Selasa, 15 Juni 2010

Stairway to Heaven ~ Peringkat dan Prioritas dalam Persen

Minggu lalu aku menyebut kalau aku akan mencatat sesuatu soal 'peringkat' elemen-elemen novel fantasi. Waktu nulis itu, aku teringat pada diskusi-diskusi seru di forum penulis-penulis setengah mateng yang biasanya mempermasalahkan elemen mana yang lebih penting dalam sebuah novel. Kalau misalnya kita harus memilih antara plot atau karakter, mana yang didahulukan? 

Catatan ini bertujuan untuk mengemukakan jawabanku atas debat-debat itu. Tapi sebelum itu, biar kutegaskan kalau ini jawaban kasar, dan hanya mempertimbangkan lima elemen yang sepengetahuanku paling sering diperdebatkan. Apabila ada elemen-elemen lain yang menurut anda semua perlu ikut dipertimbangkan, silakan sumbang pendapat melalui tombol komentar.
   
   
Kelima elemen besar yang biasa diperdebatkan itu adalah Plot, Dunia, Orisinalitas, Gaya  Bercerita, Karakter. Berdasarkan urutan prioritasku, elemen-elemen ini kuletakkan dalam peringkat sebagai berikut:


1. Plot
Seseorang pernah mengajari aku bahwa kewajiban utama seorang tukang cerita adalah menyajikan cerita yang baik. Waktu itu yang bersangkutan ngomongnya, "the first responsibility of an author is to tell a good story." Sengaja kucantumkan ini  karena barangkali ada yang meragukan kemampuan terjemahanku, setelah aku dengan seenaknya menerjemahkan The Death to Come menjadi Mampus Bakalan Datang. Lepas dari kemampuanku berbahasa Inggris, aku meyakini ajaran ini benar. Kalau kita ga punya plot yang bagus, apa yang mau kita ceritakan? 

Saat kita menyajikan cerita yang kita sajikan paling utama itu plot. Kalau itu gosong, maka kita bisa menganggap bahwa minimal 30% cerita kita udah gosong. Kalaupun kita bikin karakter yang keren, dunia yang top abis, dan gaya bahasa yang maknyus, tapi plotnya buruk, apa yang diceritakan?

Ada yang protes mungkin, bilang, "Lha, Devil May Cry sama Kingdom Hearts tuh keren abiss meski plotnya biasa banget!" Iya. Setuju. Tapi itu game, bukan novel. Dan nyawa game--kecuali RPG--itu bukan di plot cerita, tapi di gameplay. Selama mainnya asyik, maka game itu akan jadi asyik. Ga peduli ceritanya ga seberapa bagus.

Lalu, apakah plot bagus adalah segala-galanya? Apa demi plot kita harus ninggalin semua? Apakah plot yang keren bisa menyelamatkan cerita yang gaya ceritanya jelek dan karakter yang biasa banget? Nggak selalu, bahkan cenderung nggak Seperti yang kubilang, buatku plot itu baru 30%. Ada faktor berikut yang hampir sama pentingnya, yaitu...


2. Karakter
Yang pernah baca curcolku beberapa minggu sebelumnya mungkin kenal sama Bu L. Dulu, Bu L ini bilang padaku kalau aku punya masalah penokohan. Alias aku nggak bisa bikin tokoh yang ngena. Beberapa tahun setelah Bu L bicara begitu, aku ngebaca tulisan seseorang yang bilang bahwa "tokoh adalah plot dan plot adalah tokoh." Sebetulnya aku kurang setuju sama pendapat yang bersangkutan, tetapi poin yang tersirat di dalam pendapat itu bisa dibenarkan: penokohan sangat penting.

Seberapa penting? Mari kita lakukan eksperimen sosial. Jika aku menyebut God of War, apa yang anda bayangkan? That's right. Kratos. Tomb Raider? Lara Croft. Narnia? Anak-anak Pevensie. Lord of the Rings? Frodo dan konco-konconya. Bartimaeus Trilogy? Barty. Sebut judul media apa saja, dan otak kita bakalan otomatis nyambung ke tokoh.

Dan di mana-mana, paling lazim ada itu poll karakter favorit. Bukan poll dunia favorit atau bahkan plot favorit.

Kadang, tokoh yang bagus bisa 'menutupi' kalau plotnya nggak seberapa bagus. Kalau pembaca bersimpati, biasanya mereka akan terus baca sampai akhir untuk melihat bagaimana nasib si karakter. (Tapi kalau mereka merasa ditelikung gara-gara endingnya ga memuaskan, lain masalah.) Itu juga alasannya aku kadang-kadang sulit menentukan mana yang lebih penting antara plot dan karakter. Tapi kalau harus memilih, aku akan taruh karakterku di 25%

Itu berarti ada sisa 45% yang kubagi antara...


3.Dunia
Ngapain musingin setting, ada yang bilang. Untuk novel yang bukan fiksi fantasi, mungkin benar. Tapi di novel fiksi fantasi, pembaca sedikit banyak berharap mereka dibawa pergi ke dunia yang berbeda dari dunia tempat mereka berada. Jadi, menghidupkan dunia lain itu penting untuk novel fiksi fantasi. Dunia yang hidup di imajinasi pembacanya bisa sama memorable dengan karakter, dengan kata lain, membuat pembaca bersimpati, bahkan ingin hidup di dalam dunia itu.

Pernah dengan fenomena agama Jedi? Ini contoh orang-orang yang demikian mencintai dunia Star Wars hingga mereka sampai bikin agama sendiri. Nggak bermaksud nyindir kalau ada Ksatria Jedi yang baca tulisan ini, ya. No offense. So put that lightsaber away from me please.

Untuk dunia, aku kasih 20% deh. Jadi tersisa kira-kira 25% yang kubagi ke...


4. Gaya Bercerita
Termasuk di dalam sini adalah teknik cerita, seperti pemakaian flashback dan foreshadowing, serta gaya bahasa. Pada dasarnya suatu cerita dengan plot, dunia, dan karakter yang bagus bisa diceritakan dengan gaya bahasa biasa-biasa dan alur maju sederhana tanpa flashback atau foreshadowing (atau teknik-teknik lain). Tapi kadang juga terjadi sebaliknya. Teknik bercerita yang keren banget bisa membuat cerita yang biasa-biasa saja jadi terasa keren.

Lalu apakah itu berarti teknik lebih penting dari substansi? Ada juga yang pernah bilang padaku bahwa penulis itu menjadi penulis bukan karena apa yang ia sampaikan, tapi karena bagaimana ia menyampaikan. A writer is a writer not because of what s/he writes, but how s/he writes. Aku cukup setuju dengan satu hal ini, tapi dengan catatan. Dokter paling hebat sekalipun nggak bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Sama halnya, teknik paling keren sekalipun nggak bisa menghidupkan plot mati. Alias, kalau plot itu sama sekali ga ada menarik-menariknya, or at least, gives a certain profoundness to the reader, teknik ga  akan guna. Agar teknik bisa bekerja, cerita itu seharusnya punya substansi.

Sebab itu, gaya bercerita mendapat porsi 15% di skalaku. Sisa 10% terakhir kuberikan kepada...


5. Orisinalitas. 
Aku benci klise. Banget. Lalu kenapa orisinalitas cuma kutaruh 10%? Karena memang orisinalitas nggak segitu pentingnya kalau kita bisa bikin keempat hal sebelumnya dengan baik. Problemnya, ini sering dijadikan alasan bagi banyak orang untuk nge-spam klise dengan alasan, "klise gag papa asal dibawakan dengan fresh." Padahal, bagaimana cara menyegarkan klise itu, mereka seringkali ga tau. Karena mereka tidak tahu dan malas mencari tahu, maka mereka berlindung di balik alasan itu, dan ucapan there's nothing new under the sun.

Sedikitnya, kalaupun kita nggak bisa ori, paling gak klise itu jangan ditumpuk-tumpuk gituh. Haruskah kita memulai cerita tentang hero cowok yang menghuni desa/kota terpencil (klise 1) mendapat tugas pergi ke hutan (klise 2--desa-desa pertama di kisah fantasi harus pasti kudu deket hutan,) dan ketika dia pergi desanya mengalami musibah, biasanya diserang dan dibakar (klise 3) oleh pasukan dari kekaisaran tetangga yang jahat, (klise 4--di dunia fikfan, kekaisaran biasanya jahat, kerajaan biasanya baik,) hingga si hero ini menjadi salah satu diantara sedikit orang yang masih bertahan, jika bukan satu-satunya orang yang selamat dari serangan (klise 5) sementara seluruh keluarganya dibunuh dan dibantai (klise 6). Dan, oh, ya, jangan lupakan, biasanya ibu dan saudara perempuan / pacarnya diculik atau diperkosa (klise 7) dan dalangnya adalah seseorang yang memakai jubah hitam, doyan bermonolog, dan ketawa sambil berdiri di atas tebing (klise 8). MUWAHAHAHAHAHA~!


Inilah pedoman yang kupakai untuk menilai dan membuat cerita. Aku nggak selamanya kaku harus memakai urutan ini, terutama kalau aku membuat cerpen untuk melatih satu aspek. Pedoman inipun selalu terbuka untuk dikaji dan ditambahi. Oleh karena itu, Biar kututup catatan kali ini dengan bertanya, "What's your priority?"



Luz Balthasaar

28 komentar:

Anonim mengatakan...

Pertamax!

Entah lah mba. Justru saya ngerasa semuanya kecuali orisinalitas ada di posisi yang sama. Walau yah saya juga ga suka kalo klisenya kayak yang mba bilang di atas. GWA HA HA HA HA HA HA.


Adrian.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Karena aku orang yang sangat sangat mementingkan cerita yang bagus, baik dari buku, manga, film game ataupun anime, aku taruh Plot di nomor 1, trus Gaya Bercerita, lanjut ke Karakter, Dunia, baru Orisinalitas. Kalau ditanya presentasenya berapa masing-masing elemen itu, agak bingung juga jawabnya 0_0 Tapi pokoknya urutannya begitu dah

Juno Kaha mengatakan...

Hmm.

Plot, karakter, dunia, orisinalitas, gaya bercerita. Gw malah gitu urutannya. :P :P

Hehe.

Villam mengatakan...

A writer is a writer not because of what s/he writes, nor how s/he writes, but how much s/he uses her/his time (life) to write.

heheh... itu kalo menurut gue. :-P

dan sebenernya elemen fiksi yang paling dasar itu ada 5 yaitu: plot, character, setting, style dan theme. originalitas adalah semacam 'tambahan' karena bisa menyangkut ke semua elemen yang lain, tidak hanya originalitas tema, dan kalo gue pribadi lebih suka menyebutnya sebagai keotentikan atau keunikan (sesuatu yg bisa jadi tidak orisinil, tapi karena gue merasa itu disajikan dg cara atau gaya yg berbeda oleh penulisnya, maka itu menjadi unik atau otentik).

but eniwei, kalo bicara ttg elemen mana yang paling penting, jawaban gue mungkin akan berbeda2 tergantung dari situasinya.

jika gue adalah calon pembaca yg sedang berdiri di depan rak buku, atau editor yg sedang duduk di depan tumpukan naskah, saat gue harus memilih, maka elemen yg paling penting buat gue (pastinya subyektif) adalah:
1. theme, karena paling gampang dilihat dari sinopsisnya. kalo unik dan gue suka, gue pilih.
2. style, udah bisa keliatan di halaman pertama, gimana cara penulis milih POVnya, menulis kalimatnya, narasi, dialog, deskripsi, EYD, dll. kalo unik dan gue suka, gue pilih.
3. setting, mesti udah bisa keliatan di beberapa halaman pertama. kalo unik dan gue suka, gue pilih.
4. satu atau dua character awal dan kemungkinan pengembangan plotnya, mesti udah bisa keliatan di bab pertama. kalo unik dan gue suka, gue pilih, dan akan gue teruskan baca ke bab berikutnya.

nah, jawaban berbeda akan timbul jika buku atau naskahnya udah selesai dibaca. jika karena kewajiban tertentu gue diharuskan ngasih nilai (kalo editor pastinya harus), maka urutan bobotnya, dari yg paling penting, adalah:
1. theme. gak pake bobot, karena keharusan. kalo unik dan gue suka, maka gue rekomendasikan. kalo enggak ya enggak.
2. style 30%
3. plot 30%
dua hal ini adalah dasar, karena hal yg sulit diubah dlm sebuah naskah. kalo menurut gue stylenya gak cocok dg gue, dan plotnya terlalu banyak yg bolong dan akan terlalu sulit buat diperbaiki, gak akan gue rekomendasikan.
4. character 15%
5. setting 15%
karena dua hal ini relatif mudah diperbaiki dibanding 2 di atasnya.
6. lain-lain 10%. apa aja itu? bisa apa aja. heheh...

lalu bagaimana jika gue adalah pembaca biasa? sbg pembaca biasa gue akan pusing2 bikin bobot, dan patokannya cuman apakah gue suka atau tidak. dan penyebab suka atau tidak ini bisa apa aja, apakah itu theme, character, plot, setting, style atau yang lain. jika ada satu hal yg benar2 menarik dan menonjol dan perlu diketahui/dibaca pembaca lain, gue gak akan segan merekomendasikan. jadi, gue rasa kedudukan semua elemen itu akan sama, walau ... kelihatannya theme (lalu diikuti plot dan style) adalah hal yg lebih penting buat gue rekomendasikan.

sekarang, bagaimana kalo gue sebagai penulis? di satu sisi gue punya ego ingin menulis sebebas yg gue mau, tapi di sisi lain gue pastinya juga ingin karya gue terlihat bagus di setiap elemennya (dan juga bagus di mata calon pembeli, editor, dan pembaca yg gue sasar--which is unfortunately impossible to satisfy everyone of them).

jadi jika dilihat dari kumpulan di atas maka kayaknya urutan gue sbg penulis adalah theme, plot, style, character lalu setting. dan kalo bisa setiap elemennya mengandung keunikan dan keotentikan (ciri khas) gue sebagai penulis (yg saat ini masih berusaha mencari dan membentuk keotentikan itu).

:-)

Danny mengatakan...

Kok kayanya aku beda sendiri ya? Buatku, karakter ada di posisi paling atas. Alasannya karena aku ga bisa bikin cerita kalo ga bikin karakter dulu. Dan aku pernah baca di suatu tempat kalo "In a battle between plot against character, character always win".

Posisi kedua baru plot. Buat pemersatu cerita dan bikin ceritaku jelas hubungan sebab akibatnya. Yang ketiga setting dunia, karena nove fikfan setting dunianya harus bisa menarik pembaca.

Posisi keempat diisi sama originaitas. Baru yang terakhir itu gaya bahasa. Aku ga pernah terlalu musingin gaya bahasa tiap kali nulis. Asal aku suka nulisnya dan pembaca ngerti apa maksudku, berarti it's alright. :)

Luz Balthasaar mengatakan...

@all, memang biasanya begitu. Semua orang punya prioritas sendiri dalam menulis. (Bukan membaca, ya.) Rata-rata plot atau karakter memang ditempatkan paling atas.

Alasan aku ngga memperhitungkan theme tapi memperhitungkan orisinalitas adalah, theme cerita itu terlalu bergantung pada selera. Susah menentukan theme mana lebih jelek dan mana lebih bagus. Kalau orisinalitas lebih bisa dikira-kira, dengan mengamati mana elemen yang udah kebanyakan dipakai dan mana yang belum.

Sedikit soal "A writer is a writer because of the amount of time s/he uses in his/her (life) to write," memang benar kita harus berlatih. Tapi kualitas kerjaan selalu lebih penting daripada kuantitas waktu yang dihabiskan.

Someone once said to me that one million monkeys banging on one million typewriters will eventually reproduce the works of Shakespeare. But thanks to the advent of the internet, we now know that this is not true.

Writing is, of course, good; but if you do not dedicate your time to live, pretty soon you will have nothing to write about.

Anonim mengatakan...

klo saya yg penting plot ama karakter, sisanya nyusul hehehe

hmm... boleh tanya?

gaya bercerita tnyt elemen penting y...
bisa bahas2 ttg teknik2 foreshadowing, flashback, dkk
baca di wikiped pusing sendiri saya
gaya bahasa unik??

thanks

stezsen

Juno Kaha mengatakan...

@stetzsen: Bisa dibilang, gaya bahasa itu penting buat kita selaku para pembaca bukan selaku para penulis. Penulis bisa nulis semau2nya dia, tapi pada akhirnya bukunya diterbitin, bukan dia yg akan beli semua buku yg terjual dan baca gaya bahasanya sendiri kan? Yang beli tetap orang lain bernama "konsumen/pembaca" dan mereka itu seperti layaknya suporter bola, komentarnya seolah2 mereka lbh jago daripada yg mainnya (kalo maen bola pasti biasa kan teriaknya "R*naldo goblok! Kok gak dioper tapi dibawa sendiri" <-- misalnya sementara kalo pembaca, bisa aja komentarnya "Buh, ceritanya garing ah, gw gak suka. Udah gitu kalimatnya kedengarannya aneh pula" padahal di penulis mah kalimatnya terdengar baik2 saja)

Gaya bahasa itu jatuhnya ke kenyamanan membaca. Ada org yg bilang kalo Jomblo ama Gege Mencari Cinta itu kocak dan bilang suka, tapi ada juga yg bilang suka ceritanya dan gak suka footer2 yg menyertainya. Ada yg bilang Jonathan Strange&Mr Norrell itu pembentukan dunianya bagus abis, tapi di sisi lain ada yg mempermasalahkan footer yg makan satu halaman sendiri. Dua contoh itu emang bukan ngomongin gaya bahasa, tapi ngomongin soal kenyamanan saat membaca.

Salah satu contoh ngobrolin gaya bahasa tu sempat terjadi di blognya Mas Pur, antara gw dan si Heinz soal gaya bahasa di The Death to Come. Heinz bilang dia suka gaya bahasa "terjemahan"nya sementara gw bilang, gw perlu starter agak lama krn gaya bahasa yg terasa kurang "ngeh" di gw (fyi, buat gw sendiri gaya bahasanya Tyas Palar bukan gaya bahasa "terjemahan" tapi lbh ke bahasa Indonesia yg--niatnya--dinuansakan sesuai setting di Eropa).

Kalo mau contoh lain, Signora Luz pernah mengutip sebagian kecil isi dari Willy Flarkies. Di sana lbh ke arah tata bahasa kacau, IMHO (CMIIW), tapi bbrp org yg baca sepakat kalo bentuknya kyk gitu ya gak enak bacanya. Jadi malas bacanya. :D :D Makanya tata dan gaya bahasa yang bagus dan pas itu juga dibutuhkan. :D

Hehe.

Villam mengatakan...

oh soal yg 'a writer is a writer dst dst dst' itu sebenernya sesederhana ini kok:

petani bertani.
pemain bola maen bola.
penulis menulis.
tentu saja mereka semua punya hidup, kerja, petualangan, cinta (halah) dsb, tapi kalo dia tidak menulis ya berarti dia bukan penulis, tapi hanya orang yang bermimpi jadi penulis, atau orang yang pernah mencoba-coba menulis, atau orang yang dulu memang pernah menjadi penulis tapi sekarang tidak lagi.

soal orisinalitas, sebenarnya kita gak bisa lho mengklaim suatu karya (punya orang lain atau punya kita sendiri) atau elemen dalam karya tersebut sbg suatu yang bener2 orisinal, karena walaupun kita merasa yakin gak pernah mendengar hal yg serupa sebelumnya, bukan berarti itu benar-benar gak ada. maka, ada baiknya kita menggunakan istilah 'orisinil' secara berhati-hati, kecuali kita benar2 sangat yakin.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, Stez,

Kalau kita memang belum mau pusing soal gaya bercerita, sebaiknya sih pegang beberapa aturan sederhana saja. Satu, jadikan setiap kalimat maksudnya jelas dan mengena. Kedua, coba gunakan kalimat-kalimat yang nggak terlalu panjang. Ketiga, usahakan sesedikit mungkin pengulangan kata dalam paragraf. Keempat, sampaikan gagasan dalam paragraf itu dengan runut. Jangan meloncat-loncat acak.

Untuk melaksanakan empat hal ini aja sebenernya lumayan sulit. Tapi jangan terlalu paranoid juga. Ikutin aja sebisanya dulu. Nanti kita bisa meminta bantuan teman untuk test reading apakah cara bercerita sudah enak.

Yaa, itulah enaknya kalau punya teman-teman yang selalu bersedia jujur ke kita sih.
__

@Villam,

Kayaknya ga ada yang ngomong soal nggak menulis tuh. Bukannya kita bicara soal "kuantitas menulis", bukan "menulis atau tidak"?

Coba deh... what s/he writes, how s/he writes, how much s/he uses her/his time (life) to write. Sama sekali nggak ada yang nyinggung whether or not s/he writes.

Atau barangkali kita "punya interpretasi berbeda" atas tiga kalimat bahasa Inggris itu ya...

Soal orisinalitas, itu bisa dirasakan, dan bisa diukur selama kita mau berpikir dan menganalisis.

Orisinalitas bukan berarti cerita sama sekali nggak boleh mengandung sesuatu yang sudah pernah dipakai/sudah ada sebelumnya. Ini pengertian yang terlalu sempit. Selain tidak mendorong orang untuk melakukan proses kreatif, pengertian ini mematikan tujuan menulis.

If originality means everything should be new, then it is dead, because there is nothing truly new. If originality is dead, we cannot innovate. If we cannot innovate, why write?

Menciptakan orisinalitas adalah bagaimana membuat terobosan dalam karya, atau, jika kita bicara dalam lingkup yang lebih sederhana, mendobrak kejenuhan tren. Karena ada orisinalitas inilah seni bisa berkembang. Salah satunya, tentu, seni menulis.

Atau lagi-lagi, kita "punya interpretasi berbeda" atas apa yang disebut orisinalitas, ya...

Anonim mengatakan...

Someone once said to me that one million monkeys banging on one million typewriters will eventually reproduce the works of Shakespeare.

Hehe, Nietzche ya?
Tapi rasanya gini deh: satu monyet dan satu mesin tik, tapi dikasi waktu unlimited.
Atau penyesuaian modern kali. Hihi.

Tentang gaya bahasa sepertinya agak sulit. Ketika seorang memutuskan menulis secara aktif dan rutin, bakal dengan sendirinya dia punya gaya sendiri. Pernah nyoba gaya Harpot, LOTR, teen-lit, de el el. Paling kuat cuma lima halaman. Udah gitu balik lagi ke gaya original. Ato cuma kasusnya cuma aku?

Tapi tentang 4 aturan dasar bikin kalimat itu, aku setuju. Dan itu jelas bisa diasah.

@juun
Ehm, ya, ya, tentang gaya bahasa terjemahan itu. Ngutip dari si bubub sih dan aku sepakat. Kupikir emang gayanya agak mirip Harpot ke-1 ato ke-2 gitu. Tapi ya, mungkin cuma perasaanku doang kali. Tiap orang punya selera dan perspektif masing-masing.

Heinz.

Juno Kaha mengatakan...

@Signora Bone: Gw emang blm terlatih membuat tulisan tentang teori menulis makanya lupa soal aturan dasar gaya bahasa. :P

@Heinz: Yep. Gaya bahasa juga gw awalnya niru2 Harpot, udah gitu pas baca Taiko, gw merasa senang juga dengan gaya bahasa Taiko. Jadi ya kayak sekarang ini bentuknya. Mgkn tanpa sadar udah hybrid bbrp gaya bahasa (dan dlm bbrp kasus jatuhnya malah jelek, jd kyk terjemahan. Terjemahan itu, IMHO, tidak seharusnya menjadi gaya bahasa seseorang, makanya gw bilang jelek, khusus utk diri sendiri.)

OT: Signora Luz ama Villam ini byk bener beda pendapatnya yah.

Hehe.

yin mengatakan...

waw 4 aturan dasarnya aja udah susah begitu

kenapa gaya bahasa terjemahan dibilang jelek?
sebetulnya gaya bahasa terjemahan itu seperti apa sih? trus gaya bahasa indo seperti apa?

setahu ilmu membaca saya yg masih super jelek ini...
kayaknya bahasa terjemahan kan cuma bahasa indo yg baik dan benar? soalnya ga ada kata2 gaul. paling cuma ketambahan kata2 asing dikit misalnya Sir, well, dsb

kalo gaya bahasa indo itu kaya apa? apa yg nyastra banyak majas kaya novel2 jadul itu? ato yg kaya tinlit2 zaman sekarang itu?

soalnya ada yg bilang tulisan saya kaya bahasa terjemahan. mw gimana lagi baca novel terjemahan lbh banyak drpd novel indo

bagaimana cara biar gaya bahasa ga kerasa terjemahan tapi kerasa indo?

thanks
stezsen

zaenuar A.R.A.I mengatakan...

permisi bang !
numpang nanya ,bukankah kita bisa pake dunia nyata kita buat 'dunia' ? jadi gak perlu bikin 'dunia' lagi

misalnya : ada sebuah organisasi rahasia bernama Departement Urusan Hal Gaib di Indonesia ,blablabla ,bla bla....

di contoh diatas kita bisa pake Indonesia didunia nyata selama plot kita masih kerasa fantasi ? plotnya khan soal departement urusan hal gaib yang udah krasa fantasy bgt jadi dah gak perlu lagi make dunia yang fantasy khan ?


benerin kalo salah
salahin kalo bener

thenks

Juno Kaha mengatakan...

@stetzen: Soal gaya bahasa terjemahan, gw serahkan kepada Heinz yg kyknya lbh ngerti krn dia yg pertama kali mengutarakan istilah tersebut. :D

Dan soal gaya bahasa, kan gw udah cerita pengalaman gw "nyari" gaya bahasa. Gak usah terlalu formal deh. Kalo elu mau formal nyari gaya bahasa dan cara nulis yg baik dan benar, pelajaran bhs Indonesia di sekolah diperhatiin bener2 dan jangan lupa ama yg namanya EYD buat ngebantu masalah tanda baca dan huruf kapital.

@zaenuar: Gak dilarang kok pake setting dunia nyata. Biasanya yg pake setting dunia nyata gitu dianggapnya alternate world, kyk kasus di trilogi His Dark Materials: Oxford di Inggris yang bukan Oxford di Inggrisnya kita. Ato Jonathan Strange&Mr Norrell, London yg London tapi bukan Londonnya kita krBn di sana yg namanya Napoleon bukan Bonaparte tapi Buonaparte. Contoh plg terkenal deh: Harry Potter. London yg sama dengan dunia nyata tapi di sana ada Kementerian Sihir dst. Dan Harpot dikategorikan sebagai (fiksi) fantasi. (Fiksi ditaruh di dalam kurung krn kita semua scr tdk lsg udah tahu bahwa Harpot itu karya fiksi kan? :D :D Jd gak perlu disebut lagi.)

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Heinz, Itu juga bisa. Seekor monyet, satu mesin tik. Sekalipun dia memakai seumur hidupnya buat ngetik, dia nggak akan menghasilkan karya yang bisa membuatnya disebut penulis. Quality over quantity, I guess.

Tapi jangan juga "nulis sedikit asal bagus" dijadikan alasan untuk tidak berlatih. Tanpa berlatih, ya kualitas tulisan kita nggak akan jadi bagus.

Aku baru baca artikel yang ditulis Monica Seles di Newsweek. Katanya, "Find a balance that makes you happy." Bener banget.
___

@Juun, eksperimen aja. Aku juga awalnya gitu kok. Suka gaya bahasa ini, niru ini. Suka itu, niru itu. Tapi akhirnya your mental state would win. Jadi, cara paling baik untuk mengembangkan gaya bahasa sebetulnya dengan mengasah keadaan jiwa dan cara berpikir.

OT: Ah,belum tentu, Juun. Kali aja kita "punya interpertasi berbeda" atas apa yang disebut "interpretasi berbeda"... XD XD XD

Ngeles Dot Com.
___

@yin/Stez, soal gaya bahasa terjemahan, mungkin maksudnya gini. Ada beda rasa kalau kita baca novel terjemahan dengan novel yang memang ditulis dalam bahasa Indonesia. Karena masalah ini bukan aku yang bawa, mungkin aku ga jelaskan dulu. Ntar deh kalau Heinz mau...
___

@Bang Zaenuar, saia ini bukan "Abang" kali, Bang! Saia ini "Mbak". Luz bukannya jelas nama cewek yah, hehehe ^^

Kalau yang Bang Z bilang, itu tetep harus world building. Karena kita menciptakan dunia nyata dengan unsur fantasi. Kita menciptakan "dunia nyata menurut saya", yang sebenernya dunia yang berbeda. (Lihat post Mantoel Toeink sebelumnya.) Worldbuilding diperlukan untuk membuat dunia nyata alternatif itu bisa dipercaya pembaca.

Mungkin kalau worldbuilding macam ini enaknya kita nggak usah terlalu repot ngasih deskripsi setting. Tapi tetep kita harus mengevokasi departemen urusan gaib itu supaya pembaca menerima kalau badan itu bisa saja ada, dan menghubungkannya dengan 'kejadian-kejadian' di "dunia nyata rekaan kita".

Anonim mengatakan...

@Toeink : makasih ,jadi bisa aja saya pake : surabay yang berbeda dari surabay kita ?? ,kyaknya sama aja bikin dunia baru deh

@mbak luz : (dah dibenerin noh ,maaf salah sebut ,hbis nama blakangnya cowok bgt) jadi pada prinsipnya kita harus pandai pandai mencampuradukkan antara konsep non fantasy dan konsep fantasy mokeoke ,usul diterima

thanks banyak

Kuro Myswalk mengatakan...

numpang nimbrung soal gaya bahasa translasi (berhubung baru selesai ujian translasi dan stres berat; mampus dah gw, mana ada translasi yang ga boleh lihat kamus T_T)

klo bahasa terjemahan terasa baku dan mengikuti EYD persis plek, itu justru dikatakan terjemahan yang kurang baik, karena tidak memenuhi salah satu kriteria yaitu naturalness. Lalu apa hubungannya dengan gaya bahasa dalam menulis? Simple-nya, kalau kita kembali ke jaman storyteller masih berbicara dengan mulut berbusa-busa (bukan lewat kertas), maka tentunya kita lebih nyaman dia menceritakan dengan gaya bahasa yang akrab dengan kita. Prinsipku sih gaya bahasa yang baik itu adalah gaya bahasa di mana pembaca tidak akan menaruh fokus padanya (lepas itu baik atau tidak) karena akan men-distract fokus ketika dia membaca cerita (menarik perhatian ke perihal gaya bahasa tersebut, dan membuatnya berpikir sejanak untuk sesuatu yg tidak ada hubungannya dengan cerita). Yeah, pendapat boleh berbeda, kan^^

BTW, aku urutan yg pertama adalah karakter dan plot 50:50 sisanya pelengkap; karena pembangunan cerita bisa berdasarkan plot, ataupun karakter, bahkan bisa juga dari universe-nya...

Juno Kaha mengatakan...

@Januar/zaenuar (namanya berubah ...): Betul sekali. Mungkin aja Surabaya di cerita dihuni oleh para siluman sura dan buaya makanya nama kotanya Surabaya, tapi sehari2 para siluman itu membaur dalam wujud manusia di dalam masyarakat. Itu aja udah ada unsur "fantasi"nya. :D

Hehe.

striferser mengatakan...

nice post

kalau gw prioritasnya seperti ini
1.plot-character (seimbang, good plot save bad character, good character save bad plot, the main ingredient, setidaknya menurut saya)

2.setting-style (bumbu penyedap yang membuat bahan utama menjadi lebih sedap, akan tetapi kalau tidak ada, rasa bahan utama menjadi terasa kurang...)

Untuk originalitas, saya sedikit bingung soal ini, karena susah sekali menemukan originalitas, yang ada banyak orang melakukan mix and match untuk menciptakan rasa baru dari rasa yang lama. yang pasti orisinalitas ini benar2 sesuatu yang sangat 'waw' sehingga susah sekali untuk menghasilkan 'rasa baru'

sekian dari komen dari saya, yang setelah saya baca sendiri, kok kayak komentator juri masakan....

Luz Balthasaar mengatakan...

@Striferser, itu makanya Orisinalitas kutaruh cuma 10 persen. Do the basics right, maka kita ga perlu terlalu memusingkan orisinalitas.

Itu penting, tentu, tapi kita nggak bisa selalu menghasilkan karya yang perfect, atau selalu mendobrak kejenuhan tren. Kalau plot, karakter, setting, dan gaya udah asik, itu udah 90 persen kan?

Karya yang 90 persen adalah karya yang sangat baik. Nggak sempurna tapi sangat bagus. Kayak ujian aja. Nggak usah nilai 100. 60, 70, 80, 90 juga bisa lulus kok.

Anonim mengatakan...

@Luz

Ho ho ho. Setuju mba. Kalo semuanya selain orisinalitas dah bagus, yang 10% udah ketutup. Setuju kalo emang kita ga bisa sampe 100%. Lha wong emas saja yang murni masih ada ketidakmurnian. Nothing's perfect, even for gold and ivory. Yet, people crave it.

Adrian.

Anonim mengatakan...

Em, correction: Yet people crave them. :D

Adrian.

Anonim mengatakan...

Uuuh biar bagaimanapun saya memprioritaskan orisinalitas di atas hal yang lain, rasanya lebih menyenangkan berburu orisinalitas yang memang sangat sulit(elemen lain juga sulit siih)

haha..

Anonim mengatakan...

^
^
^
smith61

Luz Balthasaar mengatakan...

Gak papa kok smith. Mau berburu Orisinalitas pun nggak masalah.

Resikonya memang, itu prinsip yang sulit dikejar.

Bukannya ngga mungkin sih. Tapi post kamu ngasih aku ide untuk bahasan kecil minggu depan. Thanks bantuannya!

AbyssCrawler mengatakan...

hahahaha ... anyway, Luz, cerita yang lagi kutulis ini plotnya mirip banget plot yang kau tulis buat contoh klise itu.

gw ngerti maksudnya dgn "klise yang dibawakan dengan fresh", tapi gw sendiri kesulitan menjelaskannya. kalau buat gw, klise yang dibawakan dengan fresh mungkin maksudnya : ada sesuatu dalam klise itu sehingga ga bikin boring.

kurasa, IMHO nih, bukan ga mungkin kalau kita bisa menciptakan sesuatu yang tidak biasa berdasarkan sesuatu yang klise.

tapi teori hanya teori, gw sedang mewujudkan praktiknya sekarang.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Bing: True true.

Yang paling bagus adalah langsung praktek. Kalau hasilnya udah kelihatan, baru kita bisa bilang, "Klise bisa dibawakan dengan fresh, dan inilah cara saia."