Selasa, 16 Maret 2010

Antara Aku dan Dia ~ Memilih Point of View dan Teknik-Teknik Berselingkuh

Point of View, atawa Bahasa Belandanya adalaha Suduta Pandanga, adalah salah satu hal yang perlu kita tentukan saat mulai menulis fiksi fantasi. Atau cerita apapun, deh. Memilih Point of View ini menurutku kayak milih suami atau istri, minimal pacar. Sekali milih, you're stuck with it till the end of the story. Dan seperti halnya berselingkuh, sekali kita sudah memilih satu tapi mencoba-coba pindah ke lain hati, you carry the risk of being screwed, big-time. 

Perhatikan bahwa aku bilang, you carry the risk. Perselingkuhan sudut pandang memiliki resiko, tapi bukannya pasti menghancurkan cerita anda. Seperti semua perselingkuhan, memadu sudut pandang memerlukan teknik dan akal-akal (minyak) bulus.



Sebelum kita membahas akal-akalan, ada baiknya kita membahas informasi dasar terlebih dahulu. Apa itu sudut pandang? Buatku sendiri, sudut pandang adalah jawaban dari pertanyaan "Siapa yang bercerita?" Jawaban itu bisa berupa, "Aku", "Dia", dan "Kamu." Dari ketiga jawaban ini, "Kamu" adalah yang paling jarang dipakai. Jadi untuk saat ini, aku akan mencatat tentang "Aku" dan "Dia" saja. 

Jika kita menjawab bahwa yang bercerita adalah "Aku", maka buku-buku referensi dan para  penganut taat teori bercerita akan menyebut bahwa kita telah memilih Sudut Pandang Orang Pertama. Atau, First Person Point of View. Ew, kedengeran canggih. Apalagi kalau diucapkan dengan aksen British nan Sotoy itu. Maksudnya apa nih? 

Maksudnya adalah, pembaca akan merasa cerita itu seolah dituturkan pada mereka oleh seseorang yang mengalami sendiri kejadian di dalam cerita, entah sebagai tokoh utama atau aktor sampingan. Karena isi penutur mengalami sendiri kejadian itu, maka ia akan bertutur pada anda menggunakan kata, "aku."

Apa enaknya memakai sudut pandang ini? Kemudahan untuk memasukkan emosi yang dirasakan si tokoh di dalam cerita. Dunia diceritakan di dalam persepsi si tokoh. Ini menguntungkan jika kita mau memasukkan muatan emosi dan membuat pembaca ikut merasakan apa yang dirasakan si tokoh. Pilihan ini juga membantu untuk memberikan rasa cerita yang konsisten. Jika kita ingin membuat cerita yang  terkesan 'gelap dan muram', menuturkan cerita lewat sudut pandang seseorang yang berkepribadian 'gelap dan muram' dapat membantu menghidupkan kesan itu secara terus-menerus sampai akhir cerita. 

Setelah itu, tinggal pilih. Apakah anda ingin cerita dituturkan oleh si tokoh sendiri, atau tokoh sampingan? Jika anda pingin pembaca merasakan emosi si tokoh utama, pilih yang pertama. Jika anda ingin mengagungkan atau mencela atau menilai tindak-tanduk si tokoh utama melalui persepsi orang lain, (baca: kritikus mode on), atau jika si tokoh utama memiliki kepribadian yang tidak sesuai dengan suasana cerita yang anda inginkan,  (tokoh utamanya pelawak ngocol abis, tapi anda mau cerita ini tragis dan sinis,) silakan pilih yang kedua.

Pilihan sudut pandang orang pertama ini tentunya memiliki kekurangan yang jelas: kita susah menceritakan apapun yang tidak diketahui oleh si tokoh. Akibatnya, penggambaran dunia jadi terbatas.

Satu lagi, dunia cerita harus konsisten dipandang melalui kacamata satu tokoh. Seorang sinis misalnya, nggak mungkin mendeskripsikan setumpuk bunga mawar sebagai, "kuntum-kuntum merah yang merekah dengan indah." Lebih mungkin kalau dia bilang, "kumpulan beludru mati, wangi, dan duri."

Kesimpulan: pilih sudut pandang ini kalau kita mementingkan suasana cerita dan emosi si tokoh di atas gambaran dunia, dan jika dunia cerita kita tidak perlu digambarkan mendetil.

Untuk jawaban kedua, "Dia," maka kita memilih Sudut Pandang Orang Ketiga. Atau, Third Person Point of View. Jika anda memilih ini, anda akan merasa bahwa cerita itu seolah-olah dituturkan oleh saksi  bisu atas kejadian di dalam cerita. Karena ia cuma saksi bisu, tidak terlibat dan tidak mengalami sendiri kejadian itu, ia akan menyebut tokoh-tokoh cerita dengan "dia." 

Saksi bisu ini ada dua macam. Pertama, saksi yang tahu segalanya, alias Third Person Omniscient. Seperti Tuhan, ia bisa menggambarkan semua hal di dunia cerita. Termasuk isi kepala para tokoh. Ini bagus jika cerita kita menuntut banyak deskripsi, atau jika untuk memahami cerita si pembaca harus memahami isi kepala banyak tokoh. 

Kelemahannya, kalau si Tuhan ini terlalu sering berpindah-pindah penggambaran, pembaca akan kesulitan memahami apa yang ingin ia sampaikan. Berikut ini contohnya, kuambil dari buku The Chronicles of Willy Flarkies: Petualangan Memasuki Dunia Upside Down karya Satrio Wibowo...

Willy hanya tersenyum kecut dan kembali ke tempat duduk semula. Johnny sungguh kaget karena dia tak mengira Willy berasal dari dunia atas. Willy dan Johnny keluar dari auditorium dan kembali ke aula besar. Johnny masih merupakan siswa terpopuler jadi dia memisahkan dirinya dari Willy dan dengan para gadis dan pergi ke kafetaria. Willy sendirian sekarang dan dia hanya berjalan-jalan hingga kelas petang dimulai. Ketika dia jalan-jalan sendiri dia melihat Rosie sendirian di kursi jadi Willy dengan reflek menuju ke sana dan duduk di sebelah Rosie. Jantung Willy berdebar cukup keras karena ini pertama kalinya dia duduk dengan Rosie.


Ini kutipan dari satu paragraf utuh. Susah dipahami kan, paragraf ini intinya ngomongin apa? Jelas aja. Subyek penceritanya loncat-loncat hampir pada tiap kalimat, begitu juga apa yang diceritakan. Bosku di Blog Fikfanindo punya satu kata efektif untuk menggambarkan paragraf seperti ini: schizophrenic.
  
Dan kedua, kita bisa memakai alternatif saksi yang merasuki salah satu tokoh cerita, atau Third Person Limited. Ia ada di dalam kepala si tokoh cerita, tapi cuma menjadi pengamat bisu. Jadi, ia bercerita dengan menggunakan kata "dia", tapi tidak menceritakan hal apapun yang tidak digambarkan oleh si tokoh. 

Pada dasarnya, ini sudut pandang orang pertama, tapi memakai kata "dia". Pengarang menceritakan dunia hanya sebatas yang diihat si karakter cerita. Namun, suasana cerita itu nggak terlalu terikat pada emosi dan kepribadian si tokoh, karena cerita itu dilihat dari kacamata pengarang.

Deskripsi dunia juga jadi terbatas pada apa yang dilihat si tokoh, tapi  pengarang lebih bebas menggambarkannya tanpa perlu terlalu mengikuti sifat si tokoh. Sah-sah saja kalau si tokoh orang sadis, tapi  di dalam cerita ada tulisan, "ia menoleh, dan melihat kumpulan mawar merah yang harum.

Begitupun, kalau dibilang, "Ia menoleh dan melihat kumpulan mawar berwarna darah dan penuh duri," ini akan memberikan deskripsi sekaligus memberi gambaran terhadap kepribadian si tokoh.

Dengan Third Person Limited, kebebasan penggambaran dunia jadi terbatas. Tapi ini berguna untuk mencegah skizofrenia bercerita seperti yang kucatat di atas. Pilihan sudut pandang ini adalah yang menurutku paling fleksibel dan mengakomodasi semua kebutuhan--suasana, deskripsi, rasa cerita, kepribadian. Sudut pandang ini cocok untuk cerita yang butuh deskripsi banyak tapi juga mementingkan kepribadian karakter. Atau juka penulis ingin membuat cerita lebih kaya dengan sekaligus memberi deskripsi dan menunjukkan sifat karakter pada waktu bersamaan.

Nah, setelah kita memahami dasarnya, bagaimana kalau kita mau berselingkuh, atawa poligami dengan beberapa sudut pandang? Bisa saja. Salah satu teknik yang sering kulihat adalah memakai First Person pada bab-bab dimana yang bercerita adalah tokoh utama, lalu memakai sudut pandang Third Person Omniscient saat menceritakan tentang tokoh-tokoh lain di tempat di mana tokoh utama tidak hadir. Teknik ini kutemukan di Maximum Ride: Eksperimen Malaikat karya James Patterson.

Teknik lain lagi, hanya memakai satu sudut pandang, entah First Person atau Third Person Limited, tapi tokoh yang menjadi "aku" atau "dia" berganti pada setiap bab. Banyak novel yang memakai cara ini, jadi aku nggak perlu memberi contoh. 

Begitupun, aku ingin menyebut bahwa aku memakai teknik seperti ini di dalam proyek novelku sendiri, tetapi dengan sedikit twist curang. Sekilas aku tampaknya memakai Third Person Limited, padahal sebetulnya itu Third Person Omniscient. Sebab itulah aku kurang setuju pada saran untuk menceritakan paragraf pertama itu melalui sudut pandang tokoh cerita. 

Teknik selingkuhku adalah seperti berikut: jika kita menggunakan Third Person Limited, satu kendalanya adalah kita susah memberikan penjelasan panjang di tengah penggambaran situasi dimana seharusnya para tokoh bergerak cepat, misalnya, pada saat situasi genting atau saat perkelahian. Sekalipun kita tidak terbatas pada emosi tokoh, kita terbatas pada bingkai ruang-waktu mereka.

Akibatnya, kalau kita ngasih penjelasan panjang pas situasi genting, para pembaca bakal protes, "Oi, kelamaan tuh penjelasannya! Keburu ketabok jagoannya!" atau "Buset, penjelasan apaan nih, sempet-sempetnya sebelum mokad dia nyerocos sepanjang itu!"
 
Sebab itulah aku memakai Third Person Omniscient yang bisa keluar masuk pikiran dan bisa juga berada di luar persepsi ruang waktu si  tokoh. Namun, untuk menghindari skizofrenia akut, aku membatasi bahwa sementara aku boleh mendeskripsikan apa saja, aku hanya boleh masuk ke kepala satu tokoh. Pada saat cerita memerlukan penjelasan rada panjang, aku bisa keluar dari bingkai waktu  si tokoh dan memberikan penjelasan, bahkan flashback. Persis seperti yang kulakukan di cuplikan ceritaku itu, tanpa harus kena protes "penjelasaannya kelamaan!"

Resikonya, mungkin kena protes dari penulis yang terpaku mati pada pakem "alur harus maju" "semua harus digambarkan dalam real-time" dan "sudut pandang harus konsisten." Mungkin juga pembaca jadi sedikit pusing karena tidak terbiasa, tapi selama mereka nggak blank sama sekali, itu bukannya tidak bisa diakali dengan penataan struktur kalimat. Dan terbukti, banyak juga yang paham dan memuji teknik ceritaku.

Granted, not everyone can pull this off. But if I can, why the hell not?

Tentu, ada satu trik penting lagi yang perlu diingat supaya perselingkuhan ini berhasil. Pada saat aku berada di dalam kepala si tokoh maupun pada saat aku berada di luar kepala si tokoh, aku harus bercerita dengan kepribadian si penutur, bukan dengan kepribadian si tokoh, supaya kesannya cerita itu dituturkan oleh pribadi yang konsisten, nggak ganti-ganti antara si pengarang dan si tokoh. Persepsi, kepribadian, maupun perasaan si tokoh, adalah obyek cerita. Sedangkan aku, pengarang, penutur, adalah subyek cerita. Dua hal yang terpisah. Dalam sudut pandang manapun, akan sangat membantu jika penulis sepenuhya menyadari hal ini.

Aku akan mencatat soal pemisahan kepribadian tokoh dan pengarang ini di lain waktu. In the mean time, selamat berselingkuh.



Luz Balthasaar

52 komentar:

Anonim mengatakan...

Hm, kalo liat cuplikan di atas si Willy ni emang berpotensi bikin heboh...

Heinz

Luz Balthasaar mengatakan...

@Heinz...

Itu belum apa-apa. Bayangkan 385 halaman isinya semua paragraf kayak gitu.

Oh, the horror!

Abis nyetor repiu Arquella, aku bener-bener harus nulis sesuatu tentang harubiru penulis Fiksi Fantasi Remaja.

Juno Kaha mengatakan...

Salah satu komen di Pulpen (lirik satu org spesifik dari yg udah komen di atas :D :D) mengajari gw untuk memperhatikan subjek, jangan pindah2 terlalu liar, jadi gw lbh waspada jgn sampe bkn paragraf yg schizophrenic (susah nulis istilah itu).

Gw jd penasaran review ttg buku yg disebut2 di atas. :D

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun...

Well, yeah, I told ya that, hehe. Kalau penasaran sama Willy, tunggu ajah. Nanti paling aku bikin review buat Goodreads...

Alex B. Cruz mengatakan...

hahaha... gw juga kgak sabar baca repiu-nya c willy...

kita kyknya sama mba dalam hal penerapan sudut pandang, sedikit curang tapi itu cukup efektif banget buat nulis. :p

Luz Balthasaar mengatakan...

@Afandi M...

Ya... if you can, why the hell not? Wekeke... yang penting asik ditulisnya, dan yang baca juga senang. Mau caranya gimana, suka-suka kita...

Untuk menulis, kita bisa sedikit Machiavellian. The end justify the means.

Afandi M. mengatakan...

Hahaha... Betul sekali mba, tergantung kreatifitas.

Pengen tau kabarnya willy flarkies yg d ripiu ama mas pur.

Klo cara n teknik penulisa willy yg sperti di atas. Buat gw geleng2 ama orang n editor yg muji2 c willy.

Luz Balthasaar mengatakan...

@ Afandi M...

Yah, kita tunggu Om kita sajalah, apakah Beliau "tahan" dengan Willy...

Soal editor dan orang yang muji2 Willy, itulah. Ini makanya aku benci sama endorsemen. Lies won't do the young author any good.

Afandi M. mengatakan...

Hahaha... Jadi pengen ngakak pas baca endorsment di covernya. Apalagi yg ngasih endorsnya penulis yg udah tenar. :p

fiksimetropop mengatakan...

tetep nunggu ripiu lengkapmu, Luz...

Luz Balthasaar mengatakan...

@Mas Afandi...

Barangkali Juga Tyas Palar-nya cuma 'dipaksa' sama publishing company buat bikin endorsemen. But whatever the reason is, this practice has got to stop.

Daripada kita bilang pada si author muda bahwa dia adalah "anak terpilih/indigo/dpesial yang istimewa dibanding anak lain bisa bikin novel "liar"" padahal kenyataannya novel itu utter crap yang bisa ditulis sama anak 13 tahun manapun yang mau nulis, lebih baik kita bilang sama dia bahwa, "Kamu punya semangat, dan itu bagus. Sekarang mari kita uji semangat kamu dengan melihat apakah kamu bisa berkembang. Ayo nulis lagi yang lebih bagus!"


@Mas Ijul...

Ya... well, okay, aku coba bikin repiu si willy buat goodreads. Doain aku masih waras pas kelar baca yak, kakakaka...

Afandi M. mengatakan...

Wah, sepertinya mba luz kita ini menggebu-gebu sekal. Hehehe...
Yah namanya juga penerbit yang kadang nebar sensasi, yang nanti ujung-ujungnya duit juga, bukan kualitas.

Fenny Wong mengatakan...

hehe.. mbak Luz... soal sudut pandang nih

selama ini mencoba cobi,, yang paling nyaman buatku sih pakai teknik Third Person Limited, tapi nggak limited2 amat juga.
Maksudnya gini... jadi kan di cerita itu ada bagian2 yang dipisahin sama spasi 'Enter' yang banyak itu tuh.. Di setiap bagian atau setiap beberapa bagian, aku ganti tokoh fokusnya. Jadi misal di bagian pertama, pakai Third Person Limited dengan fokus tokoh A, lalu bagian selanjutnya aku pakai fokus tokoh B. Tampaknya sejauh dilakukan di satu bagian yang berbeda, dan bukan dicramp dalam satu paragraf kayak yang Willy ntu, sejauh ini tidak memusingkan... tapi ini masih masuk limited dan bukan omniscient kayaknya.

hehehe, hanya share ajah :)

Luz Balthasaar mengatakan...

@Fenny,

Kayaknya begitu juga bisa. Ini yang Fleur atau yang Lapis Lazuli?

Mau pake limited atau omniscient, atau mau selingkuh, buatku sih ga masalah. Just find out what works for you.

Danny mengatakan...

Hmm... aku juga pake tuh caranya missWong. Salah satunya buat menyiasati tempat2 ato kejadian2 yang tokoh utama ga tau.

Fenny Wong mengatakan...

Mulai dari Lapis aku udah pake kayak gituu.. sampe Fleur ini juga pake kayak gitu. Aku paling nyaman pake itu dehh :D

Anonim mengatakan...

Sebenernya sih yang masalah dari cuplikan paragraf si willy itu selain POV, juga intinya. Ada si Willy, si Joni, si Rosie, semua diulek dalam kalimat-kalimat singkat sebanyak satu paragraf 10 baris. Edun. Bener-bener gak sabar muncul di fikfanindo.

Heinz.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Wong, Danny,

Kalau memang udah cocok, ya jalan aja. tapi coba deh kali-kali jajal POV lain, buat ngerasain bedanya. Percobaan asik juga kok itu ^^

@heinz, ya, marilah kita tunggu. Moga-moga kita bisa "belajar" dari novel satu itu...

Anonim mengatakan...

Emang sih mba, sudut pandang orang pertama sangat superior buat membangun suasana dan menggali perasaan dan pikiran tokoh. Kalo berhasil, ceritanya bakal kuat banget. Kalo gagal, capek banget bacanya, kayak The Painted House karya John Grisham. Coba baca deh. Michael Crichton pernah berhasil dengan gemilang di Rising Sun, tapi hampir gagal di Prey. Di Prey awalnya dataaaaar dan cape, tapi lama-lama jadi menarik. Sudut pandang orang pertama ini emang yang paling susah, empat kali lebih susah daripada sudut pandang orang ketiga, tapi herannya sering dipake sama penulis pemula. Termasuk saya =)) Dan bikin cerita dengan orang pertama ini capek juga, karena waktu nulis harus berubah jadi tokoh utama, yang 100% berbeda dengan penulis (kecuali si aku adalah alter ego si penulis, gwa ha ha ha)

BTW, first person ada yang skizofrenia juga loh. Dari awal sudut pandangnya si aku adalah satu orang aja. Tetapi, di bab akhir malah berubah jadi orang lain. Jreeeeeeng. Otak saya jadi hang sesaat. Masih mending kalo si aku ganti-ganti tiap bab secara konsisten.

Kalo si Willie, mungkin bukan skizofrenia kali mba. Mungkin cuma belum bisa bikin paragraf yang baik. Di contoh paragraf yang mba kasih, jelas banget itu ada lebih dari satu ide utama di sana. Karena itu yang baca jadi ga ngerti. Kalo aja dia pecah jadi beberapa paragraf dan bikin transisi antar adegan, mungkin akan lebih baik. Saya nemu ada beberapa ide utama di sana:

Willy hanya tersenyum kecut dan kembali ke tempat duduk semula.

Johnny sungguh kaget karena dia tak mengira Willy berasal dari dunia atas.

Willy dan Johnny keluar dari auditorium dan kembali ke aula besar.

Johnny masih merupakan siswa terpopuler jadi dia memisahkan dirinya dari Willy dan dengan para gadis dan pergi ke kafetaria.

Willy sendirian sekarang dan dia hanya berjalan-jalan hingga kelas petang dimulai. Ketika dia jalan-jalan sendiri dia melihat Rosie sendirian di kursi jadi Willy dengan reflek menuju ke sana dan duduk di sebelah Rosie. Jantung Willy berdebar cukup keras karena ini pertama kalinya dia duduk dengan Rosie.

Masing-masing ide utama di atas bisa dikembangin lagi jadi satu paragraf utuh. Dan antar paragraf dikasih transisi adegan supaya bisa lebih enak dibaca. Maaf saya ga bisa ngasih contoh konrit karena saya ga tau gambaran utuh adegannya.


Adrian.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Adrian, justru cara si willy flarkies itu yang namanya skizofrenia. Skizo dengan dissociative identity disorder (istilah awam-tapi-salahnya adalah kepribadian ganda) itu beda lo.

Klo skizo, dia karaktristiknya menyampaikan gagasan secara ga teratur, numplek blek. Kayak si Willy itu. Dari Willy nyengir, trus Johnny keluar dari auditorium, trus Willy ketemu Rosie, trus gini, trus gitu. Sambungin aja semua kejadian seturut apa yang muncul di kepala si pengarang, tanpa diolah menjadi runut yang enak.

Kalau dia ujug-ujug ganti sudut pandang, itu baru bisa dibandingkan dengan dissociative identity disorder.

Anonim mengatakan...

wah jdi gk sabar nih pengen liat reviewnya^^ emang sih willy flarkies tuh banyak bgt paragraf panjang trus disana-sini...gitu dah, tpi pengen tanya dong luz, emang klo buat novel ada cara2nya y.."


Roy.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Roy, ada dunk caranya. Dan caranya nggak satu.

Ada banyak cara buat bikin novel. Dan yang kucatat di blog ini adalah dokumentasi semua hal yang kukerjakan selama mengerjakan naskah pertama yang niat kuterbitkan. Dengan kata lain, "caraku."

Anonim mengatakan...

ni yg punya blog jgn asal melecehkan yg nulis willy flarkies dunk! menulis novel yg berisi fantasi tuh lebih sulit daripada menulis comment yg isinya merendahkan penulis! w sebagai fans kesal lihat comment kaya gini : Daripada kita bilang pada si author muda bahwa dia adalah "anak terpilih/indigo/dpesial yang istimewa dibanding anak lain bisa bikin novel "liar"" padahal kenyataannya novel itu utter crap yang bisa ditulis sama anak 13 tahun manapun yang mau nulis, lebih baik kita bilang sama dia bahwa, "Kamu punya semangat, dan itu bagus. Sekarang mari kita uji semangat kamu dengan melihat apakah kamu bisa berkembang. Ayo nulis lagi yang lebih bagus!"

Luz Balthasaar mengatakan...

@Anonim, tentu saja, menulis fiksi fantasi itu sulit. Aku tahu karena aku juga nulis. Dan percaya deh, aku juga udah sering nerima hujatan selama 10 tahun aku belajar nulis.

Dan selama belajar, aku menemukan bahwa kalau karyaku masih jelek, lebih baik kalau orang-orang jujur bilang karya itu jelek. Kalau karya itu jelek tapi orang bilang bagus karena ngerasa "nggak enak", itu namanya penipuan.

Berkaitan dengan itu, biar kuulangi kalau Willy Flarkies belum bisa disebut bagus. Anak umur 13 tahun manapun bisa bikin novel seperti ini jika mereka mau.

Mungkin ada fans seperti anda yang sakit hati karena aku bilang begini. Tapi apakah anda lebih bahagia kalau aku berbohong, dan bilang karya ini bagus?

Anonim mengatakan...

Wah ketauan deh kalo si Luz ni Skizo & bego. Keliatan lah kelasnya...10 taun cuma ubak-ubek belajar nulis... bocah penulis Willy Flarkies mah umur 12 udah berani nulis dlm b. Inggris lagi. Kasian deh si Luz..cuma bisa cuap2 ngelepas rasa frustasi, iri & dengki di blog kumelnya sementara si bocah tgl 23 April bakal diliput pers di World Book Day. Rektor PTN di Jkt nawarin beasiswa & Direktur Galeri Nasional nawarin pameran lukisan bulan Juli nanti.

Luz...udah lu sungkem sono ama tuh bocah...!!!

Luz Balthasaar mengatakan...

@Anonim,

Hak anda sih bilang saya kasian, skizo dan bego, mencap saya iri, bahkan nyuruh saya sungkem. Sama seperti hak saya bilang Willy bener-bener nggak bagus.

Namun, waktu akan membuktikan. Anda boleh lihat apakah saya sekedar iri atau berkata benar dengan melihat reaksi pasar akan Willy Flarkies. Kalau buku ini menjadi best seller dan reaksi pasar positif, saya bersedia minta maaf. Tapi kalau tidak...

Soal belajar bertahun-tahun, mengapa saya harus malu? Saya sudah belajar selama itu dan masih akan terus belajar. Kalau anda sudah lebih dewasa, saya yakin anda akan memahami apa itu lifelong learning.

And actually, I am quite capable of writing in good English. I work as a speech and correspondence writer for a certain public figure in Jakarta. Dealing with the press and important people, both Indonesians and foreigners, is daily work for me.

Perlu terjemahan?

Anonim mengatakan...

Banyak yang cari sensasi dengan melecehkan orang lain yang sedang meraih sukses, istilah kerennya " Numpang ngetop ," gituh.

Anonim mengatakan...

Polemik yang mubazir...memang banyak orang cari sensasi dengan melecehan orang lain yang sedang menikmati kesuksesan, bahasa Urdunya sih " Numpang beken. "


Dion

Luz Balthasaar mengatakan...

@Dion, dan Anonim lain,

Trust me, saya nggak ada perasaan iri sama Bowo pribadi. Jika dia mau sukses, all the best for him. Saya sudah melihat lukisan yang bersangkutan. Saya pikir, lukisannya justru lebih layak dipuji daripada novelnya.

Yang saya sebut jelek adalah karya. Novelnya, yang menurut saya belum bagus. It's the work, not the person.

Soal cari sensasi, saya tidak perlu melakukan itu. Saya cukup terkenal di dalam lingkaran kerja saya sendiri, bahkan hingga saya ditawari mengambil beasiswa dari Korea University di Seoul.

Oleh karena itu, jika anda masih ragu akan niat saya, lihatlah reaksi pasar. Konsumen adalah juri yang nggak berbohong.

Saya ulangi, kalau itu jadi bestseller dan mendapat reputasi baik, saya akan minta maaf.

But then, I highly doubt it.

Anonim mengatakan...

Just wait and see ok!

Elthewynn mengatakan...

*cekikikan lyat kritikus dan penggemar perang pendapat*

Kayaknya beberapa orang itu temen-temennya juga deh, Bone. Aku malah kepikiran kalau yang post diatasku ini penulisnya sendiri >_<

Luz Balthasaar mengatakan...

@Elthewynn, iyalah, jelas itu teman-temannya, atau sodaranya, atau editornya, hehehe.

Kelihatan kelasnya, memang.

Tapi biarlah. Setelah mereka lihat respons pasar biarlah mereka menilai sendiri apa aku ngomong beneran atau cuma iri. Syukur-syukur juga kalau mereka jadi sadar betapa norak dan kekanak-kanakannya posting-posting mereka diatas.

Anonim mengatakan...

Liat polemik di atas somehow jadi inget kasus si Mantraboy...
Tsk tsk tsk, sungguh cara pembelaan karya yang aneh.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Anonim, nggak usah disebut polemik sih, toh masalahnya nggak besar.

Membela karya adalah hak pengarang. Caranya pun terserah. Mau cara intelek, bisa. Mau cara norak, boleh, hehehe.

Mempermalukan diri sendiri adalah hak prerogatif orang, kan? ^^

Anonim mengatakan...

@Luz Balhasaar,gua emang temennya penulis Willy Flarkies dan sebagai teman gua tersinggung dengan comment murahan anda yang menjatuhkan teman saya.

paling tidak anda hargai sedikit karya dia bukan menulis comment murahan kayak begitu, katanya anda penulis.

sebaiknya minta maaf segera,saya masih sabar menanggapi anda

Anonim mengatakan...

um, kenapa orang susah banget nerima kritik ?

kalo merasa kritik itu salah, ya coba keluarkan argumen pembelaan yang bermartabat, gak perlu jadi ajang saling hujat yang agak2 norak ;p

Bubub Clone

Luz Balthasaar mengatakan...

@Anonim, harga komen mahal atau murah itu pake pedoman pasar modal yang mana? Hehehe.

Kayaknya semua komen itu gratisan deh, ya nggak?

Saya nggak tahu anda umur berapa dan kelas berapa, tapi coba belajar dewasa dulu ya.

Di dunia ini, anda nggak bisa memaksa orang lain untuk mengubah pendapat.

Saya juga nggak nyuruh siapapun untuk ikut saya bilang WF jelek kok.

Kalau orang lain mau bilang itu bagus, silakan. Saya nggak akan nyuruh mereka minta maaf karena mereka beda pendapat dengan saya. Perbedaan pendapat bukan kejahatan, kan?

Lagipula, saya sudah bilang, serahkan semua pada opini pasar. Memangnya apa kata pasar tentang karya itu?



@Bubub, biar aja Bub. Dan nggak akan kudelete kalau dia mau mengumbar kenorakannya sampai berposting-posting. Mempermalukan diri sendiri adalah prerogatif orang, kan?

Paling nanti kujadikan contoh dalam artikelku yang membahas betapa budaya beda pendapat dan kritisisme di negeri ini masih sangat... menyedihkan.

Elthewynn mengatakan...

Ooh, rame disini XD

@anonim-teman-penulis-WF
Saya ga ngebela siapa-siapa disini. Tapi kalau anda berpendapat komentar Luz sekedar "comment murahan yang hanya menjatuhkan penulisnya", sebaiknya anda lihat komentar pembaca lainnya dulu. Search lewat google ato apalah.

Saya termasuk yang sudah menyelesaikan WF, dan saya tidak akan ragu menyebutnya sebagai karya gagal yang dipaksa terbit :P Dan itu mungkin hanya sebagian kecil dari sejumlah caci maki yang ingin saya lontarkan pada pihak-pihak yang mengurus naskah tersebut.

Tapi sudahlah. Kalau anda mengharapkan sebaliknya, akan saya kabulkan :P

"Mewakili pendapat pasar, saya menetapkan Willy Flarkies sebagai novel yang luar biasa keren di penghujung abad ini!!"

@Bubub
Ironisnya, orang-orang seperti itu yang bisa naikin traffic web XD

@Luz
Hati-hati ntar dilabrak penulisnya, Bone XD

Luz Balthasaar mengatakan...

@El, justru itu tujuannya El. Biarin aja mereka pada mencak-mencak, biar naikin traffic web ke blogku, hehehe.

Kalau penulisnya sendiri aku rasa nggak, El. Aku yakin Bowo, sebagai seorang penulis, cukup bisa berpikir untuk memahami apa yang kutulis artikel terbaruku.

Yang berisik itu justru orang-orang yang mengaku temannya.

Aneh. Bukan mereka yang nulis, bukan mereka yang dikritik, kok mereka yang ribut?

Padahal Bowo sendiri kalem aja.

Kayaknya sekarang jelas yah, siapa yang sebenernya numpang ngetop.

Juno Kaha mengatakan...

Mana kemarin kutipan gw buat tugas presentasi sosiologi komunikasi? Hoh, here it is:

"Saat kita berinternet misalnya, jika dapat muncul tanpa menyebut identitas asli kita, maka efek ini (deindividuasi) bisa saja semakin besar. Padahal kondisi anonim dapat membuat seseorang kehilangan kontrol kesadaran dirinya dan bertingkah laku di luar batas kenormalan. Akibatnya, terdorong pula tingkah laku yang tidak bertanggung jawab.

Semakin seseorang menjadi anonim, maka semakin berkuranglah tanggung jawab mereka atas tindakan pribadi. Parahnya, tanggung jawab yang kabur dapat membuat seseorang tidak merasa bersalah atas perbuatan yang telah dilakukannya. Mereka tidak mempunyai lagi kesadaran diri (self awareness) yang salah satu indikatornya adalah mampu membedakan hal yang baik dan buruk."

- kutipan dari Intisari Mei 2010, Penonton Anonim Cenderung Nekat

Buat semua yang anonim yang menjadi oposisi pendapat Signora Luz Balthasaar, kalian cuma nggak tahu caranya biar namanya muncul atau kalian lagi ikutan sindrom anonim-nekat yg gw jabarkan di atas? Hayo, yang mana? :D (gw gak terima jawaban "emangnya kenapa kalo gw gak pasang nama???!!!", btw)

@Luz: Org yg ngomong soal "10 thn cuma belajar nulis" itu gak akan mengakui situ lbh hebat misalnya beneran ada kesempatan adu keahlian nulis antara Signora dan org yg dia bela.

Ini lama2 kasusnya jadi kyk kasusnya Armand Maulana dan kaosnya deh. :P

Hehe.

Anonim mengatakan...

Aduh2, bikin geleng2 komentar kontra dri repiu singkat mba luz kt ini. Hehehe...

Sbenarnya seh (klo blh & diijinkan curcol), novel pertama itu emang bak logam yg paling berharga di muka bumi bagi penulisnya. Seperti waktu naskah gw yg ditolak oleh sbuah penerbit, awalnya emang bikin panas gk mau nerima kritik, but pd akhirnya, gw jd sadar kalau naskah gw emang sangat membutuhkn banyak sekali perbaikan di sana sininya. Itu yg buat gw belajar untuk lebih baik lagi sampai saat ini. Selayakny manusia kan gk boleh berhenti bwat blajar hingga mreka tdk bisa lg utk blajar.

Afandi M.

Anonim mengatakan...

Dapet komentar pedes dan ditunjukkin di mana letak kepedesannya masih jauh-jauh-jauh lebih bagus daripada dapet komen palsu yang ngangguk-ngangguk aja.

Masih juga lebih bagus dari sama sekali ga dikomenin.

Dan juga masih lebih-lebih-lebih bagus daripada asal sekedar dimaki-maki doang.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, ew, sampai dibawa kutipan artikelnya lagi, hahaha...

Kecenderungannya sih gitu. Kalau orang yang kontrol dirinya kurang bisa bebas berkomentar, ngomongnya langsung kayak orang ga kenal didikan.

Mereka lupa, kalau mereka bicara secara anonim maka mereka akan dikenal sebagai "teman si Bowo". Dan yang dipermalukan dengan komen mereka yang norak itu, ironisnya, adalah orang yang mereka bela.

Bicara soal postingan paling norak dari semuanya itu, aku belum kepengen membandingkan diriku dengan penulis muda ini. Belum fair, karena aku mendapat kesempatan belajar lebih dulu dan lebih lama.
_

@Mas Afandi, bener sih, itu memang terasa sangat berharga. Justru karena itu berharga, aku merasa lebih baik mereka segera diberitahu jika karya itu memang perlu koreksi. Selugas dan sejujur mungkin, tanpa diperhalus dengan kata-kata manis.

Banyak yang kontra bilang approach keras macam ini 'mematikan' tunas muda.

Tapi kalau dia langsung mati cuma karena satu kritik, memang mungkin dia nggak ditakdirkan jadi penulis. Kalau kita mau meraih cita-cita kita akan ditolak dan dijatuhkan berkali-kali.
_

@Anonim, iyalah. Dikomenin jelek pun, paling nggak menunjukkan kalau ada perhatian ke naskah itu.

Tapi entahlah. Mungkin Elthewynn bener. Ada orang yang cuma mau denger yang bagus-bagus dan puja-puji saja, dan menuntut semua orang yang ngomong jelek ke dia minta maaf. Hmm... kedengaran kayak represi gaya Orba ga sih?

"Semua elemen subversif harus dilenyapken!!!"

Juno Kaha mengatakan...

Oh, itu kan krn emang di rumah langganan Intisari dan kamar nyokap sebelahan ama kamar gw jadi tinggal ngajleng sebentar, buka halaman yg berkaitan dan salinnnn~ :D :D No big deal (kalo bener ini kata2nya)

Hehe.

Anonim mengatakan...

membaca blog anda dan bos anda di fikfanindo telah memberi saya banyak pencerahan (dalam berbagai arti) membuat saya memberanikan diri untuk memajang cerpen dan naskah novel yang saya buat ke blog saya, biar bisa dikritik pedas,lebih pedas daripada oseng mercon...
saya penasaran dengan penggunaan POV 2nd person, adakah contoh penggunaan "kamu" selain di novel jenis "choose your own story?" serta penggunaan yang baik agar cerita bisa mengalir dengan lancar. thx

Luz Balthasaar mengatakan...

@Striferser, selamat datang, thanks sudah mampir. ^^

Karena aku belajar nulis otodidak dari diskusi2 dengan teman-teman sehobi, aku mungkin kurang bisa berbagi teori. Tapi aku memang pernah mencoba bikin cerpen yang sedikit 2nd person, walau nggak bisa dibilang 2nd person sepenuhnya.

Mungkin nanti akan coba kuposting supaya dinilai rame-rame apakah cerita itu bisa masuk 2nd person yang bukan "choose your own story." Thanks idenya!

Anonim mengatakan...

terinspirasi dari perkataan sendiri, saya mencoba membuat cerpen dengan POV 2nd person....
silahkan dilihat dan dikomentari :D
btw, saya tipe orang yang suka komentar yang lucu, jadi jika dikritik dengan pedas, mohon disajikan dengan lucu, sehingga saya bisa terhibur dan 'tertusuk' disaat bersamaan (just saying...)

link cerpen
http://striferser.wordpress.com/2010/05/13/kamu/

semoga bisa menghibur, dan sebelum menbaca, saya beritahu kalau cerpen tersebut murni untuk senang2

Anonim mengatakan...

Permisi, numpang tanya.
Saya sering bingung mengenai sudut pandang orang ketiga terbatas. Begini, deskripsi dunia kan menjadi terbatas pada apa yang dilihat dan diketahui si tokoh, tapi bagaimana caranya mendeskripsikan pada pembaca apa yang dilihat si tokoh (melalui sudut pandangnya itu)padahal si tokoh sebenarnya sudah tahu persis apa itu dan tidak memiliki kepentingan untuk menjelaskannya?

Misalnya: si tokoh pencerita dalam perjalanan pulang menuju bentengnya di paragraf awal. Paragraf berikutnya saya ingin mendeskripsikan mengenai benteng itu. Nah yang membuat saya bingung, jika saya menuliskannya:
Benteng itu berdiri di sisi tebing sebelah barat, memiliki empat menara....dst dan dengan berbagai detail lainnya. Apakah deskripsi itu masih termasuk sudut pandang orang ketiga terbatas? Karena sebenarnya kan si tokoh sudah tahu mengenai bentengnya itu, dan dalam sudut pandangnya ia tidak punya kepentingan untuk menjelaskannya (tidak seperti jika si tokoh menjelajahi tempat baru), walaupun saya sebagai penulis merasa perlu menuliskan deskripsi mengenai benteng itu agar pembaca lebih mudah membayangkannya. Mohon bantuannya. Terima kasih.

Andreas

Luz Balthasaar mengatakan...

@Andreas, halo dan thanks udah mampir... m(_ _)m

Sebenernya POV 3 limited bisa saja menjelaskan sesuatu yang sudah familiar dengan si tokoh. Mungkin kamu jadi pikir ini tidak bisa ada yang bilang itu tidak bisa karena "si tokoh tidak memiliki kepentingan untuk menjelaskannya, tapi jawabanku untuk hal ini adalah, so what kalau dia tidak memiliki kepentingan?

Kita selalu bisa membuat dia memiliki kepentingan untuk menjelaskannya.

Kita ambil contoh kamu, benteng.

*Loading Universe Medieval*
__

Perlahan tetapi mantap, Andreas von Faber menarik kekang kudanya. Hewan itu itu melambatkan derap dan berhenti tepat di puncak bukit. Dari sana Andreas bisa melihat jelas lembah bertebar pinus hijau tua, dibelah kelokan Sungai Danube yang kelabu dingin.

Pemandangan itu membuat Andreas tersenyum. Benteng Faber sudah tidak jauh lagi.

Dan tahu itu membuat ia lupa bahwa tubuhnya sedang penat.

Dengan semangat baru Andreas berseru dan menghentak kekang. Ia berpacu menuruni bukit, melintasi lembah, dan menyeberang jembatan. Desir angin dan derap tapak kudanya terdengar seperti lagu selamat datang. Dan lagu itu terasa semakin cepat, semakin gembira, saat matanya mengilas rangkaian dinding benteng di lereng sebuah bukit. Di belakang tembok itu tampak delapan menara ramping yang membelakangi cahaya petang. Susunannya sempurna menyerupai lambang keluarga Faber: delapan tombak hitam di dalam perisai emas, teracung pada langit perak.

Ia bahkan bisa melihat lambang itu kini, begitu banyak, terpampang pada bendera-bendera dan panji-panji yang berkibar di seluruh bagian benteng. Juga pada zirah para prajurit dan pakaian pekerja benteng. Orang-orang itu kini tengah berjajar di sepanjang jalan menuju gerbang utama. Mereka semua bersorak dan menyapanya lantang, "Selamat datang, Tuan Muda! Selamat datang kembali!"

__

Jadi? Bisa saja deskripsi diberikan dalam POV 3 limited, tentang benda yang sudah familiar dengan si karakter POV.

Maksudku "memberi kepentingan" disini adalah dengan membuat Andreas capek dan pengen pulang. Karena dia capek, benteng, lambang keluarga, dan pekerja yang seharusnya biasa itu jadi istimewa, dan layak digambarkan.

Kayak kalau orang nyaris mati kelaparan, dikasih roti full-buluk juga pasti dimakan. Hehehe. Tapi kalau dia kenyang, ya nggak akan dimakan.

Gitchu kira-kira, salah satu trik yang bisa dipakai kalau mau ngasih deskripsi limited POV. Moga-moga bisa membantu.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam trik ini adalah, jangan keluar dari kepentingan si tokoh. Kalau dia capek dan lelah, jangan deskripsi kastilnya dibikin kelewat detail sampai ngegambarin ada berapa catapult di menara luar, berapa orang yang berjaga di tiap menara, dsb-dsb. Orang capek ga bakal merhatikan ini.

Kalau mau detail banget, mungkin harus dibuat 'kepentingan' lain yang sesuai. Misalnya mereka lagi mau membangun menara pertahanan baru, atau lagi mau defend kastil, jadi bisa digambarkan detail sekalian teknis perangnya.

Okay, moga-moga trikku membantu yah. Thanks udah mampir sekali lagi. ^^

Anonim mengatakan...

Cc Luz

Huaa....

ta... tadi si juun
Huaaa...

si juun omelin aku..

katanya pace ceritaku kecepatan padahal aku pake POV 1st person...

bukannya Pov 1st person itu

hik..hikk...

harusnya itu seperti cerita tokohnya, jadi hal yang gak menarik bagi si protagon gak perlu ditulis kan. kayak bentuk sekolahnya yang dia sudah 2 tahun gak sekolah ato gimana?

minta contoh dong

PRoott *buang ingus pake baju tetangga kompi warnet*

contoh 1st person yang bisa nglamain pace di show not tellnya!

Ivan

Luz Balthasaar mengatakan...

@Ivan,

Hello and welcome m(_ _)m

Pertama-tama jangan nangis dulu. Air mata terbukti buruk buat keyboard. Sama seperti saus hotdog dan iler. XD XD XD

Kalau lihat kasus kamu, coba kasi link ceritanya ke aku. Biar aku baca dulu dan coba lihat apa masalahnya, dimana 'kecepetannya'. Thanks and keep writing!

Ivon mengatakan...

*memeriksa hileograf di dinding blog*
wah...tampaknya ada pertempuran besar pada tanggal 12 April 2010 di situs ini...
*membaca lanjutannya*
tsk3, acung jempol untuk reaksi pemilik situsnya XD
*mengukir nama di dinding blog, lalu dilempar tomat sama yang punya blog*