Jumat, 16 September 2011

Wordcount Nation ~ Ancaman, Tantangan, Halangan, Gangguan?

Iyah, saia tahu saia ngaret lagi ngisi blog. Harap dimaafkan.
 
Ada beberapa masalah penting terjadi di kantor akhir-akhir ini. Saia gak akan berpanjang lebar memaparkan, tapi kesimpulan akhirnya adalah, saia hampir pasti menghabiskan lebih dari setengah bulan Oktober untuk pelatihan khusus di Melbourne dan Seoul.
  
Aih, nasib kuli negara.
  
Sebelum saia pergi, saia akan kembali mengisi blog dengan dua catatan. Pertama adalah soal wordcount, dan satu lagi, mungkin soal beberapa tambahan mengenai cara saia menilai suatu buku. Moga-moga lumayan bisa jadi bahan bacaan sebelum saia kembali dengan macam-macam kisah dari Federasi Billabong dan Republik Super Junior.   
 

 
Wordcount.
 
Kalau mendengar kata ini, reaksi pengarang pemula umumnya negatif. "Ngapain sih, nulis pake dibatas-batasi segala?"
 
Jangankan pengarang pemula; yang pernah baca entry-entry lama blog ini dan halaman MukaBuku saia mungkin pernah denger soal A, temen saia yang dari Jerman itu. Selain konsultan, dia juga seorang speechwriter. Waktu saia bilang bahwa saia ngukur penulisan fiksi pake wordcount, reaksi dia sama saja.
  
Terjemahan super bebas dari ucapannya ketika itu, "Sumpeh loh? Kenapa nulis fiksi pake batas kata? Itu kan seni. Ngapain seni pake loe batas-batasi? Loe pengarang, apa pekerja pabrik Audi?" Gitu kira-kira.
 
Nah. Bayangkanlah, sudara-sudari. Bahkan orang Jerman, yang hidup dengan slogan Vorsprung durch Technik ("Advancement through Technology"), sampe bilang begini: Nulis itu seni, jangan dihitung-hitung.
  
Sebagai orang yang awam soal Eropa, saia kira cuma orang Italia yang ga hitung-hitungan soal seni. Ketika saia mengemukakan ini sama A, reaksi dia adalah ngedumel. Ga tau kenapa dia sebel dibanding-bandingin sama orang Italia. Mungkin karena Timnas bola Jerman dan Italia saingan dalam ajang Piala Dunia. Mungkin juga karena menurut persepsi orang Jerman, Orang Italia itu ogeb karena terlalu rajin makan pasta. Atau barangkali dia punya dendam khusus sama Silvio Berlusconi.
  
Tapi itu masalah lain.
  
Intinya, persepsi umum terhadap penulisan fiksi adalah seperti di atas. Seni itu sesuatu yang nggak bisa diukur-ukur. Persepsi ini dipegang bahkan oleh seorang warga dari negeri yang masyarakatnya terkenal sistematis dan doyan mengukur-ukur. Oleh karena itu, untuk apa ada wordcount? Menghalang-halangi kebebasan berekspresi aja!
 
Pada suatu masa saia mengamini pemikiran tersebut. Siapa sih yang doyan dibatas-batasi dalam berkarya? Kalau ekspresi diri dibatasi, ya buat apa? Toh ekspresi yang dipasung tidak menggambarkan diri kita seluruhnya. Limitations defeat the purpose of art. Kira-kira gitu bahasa pretensiusnya.
 
Tapi di kemudian hari saia belajar bahwa pembatasan sebetulnya diperlukan demi karya itu sendiri.
  
Lho kok bisa?
  
Ini ada kaitannya dengan apa yang saia pelajari, yaitu "menulislah untuk orang lain. Jangan cuma untuk diri sendiri." Kalau kita mau berkarya untuk orang lain, kita sebaiknya memberi batas-batas tertentu dalam membuat karya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
  
Yang kualitatif itu misalnya berkenaan dengan SARA, XXX, gore, dan gagasan cerita. Ini mungkin akan saia catat di dalam post lain. Kapan-kapan.
  
Dan yang kuantitatif itu, tentu saja, wordcount. Kalau kita bicara film, durasi. Dan kalau kita bicara komik, jumlah halaman.
  
Mungkin ada yang berpendapat, "Itu kan berarti memenggal ide saia demi kepentingan komersial! Nggak mau ah!"
  
Kalau ada yang lebih suka berpandangan begitu, saia nggak akan nyalahin anda. Toh bunga tabungan saia nggak berkurang kalaupun anda keukeuh. Tapi saia pribadi nggak memandang batasan-batasan umum dalam berkarya sebagai suatu pengorbanan. Saia memandang batasan-batasan dalam berkarya itu sebagai alat untuk mengasah. Dengan diasah, bagian-bagian jelek dari suatu karya akan terkikis, sedang bagian-bagian baiknya akan semakin bersinar.
 
Pandanglah wordcount seperti ini: Kalau kita diberi batas, kita punya tiga pilihan.
 
Pertama adalah mengeluh.
 
Kedua adalah cuek dan menulis sesuka kita, dengan resiko melebihi (atau kurang dari) batas kata. Kalau perlu sampai bikin novel 20 seri yang tiap bukunya setebal ini...
   
"Karena mengalahkan jumlah kata yang ditulis Om Robert Jordan
adalah tujuan hidup saia!"

Dan ketiga adalah berpikir. Bagaimana caranya ngakalin batasan kata itu?
 
Saia memilih yang ketiga. Pasalnya itu yang paling cocok dengan metode sotoy saia. Saia terbiasa untuk bikin plot, rencana, dan kerangka sebelum menulis. Write what you know, kata sebuah nasihat bijak. Bagi saia itu berlaku bukan pada tema atau premis cerita, dalam arti kalau saia seorang ahli matematika, saia cuma bisa menulis buku yang topiknya ga jauh dari matematika.
 
Kalau menurut anda ini salah, dan bahwa ahli matematika cuma oke nulis buku matematika, saia persilakan anda bertanya pada Mbah Lewis Carroll. Sang ahli matematika yang ngarang Alice's Adventures in Wonderland dan Through the Looking-Glass.
 
Buat saia, write what you know berarti sebelum menulis, saia harus sudah tahu secara garis besar cerita ini tentang apa dan mau dibawa ke mana. Dus, batasan kata bukannya menjadi penghalang. Sebaliknya; batasan kata akan memudahkan saia untuk menentukan jawaban dari dua pertanyaan di atas, dan mengembangkannya.
 
Kenapa?
 
Karena, pertama, tahu batasan kata membuat saia bisa memperkirakan jenis dan tingkat kedetilan cerita yang mau saia bikin. Dalam batasan 1.000-3.000 kata, misalnya, saia nggak akan bikin cerita konspirasi lengkap dengan segala tetek bengeknya. Udah pasti itu nggak bakalan tuntas.
  
Kalau saia masih mau bikin konspirasi, lebih baik memilih fokus pada satu bagian atau satu twist yang menarik dari keseluruhan konspirasi. Atau malah, sekalian aja ganti haluan. Jangan bikin cerita konspirasi. Coba cerita romansa. Atau slice of life. Pokoknya genre apapun yang nggak perlu penjelasan jelimet.
  
Kedua, saia bisa memperkirakan plot yang sesuai dengan batasan kata. Kalau untuk novel petualangan 100.000 kata, misalnya, kita bisa bikin si protagonis bertualang ke 5 tempat. Tapi kalau untuk cerpen maksimal 5.000 kata, paling-paling 2 tempat. Kalau di novel, saia bisa taruh dua klimaks atau pengungkapan plot. Pertama waktu si tokoh utama mengunjungi tempat ke-2, yang kedua di tempat ke-4. Di tempat ke-5 udah ending. Kalau di cerpen, klimaksnya mungkin di tempat ke-2, dan cerita diputus tidak jauh dari klimaksnya.
 
Ketiga, saia bisa coba-coba mengukur seberapa cepat alur harus maju, dan teknik apa yang harus digunakan untuk menarik pembaca. Ini kaitannya terutama dengan world- dan character building.
 
Dalam novel yang panjangnya paling sedikit 50.000 kata, saia bisa menarik pembaca ke dalam dunia dan karakternya dengan memberikan eskposisi dan cerita latar. Saia bisa sedikit berpanjang-panjang menjelaskan sistem sihir di dunia ciptaan saia. Saia bisa menyelipkan kisah kecil tentang riwayat si karakter sebelum cerita dimulai. Saia bahkan bisa bikin deskripsi detail tentang mereka.
 
Dan tentu saja, lebih banyak kata berarti saia bisa bikin lebih banyak karakter.
 
Kalau batasan kata saia di bawah 10.000, saia harus kreatif. Nggak mungkin saia pakai cerita latar. Nggak bisa juga saia make deskripsi panjang. Mau gak mau harus menciptakan karakter yang hidup hanya dalam beberapa kalimat, dan menghidupkan satu dunia dalam satu atau dua paragraf.
 
Kuncinya disini, saia kira, adalah dengan menyederhanakan. Udah tahu kita harus bikin cerpen, jangan bikin sistem sihir yang terlalu kompleks, atau karakter yang tampangnya susah dideskripsi. Atau dunia dengan sejarah panjang dan intrik jelimet. Atau simbolisme rumit yang bikin pembaca mikir panjang. Atau karakter dengan sifat dan isu pribadi yang lebih hot dan kompleks daripada kasus Nazaruddin. Atau malah, cerita dengan jumlah karakter bejibun.
  
Semua hal di atas akan bikin kita akan kelihatan seperti fiksifantasier yang paling hardcore, tapi kembali lagi, kita nulis untuk kelihatan hardcore, atau menyampaikan cerita?
  
Intinya, cukup cari satu atau dua karakteristik yang paling mendefinisikan karakter dan/atau dunia itu, dan tancapkan karakteristik itu di kalimat pertama kita bicara tentang si dunia/si karakter. Semakin cepat pembaca punya bayangan apakah si karakter lemah, penakut, pemberani, atau apakah dunia itu muram cerah, subur, tandus, semakin baik.
 
Keempat, batasan kata melatih kita untuk memakai kata secara efektif. Kalau satu perkara bisa sampai dengan lima kata, jangan pake sepuluh.
  
Kalau untuk hal satu ini, saia sudah sering nyampein di repiu-repiu yang saia bikin. Selalu ada cara untuk menyingkat paragraf yang tebelnya lewat dari 15 baris. Caranya gimana? Inget pelajaran guru Bahasa Indonesia waktu SMP. Ambil kalimat utamanya saja, dan tambahkan sekitar tiga atau empat kalimat penjelas. Beres.
  
Kalau saia nggak bisa nemu kalimat utamanya? Ketahuanlah belang anda, bahwa pas pelajaran bahasa Indonesia dulu sering bobo-bobo ciang di kelas. Entah itu atau paragraf anda adalah paragraf deskripsi yang penuh infodump. Dalam kasus kedua, saran saia adalah, jangan rakus menggambarkan segalanya. Ambil deskripsi paling penting saja, dan buang sisanya.
 
"Tapi Mbak," ada yang nyela, seperti biasa, "Kalau gitu nanti jadi kelewat pelit dong deskripsi/narasinya? Gimana caranya narik pembaca ke dalam cerita, kalau deskripsi/narasinya kelewat pelit?"
  
Itulah gunanya gaya bahasa. Dalam hal ini tercakup diksi, pemakaian majas, pemilihan bentuk kalimat, dan elemen-elemen berbahasa lain yang jujur aja saia dah lupa. Gampangnya, silakan saksikan demonstrasi gaya bahasa yang agak dilebay-lebaykan berikut ini.

Gaya Bahasa Fans Chairil Anwar: Perlina asa dicampak belahan jiwa
 
Gaya Bahasa Warga Kosmopolit yang Doyan Bikin Kata Serapan Seenak Udel: Diputus pacar, ia mengalami desperasi.
 
Gaya Bahasa Cinta Laura: Dia desperate karena break-up sama boyfriend
 
Gaya Bahasa No Bullsh*t: Ia putus asa ditinggal pacar
 
Gaya Bahasa "Nah, Ini Dia!": Nelangsa ati ditinggal bini
 
Gaya Bahasa Celana Dalam Kembang-kembang Lebay Berbunga-bunga: Ia tercampak ke dalam jurang keputusasaan terdalam ketika ia mendengar kekasihnya pergi dan selamanya tak akan kembali lagi.
 
Gaya bahasa nggak terbatas pada enam ini, tentu saja.
  
Yang perlu kita ingat, gaya bahasa yang berbeda akan menarik pembaca yang berbeda pula. Jadi kalau memungkinkan, cocokkan gaya bahasa dengan jenis cerita, pembaca yang ingin kita sasar, dan tentu saja, keadaan jiwa kita sendiri.
  
Kalau ceritanya romantis dan sasarannya remaja, (dan si penulis sendiri berjiwa remaja,) mungkin tepat memakai gaya Cinta Laura. Kalau ceritanya komedi romantis dan si penulis kebeneran ngocol, gaya "Nah, Ini Dia!" bisa menjadi pilihan. Kalau ceritanya romansa tragis dan si penulis kebetulan tipe manusia fatalis, bahasa Fans Chairil Anwar plus metafora-metafora gelap bisa digunakan untuk meningkatkan suasana tragis.
  
Dan tentu saja, gaya bahasa No Bullsh*t selalu bisa menjadi pilihan padu-padan netral untuk cerita dan pembaca dan penulis kayak apapun. Persis kayak baju/celana warna item.
 
Perpaduan antara jenis cerita, sasaran pembaca, dan gaya bahasa yang tepat akan menciptakan suasana cerita. Lihat kembali contoh-contoh di atas, dan bacalah pelan-pelan. Kerasa kan, kalau di tiap kalimat ada suasana yang beda? Padahal semua kalimat itu menyampaikan sesuatu yang sama. Suasana inilah yang akan merangsang imajinasi pembaca untuk menciptakan sendiri bagian-bagian yang nggak kita ceritakan/beri deskripsi.
  
Sebagai contoh, kita nggak tahu keenam kalimat itu diucapkan oleh orang kayak apa. Saia nggak ngasih deskripsi sama sekali siapa dan bagaimana pengucapnya. Tapi saia yakin, waktu membaca kalimat pertama, di benak anda muncul bayangan bahwa yang mengucapkannya adalah seorang penyair. Mungkin perempuan yang berkarakter romantis-melankolis. Sedangkan pas membaca contoh “Nah, Ini Dia!”, barangkali anda membayangkan pengucapnya adalah laki-laki yang tampangnya gak jauh-jauh dari Alm. H.Benyamin Sueb.
  
Kurang lebih begitulah alasannya saia menyukai batasan kata dalam berkarya. Batasan adalah tantangan, yang merangsang kita untuk berpikir dan menjadi kreatif. Seperti kata Maya Angelou yang saia kutip seingatnya: you cannot use up creativity; the more you use it, the more you have it.
  
Oleh sebab itu, kalau ada yang punya tips-tips kreatif lain untuk mengakali wordcount, jangan segan-segan dibagi di komentar.
  
Semper Excelsior,
 

 
 
Luz Balthasaar

12 komentar:

Anggra mengatakan...

per-pertamax?

Mengakali WC? Belum bisa banyak komentar karena masih belajar. heheh... Sementara ini, aku sering-sering bikin flash fiction aja buat ngelatih :D

Anw, itu masih ada CD kembang-kembang? =))

Anonim mengatakan...

Ha!!! Ngaku ternyata kalo ngaret hehehe...

Setuju banget-banget sama post ini. terutama kalo tulisan kita emang didesain untuk dibaca sama orang laen. Membuat pembaca terbantu dengan penyajian yang "pas" jauh lebih baik daripada pamer berlarik-larik kalimat tapi intinya cuma seuprit (ato malah gak ada).

Saya sendiri ngakalin wordcount di editing. Tapi, cara ini lama kelamaan saya tinggalin. Selain karena sering gak tega mangkas kalimat favorit, juga karena saya lebih suka menggunakan wordcount sebagai sarana kreatif melatih diri, untuk membuat kalimat-kalimat efektif agar pembaca cepat masuk dan melebur di dunia yang saya buat.

Soal Wordcount terkait sama world & character building... WhoA! saya baru sadar tuh!. Seperti biasa Miss B, "mencerahkan!" :D

^^d
christ

Anonim mengatakan...

Kalo saya pas mulai malah kepikiran ni mo nulis apa lagi yaaa, perasaan kayanya ngga bisa mencapai batas yang ditargetkan, tapi ketika tulisan makin maju pas jumlah katanya udah sekitar 40 persen, terus ide-ide baru rebutan nongol baru deh ngerasa kayanya kuota harus ditambah...heee



Zenas

Luz Balthasaar mengatakan...

@Anggra: Nggak Jeng. Saia pake biosolar, bukan pertamax... #garing

Flash fiction juga satu cara, walau aku ngerasa flash fiction jumlah katanya terlalu dikit (100 kebawah kan klo ga salah?) untuk bisa belajar bikin karakter dan worldbuilding.

Sebab itu, flash fiction mungkin paling bagus untuk latihan berhemat kata dan timing dalam menyampaikan twist.

Dan itu CD memang masih relevan.

Mengapa?

Karena dimana ada WC, disitu ada CD. #klop

***

Om Christ: Namanya juga Kuli Negara. Karet adalah budaya...

Saia sendiri juga kadang sayang mangkas kalimat favorit. Tapi kalau ketiadaan kalimat itu bikin aliran ceritanya lebih baik, ya udah. Saya lebih memprioritaskan aliran cerita dibanding satu kalimat soalnya.

***

Om Zenas: Saia ada trik manjur. Selama menulis, tulis ide2 yang berlebihan itu di file lain, tapi jangan dipake semuanya.

Begitu nyampe ending kita akan ngelihat sendiri mana ide yang mau kita pake dan mana yang nggak.

Lagipula kalau ada yang ga kepake ga sayang juga. Kan dah ketulis. Bisa dipake buat cerita lain.

Juno Kaha mengatakan...

Auauauauau, saya tidak pertamax~

Ini harusnya dilink buat dijadiin bacaan peserta FF2011 yg bengong2 bahagia gak tahu harus berbuat apa hendak kemana dengan siapa menunggu pengumuman tgl 1 Oktober ntar. Krn gw liat, masih banyak yg bermasalah dengan kuota 3000 kata. Yeah, bahkan gw pun bermasalah. Gw aku itu. :P :P

*teringat sebuah cerita yg gw lupa nomornya di FF2011* Yeah. Dia. Terutama dia harus baca ini. Gw rasa.

Anyway, mana ini kok gak ada tombol "+1" padahal Blogger ini salah satu kedoknya Google dalam usaha menguasai dunia??? Saya mau "+1"-kan posting ini! NAO!

Dan soal telat ngisi blog ... Erm. Well. Gw juga kapan terakhir ngisi blog. orz

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Itu di laman depannya ada +1 kan? Ga tau kenapa ga nongol di halaman full-nya. T_T

Link blog saia ke Kastil Fantasi kan sudah ada. Dan kayaknya gak boleh ngiklan posting baru disana.

Ah well.

Mereka yang berminat membaca analisisotoy saia tahu harus mencari ke mana. :D

Juno Kaha mengatakan...

Woot, iya. Ada. Sudah saya "+1"-kan barusan.

Duh. Gw bener2 gak telaten ngoprek blog gini. :| :|

Hehe.

Anonim mengatakan...

*wow, warna blog-nya jadi asyik

hmmm... jangan2 karena gaya menulisku yang "no bullsh*t", banyak orang yang sering nyangka aku ini cowo di forum2?

wkwkwk~

hmmm, kekny bagian peringkasan kata demi cerita it harusnya dibikin satu section tersendiri, yg berjudul: How To Write A Nice Short-Story (atau semacamnya XD).

setelah baca2 cerpen2 di fanfes kemarin, ak sebenarnya pengen bikin paduan "cara menulis cerpen yg baik dan bijaksana", tapi belum jadi2 sampai sekarang, soalny belum ada banyak bayangan mo diisi apa aja, wkwkwk~

Luz Balthasaar mengatakan...

@Ivon:

Saia menganti warna dalam rangka membuat blog ini bisa diakses via mobile phone. >_<

Dikau bikin saja post "how to write a short story" di blog sana. Kalau mau pake sebagian artikel ini, silakan aja. Moga2 bisa nambahin isinya.

Ntar kulink dari post ini klo dah jadi. ^^

Anonim mengatakan...

Just like what my friend used to say: Constraints breed creativity. Kalo emang mau jadi lebih berkembang, creative-wise, harusnya para penulis lebih membuat batasan pada diri/ karyanya.


Ardani (yang lagi males sign in google karna make warnet)

Luz Balthasaar mengatakan...

@ardani, pada dasarnya... teman anda benar.

Kalau main game gak pake handicap gak seru.

#nyambungtipis

Anggra mengatakan...

biosolar dan wc itu asli crispy, sis. (tapi toh saya ketawa juga XDD)

mungkin peraturan pertama ngakalin WC adalah memilih alur cerita yang tepat. jangan kepanjangan, jangan kedikitan juga.
sama halnya kita mau pake tissue di wc, jangan ngambil kedikitan, bisa-bisa kurang buat c*b*k. kalo kebanyakan bisa2 diomelin orang karena ngabisin jatah XD

*mulai ga nyambung*

*jedotin kepala karena ini ocehan buat diri sendiri juga*