Selasa, 11 Oktober 2011

The Rainbow Serpent ~ Wajah Keragaman di Tepi Sungai Yarra

Waktu dapat bocoran kalau saia bakalan dinas ke Melbourne, saia gumbira setengah mati. Wajar dong. Namanya juga orang pelit. Paling girang deh kalau bisa ke luar negeri tanpa keluar biaya pribadi. 
 
Tapi sebelum dinas, saia harus kerja mati-matian plus overtime gak dibayar beberapa hari untuk menyelesaikan persiapan ke sana. Mana di saat genting, Bos dikirim dinas seminggu ke Republik Super Junior. Untungnya saia dan rekan-rekan bisa menyelesaikan semua persiapan dengan baik. Paspor keluar, presentasi kelar, visa beres, tinggal berangkat.
 

 
Di tengah kesibukan itu, pengumuman Fantasy Fiesta 2011 keluar. Cerita saia, Dongeng Kanvas, ternyata keluar sebagai pemenang kedua. Saia juga memenangi dua polling. Pertama untuk kategori Karakter Paling Bikin Jatuh Cinta (gak sia-sia Ruis dinas nebar napsu,) dan salah satu Ilustrasi Favorit Pembaca. Terima kasih kepada semua teman yang sudah mendukung. Akan ada Parodi Kanvas spesial untuk anda semua nanti.
      
Klutuk klutuk tek tok tek tok...
Sayangnya saia gak bisa ikutan pesta lama-lama. Pasalnya dinas sudah memanggil. Jadilah saia pamit ke Bandara Soekarno-Hatta. Bos dan A si Jerman rupanya sudah menunggu di sana dengan sebuah amanat khusus untuk saia dari Bos Gede. Bentuknya bisa anda lihat pada gambar di kanan...
   
Begitu ngelihat benda ini, pikiran saia langsung melayang ke Mot-nya Shin Megami Tensei. Yang di bawah ini nih...
  
Jangan keluar! Plis, jangan! GYAAA!
 
Beda-beda tipis gak sih? Saia jadi ngeri di dalam kotak amanat itu ada sesuatu yang sama creepy-nya dengan isi peti mati Mot. Jadi, tanpa seijin Bos maupun Bos Gede, saia membuka kotak itu. Isinya ternyata...
  
Datang tak Diantar, Pulang tak Dijemput
     
... jelang... eh, maksud saia, wayang golek Betawi yang cantik. Tapi memang sangat, sangat creepy. Sialan. Pantes aja Bos saia gak mau bawa kotak ini. Mana di pesawat tempat duduk saia, A, dan Bos misah-misah jauh lagi. Tujuh jam penerbangan, dan saia harus duduk sendirian bersama Mpok Demon Doll. Sialan kuadrat!
   
Tapi Mpok Demon Doll ternyata teman seperjalanan yang menyenangkan. Dia gak rewel minta ini-itu, dan menghabiskan waktu dengan bobo-bobo di dalam kotaknya.
 
Dia cuma ribut pas di Bandara Ngurah Rai. Teman saia A, dalam rangka mempraktekkan spirit Jermannya yang mencintai keteraturan dan ketepatan waktu, mulai menggerutu macam-macam begitu ngelihat antrian imigrasi yang panjang. Mpok Demon Doll agaknya nggak suka karena A mengganggu waktu tidurnya. Jadilah selama ngantri dia ngeluarin bunyi-bunyi creepy, dan tiap kali saia taruh di lantai, kotaknya bergerak sendiri.  
 
Klutuk klutuk. Klutuk klutuk. Tek tok. Tek tok.
 
Baik turis Aussie yang ngantri di depan saia, turis Jepang yang ngantri di belakang saia, maupun Mas-mas Petugas Imigrasi yang ganteng nian, terus curi-curi pandang. Tapi nggak ada yang berani nanya apa-apa. Jadilah saia menarik kesimpulan bahwa, pertama, creepy itu melintasi batas negara, bangsa, dan bahasa. Kedua, negara kita rupanya nggak menetapkan bea, ketentuan, atau prosedur karantina khusus untuk membawa boneka berarwah ke luar negeri.
 
Dan ketiga, alasan kedua bisa saja keliru. Mungkin Mas-mas Petugas Imigrasi yang ganteng itu sebetulnya ngecengin saia, bukannya mengawasi kotak Mpok Demon Doll.
 
Sampai di pesawat, Mpok Demon Doll bobo lagi. Ya sudah, saia ikutan bobo setelah menyantap rendang Garuda Indonesia yang ternyata enak.  Jam-jam berlalu. Pengumuman bangun pagi terdengar.  Saia buka mata, mengisi kartu imigrasi, makan omelet, dan menunggu. Nggak lama berselang kita akhirnya touchdown di Bandara Tullamarine.
 
Melbourne, here I come!
 
Saia langsung gumbira begitu ngelihat mobil jemputan saia adalah ini.
  
Vorsprung durch... uhhh... salah perusahaan. T_T
  
BMW 515i. Bahkan A pun terkesan dan mulai menyampaikan pidato singkat tentang kebanggaannya terhadap mobil-mobil Jerman.
 
Kami tiba satu hari sebelum Hari Besar. (Nanti akan saia ceritakan lebih banyak.) Tapi Bos memutuskan pelatihan khusus saia mulai begitu kita selesai naruh barang di hotel. Kami harus mutarin pusat kota Melbourne dalam rangka mencari keterangan tentang tempat-tempat yang ada di sana. Jadilah hari pertama kami habiskan dengan menjelajahi Melbourne dari ujung ke ujung.
 
Dengan jalan kaki.
 
Tepar gila. Apalagi suhu hari itu cuma sekitar 15 derajat.  Waktu nunggu pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, Bos saia dan A ketawa karena saia bawa jaket parka dan sarung tangan. “Mau ke Siberia, Loe?” gitu kata mereka. Tapi begitu kita menjelajah kota, terbukti cuma saia yang nyante-nyante sementara mereka nyari coffeeshop untuk beli minuman hangat tiap 15 menit sekali. Hehehe…
 
Trotoarnya gede bok >_<
 
Selama jalan-jalan hari pertama inilah saia memerhatikan bahwa Melbourne bukan kota besar.  Dalam 3 - 4 jam kita bisa menjelajahi hampir semua kota itu dengan jalan kaki. Terlebih lagi tata kotanya sudah diatur sedemikian rupa hingga orang buta arah pun mustahil nyasar. Pusat kota Melbourne berbentuk persegi panjang. Jalan-jalannya saling tegak lurus, hingga dari atas wilayah itu agak mirip papan catur.
 
Vienna van Melbourne.
 
Inilah hasil keliling-keliling hari pertama saia. Pertama, yang di atas, adalah pemandangan Little Collins Street tempat saia, A, dan Bos menginap. Kedua (samping) adalah Melbourne Town Hall, balaikota Melbourne yang menurut A bergaya arsitektur Eropa daratan. Spesifiknya, Wina dan Berlin. Hal ini agak mengejutkan, sebetulnya; Federasi Billabong adalah anggota Negara-negara Persemakmuran, jadi sebetulnya lebih wajar kalau gedung-gedung kuno mereka bergaya Inggris.
  
Yang menarik juga tempat pada foto di bawah ini, Flinders Street Station, stasiun kereta antar kota di Melbourne. Di belakangnya kami bisa langsung ngintip-ngintip Melbourne Exhibition Centre dan Sungai Yarra.
   
Itu langitnya biru asli, gak pake filter apalagi potosop. Sumpah.
  
Tapi acara jalan-jalan ke sana harus disimpan untuk nanti.
 
Hari Besar akhirnya tiba. Rombongan Bos Gede datang dari Jakarta ke Melbourne untuk melakukan pertemuan dengan sesama Penggede dari kota-kota lain di seluruh Asia-Pasifik.  Saia harus melakukan banyak hal sebagai bagian dari pelatihan khusus. Saia harus jadi guide keliling Melbourne, berurusan dengan orang konsulat, menyiapkan bahan-bahan untuk pertemuan, mendandani Mpok Demon Doll yang rencananya akan menjadi ‘duta’ pertukaran budaya (arwah) Jakarta - Melbourne, bahkan menyusun salah satu presentasi penting.
 
Komposisi:
100% Haram, 100% Lezat
Untunglah semuanya lancar. Begitu lewat setengah hari, saia bisa ngaso sambil makan sushi roll dan sandwich. Di Melbourne ini ternyata banyak banget resto sushi. Barangkali karena akulturasi, sushi di sini gak melulu berisi ikan. Saia menemukan subi alias sushi babi. Bentuknya kayak di samping ini…
 
Habis makan siang saia ngobrol dengan teman-teman sesama kuli negara muda yang juga lagi dilatih oleh bos masing-masing. Ada Bu W yang berasal dari Surabaya, ada B yang berasal dari Melbourne. Ada juga dua temen baik saia, J Cowok dari Seoul dan J Cewek dari Provinsi Jeju, plus S dari Taipei. 
  
"Kalau kata saia seh,
buayanya yang menang!"
 
Satu kejadian yang secara khusus nempel di ingatan adalah ketika kita ngomongin lambang kota. Bu W berusaha menjelaskan kepada B mengenai Sura si Hiu dan Baya si Buaya, lambang kota Surabaya. Dengan khidmat beliau memegang patung kristal lambang Surabaya dan berkata, "Ini Sura si Hiu dan Baya si Buaya. menurut cerita setempat, mereka bertarung untuk memperebutkan gelar hewan terkuat. Tempat pertarungan mereka akhirnya dinamai Surabaya, dan di masa kini menjadi Kota Surabaya."
 
B mengamati patung kristal di tangan Bu W dengan serius. Dasar orang Aussie, yang terbiasa menghadapi hewan liar dengan pikiran nyantai ala Steve Irwin / Crocodile Dundee, dia akhirnya menjawab dengan senyum lebar dan polos, “Kalau kata saia seh, buayanya yang menang!”
 
Saia, J cowok, J cewek, S, dan terutama Bu W, langsung gubrak berjamaah.
 
Hari pertama ditutup dengan penyerahan Mpok Demon Doll kepada para kuli negara yang mengurus seni dan budaya di Melbourne.  Benernya saia rada iri. Enak tenan Mpok Demon Doll bisa tinggal di kota nan tenang dengan udara bersih dan langit biru. Tiap malam dia bisa berjalan-jalan dengan sesama artefak berarwah penghuni ruang kebudayaan Town Hall. Sementara saia? Kembali ke Jakarta yang kelabu dan penuh asap. Ah…
 
Itu atapnya mirip tutup bungkus
 Bakmi GM dan dua sumpit gak sih?
   
Kemudian tibalah hari kedua. Saia dan Bos ditugasi menghadiri konferensi seni budaya di Melbourne Exhibition Centre yang terletak di tepi Sungai Yarra.
  
Keren banget yah. Di dalamnya lebih keren lagi.
  
Plizz JHCC dipugar sampe kayak gini dunk...
  
Konferensinya sendiri seru; topik paling keren yang dibahas di konferensi ini adalah bagaimana membawa seni kepada masyarakat. Seni tidak diletakkan di tempat tinggi, tidak juga sebagai sesuatu yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas atau orang-orang berduit. Sebaliknya. Seni adalah milik masyarakat luas dan selayaknya membumi; seni itu inklusif, bukan eksklusif.
 
Panitia konferensi menyediakan makan siang. Selama makan siang itu kita juga bisa melihat penampilan dari beberapa musisi. Salah satunya ini. Noriko Tadano dan George Kamikawa. Koboi Jepang-Aussie dan Cewek Punk Jepang bersenjata shamisen listrik.
  
Rising Zaaaa~n! Samurai Gunmaaa~n!
  
Yeah. Ngingetin saia sama game PS1 berjudul Rising Zan: The Samurai Gunman. Selama mereka perform, benak saia terus menyanyikan Johnny No More, theme song Rising Zan yang corny, tapi anehnya sangat epic itu.
 
 
Rising Zaaa~n! Samurai Guuu~nman!
Rising Zaaa~n! (Yeaaaah!) Johnny Nooo~ Mooo~re!
 

Hari kedua ditutup dengan ngupi-ngupi di coffeeshop kecil bersama rombongan Bos Gede. Pagi hari ketiga mereka pulang. Saia langsung teriak, MERDEKA! Akhirnya, bebas menjelajah Melbourne!
 
Dengan kamera dan peta di tangan, saia muter-muter untuk berburu kenangan, foto, dan souvenir. Perhentian pertama saia adalah di suatu tempat gak jauh dari Melbourne Town Hall, di mana sekumpulan anak muda sedang ngamen dengan breakdancing.
 
Saia berharap mereka jatuh gedubrakan.
Sayang harapan saia gak terkabul. Jadilah saia nyumbang 2 dolar ke mereka...
  
Kalau anda memerhatikan tampang-tampang para anak muda itu, anda akan mendapati bahwa nggak ada ras yang dominan. Tampang Kaukasia, Asia, India, Melayu, semua ada dalam jumlah yang nyaris sama rata. Menurut pengamatan saia pribadi, hal ini menyebabkan pendatang mudah masuk ke sana. Soalnya nggak ada rasa intimidasi yang muncul dari kehadiran kaum penduduk yang dominan. Melbourne benar-benar kota yang plug and play, kalau kita memakai istilah hardware. Siapapun bisa datang ke sana dan langsung merasakan sense of belonging terhadap kota tersebut…
 
…selama yang bersangkutan punya pendapatan yang cukup, tentunya! Harga barang di Melbourne ini bener gila-gilaan. Bayangkan, satu botol air mineral 300 ml harganya dua dolar. Itu berarti sekitar tujuh belas ribu lima ratus rupiah. Naujubile Kolorbabe! Di Jakarta, barang yang sama kira-kira enam ribu. Sebotol Coca-Cola 250 ml harganya sekitar lima dolar, alias empat puluh tiga ribu rupiah. Mamih. Segulung souvlaki (kebab Yunani) harganya tiga belas dolar. Yang berarti seratus tiga belas ribu rupiah. Itu lima kali lipat harga Doner Kebab di Jakarta. Gyaaaaa~!
 
Kenapa ya waktu itu saia ga
kepikiran rekues lagu...
Perhentian kedua saia adalah mengintip-intip para seniman jalanan. Ini dua di antaranya. Mas Saxophone dan Mbak Pelukis. Enak aja mereka main dan melukis di trotoar, tanpa mengganggu pejalan kaki. Pasalnya, trotoar di Melbourne gede banget; lebarnya antara dua sampai enam meter ada kali.
 
Pun mereka main musik dan ngelukisnya bener-bener bagus. Nggak kayak pengamen Jakarta yang kebanyakan cuma asal kecrek dan nagih receh. Masalahnya juga terletak  pada perbedaan cara pandang dan tujuan mengamen. Di Jakarta, orang mengamen karena butuh makan dan nggak tahu mau kerja apa. Di Melbourne, orang menjadi seniman jalanan sebagiannya karena mereka memang bisa berkesenian, dan ingin mengekspresikan diri.
 
Ehem. Mbak, mau jadi ilustrator saia, nggak?
#ngarep 
   
Hal ini sejalan dengan pandangan dalam konferensi yang saia hadiri sehari sebelumnya. Seni adalah milik masyarakat. Seni layak dipertunjukkan di ruang publik, bukan hanya dikekang di dalam gedung-gedung kesenian. Sebab inilah di Melbourne seniman jalanan nggak dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial yang harus diangkut-angkut sama Satpol PP plus Biro Kesos DKI.
 
Perhentian saia yang berikut adalah beberapa art shop, pop-culture shop, dan souvenir shop. Di sana saia menemukan barang-barang aneh ini.
  
Semua ini punya saia. Yeah. Sama sekali gak ada niat bagi-bagi ke orang,
selain bagi-bagi iri.
   
Mari kita lihat lebih dekat. Yang pertama, playing card dengan artwork dari Tim Burton. Pencipta The Nightmare Before Christmas dan Corpse Bride. Keren!
  
The Nightmare Before Full House...
 
Yang kedua, Fantod Pack buatan Edward Gorey. Ini parodi kartu tarot yang (lucunya) cuma bisa dipakai untuk meramalkan nasib buruk.
  
Jangan Pesimis. Apalagi Optimis. Serius.
  
Ketiga, kupu-kupu biru ini. Cantik ya. Ini bukan opal Aussie yang mahal banget itu, tapi cangkang paua, sejenis kerang yang hidup di sekitar Selandia Baru.
  
Ketahuan saia bokek, gak sanggup beli opal Aussie, hehehe.
    
Dan keempat, yang paling epik, adalah t-shirt ini. Lihat emblemnya baik-baik. Yeah. Lambang House Stark dari A Song of Ice and Fire. Saia bukan fanatik serial ini. Malah saia rada on-off nonton film seri Game of Thrones. Saia beli ini karena emblemnya keren, karena saia suka serigala, dan karena saia tahu akan ada orang-orang yang sirik binti iri melihat saia punya tee ini. Hehehe.
 
Sirik is Coming. I can feel it. Muwahahahaha!
#gumbira
     
Perhentian terakhir saia adalah Sungai Yarra. Yang ini sedikit spesial. Sebab pertama adalah karena saia berhasil mengambil banyak potret. Wuhu! Silakan diintip satu di antaranya.
  
By the River Yarra I Ate and Took Pictures.
   
Selain poto di atas, saia juga berhasil membujuk seseorang untuk bercerita pada saia tentang The Rainbow Serpent alias Der Regenbogen Schlange alias Sang Ular Pelangi 
 
Art by Kinjaii.
  
Dalam kepercayaan masyarakat Aborigin Australia, dahulu sekali ada seekor ular raksasa yang melata di permukaan bumi. Jalur yang dilintasi si ular itu berubah menjadi lembah dan jurang. Begitu hujan turun, sebagian lembah serta jurang tersebut menjadi sungai-sungai yang bercabang. Tanaman lalu tumbuh di tepian sungai tersebut. Tak lama setelahnya hewan dan manusia mulai muncul, dan makan dari tanaman yang tumbuh di tepi sungai-sungai.
 
“Itu sebabnya di dalam beberapa karya seni Aborigin, Ular Pelangi digambarkan dikelilingi oleh berbagai macam makhluk. Ada hewan, tanaman, dan manusia. Ular ini adalah dewa, dan darinya, semua kehidupan bersumber.”
 
Begitu kira-kira penjelasan yang saia dapat dari orang itu. Beda banget dengan penggambaran ular dalam agama samawi yang di-casting jadi penjahat, yak?
 
Tapi pertanyaan saia berikutnya nggak ada hubungannya dengan itu. Alih-alih memulai diskusi pintar tentang perbedaan peran ular dalam kepercayaan Aborigin dan agama samawi, saia menyeletukkan pertanyaan yang sama sekali gak intelek.
 
“Kok namanya Ular Pelangi?”
 
Iyah, cupu. Saia tahu pertanyaan saia cupu. Tapi namanya kepo, mau apa lagi?
 
Narasumber saia menjawab, “Karena pelangi adalah keberagaman, dan Ular Pelangi adalah dewa yang merayakan keberagaman.”
 
“Masa sih?”
 
Narasumber tersenyum lagi. “Kita sekarang sedang berada di dalam salah satu lukisan Sang Ular Pelangi. Masak kamu gak liat sih?”
 
Ketika itulah saia nepok jidat. Melbourne—dengan penduduknya yang multietnis, pengamennya, tamannya, trotoarnya, camar-camarnya, bangunannya, Coca-Cola lima dolarnya, seni jalanannya—adalah keberagaman hidup yang bertebaran di tepi Sungai Yarra; dan Sungai Yarra itu sendiri adalah tubuh Sang Ular Pelangi. Menyadari ini saia duduk di tepi sungai sampai malam sekali, ditemani kopi, segulung souvlaki, dan pikiran-pikiran ganjil. Andai saja Sang Ular Pelangi melata sampai Ciliwung, mungkin sekarang Indonesia tidak akan dipenuhi oleh ular-ular yang lebih jahat daripada ular-ular samawi…
 
 
 
 
Luz Balthasaar
Walking with the Rainbow Serpent

11 komentar:

Anonim mengatakan...

Wow Jurnal lagi toh, ahh disini saya drooling...

Ngomong-ngomong itu di foto sungai yarra, itu cc sendiri, atau penampakan-seseorang-depresi-yang-mereka-ulang-peristiwa-bunuh-dirinya?

HFGL cc

Ivan z.

Luz Balthasaar mengatakan...

Jurnal-jurnal saia memang tujuannya untuk memancing drooooo~~ool.

...sekaligus doa. Semoga suatu saat yang baca jangan cuma ngedrool, tapi beneran pergi ke tempat yang sudah saia datangi. Amin. #bakarmenyan

Itu yang di Sungai Yarra bukan saia. Kayaknya sih memang oknum bunuhdiriwati. Soalnya begitu saia turunin kamera, ybs menghilang entah kemana...

HFGL apa sih? O_O

Anonim mengatakan...

Beneran seriusan kotaknya Mpok Demon Doll bergerak-gerak sendiri waktu di bandara? ><

Adrian

Luz Balthasaar mengatakan...

Iyah Om. Itu gerak. Klutuk klutuk tek tok gitu... ^^*

Entah apakah memang Mpok Demon Doll yang gerak, atau ada tikus lewat, wekekeke... XD

Anonim mengatakan...

Si empunya kisah ngga ikutan mejeng ?:p

Zenas

Anonim mengatakan...

HFGL itu have fun good luck

cc masih disana kan? makanya saya kasih wejangan itu!

ivan Z.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Zenas: Saia mau menjadikan poto saia langka. Biar kalau dijual mahal. >:D
___

@Ivan: Dah balik. Sekarang saia lagi siap-siap ke Seoul, dari hari Minggu ini sampai akhir bulan. I will definitely have fun, and thank you for wishing me good luck. ^^

You too, HFGL!

princexeno mengatakan...

Jyaah. Oleh-olehnya cuma foto ama cerita doang. = .=

Btw, soal boneka itu, Luz. Err... Mungkin urusan imigrasinya udah selesai lebih dahulu lewat jalur tak kasatmata. -_____-"

Luz Balthasaar mengatakan...

Btw, soal boneka itu, Luz. Err... Mungkin urusan imigrasinya udah selesai lebih dahulu lewat jalur tak kasatmata. -_____-"

Ini komentar paling kereaktif yang saia baca sejauh ini. Benar sekali! Ponten seratus buat dikau!!!

Ivon mengatakan...

ore wa shittou desu .... <---- (gag peduli formatnya bener ga yang penting niat bilang rasa irinya kecapai- gaaaa~)

pengen pergi ke Aussie juga jadinya ... apa daftar beasiswa aja biar lebih punya alasan buat perginya ya? heheheheh~

aniwai, nice journal! ><

Luz Balthasaar mengatakan...

Huehehehe. Saia tahu. *menebar lebih banyak virus iri*

Daftar beasiswa Australia Awards aja kalau minat. Tahun kemaren bukanya bulan Juli-Agustus-September klo ga kliru.