Minggu lalu, aku mencoba mengambil langkah pertama untuk menjadi seorang penulis fiksi fantasi dengan menampilkan hasil editan terakhir dari bab 1 ceritaku. Sesuai harapan, berbagai kritik, saran, dan dukungan muncul dari teman-teman dan kenalanku.
Aku menilai usaha awalku ini cukup sukses karena aku mendapat saran dan gagasan untuk memperbaiki hal-hal yang entah luput dari perhatianku (tempo deskripsi), atau tampak jelas tapi belum kuketahui solusinya (kalimat pembuka). Aku juga mendapat pujian di titik yang kuharapkan. (Deskripsi yang pada dasarnya sudah oke, dan bangunan dunia dengan teknologi, arsitektur, dan religi lengkap dan hidup dalam 10 halaman A4, 1,5 spasi! Woo~hoo~!)
Tadinya hari ini aku mau membahas sebuah post menarik di Pulau Penulis, yang berbicara tentang penulis-penulis muda. Namun, setelah kupikir lagi, topik ini masih terlalu awal untuk kujadikan bahan tulisan. Walaupun aku baru saja membuat tulisan tentang sebuah novel fiksi fantasi karya seorang remaja, ada sedikitnya dua lagi novel karya remaja yang akan kubaca dalam dua minggu ini. Dan salah satunya mungkin akan ku-review. Jadi, topik ini akan kutunda dulu.
Aku menilai usaha awalku ini cukup sukses karena aku mendapat saran dan gagasan untuk memperbaiki hal-hal yang entah luput dari perhatianku (tempo deskripsi), atau tampak jelas tapi belum kuketahui solusinya (kalimat pembuka). Aku juga mendapat pujian di titik yang kuharapkan. (Deskripsi yang pada dasarnya sudah oke, dan bangunan dunia dengan teknologi, arsitektur, dan religi lengkap dan hidup dalam 10 halaman A4, 1,5 spasi! Woo~hoo~!)
Tadinya hari ini aku mau membahas sebuah post menarik di Pulau Penulis, yang berbicara tentang penulis-penulis muda. Namun, setelah kupikir lagi, topik ini masih terlalu awal untuk kujadikan bahan tulisan. Walaupun aku baru saja membuat tulisan tentang sebuah novel fiksi fantasi karya seorang remaja, ada sedikitnya dua lagi novel karya remaja yang akan kubaca dalam dua minggu ini. Dan salah satunya mungkin akan ku-review. Jadi, topik ini akan kutunda dulu.
Karena itu, perjalanan minggu ini akan kuisi dengan catatan untuk diri sendiri, tentang sebuah prinsip yang kupegang dengan ganjil selama tiga tahun belakangan ini. Prinsip itu adalah prinsip yang katanya klasik untuk seorang penulis. Show, Don't Tell. Tapi buatku, adagium ini selalu diikuti dengan tanda baca titik dua atau tilde, dan empat kata. The Biggest Bullshit Ever Told.
Lebih ganjil lagi, pertama kali belajar menulis, dan bahkan sampai sekarang, gayaku punya kecenderungan untuk berat pada penggambaran. Yang berarti, gaya ceritaku sangat show. Jadi mengapa aku menganggap prinsip ini bullshit? Sounds like I'm trouncing on my own gift, no?
Well, no. Sekilas, kecenderungan show ini memang kedengeran kayak aset, mengingat banyak penulis setengah mateng cenderung terjebak menjadi tell dan kepengen berat bisa show.
Kenyataannya? Jauh dari itu. Kecenderungan untuk terlalu show sama aja jeleknya dengan terlalu tell. Granted, orang yang cenderung show lebih langka daripada yang cenderung tell, tapi lebih langka tidak berarti penyakit mereka tidak lebih kronis.
Sayangnya, ketimpangan kelangkaan ini menyebabkan distorsi cara pandang. Karena kebanyakan penulis setengah matang adalah teller, (bukan yang di bank,) maka kebanyakan penulis setengah mateng harus belajar menjadi shower (bukan yang di kamar mandi,) dan karena kebanyakan dari mereka menempuh proses belajar beralih dari tell ke show, terciptalah generalisasi persepsi bahwa kita harus melakukan show alih-alih tell.
(Kar)Dus, adagium itu tercipta sudah. Show, Don't Tell.
Oh, yeah. Aku dengar para penganut Show, Don't Tell mulai protes. Biasanya mereka akan membela adagium mereka dengan memberi contoh seperti ini...
Telling
Budi pulang dari sekolah dengan kelelahan karena berlari-lari. Ia haus. Maka ia berdiri dan mengambil botol air jeruk di lemari es. Begitu ia mengangkat botol, botol itu selip dari tangannya dan jatuh. Botol itu pecah. Air jeruknya menggenang di lantai. Ibu lalu datang dan bertanya, "Kenapa kau?"
Showing
Budi terengah saat membuka pintu rumah. Seragam sekolahnya basah. Kakinya pegal, tetapi ia masih memaksa diri berjalan ke kulkas karena tenggorokannya yang kering terasa seperti ditusuk-tusuk.
Ia membuka pintu kulkas. Matanya langsung tertumbuk pada sebotol besar air jeruk yang tersimpan di rak pintu. Dengan terburu-buru ia meraih leher botol itu. Sayang, tangannya gemetar dan kuyup oleh keringat. Botol itu selip dan jatuh. Bunyi kaca pecah menusuk telinga Budi sementara genangan air jeruk dingin membasahi ujung-ujung jari kakinya.
Seorang perempuan paruh baya, mukanya pucat larena kaget, tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur. "Budi? Astaga, kenapa kau, Nak?"
Lalu mereka bakal bilang, "Lihat bedanya, kan?" Dan berdasarkan bukti ini mereka akan menggadang-gadang kredo mereka sebagai satu-satunya iman yang benar.
Beruntungnya, pengalamanku belajar dan bekerja di bidang hukum membuatku mempelajari sebuah prinsip berharga. dan prinsip itu, sudara-sudari, adalah bahwa Bukti Bisa Direkayasa.
Yeap. Contoh-contoh di atas itu adalah rekayasa. Sejak awal si pemberi contoh sudah percaya bahwa telling inferior terhadap showing, maka sengaja atau tidak, ia akan membuat contoh telling yang jelek dan contoh showing yang bagus untuk membuktikan dirinya benar. Dan aku bisa membuktikan kalau contoh diatas itu adalah rekayasa, dengan iseng-iseng menerapkan satu lagi prinsip hukum, yaitu Pembuktian Terbalik, seperti berikut ini.
Showing
Budi terengah-engah saat membuka pintu rumah. Napasnya berat bak seorang petinju penantang yang tengah berjuang mempertahankan keunggulannya di ronde-ronde akhir melawan sang juara dunia. Seragam sekolahnya menempel, memamerkan kulitnya yang mulus kecoklatan di bawah lapisan katun putih. Kakinya terasa seperti akan putus, tetapi dengan sisa-sisa terakhir tenaganya ia berjuang menuju kulkas. Ia begitu haus hingga tenggorokannya terasa sakit seakan ia baru saja menelan kaktus.
Dengan tangan gemetar Budi membuka pintu kulkas. Matanya yang indah, tetapi juga liar, tertumbuk pada sebotol besar air jeruk. Jingga di dalam bening yang dingin, tersimpan berliput aura menggoda, di rak pintu. Bak singa lapar diumpani daging rusa segar, ia mmencengkeram leher ramping botol itu. Namun, getar tangan dan kuyupnya keringat menjauhkan rejeki manis itu dari takdirnya di dalam perut Budi. Botol itu jatuh seperti dalam gerak lambat yang memakan waktu berabad-abad. Kaca pecah terhambur dari lantai. Air jeruk kuning keemasan membanjiri keramik putih yang tak sampai sedetik lalu masih berbau obat pel.
Seorang perempuan yang masih belum kehilangan kecantikannya walaupun sudah memasuki usia paruh baya tiba-tiba muncul dari balik pintu dapur dengan gerakan anggun. "Budi?" ia berkata dalam suaranya yang semerdu semilir surga. "Budi, apa itu tadi, anakku?"
Telling
Budi berlari dari sekolah tanpa henti. Hasilnya, ia benar-benar kelelahan begitu sampai di rumah. Namun, ia tak langsung berbaring atau duduk. Hausnya terlalu menyiksa untuk diabaikan.
Budi bergegas menuju lemari es dan meraih botol air jeruk. Sayang, benda itu selip dari tangannya dan jatuh. Kaca berhamburan. Air jeruk menggenang. Mendengar nyaring benda pecah, ibu muncul tergopoh-gopoh. "Ada apa? Ada apa?"
Lihat? Show juga bisa dibuat jelek banget, dan tell bisa dibuat bagus.
Sebab itulah, aku semakin yakin kalau Show, Don't Tell ini bullshit. Sama bullshitnya dengan Tell, Don't Show. Whether you're showing or telling, if you rock, you rock. And if you suck, you suck.
So Rock, Don't Suck.
Luz Balthasaar
20 komentar:
Kadang, orang yang begitu gembar-gembor soal Show JUSTRU yang paling sering menggunakan Tell dalam tulisannya :P
Yeah, the biggest bullshit ever told. Hahaha
Akhirnya mah tetep aja tergantung ama tukang masaknya.
Too much of something is bad enough. Asiiiiin!!!
But lack of something, hambaaaar!!!
Yang penting, nge-ROCK di lidah!
Salam. Heinz.
yap tapi bagaimanapun kedua bukti pertama di masing-masing kasus memang terekayasa....
show or tell memang gak bisa dilihat[baca] tapi kedua pihak harus selalu memberikan, yg terbaik kepada penonton.
lucu jika mengetahui adanya penulis yg memang [keceplosan] memberikan [hidangan] seperti bukti-bukti yg terekayasa itu.
but... no extra T
buat gayaku sih so much for the show. apa jangan-jangan diriku ini seperti yg tertulis di paragraf sebelumnya yah,,,,
makasih mbak luz... saya akan mencoba melihat lagi novel saya dari sisi pandang show/tell ini
Kalo merujuk pada komentar kuro buat salah satu tulisan gw di pulpen (Dunamis, aka DE), dia malah bilang aku kebanyakan "show" makanya jadi terasa aneh (buat dia). Gak tahu deh itu mana yg bener. :P
Gw sendiri masih merasa kalo gak dikendalikan, gw akan lbh mengumbar "tell" dlm cerita gw. Kyknya kasus cerita yg satu lagi (Signature aka Sig) malah gw terlalu bernafsu memasukkan informasi yg jatuhnya jadi kebanyakan "tell".
Berarti 50:50 alias berimbang atau sesuai kebutuhan situasi dalam cerita.
Hehe.
@anonim...
Aku pernah melihat yang macam begitu juga sih. Makanya makin gak percaya sama prinsip ini.
@Heinz...
Intinya sih begitu. Coba lihat Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi-nya. Apa coba itu kalau bukan satu buku penuh dengan "tell" yang mencengangkan?
@Ivan R...
Bener memang, yang penting apakah enak dibaca, menyenangkan atau tidak. Jangan terbebani "aku harus show" atau "aku harus tell." Cari aja cerita itu enaknya diceritakan seperti apa.
Kadang ada cerita yang enak dituturkan dengan show, tapi kalau dengan tell jelek. Kadang ada yang enak dengan tell, tapi dengan show malah nyebelin. Dan kadang juga ada cerita yang enak diceritakan dengan cara dimana keduanya membaur sampai ga ketahuan lagi itu show atau tell.
Thanks juga ya. Kalau dibalas seperti ini aku selalu dapat ide untuk berpikir dan menulis lebih banyak.
@Juun...
Daripada nyebut 50:50 atau proporsional, aku lebih cenderung menyebut "cari yang cocok aja." Klo pake angka, rasanya aku sedang bikin kuota. Dan buatku aneh aja rasanya kalau menulis diukur secara matematis, hahaha... XD
Mungkin saranku gini deh Juun. Tulis aja dulu semua yang kamu pengenin. Tapi stick pada tiga kerangka: kerangka plot, kerangka dunia, kerangka karakter. Begitu kamu nyadar kamu cerita terlalu banyak, runut ulang: apakah ada hal-hal yang kamu napsu ceritakan, tapi ga nyambung ke salah satu dari tiga kerangka itu?
Kalau ada, cutpas bagian itu ke sebuah file yang khusus untuk nampung ide-ide yang lom kepake, dan teruskan cerita kamu. Lihat apakah tetap bisa terus tanpa dump itu. Kalau bisa, ya berarti ide itu dipakai buat cerita lain aja.
aku termasuk yang paling nggak dengan "tell" nya sinetron...
jadi sepanjang cerita tidak menggunakan "tell" model sinetron is ok.
*sambil mengingat-ngingat, apakah tulisanku penuh dengan sinetron? :p
smangat!
*ah, proses editting yg melelahkan*
elbintang
pemandu sorak fantasi dalam negeri
cheers!
@mbak el...
Telling sinetron itu yang kayak apa yak? Aku malah baru tau ada istilah "tell" sinetron... dan bagaimana "telling" sinetron itu bisa terjadi di novel?
Mohon contoh dan pencerahan... :D kali2 aja bisa jadi bahan analisis lagi.
he.he maksudku model pencritaan yang lebay kek sinetron
kalu liat contoh show yg lebay kek di atas, emang bikin sakit gigi. Tapi bisa juga jadi terbaca semacam model pencritaan satire.
pernah nemu kasus "tell" ala sinetron, pas dikomentarin begitu, lucunya si penulisnya juga berasa demikian.
aku akan cari contoh-contoh yg pernah kubaca. kalu nemu kubagi di sini deh. dan soal "tell" sinetron itu istilah yg kubikin sendiri. he.he
Halo Kak Luz,
Numpang ninggalin jejak di blognya xD
Kalau showing yang kutahu sih menggambarkan sesuatu dari aksi dan reaksi tokohnya.
Gayaku sih, tergantung lagi demam konsep apa >w< Dulu aku pernah, satu cerita, kata 'dengan' banyak banget, gara-gara lg demam konsep kata dengan. Walhasil dapatlah kritik panjang lebar tentang penggunaan kata dengan dan direkomendasikan buku yang membahas penggunaan kata dengan.
Dulu pas pertama kali mendengar prinsip ini, aku langsung tergila-gila sama prinsip showing. Apapun, di mana pun, bahkan ada re-check khusus apakah kalimat yang bersangkutan termaksud showing atau telling. @_@ Telling, tulis ulang, pokoknya harus showing, showing, showing, SHOWING!!!
Untungnya belakangan ini dah mulai sadar kembali. Terlalu showing, membuat pusing dan cerita jadi lebih susah dimengerti.
Setuju sama pendapat yang penting enak dibaca.
Showing sama telling punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Showing kalau digunakan saat yang gak tepat, kesannya jadi kelewat bertele-tele dan terlalu dramatis. telling, kalau kelewatan, kesannya kaku.
Kelebihan showing, kalau saatnya tepat, kesannya itu lebih dapat dan tokohnya lebih hidup xD Telling, membuat cerita jadi lebih mudah dimengerti(menurutku loh)
Mungkin, digunakannya saat yang tepat dan pas saja. Misalnya untuk tokoh, secara pribadi aku lebih suka kalau karakter tokohnya digambarkan dari aksi dan reaksinya alih-alih langsung dikatakan Feline yang baik(ehem).
Kadang juga perpaduan telling dan showing, bikin frustasi kalau saling bertentangan. Misalnya, di halaman satu ditulis Feline yang baik. Entar di halaman 3, digambarkan Feline menyolong permen dari adiknya tanpa penjelasan apa-apa. Di halaman 5, Feline mencopet dompet guru, halaman 10 Feline diskors gara-gara manaruh lem di kursi kepala sekolah, terus di halaman 15, Feline menolong anak anjing yang terluka, di halaman 22, Feline menendang anak anjing yang kelaparan.
Ketidakkonsistenan tanpa alasan yang jelas membuat frustasi dan bingung-_-
Jadi menurutku sih, pintar-pintarnya penulis saja memadukan keduanya dan menggunakan di saat yang tepat.
Salam,
@Mbak El...
Yup, Show Lebay seperti yang kucontohkan itu bagus untuk satire/parodi. Cuma kalau satu novel isinya kayak gitu, sekalupun parodi/satire, muak juga kali, karena lucunya lama-lama ilang.
Hehe, ditunggu pembagian "telling Sinetron" nya.
@ Feline...
Welkom, welkom... semua pendapat selalu diwelkom disini, selama bisa merangsang kita semua untuk sama-sama berpikir. Sekalipun berpikir yang aneh-aneh, cuakakaka...
Sekali lagi, setuju. soal show dan tell, neither is absolutely better than the other. Tergantung ceritanya dan apa yang mau ditonjolkan.
Soal ketidaksinkronan sikap tokoh dalam perpaduan showing dan telling, aku pernah membahas ini di dalam salah satu reviewku di Fikfanindo. Silakan dibaca...
Halo, gw numpang lewat ya :D
Bener juga, ya. Selama ini banyak orang (termasuk gw) yg udah teracuni dengan kalimat "Show don't tell".
Padahal dalam prakteknya, novelis2 kelas dunia aja nggak ada yg pake 'show' terus dr awal s/d akhir cerita. Pasti selalu perpaduan 'show' dan 'tell', nggak ada yg cuma pake salah satu.
Ada situasi yg lebih bagus kalo pake 'show' (misalnya deskripsi tempat ato penampilan fisik karakter), tapi ada juga situasi yg lebih bagus kalo pake 'tell' (misalnya adegan berantem yg serba cepat, adegan filler nggak penting).
So, I agree with you, Luz^^
Thanks buat artikelnya ya :D
@Semira...
Your welcome. Senang artikelku bermanfaat. BTW, ini Sakurazaki ya?
Iya, ini sakurazaki^^
Budi berlari dari sekolah tanpa henti. Hasilnya, ia benar-benar kelelahan begitu sampai di rumah. Namun, ia tak langsung berbaring atau duduk. Hausnya terlalu menyiksa untuk diabaikan.
Budi bergegas menuju lemari es dan meraih botol air jeruk. Sayang, benda itu selip dari tangannya dan jatuh. Kaca berhamburan. Air jeruk menggenang. Mendengar nyaring benda pecah, ibu muncul tergopoh-gopoh. "Ada apa? Ada apa?"
>> Saya nggak ngerasa lelah dan haus ketika membaca ini. Lebih dapet lelah dan hausnya waktu baca yang contoh 'Showing.'
Gari
Justru itu Mas Gari. Lebih dapet lelah dan hausnya karena paragraf itu secara literal melelahkan dibaca.
Poinnya disini adalah bahwa showing yang over itu melelahkan. Dan kalau kita pengen pembaca terus lanjut membaca naskah, yang harus kita lakukan bukanlah membuat mereka merasakan lelah si tokoh saat membaca.
Yang harus kita lakukan adalah bertutur dengan efektif sehingga mereka nggak capek untuk lanjut terus. Kalau perlu sampai nagih-dot-com.
Tampaknya saya masuk ke penulis yang lebih suka "show", bahkan showing yang over /parah. Sampai teman saya terkadang tidak mau baca karena menurut dia terlalu panjang. Tapi saya lebih nyamannya menggunakan "show", meskipun saya terkadang menggunakan "tell". Bagaimana, ya? Apakah Kakak bisa memberi saran kepada saya? :(
[edited for typos and link]
Yang Anda maksud di contoh yang Anda buat bukanlah show versus tell tapi PURPLE PROSE versus KALIMAT LUGAS. Ini hal yang sama sekali berbeda dengan SHOW dan TELL karena inti dari SHOW adalah penggunaan kelima indera dalam deskripsi untuk membuat pembaca ikut MERASAKAN, dan BERADA dalam cerita, bukan hanya MELIHAT dari jauh.
Beda kan, penggunaan kelima indera dengan memasukan kalimat/diksi puitis dan metafora ke dalam paragraf. Yang seperti itu adalah gaya penulisan PURPLE PROSE. Sedangkan TELL yang Anda sajikan di contoh kedua itu sesungguhnya adalah SHOW DENGAN BAHASA LUGAS. Hal ini terlihat dari kalimat:
Budi bergegas menuju lemari es dan meraih botol air jeruk. Sayang, benda itu selip dari tangannya dan jatuh. Kaca berhamburan. Air jeruk menggenang. (TELL: Tangan Budi licin, sehingga botol itu jatuh ke lantai dan pecah.)
Jadi, bedakan antara penggunaan diksi dan penggambaran dengan lima indera ya :)
More about purple prose:
http://theadvancededit.com/academic-writing/purple-prose-what-it-is-and-how-to-avoid-it/
(Maaf, saya agak sulit menemukan ulasan mengenai purple prose yang komprehensif dalam bahasa Indoesia jadi artikel di atas berbahasa Inggris)
Semoga bermanfaat :)
Aku setuju show dan tell ada porsinya masing2. Tapi contoh show versi jelek yang kamu berikan itu bener2 ga relevan, di satu sisi aku ga melihat ada perbedaan kualitas jauh antara tell versi jelek dan tell versi bagusnya.
Posting Komentar