Senin, 21 November 2011

The Three Editings ~ Isi, Bahasa, dan Sisanya

Saia pengen nulis soal dinas saia di Republik Super Junior, tapi ntar pada bosan. Jalan lagi, jalan lagi. Kapan nulisnya? 

Jadi kali ini saia bikin catatan pendek soal menulis saja ya.

Bulan-bulan terakhir ini saia sibuk menyelesaikan naskah Semesta Matryoshka. Waktu mulai ngerjain naskah ini sekitar bulan Maret 2011, saia ngebidik untuk bikin novel 100 ribu kata. First draft berhasil saia selesaikan di 95 ribu kata. Kurang goceng dari seharusnya. Tapi itu pertanda baik. Makin ramping naskahnya, makin terjangkau harganya. Gitu kira-kira prinsip para penerbit novel komersial.

Plus saia juga melihat beberapa subplot ga penting yang potensial dipapas untuk ngebikin karya ini lebih ramping. Jadilah saia memulai proses editing / menulis ulang.
 
 
Kebetulan juga akhir-akhir ini saia kerap ngobrol ringan sama beberapa orang soal editing, baik via surat setroom (e-mail dalam bahasa Bondan Winarno), Twitter, maupun chat. Ada lima pertanyaan yang paling sering muncul dalam diskusi kami-kami ini.

Pertama adalah, “Saia kok ga puas-puas ngedit ya? Tiap kali ngeliat pasti adaaaa aja yang salah! Gemez deh! Padahal konsep ini udah saia godok sejak SD / SMP / ngemut dot!”

Yang kedua, “Berapa kali sih saia harus ngedit sampai naskah layak disodorin ke beta reader?”

Yang ketiga, “Gimana caranya kita tau apa yang harus dipangkas dan apa yang bisa dipertahankan?”

Yang keempat, “Naskah saia idealnya sepanjang apa?”

Dan yang kelima, “Gimana caranya sih saia bisa tahu jumlah kata / halaman segini itu nanti kalau sudah jadi buku dapetnya setebel apa?”

Kalau saia yang ditanya, jawaban untuk keempat pertanyaan itu adalah, berturut-turut, “Karena dikau belum menerapkan Postulat Slogan Spr*te,” lalu “Secara kasar, antara satu sampai tiga kali,” lalu, “Balik ke jawaban pertama,” lalu, “Tergantung genre dan penonton yang disasar.”

Dan yang terakhir, “Lihat resep saia di bagian akhir posting ini.”

Maksudnya apa neh? Begini.

Pertama-tama, saia ingin menyegarkan kembali ingatan kita terhadap slogan Spr*te yang dah jadul itu, “Kutahu yang Kumau.” Penulis biasanya gak puas-puas ngedit karena dia nggak tahu apa yang dia inginkan dari ceritanya.

Gimana cara untuk ngetes apakah si penulis tahu apa yang dia mau? Tanyakan tiga hal.

Pertama, cerita dikau pada dasarnya tentang apa? (Apa premis cerita tersebut?)

Kedua, bagaimana hasil akhirnya? (Endingnya kira-kira bagaimana, poin apa yang mau dibuat oleh penulis dengan ending itu?)

Terus yang ketiga, aliran kejadian dari premis ke ending itu gimana? (Plotnya kira-kira gimana?)

Kalau si penulis bisa menjawab ketiganya dengan yakin, maka dia sudah menerapkan slogan Spr*te. Dia Tahu Apa yang Dia Mau, secara kasar paling tidak. Biasanya penulis macam gini adalah tipe penulis yang sebelum nulis bikin kerangka dulu. Minimal kerangka kasar yang ada di kepala.

(Kar)Dus, karena si penulis punya panduan apa yang ingin dia tulis, kemungkinan besar dia tidak akan menemui terlalu banyak kesulitan untuk menentukan kapan hasil editing-nya udah memuaskan. Dia juga ga akan terlalu ngerasa sayang memangkas bagian yang gak cocok dengan kerangka cerita. Terlebih dari kalau dia punya beta reader / editor yang bagus.

Berlawanan dengan penulis pemakai kerangka, ada juga penulis beraliran anti-planning. Mereka ini yang kerap bilang, “Gak usah pusing bikin kerangka, pokoknya tulis semuanya dulu sampe ide brenti ngalir, edit belakangan.” Cara ini bukannya jelek, karena metode tanpa rencana memang berguna kalau kita pengen ngeluarin ide-ide yang membludak, atau memaksa otak kita keluar dari writer’s block.

Tapi kalau penulis cuma mencoretkan kata tanpa arah, gambaran dia terhadap premis, ending dan plot—salah satu, salah dua, atau yang parah, ketiga-tiganya—akan lebih kabur dibanding mereka yang memakai kerangka. Besar kemungkinan dia akan lebih kesulitan memilih ide mana yang mau dia pakai dan mau dia buang. Rasa sayang ngebuang ide juga akan lebih menghambat, mengingat dia masih menimbang-nimbang plot cerita enaknya dimainin seperti apa, dan karenanya, kesulitan menetapkan prioritas. Inilah yang menurut pengamatan saia kerap bikin editing ga kelar-kelar, meski konsepnya dah ada dari jaman si penulis masih ngedot.

Oke, pertanyaan satu dan tiga sudah kejawab. Pertanyaan berikut adalah yang nomor dua. Berapa kali saia harus ngedit sampai layak saia ajukan ke beta reader? Seperti saia jawaban di atas, kalau untuk saia, antara satu sampai tiga kali, tergantung pada keadaan first draft.

Ada first draft yang begitu jadi, jalan antara premis, plot, dan endingnya sudah mulus. Bolong logika yang ada pun cuma yang mini-mini. Naskah kayak gini biasanya terjadi karena waktu bekerja, si penulis dah menerapkan slogan Spr*te. Dia punya kerangka kasar, ide, dan seringkali sedang didukung oleh semangat menulis yang bagus.

Naskah macam ini biasanya cuma perlu satu-dua kali editing untuk siap diserahkan ke beta reader. Editing-nya pun cenderung ke mengurusi typo atau memuluskan bahasa dibanding nambal plot atau menulis ulang. Waktunya pun ga akan lama.

Tapi ada juga first draft yang pas jadi plotnya masih miring kanan miring kiri. Saia akui, ini terjadi pada naskah Semesta Matryoshka. Pada waktu mulai mengerjakan naskah ini, saia belum cukup mampu menaksir plot macam apa yang ideal dimasukkan di dalam cerita 100 ribu kata. Sementara itu ide lagi banyak (walau sialnya waktu menulis sedikit).

Akhirnya saia mencoba untuk melenceng dari kerangka utama dengan memasukkan serbaneka subplot dan konsep.

Hasilnya? Kacau. Dari 100 ribu kata yang direncanakan, saia kebablasan sampai 113 ribu. Untungnya saia tahu masalahnya dimana: terlalu banyak subplot. Artinya? Saia harus memangkas banyak hal untuk perampingan.

Jadilah saia kembali ke kerangka. Setelah banyak merenung, akhirnya saia memutuskan untuk memotong habis satu subplot. Tindakan itu memapas naskah sampai 95 ribu kata, suatu jumlah yang saia harap bisa dikurangi lagi setelah editing, setelah semua yang berkaitan dengan subplot itu bisa dihabiskan benar-benar.

Konsekuensinya, ada beberapa bagian naskah yang harus saia tulis ulang. Bagaimanapun itu subplot penting. Ga mungkin mencabutnya begitu saja tanpa menimbulkan implikasi yang besar ke naskah. Ini berarti saia minimal akan melakukan dua kali editing. Editing pertama adalah untuk memuluskan naskah sehingga premis-plot-endingnya lancar meskipun tanpa subplot yang saia cabut. Setelah itu baru saia bisa melakukan editing kedua untuk memuluskan bahasa. Lewat dari dua tahap ini, barulah saia bisa mencari beta reader.

Nah. Setelah lewat dari tahap beta reading, biasanya, akan ada satu editing lagi, yaitu memerbaiki cerita sesuai respons yang didapat dari beta reader. Baru setelah itulah saia akan merasa bahwa karya ini layak dikirim ke penerbit.

Kemudian, pertanyaan keempat. Idealnya, naskah itu panjangnya seberapa? Pada intinya bergantung pada genre dan penonton yang disasar. Tapi saia tahu, jawaban apapun dengan lata “tergantung” itu bikin orang yang menerima jawaban bawaannya pengen ngerajam.

Sebab itu saia melakukan penelitian kecil dengan mengajak ngobrol beberapa teman. Ada penulis yang sudah pernah membuat novel, ada seorang bos penerbitan, dan ada lagi seorang editor. Saia juga membandingkan buku-buku fiksi fantasi yang saia baca, dan akhirnya tiba pada kesimpulan, untuk saat ini, jumlah kata ideal untuk fiksi fantasi remaja itu adalah antara 40 sampai 100 ribu kata. Kalau fantasi itu akan dipasarkan sebagai teenlit, saia kira 40 ribu sampai 70 ribu cukup. Untuk fiksi fantasi yang juga menyasar remaja tapi dipasarkan sebagai fiksi fantasi alih-alih teenlit, saia kira kisaran idealnya 70 ribu sampai 90 ribu.

Kemudian, yang terakhir. Naskah saia sudah selesai. Bagaimana caranya saia tahu ini akan jadi berapa halaman kalau sudah terbit?

Ini pertanyaan sulit, mengingat jumlah halaman akan bergantung pada layout buku. Dan layout buku itu beda-beda. Jangankan buku dari penerbit berlainan. Buku dari penerbit yang sama pun layout-nya bisa ga seragam.

Tapi saia punya resep layout mudah yang sepertinya bisa bekerja untuk taksiran kasar, sebagai berikut.

Paper Size: A5

Margin : Custom -- Top 0.8”; Bottom 0.8”; Inside 0,9”; Outside 0.64”. (Bisa di-mirror kalau mau.)

Font : Cambria 11 pt.

Spacing: At Least, 17 pt.

Memakai resep ini, Semesta Matryoshka jatuh di 521 halaman. Masih kebanyakan. Tapi toh target saia adalah mangkas minimal sepuluh ribu kata, dan maksimal lima belas ribu.

Dan setidaknya ini masih lebih baik dari naskah seorang temen yang jatuh di enam ratus sekian puluh halaman. Hihihihi. You know who you are. I wish you good luck in editing it, my friend.

Seperti biasa, kalau ada yang mau berbagi pengalaman atau berdiskusi, silakan berkomentar.

Semper Excelsior,





Luz Balthasaar
Menyesatkan Diri Secara Politis

8 komentar:

Anonim mengatakan...

Numpang ngelmu gan...

Saya sebenernya nyari2 artikel kek gini, buku-buku luar tentang menulis yang pernah saia baca kebanyakan menganjurkan hal-hal beresiko kaya : Pangkas tiga kalimat awal pada tiap-tiap paragraf, buang kalimat yang menurut kita keren, trus kalo udah ketemu tujuh orang proof reader dari sepuluh orang yang bilang karya kita bagus berarti tulisan kita udah selesai, dst. Jadi ngga ada analisanya gituuu...

Tengkyuh

Zenas

Anonim mengatakan...

*SeriusNyatetResep*

*Ngacung*

Miss... kalo 1 bab, idealnya jumlah halamannya brapa y? (versi novel ukuran rata-rata). Saya baru baca Fablehaven, tapi tapi kejedot terus sama jumlah halaman per bab nya yang rata-rata 25-27 halaman. Buat saya mah ukuran segitu udah panjang baget...

*Mohon Pencerahan*

Cheers,
^^d

Tom

Luz Balthasaar mengatakan...

@Zenas: Buang kalimat yang menurut kita keren itu ada benarnya. Tapi jangan semua kalimat keren dibuang.

Kalau ditaruh di tempat yang relevan dengan aliran ceritanya, kayaknya gak ada masalah. Malah menambah tekanan di aliran itu.

Mengenai 7 dari 10 proofreader bilang bagus, ini susah, mengingat kita lom tentu bisa dapet 10 proofreader. Saia aja beta tetap cuma 2 ekor tuh, hehehe.

Kebanyakan yang saia tulis di blog ini adalah pengalaman pribadi, gimana (belajar) nulis dan editing dalam waktu terbatas. Dan kalau bisa, memublikasikannya. Makanya kelihatan ada analisis ya. Kekeke.

***

@Tom, panjang bab bergantung sekali sama gaya cerita kamu dan apa yang lagi kami ceritain. Ada orang yang gaya ceritanya enak hingga bab panjang pun ga masalah. Ada yang nggak. Ada topik yang enak diceritain panjang2, ada yang nggak.

Tapi kalau sampe 27 halaman per bab, apapun topiknya saia merasa punya alasan untuk gak yakin itu enak. Jangankan Fablehaven. Alchemyst aja saia mabok, padahal panjang babnya rata-rata dibawah itu.

Tapi bisa juga di dalam bab itu nggak satu alur tak terputus.

Bisa aja ada break di dalam bab, yang ditandai spasi ekstra atau tanda bintang kek gini >> *** atau apalah, sebelum paragraf berikutnya.

Kalau untuk gaya bercerita saia, bab biasanya pendek. paling 5 halaman A4, atau sekitar 8-10 halaman buku.

Kalau untuk break dalam bab, secara gampangnya pikir kayak adegan film aj. Klo adegan itu mau diganti, pakailah break.

Moga2 info diatas nggak bikin sesat yah, hehehe.

Anonim mengatakan...

*StillSerieusNyatet*

Ayayai... keknya 5-6 halaman A4 per bab jadi ukuran ideal buat naskahku juga.

Kalo soal menyesatkan, Errr... selama tombol comment nya gak diilangin, saya bakal nanyaaaaaaa teros sampe gak tersesat heheh.

Rikues Mbak.. pan kapan bikin dong cara ngatur tempo alur yang enak buat diikutin, tanpa perlu ngasih inpo dumb untuk memperlambat (ato jangan2 udah pernah disinggung ya? ;-? )

Kamsya sebelonnya,

^^d

Tom

Luz Balthasaar mengatakan...

Gimana bikin cerita yang enak diikuti? Secara sederhana, sejauh yang sudah saia pelajari:

Pertama, hindari infodump.

Kedua, hubungan sebab-akibat antar kalimat, antar paragraf, dan antar bab jelas. Jangan ujug-ujug.

Ketiga, pakai kalimat-kalimat yang jelas.

Dan keempat, materi ceritanya itu sendiri harus menarik dan ada ketegangannya.

Itu gampangnya. Satu-dua-tiga terutama gampang. Tapi yang nomor empat itu...

Jojo mengatakan...

Saya cinta mati sama blog ini.

Mulai dari gaya bahasanya yang nyelekit maksimum, ketajaman pengamatannya, ide-ide yang saya setujui 100%, lingkup topiknya yang luas sampai komentatornya yang terkadang suka ceramah dan geje sendiri... I love them all. Aku ketagihan sama blog ini terus akhirnya baca dari yang paling baru sampe yang paling awal awal banget.

Tips-tips anda benar-benar berguna, lho. Setiap kali saya baca satu blog post saya lihat naskah saya lagi dan pada akhirnya bikin satu-dua editan. Yah bukannya ngikutin tulisan anda jadi kitab suci; saya hanys jadi berpikir lagi setiap kali melihat kritik anda ke novel lain. Hmm, memang bagian yang ini kurang sreg, memang karakter ini tidak perlu, memang detil yang itu berlebihanmemang nama yang ini ga begitu sreg, dst. dst.

Sumpah, kalau begini caranya bisa -bisa saya nyelesaiin novel saya cuma biar nanti bisa baca repiunya mbak Luz (yang jujur, menyakitkan dan berguna, tentunya. :D)

Luz Balthasaar mengatakan...

@Elmion, Makasih yah.

Memang tujuannya saia bikin blog ini adalah buat ngebantuin siapapun yang mau jadi penulis. Saia natoh pengalaman saia, keberhasilan saia, bahkan sampai semua fail, ngamuk dan capek2 saia selama belajar menulis.

Do finish your novel. Jangan pikirin buat dibantai. Pikirin puasnya aja kalau dikau dah berhasil, okay? :D

Oh ya, maaf saia agak lama updatenya. Ada beberapa hal yang harus saia selesaikan di awal tahun. Tapi semoga saia bisa on track lagi segera. :D

AbyssCrawler mengatakan...

mantap. thx, gw jadi tau gimana harus mangkas naskah gemuk ini.