sendirinya, pembaca bisa memahaminya tanpa daftar istilah*
#blame on tab +__+;;;
Ah. Apa pun itu, aku selalu tertarik dengan Fantasy. Walau sama sekali tidak tahu penulis-penulis fantasy ternama lain. Apa lagi Fantasy ini mengangkat tema lokalitas. Sangat menarik, sangat perfect menurutku. Go go go. Suka dengan nama-nama tokohnya. :)
Perihal partikel pun: saya mengacu pada buku EYD yang ada di kamar saya dan guru Bahasa Indonesia saya. XD
Soalnya waktu itu juga saya pernah buat kesalahan yang sama, dan Beliau membetulkannya. Partikel pun yang digabung itu (setahu saya) cuma: walaupun, meskipun, bagaimanapun, sekalipun, dsb (lupa+males mikir). Nah, partikel pun pada apapun, siapapun, dsb dsb itu setahu saya dipisah. ._.
Nanti deh saya cari kalo ada sumber yang online kalo udah on pake komputer. Hehehehe. Kalo gak salah waktu itu di Wikipedia saya pernah lihat deh.
Perihal lebai max: o...TL
Itu saya mikirnya sambil ngapain ya? Kok bisa muncul kata-kata begitu? Myahahahahah ~
Ya sudah, 'terputus-putus' saja. *maksa banget sih*
Ini cuma tentang partikel pun sih:
http://www.sunangunungdjati.com/blog/?p=6277
._.
Hmm... Cuman beberapa tuh contohnya. Gak semua. Yang dipisah juga contohnya semua kata ganti, atau subyek. Saia sepertinya sudah memisah kata ganti dan subyek.
Dan bagaimana dengan "kaupun"? "Kau" itu harus disambung. "Pun" katanya harus terpisah. Jadi yang benar gimana dunk~?
Xixixi~ anyway, makasih resource-nya. ^^ Akan digunakan semaksimal mungkin saat mengedit~
Hoho~ thanks Mas. Saia akan berusaha untuk terus mengembangkan kemampuan. Sudah waktunya kita punya literatur fantasi yang bisa kita katakan sebagai "milik kita" dengan rasa bangga. Let's go~!
Seingat saya (ini kalo saya gak salah ingat omongan guru saya dulu), memang cuma ada 12 kata yang menggunakan partikel pun tanpa pemisahan. Di artikel itu pas ada 12 kan? Berarti, (gampangnya) kata lain selain yang 12 itu ... dipisah.
Betewe kenapa kita jadi ngeributin partikel pun yak? xD
Gak ngerasa ngeributin si saia...~
Kenapa cuma 12, BTW?
Dan saia juga nggak pernah dengar aturan cuma 12 itu. Kalau memang cuma 12, kenapa Wikisource tidak memuat?
Bahkan penulis blognya sendiri bilang "beberapa," yang berarti sepengetahuan dia, itu nggak lengkap.
Saia juga pernah ngambil kelas tata Bahasa Indonesia sama seorang profesor Bahasa Indonesia, dan yang bersangkutan nggak menyebut apa-apa soal itu. Mungkin beliau kelupaan ya?
Well this story is good, cuma aku kurang bisa mbayangin seperti apa bentuk istana di sana, atau sesuatu yang bisa mengingat tempat itu? But overall cerpennya bagus dengan twist ending menarik
Salam,
Fadhilol
Yesh, saia setujuh!
Deskripsinya sengaja minim karena batas kata. Walau memang, saia memahami sekali kalau untuk cerita ini, orang kepengen lebih banyak deskripsi.
Doakan saia biar suatu hari saia bisa kembangkan cerita ini novel laris yak... :D Thanks kunjungannya!
K izin cerita kk mau bikin drama dari guru, boleh?
Eettt, tugas drama dari guru maksudnya k.
halo kak, salam kenal. saya baru selesai membacanya setelah mendapatkan rekomendasi dari seseorang. dan saya tidak menyesal telah membaca tulisan kakak. terima kasih untuk cerita yang sangat menarik dan menyentuh hati ini. semoga kakak sehat selalu. aamiin
Posting Komentar