Selasa, 23 Maret 2010

Indah dan Muntah ~ Penciptaan Prosa Puitis Plus Contoh

Sebenernya aku pengen nulis tentang karakter. Namun, sampai agak lama aku belum juga mendapat gagasan tentang bagaimana sebaiknya topik itu dipersembahkan. Jadi, minggu ini adalah catatan singkatku tentang prosa pretensius.

Kita banyak kali mendengar pujian atau cercaan terhadap "Gaya Penulisan Puitis." Yang memuji bilang, gaya ini sangat indah. Yang mencerca bilang gaya ini bikin muntah. Lalu bagaimana jika anda ingin menulis "puitis", tapi ga mau bikin orang muntah?
  
 
Sebenernya, apakah orang bisa menulis puitis atau nggak itu bergantung pada apakah seseorang memiliki  apa yang kusebut persepsi puitis. Pertama, ia harus bisa memandang hal-hal di sekitarnya dengan cara yang puitis. Kedua, ia bisa mengungkapkan apa yang ia pandang itu dalam kata-kata. Barulah ia bisa membuat prosa yang "puitis" dan indah ini.

Tapi biasanya, para aspiring puitiswan/puitiswati suka nggak paham ini. Jujur aja aku juga pernah (dan kadang masih)  melakukan kekeliruan yang sama. Biasanya mereka menebar begitu banyak majas atau memakai segala macam kata yang terdengar canggih dengan harapan membuat pembaca terkesan. Mindset mereka adalah, "Lihat, saya bisa memakai kata-kata/majas ini."

Menurutku, ini cara berpikir yang agak keliru. Pembaca membaca buku bukan untuk dibuat terkesan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu dari buku itu. Sesuatu itu bisa cerita, bisa pesan moral, dan bisa juga rasa keindahan yang muncul dari rangkaian kata.

Yang terakhir ini yang suka disalahartikan "membuat pembaca terkesan." Aku kira ini keliru. Jika si pengarang mau menghantarkan rasa keindahan,  mindset dia seharusnya bukan pada seperti yang kusebut diatas, Mindset dia seharusnya, "Saya sedang berusaha mencapai suatu keindahan yang melampaui prosa biasa."

Terasa membingungkan? Barangkali. Namun, hal ini adalah sesuatu yang biasanya lebih baik dirasakan daripada dijabarkan. Karena itu aku ingin anda kembali menilai salah satu karyaku yang sebenernya sudah lama dan pernah kupost di Forum Pulau Penulis. Cerita ini terinspirasi dari Ramayana, dan salah satu debat yang kulakukan di forum itu. (Oh, ya. Aku ga segitunya miskin Muatan Lokal, gitu!) Komentar sangat dihargai, seperti selalu.


***

Kavya 


Cahaya, betapapun elok, akan membunuh dirinya sendiri.

 Lakshmana tak ingat siapa yang kali pertama mengajarinya demikian. Ayahnyakah, ibunyakah, gurunyakah, barangkali salah satu kakaknya: Bharata yang membumi, atau Rama, Putra Mahkota Ayodhya. Kalimat itu adalah hal kecil yang tak direnungi, seperti tarikan talibusur saat membidik. Orang kebanyakan hanya bersorak ketika melihat panah menghunjam sasaran.

Dan ia telah melupakan, walau tidak seluruhnya. Suatu pertanda bahwa barangkali ia tak akan lagi merayakan hal-hal kecil. Besok ia pergi bersama Rama, dan Rama ditakdirkan untuk hal-hal besar. Bagaimana tidak, jika Rama begitu cepat menjadi tandingan para resi dan ksatria ternama, begitu ahli memanah dan tangkas berkuda, membuat kagum langit lagi manusia?

Ah, begitu hebat Putra Mahkota Ayodhya, hingga ia punya tiga bayangan!

Lakshmana menarik satu anak panah dari tempat di punggungnya. Mulus gerak saat merentang, tarikan napasnya lambat. Betapa serupa, tegangan pada talibusur dan pada lengannya! Betapa senjata dan tuan demikian menyatu, hingga ketika panah itu akhirnya meluncur, mengenai mata burung jerami yang digantung bertombak-tombak di ujung lapangan, Lakshmana merasa kehilangan.

Walau seharusnya ia bersorak.

Siang tadi Rama sendiri yang berkata, "Di sisiku, Lakshmana, kau seorang yang kupercaya. Ikutlah esok hari ke Hutan Suci. Kita akan membantu para resi menumpas rakshasa."

Bagi Rama, ia bukan bayangan.

Kembali Lakshmana meraih panah dan merentang busur. Perlahan ia menutup indera dari deretan api obor yang bermain di bawah bulan penuh, yang memercikkan jingga dan perak pada tanah. Riak-riak waktu mengikutinya,

tarik,

hembus,

tarik,

hembus,

sampai angin malam bertiup dari belakang, aromanya air dan seroja.

Burung jerami berputar-putar mati. Tali di leher, panah menembus mata. Masih tetap satu batang.

Karena kali ini Lakshmana menurunkan busur tanpa melepas panah. Ia telah ditawari untuk melakukan hal-hal besar. Dan ia ingin melakukannya, meski ia mencintai hal-hal kecil. Malu sungguh jika selamanya menjadi bayang tak dikenal, pula tak ada jalan lain untuknya bersinar. Ia tidak bisa menjadi seperti Bharata, yang mendekatkan diri dengan tanah dan rakyat Ayodhya selagi Rama berusaha meraih Surga dan para Dewa. Menjadi Sungai sementara Rama menjadi Langit.

Desing,

kilat merah,

ranting cendana yang berkobar melesat dari kegelapan, menancap pada mata burung jerami dan membakarnya habis.

Terkejut, Lakshmana menoleh. Ia mendapati wajahnya, rambutnya, tubuhnya. Keelokan yang sama dan hampir seumur. Tapi ia yang itu tak pernah memakai pakaian tempur. Tak pernah menyandang panah atau memegang pedang. Ia yang lain, khsatriya tapi bukan ksatria. Yang mengerti lisan kupu-kupu. Yang kini menggendong ranting cendana dan seroja-seroja putih, barangkali upeti untuk malam. Shatrughna, adiknya sepenuh darah, sungguh bayangan Rama yang tergelap.

“Esok kau pergi, Kakakku, separuh jiwaku. Mengapa kau tak gembira?”

Tak perlu ia menjawab, karena Shatrughna telah melihat busurnya dan panahnya, dan wajahnya, rahangnya yang beradu. Adiknya bisa menemukan kisah dari hal-hal yang bahkan lebih sepele dibanding gesekan rumput. Dan ia pun akan begitu andai dulu memilih untuk menjadi bayangan! Ah! Jika saja ia sejujur dan seberani Shatrughna, mereka akan bersama-sama kini, merayakan hal-hal kecil. Bergembira hanya karena sentuhan terhalus membawa ingatan tentang tubuh-tubuh mereka yang berpelukan di dalam rahim Sumithra.

“Karena aku mencintai apa yang kau cintai, Adikku, tetapi berat bagiku menjadi bayangan.”

“Mengapa? Lihat sekitarmu. Bayangan tak pernah keberatan menjadi diri mereka sendiri.”

Ia tertawa. “Entahlah. Mereka tak bisa bercakap.”

Dan Shatrughna ikut tertawa. “Kakak yang malang! Tentu mereka bisa bercakap, meski tak terdengar. Sudikah kau melihat, jika kutunjukkan?”

Lakshmana mengangguk, mata mencermati gerak adiknya. Namun, ia tetap tak tahu apa yang sesungguhnya dilakukan Shatrughna saat berjalan melalui deret obor, dan meletakkan di dalam tiap api, seroja dan cendana; atau bagaimana cara adiknya menaruh, hingga kedua upeti itu melayang seperti bunga-bunga rumput di dalam tarian udara. Satu, dua, tiga, sampai sembilan. Satu-persatu kobaran obor membesar berlipat-lipat. Tiang-tiang api di tengah gelap.

“Apa yang mereka katakan?”

“Sabar, Kakak. Lihat, jawabanmu tiba…”

...dalam rupa titik-titik kecil, mendekat berkerumun seperti percik-percik diatas api. Tapi kemudian nyata bahwa mereka adalah sesuatu yang lain. Kupu-kupu putih! Ribuan datang dari pepohonan, turun ke lapangan, sayap-sayap bercahaya bak helai-helai sutra. “Betapa elok makhluk-makhluk ini,” Lakshmana mendesah pada adiknya, berharap diiyakan.

Namun, Shatrughna tak tersenyum. Seperti diperintah, larik-larik putih mulai melesat menuju api. Awalnya satu demi satu. Lalu belasan demi belasan. Berebutan mencari mati. Bak pasukan buta menuju jurang. Bak gelombang pasang pecah di karang. Tiap satu dilahap api, sepuluh jerit terdengar. Nyaring mengiris, berdarah dan perih, seperti permohonan belaskasih yang dibalas dengan tebasan.

“Bercakaplah, Kakakku, jika kau ingin mereka berhenti. Mereka sedang menjawab pertanyaanmu. Mereka tak akan mendengarku.”

Tapi Lakshmana hanya terguncangterpana menyebut nama segala dewa. Ia yang sekarang sudah tak bisa berbicara pada kupu-kupu. Busurnya terjatuh. Kedua tangannya menutup telinga. Betapa kerasnya jerit cahaya-cahaya itu! Betapa jiwanya ikut berteriak! Kapankah, kapan mereka mati dan Dunia ini selesai?

Sembilan tiang api, terpuaskan oleh mangsa, kembali meredup. Menciptakan sembilan bayangan. Sembilan Lakshmana hitam yang gembira karena baru diijinkan bicara, sementara Lakshmana sejati gentar, sendiri dalam dingin,

sampai kening Shatrughna dan keningnya beradu hangat. Ah, mereka terlahir dekat sangat! Tapi satu dari mereka telah merenggut dirinya sendiri. Satu telah meninggalkan Kami untuk Aku, melupakan dunia hal-hal kecil. Lakshmana merasa pahit ketika Shatruhgna meraih, dan ia meraih balik. Di dalam rahim Sumithra dulu, dirinyalah yang mendekap adiknya yang ringkih, dan berkata dalam bahasa rahasia kawanan kupu-kupu. Jangan putus asa. Kita akan membuka mata bersama-sama.

“Maafkan aku,” lirihnya, “Maafkan aku karena meninggalkanmu.”

“Tak apa, Kakak. Pergilah. Jangan takut akan jiwamu yang hanya separuh. Kau akan melihatku dalam hal-hal kecil.”

Apakah artinya melihatmu, tanpa bicara padamu?

Dan tiba-tiba saja ia tidak berani membuka mata. Bukan, bukan perasaan belaka. Semakin erat pelukannya, bertambah susut pula tubuh adiknya. Ia menyangkal sekalipun lengan-lengannya telah melekat pada dada. Sekalipun kepak-kepak kini begitu banyak. Tidak. Tak sekali-kali kuijinkan kau pergi. Shatrughna telah berganti ribuan kupu-kupu putih. Tangan elok itu hanya sayap-sayap sutra kini, mengusap sudut matanya sebelum menghilang ke langit gelap.

Ia meninggalkan. Maka ia ditinggalkan.

Namun, ketika Lakshmana membuka mata, telah menunggu di depannya sekuntum seroja putih. Di tengah lapis-lapis mahkota bunga itu ada ranting cendana. Kecil dan harum dan dijangkari sekumparan benang perak. Sebuah rahim untuk membuai seekor jabang kupu-kupu. Sekaligus pesan lembut dari separuh jiwa yang memilih bayangan. 

Aku akan tidur dan menunggu. 

***

Judul cerita ini, Kavya, sebetulnya merujuk pada puisi-puisi kerajaan india kuno yang banyak menggunakan majas untuk menghantarkan muatan emosionalnya. Judul yang bisa banget jadi pretensius, sebenernya. Karena itu aku selalu ingin tahu apakah cerita ini agak meluncur ke pretensiusme. Sayangnya dulu aku cuma dapat dua komen, jadi masih kurang bisa menentukan.

Jadi, Indah atau Muntah? Selamat Merasakan!




Luz Balthasaar

16 komentar:

Anonim mengatakan...

Mungkin karena masalah selera juga ya, tapi saya pribadi kesulitan menghubungkan tiap-tiap kalimatnya, yang berujung menjadi rasa hambar saat membaca keseluruhan cerita, karena kejadiannya sendiri tidak bisa tergambarkan dengan jelas di kepala XD

Tapi sekali lagi, tergantung selera juga kali ya XD saya kurang suka model ginian sih. Suka pusing bacanya XD

Jadi reaksi saya : (hampir) muntah

Luz Balthasaar mengatakan...

@anonim, ini Heinz bukan?

kalau ini Heinz, aku sih bisa memaklumi kalau muntah beneran. Most probably memang karena terbiasa pada "semua harus literal" sehingga ga terbiasa pada gaya evokatif.

Tapi kalau bukan Heinz, berarti seharusnya ada alasan lain yang membuat cerita ini susah dimengerti.

Danny mengatakan...

Mungkin memang karena pemilihan katanya yang kebanyakan majas yang bikin aku pusing2 baca bab satu ini. Paling nggak ini kalimat puitisnya masih lebih mendingan ketimbang novel lain yang pake cara yang sama *uhuk*Sang Penandai*uhuk*

Alasan utama aku ga bisa menikmati kayanya lebih karena aku ga bisa memosisikan diri sedari awal sebagai tokoh yang mana. Lakhsamana, Bharata, atau Rama?

Luz Balthasaar mengatakan...

@Danny, Ah, I see!

Aku pernah dengar ada yang bilang kalau di dalam cerita-cerita, plot adalah tokoh dan tokoh adalah plot. Dengan kata lain, cerita dengan tokoh yang lebih mudah diidentifikasi akan lebih menarik dibanding cerita yang kurang naruh tekanan pada tokoh.

Kamu setuju sama ini? (Bukan trick question kok, wkwkwkwkw... cuma mau confirm.)

BTW, ini bukan bab satu. Ini cerpen.

Juno Kaha mengatakan...

Komen gw cuma satu buat narasi di atas: lieur siapa yg gimana, apa, dan bagaimana.

Gw sendiri kalo nulis emang jarang banget lah mainin kata2 sampe jadinya puitis atau sejenisnya. Buat gw, puisi ya puisi, prosa ya prosa. Plg banter di prosa, gw ngebuat kalimat sebagai sesuatu yg "unik" tapi gak bkn bingung.

Hehe.

Anonim mengatakan...

Haiya, aku telat datang dan juga terburu-buru.

Karena konteks cerita yang diangkat ada sangkut-pautnya dengan karya klasik, kukira aku masih bisa terima gaya bahasa macam gini. Walau kuakui juga gaya macam begini bukan favoritku dan agak sulit nangkap maksudnya dalam sekilas baca. Kesimpulan kilatnya: gak muntah-muntah amat. Still acceptable for me. Hehe.

Nanti mampir lagi kalo lagi nyantai.

Heinz.

Alex B. Cruz mengatakan...

Waduh agak pusing bacanya, Mba... ia juga seh, mungkin tergantung selera. Bener kata yang lain, gw gak tau mau memposisikan diri jadi siapa? dan sulit banget ngambil penggambaran latar dari cerpen di atas. apa mungkin kekurangan tulisan yang serupa seperti di atas adalah sulitnya pembaca untuk menggambarkan latar yang tepat karena (baca: menurut gw) cerpen di atas hanya dikit banget menjelaskan latar tempat berlangsungnya adegan sang tokoh berada. yang hanya gw tau, adegannya terjadi malam hari.

yah, kesulitan membaca karya yang terlalu nyastra memang bisa bikin mata berkunang-kunang trus kepala migren. :p makanya literatur sastra yang umumnya berat-berat di indonesia, sulit diserap ama anak-anak sekolahan, makanya kebanyakan mereka beralih ke bacaan yang ringan. mungkin seh menurut gw harus mensiasati juga walaupun nyastra, tapi enak dibaca.


hehehe

Salam

Afandi M.

Feline mengatakan...

Hmmm... Iya setuju sama komentar yang lain, memusingkan dan tergantung selera... Tapi kesan pertama yang kudapat itu cara penggambarannya berlebihan.

'Tak perlu ia menjawab, karena Shatrughna telah melihat busurnya dan panahnya, dan wajahnya, rahangnya yang beradu. Adiknya bisa menemukan kisah dari hal-hal yang bahkan lebih sepele dibanding gesekan rumput. '

Arr... Gak perlu sedramatis itu kan untuk menjabarkankan... Entah apalah itu, orang memegang busur? Kisah dari hal-hal yang lebih sepele dari gesekan rumput?? Maksudnya pandai mencari inspirasi??

@Afandi M. : Yap, tepat sekali, banyak anak sekolahan(termasuk aku) yang menghindari buku-buku yang isinya sejenis tulisan tadi.

Semua buku yang dilabeli sastra di perpustakaan sekolah, baru hanya akan disentuh kalau ada tugas Bahasa Indonesia.

Luz Balthasaar mengatakan...

Uaaah, akhirnya bisa balik! Repot ngurusin legalisir ijasah dan minta surat rekomendasi seharian ini!

@Afandi, heinz, Juun, kayaknya kalau dari semua komentar yang kudapat, bilang mereka bermasalah karena masalah selera ga suka "yang terlalu nyastra" atau "terlalu puitis" gitu ya?

Memang aku melihat penyuka sastra dan puisi ngga terletak di strata "orang kebanyakan." Karena itu gaya seperti ini nggak kupakai kalau menulis novel.

@feline, sebenernya itu bukan deskripsi orang memegang panah. Tapi aku juga nggak akan ngejelasin itu apa kalau maknanya nggak sampai sih. Yang pasti, aku yakin bahwa ada cara bercerita yang lebih kaya daripada dialog dan deskripsi dan narasi literal...^^

Juno Kaha mengatakan...

Bukan berarti gw gak suka puisi sih ... Kalo gw ngeliat ada puisi di koran hari Minggu dan gw lagi mood baca, ya gw baca dan gw terka2 ini maunya si pengarang menyampaikan apa. Sepotong puisi kan gak sampe 2-3 halaman A4 jadi gw jg lbh santai mikirnya. Ugh, kebayang kalo puisinya 200 halaman ... Gw botak ...

Btw, lupa ngomentarin, gw suka kata pembukanya. :D :D "Cahaya, betapapun elok, akan membunuh dirinya sendiri."

Hehe.

Danny mengatakan...

@Luz: Kalo tokoh adalah plot, aku setuju. Soalnya plot memang seharusnya digerakkan para tokoh sehingga mereka terasa lebih berkarakter dan cerita tidak terasa dipaksakan.

Kalo plot adalah tokoh, ni yang aku masih belum ngerti. Apa maksudnya plot harus diperlakukan seperti tokoh jadi kita harus membuatnya jelas dan menarik perhatian pembaca seperti layaknya tokoh? Kalo itu, aku setuju.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, ah, thanks. Berarti masalahnya memang selera yah. Aku juga membatasi diriku untuk membuat karya-karya yang banyak memakai permainan kata sebagai cerpen aja, atau memang kalau lagi niat bikin puisi.

@Danny, sebetulnya aku dapat itu dari satu site belajar menulis, dan pendapat seorang editor yang pernah kuajak konsultasi. Katanya, pada masa kini, yang paling penting bagi orang selain plot adalah tokoh cerita yang bisa mereka sukai. Malah kadang tokoh lebih penting daripada plot.

***

Kalau nganalisis cerita ini, memang tekanannya nggak di tokoh, tapi di suasana, dan makna tersembunyi. Seluruh cerita ini sebenernya temanya sibling envy dan ngambil keputusan yang sebenernya kurang disukai demi menjustifikasi ego untuk menjadi somebody. Kalau keputusan itu ga diambil, ya dia jadi nobody. Tapi kalau diambil, dia harus meninggalkan sebagian dirinya yang sebenernya lebih dia sukai.

Kayak orang terjebak di antara dua jurusan kuliah, wakaka...

Bisa dibilang cerita ini bukan cerita literal tapi responsku pada tuntutan masa kini untuk harus jadi somebody menurut standar "hari gini."

Anonim mengatakan...

hmmm, hmmm, penulisan model begini emang bukan selera gua sih..

tapi lumayan kok, gak bikin muntah2 amat..
lebay, tapi masih bisa diterima (dalam kadar ringan)

tetep aja, kalo ini cuman prolog sebuah nopel, pasti bakal berakhir di rak unfinished ;p

Bubub Clone

Luz Balthasaar mengatakan...

@Bubub, ini bukan novel Bub. Cuma cerpen dan latihan. Ini kupake untuk ngasah gaya bahasa aja...

Thanks yah ^^

Ivon mengatakan...

awhhh, baiklah, terdakwa mengaku kalau terdakwa miskin Muatan Lokal, sehingga tidak begitu mengerti isi cerpen ini (wkwkwk).

tpi, yea, ak ada komentar untuk cerpen ini :)
hmmm....
bahasanya agak kurang jadul kali yah?
terus...rada keliatan nanggung untuk ak...yah, memang ngarah ke puitis sih...tapi masih kurang puitis... :/
mungkin kalau ditambahin kata-kata 'sastra tingkat tinggi', bisa lebih oke lagi...(dan bikin lebih banyak lagi orang muntah, wkwkwkw)
oye, terus, satu lagi, deskripsi adegannya jadi rada kabur, kurang jelas...atau itu memang dampak gaya penulisan seperti ini? (atau memang konsentrasiku aja yang enggak kuat lagi? >.>) wkwkwk

Luz Balthasaar mengatakan...

Mmmh, itu dia. Kalau make bahasa jadul "asa perlina" dan over nyastra, beresiko banget malah makin mengalienasi yang baca.

Sebab itu aku nggak mau memakai bahasa begitu.

Ada kasus novel kayak gitu soalnya, di Fikfanindo. Judulna Iluminasi.