Minggu lalu aku membuat catatan untuk diriku sendiri tentang Show, Don't Tell. Minggu ini aku mengunjungi suatu tempat yang mendorongku untuk membuat catatan pribadi lagi. Kali ini tentang bagaimana aku memandang unsur agama, baik secara pribadi maupun di dalam sebuah karya.
Untuk urusan satu ini, barangkali opiniku jadi rada-rada meleng. Tapi tetap saja aku pengen menuliskannya. Tidak tanpa bermaksud ngenye' ke siapapun, kuakui. Namun, kalau memang ada yang merasa perlu klarifikasi atau mau memberikan pendapat dan bantahan, silakan. Tombol komentar belum kuhilangkan.
Pertama-tama mungkin aku harus menegaskan afiliasi religiku. Di Indonesia, orang seperti aku dicemplungin sebagai "percaya Tuhan tapi nggak punya agama," dan dicap sebagai manusia terombang-ambing yang gak punya pendirian oleh oknum-oknum jumawa yang merasa lebih bermartabat dari aku. Padahal aslinya sih nggak segampang itu. Walaupun nggak beragama, aku beragami. (Apa itu agami? Menurut kamus seenak jidatku, agami adalah saudara perempuan tiri dari agama. Alias, "kepercayaan apapun yang tidak diakui sebagai agama.")
Dan itu berarti--maaf kepada semua jumawawan dan jumawawati--aku punya pendirian.
Pendirianku ini bisa digambarkan sebagai Sokratik. Mengingat aku sotoy tentang banyak hal, maka aku memilih untuk tidak sotoy soal Tuhan. Seperti Socrates yang bijak mengakui bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa, aku juga mengakui bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Tuhan. Aku tidak tahu apakah Ia ada atau tidak ada, apakah Ia menjustifikasi pembunuhan yang dilakukan atas nama Dirinya atau tidak, apakah Ia esa atau jamak, apakah Ia lebih suka orang berkulit putih dibanding orang berkulit hitam, atau sebaliknya. Aku tidak tahu kapan Tuhan membuat pesta yang lebih meriah, pada saat natal atau lebaran atau imlek. Aku tidak tahu apakah Ia lebih suka hari Jumat dibanding hari Minggu, atau sebaliknya. Atau apakah Ia lebih suka ketupat dibanding kue bulan, kuda lumping dibanding barongsai, kemenyan dibanding dupa. Atau malah cerutu Kuba?
Begitulah agamiku.
Dan agamiku ini berpengaruh pada bagaimana aku memandang unsur-unsur agama di dalam sebuah karya. Begitu aku melihat unsur agama, mau nggak mau aku pasti menilai berdasarkan agamiku. Hal paling pertama yang kulihat biasanya adalah ini: apakah unsur agama itu cuma tempelan atau selipan, atau merupakan bumbu penyedap yang menambah semakin enaknya sebuah kisah, atau, ini yang paling keren, menjadi napas dari kisah itu?
Cara ngetesnya sederhana. Bayangkanlah kisah itu ditulis ulang tanpa unsur-unsur agamanya. Jika anda bisa membayangkan kisah itu tetap berjalan tanpa unsur agamanya, berarti ia masuk yang pertama. Jika bisa, tetapi kurang greget, itu yang kedua. Kalau sama sekali tidak bisa, itu yang ketiga.
Yang pertama ini contohnya banyak sekali. Setelah booming Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, muncullah segala novel yang mengaku Islami dengan judul yang memakai kata "cinta" dan pengarang bernama Blablarahman Al Sanasini yang merupakan lulusan dari Universitas Timurtengah. Aku berkesempatan meninjau beberapa novel ini. Pada hampir tiap novel "nebeng booming" yang kubaca, unsur agama menjadi label dagang untuk mendongkrak karya-karya yang secara teknik maupun materi cerita sangat medioker, kalau ga mau dibilang jelek.
Untuk yang kedua, aku ingin mengajukan Ayat-ayat Cinta sendiri sebagai contoh. Pada dasarnya karya itu adalah sebuah kisah cinta. Itu aja. Tetapi setting, tokoh, dan penyajiannya menggunakan bumbu agama dan budaya Timur Tengah. Aku berpendapat bahwa sebagai karya, novel ini hanya rata-rata. Banyak bagian di dalam plotnya bahkan agak picisan. Namun, tidak bisa dibantah, kehidupan akademik mahasiswa Mesir adalah sebuah twist baru yang ketika itu sangat fresh. Sesuatu yang segar dan baru, ditambah alur cerita yang mudah dijangkau kebanyakan orang, ditambah identifikasi pembaca dengan para tokoh dan pengarang karena kesamaan agama, membuat buku ini booming.
Pertanyaannya, apakah ini juga termasuk menjajakan agama? Menurut dugaanku, tidak. Dalam kasus Ayat-ayat Cinta, si pengarang memasukkan atribut agama karena dia mau membuat cerita seperti itu, bukan karena ngikutin tren atau bertujuan agar bukunya laku. Tentunya, aku tidak bisa benar-benar membaca pikiran si pengarang, tetapi jika memang niat yang bersangkutan selurus yang kuduga, aku tidak bijaksana jika mengenye' yang bersangkutan sebagai penjaja agama.
Untuk yang ketiga? Aku menemukan banyak. Salah satu favoritku dari dulu adalah The God of Small Things karya Arundhati Roy. Aku tidak akan menguraikan panjang lebar bagaimana pengarang memotret hubungan antara penganut Kristen Siria dan Hindu di India, sesuatu yang digambarkan sebagai "lompat dari penggorengan dan masuk ke api." Atau bagaimana pandangan masyarakat mengenai perkawinan beda agama, dimana pandangan mayoritas di Indonesia sesungguhnya merupakan cermin buram dari apa yang dikisahkan di buku ini. Aku hanya akan menyarankan agar anda membacanya sendiri.
Hal kedua yang kulihat adalah sikap yang diambil oleh si penulis terhadap unsur agama di dalam ceritanya. Pertama, ia bisa mendukung agama yang ditampilkannya di cerita. Yang kedua, ia bisa mengkritik doktrin maupun sikap para penganut agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan agama yang mereka anut. Yang ketiga, ia menawarkan alternatif atas anggapan tradisional, seperti yang dilakukan Dan Brown di dalam Da Vinci Code. Yang keempat, ia bisa menjelekkan atau merendahkan suatu agama.
Dari semua sikap ini, yang terakhir adalah yang menurut agamiku tidak bisa diterima. Benar, karya yang isinya belaka menjelekkan satu agama aku belum pernah lihat. Tapi penjelekan agama ini biasanya muncul tandem dengan yang pertama: mendukung satu agama. Dengan kata lain, pengarang menunjukkan keindahan suatu agama dengan cara menjelekkan atau merendahkan atau menganggap sesat agama/agami lain.
Ini membawaku pada suatu pertanyaan: mengapa harus menjelekkan? Jawaban yang paling sering kudengar adalah "karena mereka memang pantas dijelekkan" yang diikuti pembenaran berupa kutipan hukum agama dan kitab suci dan berbagai "fakta."
Melihat yang seperti ini, aku jadi ingat tokoh Yasmin di dalam novel Larung karya Ayu Utami. Lurus, sempurna, "berpendidikan moral pancasila," tetapi selalu menonjolkan diri dengan menjelek-jelekkan teman-temannya yang lain, terutama Cok Gita. Dan begitu kedapatan selingkuh, mencari segala macam alasan untuk membenarkan perselingkuhannya.
Kompleks Primadona, begitulah masalahnya. Seseorang yang insecure tidak bisa percaya dirinya cantik sebelum ia merasa bahwa orang lain lebih jelek.
Dikaitkan dengan sikap seorang pengarang yang tidak bisa mendukung satu agama tanpa menjelekkan agama lain, aku akan mengatakan kalau pengarang ini insecure. Ia tidak merasa cukup dengan kebaikan dan kemanisan dari agama yang katanya ia cintai. Karena itu ia perlu mencantumkan tulisan-tulisan yang menjelekkan/merendahkan/menganggap sesat agama/agami lain. Dengan kata lain, ia tak percaya pada keindahan agamanya sendiri. Dan jika ia tak percaya, mengapa ia mengaku cinta?
Sampai saat ini, demikianlah renunganku mengenai unsur religi di dalam novel-novel yang pernah kubaca. Seperti aku menilai mereka yang memakai unsur religi di dalam novelnya menurut agamiku, tulisan ini pun terbuka untuk dinilai dan dikomentari oleh siapapun menurut agama mereka. Dan jika anda benar-benar tertarik untuk berpikir atau merenung lebih jauh, aku punya sebuah renungan tantangan yang bagus:
Menurut anda, Tuhan itu agama(i)nya apa?
Luz Balthasaar
Untuk urusan satu ini, barangkali opiniku jadi rada-rada meleng. Tapi tetap saja aku pengen menuliskannya. Tidak tanpa bermaksud ngenye' ke siapapun, kuakui. Namun, kalau memang ada yang merasa perlu klarifikasi atau mau memberikan pendapat dan bantahan, silakan. Tombol komentar belum kuhilangkan.
Pertama-tama mungkin aku harus menegaskan afiliasi religiku. Di Indonesia, orang seperti aku dicemplungin sebagai "percaya Tuhan tapi nggak punya agama," dan dicap sebagai manusia terombang-ambing yang gak punya pendirian oleh oknum-oknum jumawa yang merasa lebih bermartabat dari aku. Padahal aslinya sih nggak segampang itu. Walaupun nggak beragama, aku beragami. (Apa itu agami? Menurut kamus seenak jidatku, agami adalah saudara perempuan tiri dari agama. Alias, "kepercayaan apapun yang tidak diakui sebagai agama.")
Dan itu berarti--maaf kepada semua jumawawan dan jumawawati--aku punya pendirian.
Pendirianku ini bisa digambarkan sebagai Sokratik. Mengingat aku sotoy tentang banyak hal, maka aku memilih untuk tidak sotoy soal Tuhan. Seperti Socrates yang bijak mengakui bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa, aku juga mengakui bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Tuhan. Aku tidak tahu apakah Ia ada atau tidak ada, apakah Ia menjustifikasi pembunuhan yang dilakukan atas nama Dirinya atau tidak, apakah Ia esa atau jamak, apakah Ia lebih suka orang berkulit putih dibanding orang berkulit hitam, atau sebaliknya. Aku tidak tahu kapan Tuhan membuat pesta yang lebih meriah, pada saat natal atau lebaran atau imlek. Aku tidak tahu apakah Ia lebih suka hari Jumat dibanding hari Minggu, atau sebaliknya. Atau apakah Ia lebih suka ketupat dibanding kue bulan, kuda lumping dibanding barongsai, kemenyan dibanding dupa. Atau malah cerutu Kuba?
Begitulah agamiku.
Dan agamiku ini berpengaruh pada bagaimana aku memandang unsur-unsur agama di dalam sebuah karya. Begitu aku melihat unsur agama, mau nggak mau aku pasti menilai berdasarkan agamiku. Hal paling pertama yang kulihat biasanya adalah ini: apakah unsur agama itu cuma tempelan atau selipan, atau merupakan bumbu penyedap yang menambah semakin enaknya sebuah kisah, atau, ini yang paling keren, menjadi napas dari kisah itu?
Cara ngetesnya sederhana. Bayangkanlah kisah itu ditulis ulang tanpa unsur-unsur agamanya. Jika anda bisa membayangkan kisah itu tetap berjalan tanpa unsur agamanya, berarti ia masuk yang pertama. Jika bisa, tetapi kurang greget, itu yang kedua. Kalau sama sekali tidak bisa, itu yang ketiga.
Yang pertama ini contohnya banyak sekali. Setelah booming Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, muncullah segala novel yang mengaku Islami dengan judul yang memakai kata "cinta" dan pengarang bernama Blablarahman Al Sanasini yang merupakan lulusan dari Universitas Timurtengah. Aku berkesempatan meninjau beberapa novel ini. Pada hampir tiap novel "nebeng booming" yang kubaca, unsur agama menjadi label dagang untuk mendongkrak karya-karya yang secara teknik maupun materi cerita sangat medioker, kalau ga mau dibilang jelek.
Untuk yang kedua, aku ingin mengajukan Ayat-ayat Cinta sendiri sebagai contoh. Pada dasarnya karya itu adalah sebuah kisah cinta. Itu aja. Tetapi setting, tokoh, dan penyajiannya menggunakan bumbu agama dan budaya Timur Tengah. Aku berpendapat bahwa sebagai karya, novel ini hanya rata-rata. Banyak bagian di dalam plotnya bahkan agak picisan. Namun, tidak bisa dibantah, kehidupan akademik mahasiswa Mesir adalah sebuah twist baru yang ketika itu sangat fresh. Sesuatu yang segar dan baru, ditambah alur cerita yang mudah dijangkau kebanyakan orang, ditambah identifikasi pembaca dengan para tokoh dan pengarang karena kesamaan agama, membuat buku ini booming.
Pertanyaannya, apakah ini juga termasuk menjajakan agama? Menurut dugaanku, tidak. Dalam kasus Ayat-ayat Cinta, si pengarang memasukkan atribut agama karena dia mau membuat cerita seperti itu, bukan karena ngikutin tren atau bertujuan agar bukunya laku. Tentunya, aku tidak bisa benar-benar membaca pikiran si pengarang, tetapi jika memang niat yang bersangkutan selurus yang kuduga, aku tidak bijaksana jika mengenye' yang bersangkutan sebagai penjaja agama.
Untuk yang ketiga? Aku menemukan banyak. Salah satu favoritku dari dulu adalah The God of Small Things karya Arundhati Roy. Aku tidak akan menguraikan panjang lebar bagaimana pengarang memotret hubungan antara penganut Kristen Siria dan Hindu di India, sesuatu yang digambarkan sebagai "lompat dari penggorengan dan masuk ke api." Atau bagaimana pandangan masyarakat mengenai perkawinan beda agama, dimana pandangan mayoritas di Indonesia sesungguhnya merupakan cermin buram dari apa yang dikisahkan di buku ini. Aku hanya akan menyarankan agar anda membacanya sendiri.
Hal kedua yang kulihat adalah sikap yang diambil oleh si penulis terhadap unsur agama di dalam ceritanya. Pertama, ia bisa mendukung agama yang ditampilkannya di cerita. Yang kedua, ia bisa mengkritik doktrin maupun sikap para penganut agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan agama yang mereka anut. Yang ketiga, ia menawarkan alternatif atas anggapan tradisional, seperti yang dilakukan Dan Brown di dalam Da Vinci Code. Yang keempat, ia bisa menjelekkan atau merendahkan suatu agama.
Dari semua sikap ini, yang terakhir adalah yang menurut agamiku tidak bisa diterima. Benar, karya yang isinya belaka menjelekkan satu agama aku belum pernah lihat. Tapi penjelekan agama ini biasanya muncul tandem dengan yang pertama: mendukung satu agama. Dengan kata lain, pengarang menunjukkan keindahan suatu agama dengan cara menjelekkan atau merendahkan atau menganggap sesat agama/agami lain.
Ini membawaku pada suatu pertanyaan: mengapa harus menjelekkan? Jawaban yang paling sering kudengar adalah "karena mereka memang pantas dijelekkan" yang diikuti pembenaran berupa kutipan hukum agama dan kitab suci dan berbagai "fakta."
Melihat yang seperti ini, aku jadi ingat tokoh Yasmin di dalam novel Larung karya Ayu Utami. Lurus, sempurna, "berpendidikan moral pancasila," tetapi selalu menonjolkan diri dengan menjelek-jelekkan teman-temannya yang lain, terutama Cok Gita. Dan begitu kedapatan selingkuh, mencari segala macam alasan untuk membenarkan perselingkuhannya.
Kompleks Primadona, begitulah masalahnya. Seseorang yang insecure tidak bisa percaya dirinya cantik sebelum ia merasa bahwa orang lain lebih jelek.
Dikaitkan dengan sikap seorang pengarang yang tidak bisa mendukung satu agama tanpa menjelekkan agama lain, aku akan mengatakan kalau pengarang ini insecure. Ia tidak merasa cukup dengan kebaikan dan kemanisan dari agama yang katanya ia cintai. Karena itu ia perlu mencantumkan tulisan-tulisan yang menjelekkan/merendahkan/menganggap sesat agama/agami lain. Dengan kata lain, ia tak percaya pada keindahan agamanya sendiri. Dan jika ia tak percaya, mengapa ia mengaku cinta?
Sampai saat ini, demikianlah renunganku mengenai unsur religi di dalam novel-novel yang pernah kubaca. Seperti aku menilai mereka yang memakai unsur religi di dalam novelnya menurut agamiku, tulisan ini pun terbuka untuk dinilai dan dikomentari oleh siapapun menurut agama mereka. Dan jika anda benar-benar tertarik untuk berpikir atau merenung lebih jauh, aku punya sebuah renungan tantangan yang bagus:
Menurut anda, Tuhan itu agama(i)nya apa?
Luz Balthasaar
9 komentar:
Wah sepertinya ni artikel tergolong midnight show yach? Soalnya jam setengah sebelas malem kemaren aku cek belum ada. Artikel cinderella. Ato Cullenisme? Hehe.
Kalo membaca artikel ini, sepertinya novelku Amor masuk kategori kedua. Dicabut tetek bengek religinya gag masalah tapi menurutku bakal mempengaruhi rasa. Maklum ide pertamanya juga memang muncul dari salah satu bab pada kitab suci yang telah diajarkan padaku sedari kecil.
Proyekku berikutnya entah kenapa dapet angin dari kitab suci itu lagi. Yang ini sepertinya bakal tergolong kategori yang kesatu. Tapi temanya very dark berhubung menyinggung-nyinggung Lilith yang secara dogmatis tidak diakui. Jadi harus ekstra hati-hati. But of course it's still fantasy. Action hardcore malah. Hehe.
Hm, rasanya susah cari novel religi yang beraura "negatif" di toko buku besar. Tapi kalo di kalangan terbatas, aku sih pernah baca. Lebih banyak yang berupa artikel. Hm, tapi kalo cuma lisan aka khotbah, wuih itu banyak pula. Kukira ini salah satu alasan mengapa Poso ama Nigeria ribut mulu. Miris juga kalo liat orang perang gara-gara agama. Di mana Imago Dei-nya?
Nah, lalu aku sendiri juga termasuk golongan agami yang gak terlalu peduli Tuhan itu agame, agamo ato agamu.
Salam. Heinz.
Yang pasti, kalo novel/bukunya terbitan Solo(l)mon Group, patut diwaspadai. Judulnya mengumbar kontroversi, emang yg dia jual nampaknya kontroversi itu, entah materinya teruji dan bermutu ato nggak.
Naburo itu gak bermutu ... Sudah dipastikan di jagat maya. :| :|
Hehe.
@heinz...
Ada lagi istilahnya, Artikel Cinderella dan penganut Cullenisme. Nggak gitu sih. Aku postnya lama karena nyunting artikel ini aja, biar ga terlalu ngenye' gitu.
Baca pendapat kamu, aku dapat ide lagi untuk mencatat lebih jauh soal masalah mimbar agama di dalam novel ini. Mungkin ada sekuelnya nih, Ayat-ayat Tinta 2. Kak, kak, kak...
Mengenai masalah artikel dan khotbah 'beraura' negatif, aku nggak akan membahas itu disini, karena aku nggak tertarik baca atau dengar khotbah. Aku cuma cukup bilang kalau mereka ini insecure, dan jika demokrasi bukan silver bullet, teokrasi nggak akan memberi hasil lebih baik.
@juun...
Aku ngegoogle soal Naburo dan Solo(l)mon Group. Dan hasilnya... oh well. Namanya juga jualan. Asal dapat uang, anything goes.
he.he. *ah jadi kangen andrea pas baca yang beginian dan entah kenapa diriku membayangkan melihat dirimu dan Andrea berbicara banyak tentang menulis-membaca* pun dirimu [jika] tak mengenal dia, aku sekedar curcol saja ha,ha...
tentang follower, aku pengennya ngatain njiplak *bikin bahasan yang ini dong* :D
cerita yang telah tersegmentative biasanya memang akan terbaca seperti jualan produk.
Dan Brown sebenarnya juga sedang jualan produk, bahkan -menurutku- termasuk tulisan dengan jualan yang menunjukkan jualan orang lain jelek, salah dan salah kaprah. hanya saja dibungkus dengan cantik dan penuh budaya. he.he *dan ia bangga dengan hal tersebut*
alternative : bungkus kacang gambar pemain-pemain bola top scorer atau tiket nonton gratis dangdut di lapangan
...
@Mbak El...
Hue? Andrea siapa? Andrea Hirata? Wakakaka...
Yah, kalau memang dia yang kita bicarakan, aku sih senang kalau punya kesempatan bertukar pendapat sama yang bersangkutan.
Membahas penjiplakan? Mungkin, jika suatu saat aku punya sesuatu yang "layak dikatakan" tentang mereka. Untuk saat ini sih, aku belum punya pendapat selain bahwa plagiat untuk tujuan komersil itu plain wrong.
Untuk minggu depan kayaknya aku mau bikin catatan soal POV, mengingat ini baru aja dibahas di forum Pulau Penulis.
Soal Dan Brown, kukira begini: dia nggak menjelekkan ajaran Kristen/Katolik dalam pengertian "penjelekan" yang biasa kulihat di Indonesia. DVC cuma menawarkan perspektif bahwa barangkali Yesus punya keturunan dan garis darah itu masih hidup sampai hari ini.
Problemnya, Brown ngeklaim beberapa bagian dari risetnya dia sebagai fakta, padahal riset yang dia lakukan itu keliru. Dan buat orang awam non-Kristiani, ini bisa menyesatkan.
So, dia dikritik bukan karena menjelek-jelekkan, tapi karena mengklaim data meragukan sebagai fakta, yang berpotensi menimbulkan miskonsepsi.
Aku cuma bisa senyum baca kalimat terakhir... =)
artikelnya thoughtful sekali..
err... sebenarnya saia gak gitu bisa komentar.. artikel ini terlalu tinggi..
^^V
@Clairfane...
Thanks...!
Benernya jangan dipikir "tinggi", hehe. Belum levelnya Goenawan Muhammad ini. XD
Baguslah kalau kalimat terakhir bikin senyum... XD
sebelumnya salam kenal..aku mizza
bahan renunganmu yg kau lemparkan, menarik. sebenarnya itu tergantung kita nganggap agama itu apa? kalau aku nganggap agama itu cara hidup , lah kalau gitu ngapain Tuhan itu beragama kalau Dia yang memberi nyawa...
^^
Ah, Mbak/Mas Mizza. Selamat datang dan salam kenal juga. Makasih sudah datang, dan maaf saia rada lama apdet. Sibuk persiapan kuliah lagi ^^
Saia pikir pendapat anda mengena sekali, Agama itu cara hidup. Tuhan Adalah yang memberi hidup. Dus, Tuhan pada dasarnya nggak perlu punya agama, karena Ia adalah yang memberikan hidup itu.
Jadi kesimpulannya, kenapa banyak orang masih ribut-ribut soal agama, padahal Yang Ngasih Hidup aja gak ribut? Really, saia berharap ada lebih banyak orang yang berpikir seperti anda. Well said!
Posting Komentar