Selasa, 06 April 2010

How To Train Your Hero ~ Aturan Umum Penciptaan Tokoh

Catatan minggu ini akan kumulai dengan sebuah kabar yang menggembirakan (buat aku sendiri, tentunya). I Racconti di Cielo d'Euravia sudah mencapai Bab 23, 95.617 kata. Menurut kerangka yang sudah kususun, cerita ini akan tuntas di sekitar Bab 30. Itu berarti, kalau dihitung pakai rata-rata bab, ceritaku bisa tamat di 124.717 kata.

Yah, lumayan sesuai target sih. Tapi kita kan gag tau yang namanya gejolak inspirasi. Yang pasti, aku berharap kalaupun lewat dari kisaran 120.000 kata, bablasnya ga kejauhan. Toh masih ada beberapa bab yang bisa diedit. Dan kalau masih lewat jauh juga, moga-moga karyaku bisa menjadi cerita yang memberi kepuasan kepada pembaca sepadan dengan panjangnya.
  
Sesuai janjiku pada beberapa teman, minggu ini aku akan merangkum hasil-hasil diskusi dan celetukan iseng kami mengenai penokohan. Awalnya aku berniat ngeriset untuk menentukan kriteria apa saja yang membuat suatu tokoh cerita itu menjengkelkan. Namun, celetukan Adrian, seorang teman di thread Fiksi Fantasi Dalam Negeri Goodreads Indonesia malah membuatku secara nggak sengaja menemukan satu aturan umum yang bisa jadi pedoman untuk membuat karakter yang tidak menjengkelkan.

Apa aturan umum itu? Make your character believable.
  
  
Apa yang dimaksud karakter yang believable? Untuk menjelaskannya, kita harus mundur sedikit dulu.

Istilah believable ini pertama kali kudengar dari seorang Om Soto(y) yang jadi Tuan Rumah di Blog Sebelah. Biasanya, istilah ini dipakai untuk menggambarkan bukan karakter, tapi dunia di dalam kisah fiksi fantasi.

Dunia yang bagaimanakah yang believable? Kalau si Om kira-kira ngomongnya bakal gini kali, "Dunia fiktif yang bisa menarik I untuk sejenak menggantung realitas demi masuk ke dalamnya."

Dunia-dunia di dalam semua fiksi fantasi yang bagus pasti berhasil untuk menarik kita dari dunia nyata dan "mengalami" dunia rekaan itu sepanjang membaca cerita. Bahkan kalau dunia itu demikian bagusnya, orang akan berusaha mewujudkan dunia fiktif itu di dunia nyata. Pernah dengar rencana Universal's Islands of Adventure untuk ngebuka theme park Harry Potter?

Nah, sama dengan dunia yang believable, karakter juga seharusnya believable. Karakter itu seharusnya bisa membuat kita sejenak menggantung realitas bahwa ia cuma persona rekaan. Selama membaca kita seharusnya mendapat kesan bahwa ia adalah orang yang benar-benar, atau sedikitnya, mungkin nyata.

Dan seperti kasusnya dengan dunia fiksi fantasi, kalau karakter itu demikian bagus, orang akan berusaha mewujudkannya di alam nyata. Sayangnya, perwujudan karakter belum tentu keren. Kadang hasilnya Pure Win, tapi sering juga terjerumus jadi Epic Fail.

Ooookay. Aku yakin sekarang kita sudah sama-sama mengerti apa yang dimaksud dengan tokoh yang believable.

Langkah kedua, bagaimana kita membuat tokoh yang believable? Banyak orang ngasih saran macam-macam. Harus kerenlah, harus bad-ass lah, jangan terlalu jagolah, harus punya cacatlah, nggak boleh datarlah, inilah, itulah, halah, sudahlah, mampuslah, susah!

Semua saran itu nggak salah.

Ada banyak hal yang bisa anda lakukan untuk untuk membuat karakter anda believable, tapi "banyak hal" itu adalah cara. Dan as they say, banyak jalan menuju Roma. Yups, memang banyak jalan. Tapi belokannya kan tetep cuma ada dua, kalau ga kiri ya kanan.

Nah, sesuai jumlah belokan itu, kusimpulkan bahwa ada dua prinsip sederhana yang bisa kita jadikan patokan di dalam membuat karakter yang believable.

Prinsip Pertama, jangan sampai karakter kita itu ketahuan banget dibikin untuk menyanjung diri dan/atau belaka untuk memenuhi fantasi egosentris. Maksudnya, jangan sampai kelihatan jelas  bahwa karakter itu dibuat sekedar untuk pelampiasan. Pelampiasan apa? Pelampiasan akan semua yang tidak kita dapatkan di dalam hidup. Mau pacar superkeren? Kekuatan sihir? Geng ala Super Sentai? Jadi raja yang dipuja-puji satu negara? Berpoligami? Mudah saja. Tinggal bikin karakter alter ego kita, terus bikin cerita dimana si alter ego ini mendapatkan semua yang kita inginkan. Tamat. Gampang, kan?

Kalau cerita itu memang kita tujukan untuk dibaca oleh diri sendiri atau dokter jiwa, ya jawabanku, "Memang gampang." Tapi kalau nggak, pembaca kita bisa anda berteriak, "Gile, narsis banget sih loe jadi pengarang?" Hendaknya kita jangan lupa kalau para pembaca nggak berada di dalam kepala kita. Oleh karena daripada itu, sementara kita bisa membuat karakter-karakter di dalam sebuah cerita menyukai alter ego kita sampai  taraf menyembah-nyembah, kita nggak bisa memaksa pembaca untuk berbuat hal yang sama.

Tiap kali membaca cerita dengan karakter gratifikasi ego macam ini, aku selalu mendapat kesan si pengarang 'maksa'. Dia memberi kepada karakternya semua kekerenan, puja-puji dan menyingkirkan semua kesulitan yang dihadapi alter egonya  dengan harapan karakter itu akan terlihat keren. Ia berharap aku akan bereaksi sama dengan semua karakter di cerita itu: menyanjung alter egonya. Dan by psychological extension, itu berarti menyanjung dia dan segala mimpinya.

Ngerti kan kenapa kita kadang suka gemes binti sebel kalau ngelihat karakter begini?

Lalu? Apakah ini berarti kita ga boleh memasukkan diri dan mimpi-mimpi kita di dalam cerita? Boleh-boleh saja kok. Permasalahannya bukan di karakter atau di mimpi kita,  tapi bagaimana cara kita menyampaikannya. Pembaca tidak seharusnya merasa  kita 'memaksakan' karakter atau mimpi itu pada mereka. Malah, kuncinya sebenernya disini. Kita tidak bisa memaksa, jadi kita harus membujuk mereka untuk menerima karakter kita. Persuasi, bukan koersi.
  
Mau bikin karakter keren? Boleh. Mau bikin dia almighty sampai jadi Tuhan? Silakan. Mau bikin dia dikelilingi 72 bidadari dan/atau bidadara dan/atau bidadarari? Lakuken! Asal kita bisa membujuk pembaca untuk menerimanya, semuanya boleh-boleh saja.
  
Perkaranya, aku mengamati bahwa makin hebat dan keren karakter ini, makin besarlah usaha yang anda perlukan untuk membujuk pembaca. Makin anda menyanjung, makin canggihlah teknik bercerita yang diperlukan untuk membuat penyanjungan itu nggak bikin muak. Dan kalau kita bukan seorang penulis yang memiliki teknik mahadewa macam itu, ada dua trik sederhana yang bisa kita berlakukan untuk membuat karakter ini diterima.
   
Pertama, beri dia kelemahan/kesusahan yang sebanding dengan kelebihannya.

Gampangnya, karakter itu kayak layangan. Pengarang seharusnya bisa menarik ulur kelemahan/kesusahan si karakter dengan kelebihan/keagungannya, sehingga benang layangan itu mencapai tensi yang tepat di antara dua kekuatan. Kalau ada tensi yang tepat itu, barulah layangan bisa terbang. Makin karakter itu kuat, makin parahlah kelemahan yang diperlukan untuk menciptakan tensi. Para X-Men menghadapi diskriminasi mutan. Peter Parker kesulitan menyeimbangkan hidup normal dan hidup sebagai Spiderman. (Ampe berapa kali dia diputus sama cewek? Wekekeke.) Mana penduduk New York ga selalu berterima kasih lagi. Kadang dia malah difitnah dan dikejar-kejar polisi.
   
Yang kedua, kita bisa mengingat prinsip sebab akibat. Jelaskan, mengapa dia bisa punya kekuatan luarbiasa itu? Apa yang sudah dia perbuat hingga dia layak dipuja-puji seluruh rakyat? Jika kehebatan/pujapuji yang didapat oleh karakter itu dijelaskan dengan masuk akal, kemungkinan besar pembaca akan lebih bisa menerima si karakter.
   
Dan nope, menyebut dia sebagai "The Chosen One," "Manusia Terpilih," dan lain sebagainya bukan penjelasan yang memadai. Seperti yang sudah kukatakan, karakter itu seperti layangan. Penjelasan simplistik ini nggak cukup karena nggak menyediakan kesempatan bagi pengarang untuk melakukan tarik ulur demi menerbangkan karakternya.
  
Sampai disini, kita bisa menyimpulkan bahwa prinsip pertama karakter yang believable adalah bahwa ia disusun dengan kepantasan dan kelayakan. Dia kuat, keren, bagus, de el el, de es be, tapi sebaiknya ada alasan yang masuk akal untuk semua kelebihan itu, dan/atau ada kelemahan yang mengimbanginya, untuk menciptakan tensi alias greget dalam karakter itu.

Om Soto(y) tiba-tiba nyeletuk, "Susah amat sih you ngomongnya. Bilang aja biar karakternya nendang gitu!"

Ehehehe, iya deh Om.

Prinsip kedua dalam penciptaan karakter, adalah konsistensi. Kita sudah memberi dia sifat. Kita sudah memberi dia kelebihan dan kekurangan. Kita sudah menggariskan aturan kita tentang dia. Langkah berikutnya apa? Patuhilah aturan kelebihan dan kekurangan yang sudah kita buat untuk karakter itu. Kalau kita merancang si karakter dengan keren, tapi lalu membuat ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ia dibangun, apa gunanya bangunan karakter yang keren ini?

Kadang-kadang ngebaca yang kayak gini membuat aku merasa si pengarang curang, tapi ini bukan jenis kecurangan yang cerdas atau mengagumkan.

Bayangkan dua situasi kayak gini:

Situasi A, anda ngelihat jaket Burberrys keren banget seharga 8 juta di toko A. Pas anda lagi beler-belernya tapi inget harus menabung buat modal kawin, si salesman langsung nawarin anda jaket Pura-puranya Burberrys Made in Korsel yang harganya cuma 780 ribu perak, tapi dengan kualitas yang nyaris sama.

Situasi B, anda ngelihat jaket Burberrys keren banget seharga 8 juta di toko B. Akhirnya anda ngebela-belain nunda kawin demi beli jaket itu. Berapa hari kemudian, anda ketemu sama teman yang make jaket sama persis, tapi harganya cuma 780 ribu perak. Kaget, anda mengusut, dan kemudian mendapati bahwa tenyata jaket anda palsu, dan sebenernya cuma berharga 780 ribu perak.

Keduanya sama-sama bentuk kecurangan. Bedanya, kecurangan A membuat aku menghargai kecerdasan di balik kecurangan itu. Siapa coba yang ga mengagumi kemampuan memproduksi barang dengan kualitas hampir sebanding tapi harga jauh di bawah?

Di lain pihak, kecurangan B bikin aku jengkel plus merasa dikhianati. Kecurangan  macam inilah yang kurasakan kalau aku melihat karakter yang melanggar bangunan karakternya sendiri. Baik diniatkan atau tidak, aku jadi merasa si pengarang berkhianat, lepas tangan, atau ngeles dari tanggung jawabnya atas karakter yang dia bikin.

Sebab itulah aku berani mengatakan, mempertahankan bangunan karakter lebih susah daripada membangunnya. Godaan paling gede dalam mempertahankan konsistensi karakter barangkali adalah perkembangan plot. Kadang-kadang kita udah nulis, tau-taunya nemu jalan buntu. Dan jalan buntu itu cuma bisa dibuka kalau ada karakter yang bertindak di luar aturan yang sudah kita gariskan. Atau bisa juga, mendadak kita ingin membuat plot twist bahwa 'karakter ini ternyata nggak seperti yang tampak di awalnya'.

Apakah karakter sama sekali tidak boleh berubah? Seperti prinsip pertama, boleh saja. Bahkan, karakter-karakter fiksi fantasi yang baik biasanya mengalami suatu perubahan di dalam petualangan mereka.

Menutrut pengamatanku, perubahan para tokoh inilah yang sebetulnya berkontribusi pada rasa bahwa cerita itu 'selesai' dan 'memberi kepuasan'. Kalau diilustrasikan, mungkin para pembaca akan bilang, "Oh, ternyata perjalanan mereka ga plesir doang kayak perjalanan dinas anggota DPR. (Dan kita semua tahu betapa bikin ngamuknya perjalanan dinas yang plesir doang.) Rupanya setelah bertualang lika-liku gini, hasilnya ada."

Perubahan itu bisa tersurat, misalnya seperti  pergantian cara pandang Harry Potter terhadap kejahatan dan kebaikan, terhadap Snape, dan terhadap asrama Slytherin. Bisa juga perubahan ini tersirat. Nggak dinyatakan, tapi terasa oleh pembaca bahwa si tokoh itu somehow 'belajar sesuatu' setelah petualangan mereka. Beberapa buku fikfan lokal yang kubaca memberikan ending seperti ini. Yang paling terakhir kubaca adalah Another World Elmore. Nocturnal juga. Lalu favoritku selalu, Narend. Ledgard juga memberikan perubahan ini, sekalipun plotnya nggak bener-bener ditutup. Kasus Ledgard ini bahkan agak istimewa karena dengan menunjukkan bahwa karakternya 'belajar', si penulis bisa memberi kesan kalau novelnya 'selesai' tanpa benar-benar menutup plot.

Kalau kita membalik cara berpikir dari contoh-contoh ini, maka kita akan menemukan satu prinsip yang baik dipakai dalam membuat perubahan karakter. Ubah mereka secara gradual, jangan ujug-ujug. Pelan-pelan, sepanjang perjalanan, tempatkan si tokoh di dalam kejadian demi kejadian yang menentang aturan karakternya dan pada akhirnya mengubah dirinya.

Ngambil contoh dari Harry lagi, dia  dibuat dengan 'aturan' bahwa dia selalu curiga Snape jahat. Sebab itu, ketika dia ditaruh di dalam situasi dimana Snape menolong dia, atau dikasih tahu bahwa Snape sebetulnya berbuat baik, dia nggak mau melihat kenyataan. Pokoknya bagi dia Snape itu jahat. (Jadi, dia nggak melanggar aturan karakternya.) Tapi setelah melihat pengorbanan Snape yang terakhir dan menyadari betapa banyak hal yang sudah dilakukan Snape demi kebaikan, barulah dia mau melihat kenyataan.

Ini salah satu contoh perubahan karakter yang bagus. Tebarkan berbagai alasan untuk berubah sampai pada titik dimana kita mengharapkan karakter itu berubah. Jadi, ketika anda mengubahnya, perubahan itu nggak kelihatan ujug-ujug.

Sedikit catatan, perubahan itu ga harus selalu terjadi di akhir cerita. Sirius Black, misalnya, ketahuan ternyata bukan orang jahat di dua pertiga bagian cerita Harry Potter and the Prisoner of Azkaban. Perubahannya dia pun ga terasa ujug-ujug karena kemudian dijelaskan dengan menggunakan beragam kejadian yang sudah terjadi di sepanjang cerita (Crookshanks yang tahu kalau wujud anjingnya bukan anjing biasa, usaha Sirius masuk ke Menara Gryffindor untuk membunuh Wormtail, dsb.)

Ada satu cara lagi untuk membuat perubahan karakter tidak terasa ujug-ujug. Bisa saja, ada satu kejadian, suatu moment of truth yang mempengaruhi diri si karakter demikian kuat sehingga dia berubah.

Pernah baca atau nonton A Christmas Carol? Itu cerita tentang seseorang yang selama hidupnya pelit, tiba-tiba berubah menjadi dermawan hanya dalam 1 malam.

Terkesan ujug-ujug?  Think again.

Ada alasan bagus untuk perubahan itu. Rupa-rupaya, di dalam satu malam si tokoh didatangi 3 hantu yang mengungkapkan padanya bahwa jika dia tidak berubah, akan ada berbagai konsekuensi mengerikan di masa yang akan datang. Termasuk bahwa dia bakalan masuk neraka. Jadi, begitu dia bangun dan sadar bahwa dia masih hidup dan punya kesempatan untuk menghindari neraka, dia berubah.

Jadi, Prinsip Kedua untuk membuat karakter yang believable adalah, konsisten pada bangunan karakter. Jika karakter berubah, kita seharusnya menampilkan perubahan itu dengan cara yang tidak terkesan ujug-ujug. Entah ubah si karakter secara gradual, atau kasih alasan yang cukup kuat untuk membuat dia seketika berbalik. Jangan sampai kesannya kita nggak bisa mematuhi aturan yang kita bikin sendiri.

Sudara-sudari, (Penginjil Mode On,)

Tidakkah mengejutkan melihat bahwa pedoman dasar penciptaan karakter yang sebenarnya hanya satu ternyata bisa dijabarkan sepanjang ini? Aneh, mungkin. Tapi  hal-hal sederhana memerlukan pemahaman yang tidak sederhana. Sebab itulah aku merasa lebih baik membagi satu prinsip yang kualami sendiri dan bisa kujelaskan secara mendalam, dibanding menaruh seratus tips praktis yang cuma comot paste dari segala penjuru internet.

Next week, aku mau membahas tentang perputrian dan feminisme dalam fiksi fantasi, mengingat topik perputrian ternyata belum sempat kebahas sekarang. Tapi aku berharap pedoman yang sudah kubagi panjang lebar di atas bisa menjadi bahan renungan untuk menciptakan karakter yang jauh dari Mpok Mary Sue.



Luz Balthasaar

32 komentar:

FA Purawan mengatakan...

very nice article!

Luz Balthasaar mengatakan...

@Om, kalau di Uncyclopedia, artikel ini harusnya ada bannernya, "Om Soto(y) Approves This Article!!!" Wakakaka...

Anonim mengatakan...

Hm, sepertinya harus mulai memberi porsi fokus tambahan untuk karakter. Selama ini, aku hanya mempedulikan storyline. Kalo storyline udah OK, karakter bakal menyesuaikan. Tapi mungkin situasi juga bisa dibalik dalam kasus tertentu.

Heinz.

Anonim mengatakan...

Hue he he. Nice article, mba :D

Iya juga sih mba. Jangan ujug-ujug, "Berubaaah!" =)) Sebarin hints di sepanjang cerita supaya perubahannya enak.

Btw, soal nyebarin hints sepanjang cerita, saya jadi inget teknik foreshadowing

http://en.wikipedia.org/wiki/Foreshadowing


Adrian

Juno Kaha mengatakan...

Dan kalo di Facebook akan tertulis:

"juunishi master like this!"

Btw, kyknya Pulpen udah bisa diakses lagi dan gak lemot lagi. Sekedar info saja.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Adrian, thanks ngasih tahu istilah buat foreshadowing. Dapat info baru mengenai flash forward pula.

@Juun, Udah bisa yah? Mungkin aku harus mulai proyek "bayar utang" untuk baca naskah-naskah yang belum sempat kubaca.

Fenny Wong mengatakan...

hehehehe... like this too ^^
memang sulit membuat karakter bagus. lebih sulit lagi bikin cerita bagus, yang nggak hanya membutuhkan karakter bagus aja... hahahaha
being a writer is a hard work

Luz Balthasaar mengatakan...

@Wong, begitulah. Karakter bagus adalah satu elemen penting. Langkah berikutnya, bagaimana menjalin keberadaan mereka di dalam plot.

To be fair, sekaligus mengingat posting Mas Ijul (Yuliyono) di forum Goodreads, ada satu cara lagi untuk membuat hero(ine) believable selain menciptakan karakter yang patut dan konsisten. (Jadi, rupanya ada satu jalan rahasia di antara kiri dan kanan, wkwkwkwk.)

Jalan itu adalah begini: If you can't grew out of your egocentric dreams, find others who share the same dream with you, and make them your target audience.

Twilight itu kasusnya gini. Dan menurutku, Eragon juga, to some extent.

Bagaimanapun egosentriknya karakter itu dibikin, (YES! Bella is Smeyer and Edward is her wet dream!) bagaimanapun karakterisasinya terasa menjengkelkan bagi orang-orang di luar lingkaran audiens itu, ya kalau audiensnya merasa itu memenuhi mimpi mereka, mereka akan menerima dan bersatu untuk menyukai karakter itu, bahkan sampai menyanjung.

Dengan menyanjung impian egosentrik itu beramai-ramai, mereka akan mendapatkan kepuasan psikologis bersama karena melihat orang lain ikut menyanjung impian mereka. Ini sangat manusiawi, menurutku.

Kukira ini salah satu sebabnya Twilight bisa populer.

Resikonya, cerita-cerita kayak gini cuma menarik bagi audiens tertentu. Di luar lingkaran itu, respons orang kebanyakan pastilah, "Apaan sih? Geje banget karakter ini~!" Jadinya ya, cerita yang sangat love-or-hate, dengan kesenjangan penilaian yang sangat besar antara satu orang dengan orang lain.

Fenny Wong mengatakan...

@luz
hahahahaha
sekarang akhirnya gw ngerti kenapa ada orang yang cinta banget dan benci banget sama karakter Twilight.. ternyata tanpa sadar yang cinta banget Twilight adalah yang membuat Bella sebagai karakter egosentrik mereka sendiri ketika membaca... hmm...

Anonim mengatakan...

@Luz
Hue he he. Akhirnya saya juga ngerti napa ada orang suka sama Twilight :D

Adrian

Juno Kaha mengatakan...

Aah, tapi konsep egosentrik itu nggak bisa dijadikan pedoman utama, IMHO. Karena saat buku rilis di pasaran, blm tentu org2 yg menyukai karakter kita akan berjumlah sangat banyak sehingga dapat mendukung penjualan buku (karya laris bisa dilihat dari jumlah penjualan kan? :D :D)

Kalo yg terjadi adalah yg suka cuma 10% dari masyarakat dunia, habis dah~ Makanya gw berpikir utk main aman dgn membuat karakter yg bisa diterima (lebih) banyak orang.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, memang gitu. Karakter egosentrik itu love or hate, heaven or hell, hit or miss. Kalau hit, ya kayak Twilight. Kalau miss, ya kayak Man***tra.

Mungkin membantu juga kalau kita tahu 'pasar' dulu. Banyakkah orang yang kira-kira mau mengikuti impian egosentrik kita? Kalau kayaknya banyak, ya monggoh...

Anonim mengatakan...

Wah bisa nyampe 10% dari masyarakat dunia sih jelas udah lumayan banget.
Apalagi kalo semuanya niat koleksi pribadi karena segitu nge-egosentrik-nya.
Hehe.

Gile, sepertinya kapal masih juga oleng terombang-ambing badai.

Heinz.

Juno Kaha mengatakan...

Maksudnya kembali terombang-ambing badai. :D :D Gak tahu deh mereka itu maintenance apaan aja kok lama bin berat gitu.

Hehe.

Anonim mengatakan...

aku baru mo nulis tentang si Bella eh udah ada yang ngobrolin itu di atas.

setelah berusaha mentolerir karakter Bella di 3 buku sebelumnya, tetap saja kejedug muntah di Breaking Dawn.

Aku termasuk orang yang suka tenggelam di 'isi' yang ditawarkan oleh crita. Crita apa saja nggak harus fantasy.

Dan twilight saga menjadi contoh buku yang 'aneh' buat belajar. Cara bercritanya sih lumayan. Isinya nyebelin, karakter tokohnya bikin sakit gigi, bukunya meuni 4 baru tamat...laris manisnya kenapa? *bertanya-tanya* ah apa sindrom cinderella pindah ke model Bella ya? hahay

-dilempar sepatu sama fans twilight saga-

sorry curhat he.he

Luz Balthasaar mengatakan...

@Mbak El,

Aku juga baca Twilight sih. Tapi cuman kuat sampe pertengahan Eclipse, dan belom ada minat lanjut ke Breaking Dawn.

Ini memang buku yang aneh. Tapi kenyataannya banyak orang yang memiliki impian sama dengan Smeyer. Tinggallah kita, yang memiliki pandangan berbeda akan hubungan ce-co yang ideal, merasa sangat, sangat bingung begitu baca buku ini.

Tapi jujur, kalau Twilight nggak berasa seperti wish-fulfillment fantasy yang maksa banget, aku bisa menikmati ceritanya. Dan itulah teknikku untuk baca dua buku pertama. Tiap kali Smeyer mulai cerita soal Bedward pacaran sepajang 10 halaman plus, aku cuma baca 2-3 halaman dan sisanya langsung kuskip. XD

Anonim mengatakan...

aku juga cuma punya buku 1-3. yang breaking dawn bacanya dapat minjem. (biar kalu koment gak dikira sama fans twilight "itu kan kerna lu nggak baca lengkap bukunya" he.he)

sebenarnya dibandingkan twilight, 2 moon dan eclipse, aksi bakat bawaan vampire di breaking dawn lumayan keren...*lagi-lagi mentolerir gaya penceritaan kehebatan Bella yang wew deh*

sayangnya itu hanya beberapa lembar sebelum selesai. sayangnya lagi nggak sampe bertempur...ck!

juga lumayan ceritanya aksi janin setengah vampire...

hanya saja aksi-aksi yang hebat itu bikin aku bilang : ya ampuun hidup beratus ribu tahun belajar apa saja selama ini?

dan...yah setelah breaking dawn mitos vampire yang berbudaya dari buku 1-3 jadi hilang dan digantikan budaya hewan. dan Freud pun tertawa gembira di alam sana. huh!

*benar-benar isi crita tentang budaya binatang*

**Langsung dikutuk rame-rame sama fans twilight**


-gembira bisa ada pelampiasan di sini setelah baca breaking dawn. ha.ha-

Luz Balthasaar mengatakan...

@Mbak El, wew, suara dari perwakilan Twilight Hater O_O

Tenang aja mbak Semua suara diterima disini, trmasuk curcol ala psikiater dan pasien. (Om Freud kadang-kadang mampir kesini.) Asal terkait (dikit) ma topik posting, aja. Wkakakaka XD

Kalau ada Twilight Lover yang baca ini dan mau menanggapi, silakan aja. Sapa tahu kita malah dapat pengetahuan baru.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Sebelumnya mau mengucapkan selamet yang segede-gedenya buat Luz atas pencapaiannya udah nyampe bab 23 dan/atau 95.617 kata. Bikin aku nyengir sendiri mengingat proyek novelku yang masih di situ-situ ajaa....

Btw, klo selesei di bab 30 di angka 124.717 kata, berarti sisa 7 bab berikutnya rata2 4 ribu kata dong??? Dorongdongdong... kayaknya tiap2 bab nya panjang2 ya?

Mengomentari masalah karakterisasi atawa penokohan, aku sendiri lebih suka karakter yang punya sisi baik maupun sisi jahat, atau sisi baik maupun sisi jelek, jadi nggak sempurna gimana gitu. Mungkin karena udah teracuni serial Song of Ice and Fire ya. Jadi kalo baca cerita dengan karakter yang (nyaris) sempurna, agak2 ngerenyit. Lagian, menurutku karakter yang real atau believable itu ya yang "abu2", alias punya putih dan hitam, karena pada kenyatannya kita semua sebagai manusia emang begitu kan? Kecuali kalau mau bikin karakter malaikat atau robot atau alien yaa...

Kalau karakter yang berdasarkan egosentris pengarang sih biasanya cepat atau lambat pasti kelihatan, dengan satu atau lain cara, walaupun disamarkan dengan cara apa pun.

Soal Bella Swan, dia itu contoh Mary Sue yang bagusss bangettt. Lu mesti ngebahas dia kalo mau ngebahas tentang Mary Sue, Luz.

Dan mengenai kenapa Twilight itu bisa lariez maniez di berbagai belahan bumi, menurutku itu (mungkin) karena wet dream nya si Steph itu adalah wet dream nya hampir semua remaja cewe di dunia ini. Ayolah, kisah cinta SMA, cowo yang sempurna, cakep, perhatian, gentleman, plus superhero? (baca:vampir). Itu mah penggabungan antara dua genre yang ga pernah ada matinya walaupun udah basi banget, teenlit ama vampirisme.

Aku selalu mikir, klo mau bikin film yang laku di Indonesia, bikin aja cerita cinta SMA digabung ama petualangan horor yang di ending nya, karakter utama cewe ama cowo nya selamat dari kejaran hantu2 itu. Pasti laku banget dah!

Anyway, balik lagi ke masalah Twilight, menurutku si Steph itu punya gaya penceritaan yang sedikit banyak menghipnotis. Dan dia punya teknik foreshadowing yang bagus, sehingga pembacanya (yang walaupun eneg banget ama karakter2nya, kayak aku) masih cukup penasaran untuk pengen tahu, gimana ceritanya bakal berlanjut.

Aku sih muntah banget di buku 2. Dan mikir, kok Bella nggak mati sekalian aja yak? Tapi teteup aja tuh aku baca ampe yg no 4, sebagian karena penasaran, itu cerita mau dibawa ke mana, sebagian karena ingin belajar, apa sih yang sebenernya ngebuat serial Twilight segitunya booming nya?

Trus apa yg kudapet dari Twilight? Entah, aku juga nggak yakin. Aku setuju ama Mbak El yang bilang klo Twilight itu 'aneh'.

Oh iya, sebagai tambahan, selain aku nggak suka karakter yang terlalu sempurna, aku juga ga suka karakter yang digambarkan jahat hanya karena dia adalah super villain di cerita itu, nggak kurang nggak lebih. Apalagi menggambarkan karakter jahat dengan tindakan yg super jahat, misalnya gitu aja menggal kepala anak buahnya yang cuma salah ngomong, nendang hewan yang ada di dekat dia tanpa alasan jelas, hal2 kayak gitu deh. Manusia itu ada alasannya kenapa membunuh, mencuri, memperkosa, merampok, dsb, dan karakter cerita pun, kalau mau dibikin believable alias manusiawi, ya harus punya alasan juga untuk jadi jahat. Bahkan Setan pun punya alasan untuk menggoda manusia (seperti yang diterangkan di kitab suci).

Yican

Luz Balthasaar mengatakan...

@Yican, well said.

Itu bisa jadi cara ketiga untuk menciptakan karakter sesuai prinsip pertama, kepantasan. Bikin dia abu-abu, dan ciptakan tensi antara sisi hitam dan putihnya.

Tapi kalau dibilang semua manusia itu abu-abu, mungkin tidak. Ada manusia yang jahatnya ngelebihin setan, kok.

Cuma, balik lagi ke prisip kepantasan, kejahatannya dia hendaknya dibuat agar bisa diterima pembaca. Apakah dengan ngasih dia alasan, atau menakar-nakar kejahatannya supaya nggak terkesan dangkal.

Soal wet dream kebanyakan ce untuk mendapatkan co sempurna, yup, itu benar. Seperti halnya co kebanyakan wet dreamnya mendapatkan ce sempurna.

Benernya nggak masalah kalaupun cerita itu tujuannya 'memenuhi' wet dream. Masalahku adalah kalau pemenuhan itu dilakukan dengan picisan dan berbau Sue-ish.

Yang terakhir, soal proyekku. Memang dah hampir kelar. 4000 kata kuakui panjang, tapi kalau kubandingkan dengan beberapa buku fiksi fantasi lain, sepertinya masih bisa diterima. Moga-moga panjangnya itu menjustifikasi kemenarikan isinya.

Unknown mengatakan...

INTERESTING...HTTP://OSCARWADDLE.BLOGSPOT.COM

Luz Balthasaar mengatakan...

@Oscarwaddle, bukannya mau buka crash course netiquette sih, tapi please pake post yang jelas, ya. Kalau mau tukeran link juga boleh kok, asal nyatakan dengan post yang jelas, jangan satu kata all caps. Soalnya aku sempat ngirain ini spam... nyaris kudelete.

Jadi... apa maksud nih? Mau tukar link, atau mau saran komen, atau apa? ^^

Anonim mengatakan...

Maaf ni numpang komen...

Blog-nya sumpe bagus banget mbak, apalagi pas liat kalimat yang ada "Bintang yang mahakuasa"-nya yang ada di atas. (diam-diam saya coba ganti kata 'bintang' dan 'besi' dengan kata lain, wuih seremmm bo...

Btw, maaf saya newbie nih. Boleh minta saran nama karakter fantasi yang 'believable' ga mbak?

Tom Riddle

Anonim mengatakan...

Maaf, maksudnya:

"Bintang Yang Maha Esa"

Tom Riddle barusan.

Luz Balthasaar mengatakan...

Halo Tom ^^

Thanks dah mampir!

Banner di atas kubuat dari ilustrasi untuk cerita pertamaku yang dipublish komersial. Beli bukunya ya! ^^

Untuk nama yang believable, aku biasanya mengambil nama orang beneran yang nggak terlalu sering dipakai. Kedua adalah nama kota/tempat/benda/gunung/sungai. Atau ketiga, nama yang kubikin sendiri dari gabung-gabungan bahasa asing.

Aturan kedua, aku hanya memakai nama itu kalau sesuai dengan setting dan suasana cerita.

Kalau disuruh ngasih contoh nama, aku penggemar theme naming, jadi biasanya aku harus tahu karakternya kayak apa dulu sebelum ngasih nama.

Thanks again. ^^

Anonim mengatakan...

Wah, akhirnya dbales jg.

Karakter aku gn mbak.
Setting: LOTR + sedikit modifikasi
----------------------------------
1. Nama saat ini: Ramza
(Lk, manusia)
Mau ditukar krn udah ada karakter game FF jadul yang make (ntar plagiat lg)
Umur : 10 thn
Sifat: Kurang lebih mirip Harpot
Fisik: Kurang lebih mirip Macaulay Tolkien
Kalo bs berhubungan dengan: Udara, Angin, Badai, Topan, dsb.
-----------------------------------
2. Nama saat ini: Lucie
(Pr, Elf+sayap)
Ditukar krn takut diplesetkan jadi "Luciefer" dan kayaknya gak nyambung aja dengan setting yang aku pake.
Umur : 10 thn
Sifat: Kurang lebih mirip Hinata (Naruto)
Fisik: Kurang lebih mirip Gita Gutawa (hehe)
Sama kayak si Ramza, kalo bs berhubungan dengan: Udara, Angin, Badai, Topan, dsb.
-----------------------------------

PS:Kalo bisa dngan alasan+arti namanya ya mbak. Maaf sebelumnya, moga2 rikues saya ga ngrepotin.

Terima kasih banyak.

Tom Riddle

Luz Balthasaar mengatakan...

@Tom, tadi mikir2 bentar, gimana kalau cowoknya namanya Ruan atau Rylan, sedang ceweknya Lulea?

Rylan itu nama orang beneran. Cari di wiki, nanti ada list orang yang pake nama itu. Kalau Ruan nama kota di Irlandia, sekaligus nama alat musik Cina. Kalau elemennya wind, aku ngerasa Ruan lebih cocok.

Lulea itu nama kota kecil di Swedia. Nggak tahu kenapa, kayaknya cocok untuk nama elf cewek kali ya?

Hope that helps.

Anonim mengatakan...

"Atau bisa juga, mendadak kita ingin membuat plot twist bahwa 'karakter ini ternyata nggak seperti yang tampak di awalnya'."


kak bisa dijelaskan lebih lanjut mengenai plot twist?

Luz Balthasaar mengatakan...

Kalau diminta ngejelasin mengenai plot twist, benernya lebih bagus kalau kita ngasih contoh lewat buku untuk menunjukkan apa itu plot twist.

Sederhananya, plot twist adalah 'pelintiran pada plot' Saat membaca sebuah cerita, aku biasanya punya harapan 'oh, akan terjadi begini. Oh, penjahatnya si ini. Oh, ini nanti jatuh cintanya pasti sama ini. Oh, si ini kayaknya jahat, si ini baik."

Nah, ketika harapan itu tidak terjadi, di sanalah plot twist terletak.

Namun, peletakan plot twist ini pun ada seninya. Kalau tiba-tiba perubahan itu dijatuhkan hanya demi menunjukkan kalau 'saya bisa lho bikin kejutan', jatinya bukan plot twist. Bisa-bisa yang baca malah merasa dikhianati atau mencap si pengarang ujug-ujug mengubah.

Ivon mengatakan...

Luz...boleh kasih saran?
di link "Epic Fail" itu, tolong kasih tanda extreme biohazard, kurasa otakku lecet sehabis melihat isi link itu... O.o

Luz Balthasaar mengatakan...

Poinnya memang untuk melecetkan otak, Von. Hiehehehehe >:D

Aku paling suka yang cowok cosplay jadi Tifa sambil ngisep cerutu, sama cowok yang jadi Faye Cowboy Bebop. kelihatan seksay (seksi jijay) gitu. >:D

Ivon mengatakan...

hahahhaha~ oyeah, seksai abiz~

asli, sampe sekarang gw masih kebayang2 itu penampakan makhluk2 ghaib nan tak senonoh itu, haduhhh~

kupersembahkan piala WutTeFuuuukk untuk: cosplayer Rock 'piss/Mstrbt' Lee!
komentar juri:
-apaitudiselangkangannyaOMGWTF
-gw sampe mimpi buruk beneran malemnya, untung gag sampe didatengin si cosplayer itu dalam balutan kostum OC gw =_=;;

dan piala EpicFailCheapestCosplayer, dan juga yang jadi fave juri, kuserahkan kepada:
The Magnificent Gundam-Kardus!!

*tlepok-pingsan*