Selasa, 23 Februari 2010

Sail Away ~ Mari Kita Berangkat

Setelah tiga minggu sebelumnya sibuk mencuri ayam, resep, dan cabe untuk bekal perjalanan, minggu ini  aku ingin mengambil langkah pertama. Sejak Mei 2009 aku telah mengerjakan sebuah naskah fiksi fantasi yang sampai bab 18 kusebut "Babad Euravia". Sebutan ini  bisa dikata dihadiahkan oleh seorang rekan di Pulau Penulis ketika  yang bersangkutan mendengar draftku belum memiliki judul.

Dari judul ini aku akhirnya membuat working title resminya, I Racconti di Cielo d'Euravia, atau Kisah-Kisah Langit Euravia. Sekarang naskah ini sudah mencapai  sepertiga bagian terakhir, Bab 21, 76.212  kata, (belum diedit), dan kuharapkan selesai pada bab 30-sekian. Sebetulnya naskah ini kukerjakan sebagai latihan menulis. Namun,  karena rekan-rekanku berpendapat ide ini cukup menarik, akhirnya naskah ini kuteruskan dengan harapan bisa diterbitkan suatu saat nanti.


Draft awal Euravia bisa anda temukan pada thread ceritaku di Bangkel Pulau Penulis. Jika kulihat balik, thread itu adalah penerapan dari teori bekal, ayam, dan cabe yang kucatat pada tiga postingan sebelum ini. Di sana termuat bagaimana konsep awal yang kuajukan pada rekan-rekan untuk kumintai pendapat soal menarik tidaknya. 

Lalu ada juga proses yang menunjukkan bagaimana aku menarik ide dari berbagai sumber dan meramunya.  dan tentu saja, cabe-cabe yang disarankan rekan-rekan disana untuk membumbui ceritaku.

Berikut ini adalah versi terakhir dari Bab 1 ceritaku, yang kemungkinan besar tidak akan berubah lagi karena plot besar sudah selesai kutulis, dan karakter udah selesai dikonsep. Silakan dibaca...

***

[1]
Ajudan Angin Timur

La Ragazza Col Fucile adalah sebuah kapal udara yang sangat cantik. Tubuhnya terbuat dari kayubesi putih dan logam ketembagaan, dengan lekuk lunas yang ramping. Hiasannya sederhana, hanya ukiran menyulur yang menggambarkan angin, awan, dan rasi bintang. Tak seperti kapal-kapal kuno yang berlayar di air, La Ragazza tak memiliki layar atau dayung. Tujuh pasang sayap besar, tersusun dari lempeng-lempeng logam menurut bentuk sayap burung, berjajar di setengah belakang sisi badannya. Tujuh sayap lain yang lebih kecil berderet dibawah pembatas haluan. Semua mengayuh udara sementara mesin sihir di bawah buritan melepas jejak kabut sihir yang berkilau merah dan emas.

La Ragazza Col Fucile sedang melayang di pinggiran Verona. Kota besar yang merupakan ibukota Kerajaan Romana, negeri utama kaum manusia di benua Euravia. Verona selalu sibuk; tiap hari langitnya disimpangsiuri kapal udara besar dan kecil. Ada yang sekedar lewat, ada yang hendak merapat, ada yang berangkat. Semua taat pada giliran yang diatur oleh Menara Pelabuhan di utara kota.

Giliran La Ragazza sendiri baru saja diterima oleh Oriana Medici, si ajudan kapal yang tengah berdiri di haluan. Telapak tangannya menyambut sekumpulan kabut kuning keemasan yang mengambil wujud seekor merpati. Makhluk itu menjatuhkan sehelai kertas yang digurati lambang perak. Gambar angsa dalam lingkaran, segel sihir Pelabuhan Udara Verona. Di bawah segel itu tertulis,


Izin merapat #21
Tanggal 13, Bulan 8, Tahun 130 Lintas Budaya
Nama Kapal : La Ragazza Col Fucile
Pemilik        : Guglielmo Sparviero
Jenis          : Kapal Dagang
Kelas          : Penjelajah Sedang
Tempat      : Dermaga 54
Waktu        : 10.30 (Waktu Setempat)



Oriana mengangkat wajah dari kertas itu lalu melirik jam sakunya. Pukul tujuh empat puluh. Masih banyak waktu, maka ia memutuskan untuk memandang Verona sedikit lebih lama. Sudah lima tahun ia tak singgah di kota kelahirannya itu, tapi dari kejauhan sekalipun ia masih bisa menemukan Katedral Principessa Chiara. Bangunan paling terkenal di Verona. Ia terutama mengingat menara kembar Katedral yang dihiasi pahatan-pahatan merak dari pualam. Puncak-puncak menara itu kini tertutup kilau putih, kabut sihir yang dipanggil oleh doa-doa para pendeta pada misa pagi.

Dan tiba-tiba, tirai kabut itu buyar seperti satu ledakan kembang api raksasa. Titik-titik cahaya menyebar ke seluruh pelosok Verona. Hujan berkah untuk para penghuni kota. Kilau putih mendarat pada lonceng-lonceng toko yang berdenting silih berganti, menandai kesibukan para pedagang; pada kantong mantel anak-anak yang berjalan menuju Sekolah-sekolah Pertama; pada jubah putih calon-calon pendeta yang menjinjing buku-buku berat dari perpustakaan Katedral, menyeberangi taman-taman berpagar jeruji hitam dan penuh lili-lili putih; pada atap kereta mesin para bangsawan yang dikawal prajurit berkuda; di depan bengkel para Insinyur yang bekerja mengutak-atik mesin-mesin sihir; di topi para calon magi yang berlatih sihir di Menara Magi Kota Verona; dan tentunya, di pundak-pundak para calon paladin yang sedang bertarung menggunakan senjata-senjata kayu di halaman Kolese Prajurit Suci. Tak seorangpun, bahkan mereka yang berada di sudut kota paling terpencil, yang tertinggal tak mendapat berkah.

Namun, penghuni-penghuni kota yang paling akrab dengan Oriana adalah pekerja pelabuhan dan awak kapal. Dulu sekali, selepas petang, mereka akan berkumpul di sebuah sebuah kedai kecil tak jauh dari batas luar Pelabuhan Udara. Rumah Tabib namanya. Muasal nama itu sederhana saja: si pemilik kedai percaya bahwa tidak ada sakit dan penat yang yang tidak bisa disembuhkan oleh segelas besar brau pekat yang memabukkan.

Sebuah kapal lain lewat agak dekat di kiri La Ragazza. Hembusan udara dari kepakan sayap belakangnya menyentak Oriana dari lamunan. Ia menatapi kapal itu menjauh ke arah Menara Pelabuhan. Terus sampai pandangannya tiba-tiba dipotong oleh… putih.

Segumpal cahaya.

Setitik berkah untuk Verona, turun ke telapak tangan Oriana. Berkilau seperti kunang-kunang sebelum menghilang.

Dan Oriana jadi teringat bahwa ia pun harus berdoa. Orang biasa macam dirinya memang tak cukup beriman untuk bisa menggerakkan sihir sehebat para pendeta. Tapi selama ia percaya Tuhan, kabut sihir akan membawa harapan-harapan baiknya pada orang-orang yang paling ia cintai: seorang lelaki manusia pemilik kedai, dan seorang perempuan bukan manusia bermata merah-lembayung yang kadang-kadang mendongeng padanya dengan bahasa tanpa kata.


Penjaga Hari Lalu, Hari Esok, dan Hari Ini,
atas kuasamu ketiganya kulewati
sementara dua orang telah berhenti,
tak akan pernah bersamaku lagi…  



Dua utas kabut sihir putih muncul. Mengitari tubuh Oriana, lalu melesat ke langit. Ke surga.

Karena pria itu sudah mati.

Perempuan itu juga. Barangkali.

Dan Oriana masih hidup karena pembunuh ayah dan penculik ibunya memutuskan untuk menjualnya di pasar budak, jauh di selatan Romana, di tanah Siklabad yang tak bertuan. Alasannya bukan karena uang. Dua puluh rayil terlalu murah untuk remaja perempuan yang sehat. Terbukti, hari berikutnya ia ditawarkan kembali seharga seratus lima puluh rayil.

Si bandar budak meramalkan bahwa ia akan laku sebelum malam.

Dan benar, sebelum matahari terbenam, seorang pria muda yang pirang dan berkulit gelap membelinya. Bukan dengan seratus lima puluh rayil tapi dengan todongan pistol sihir ke rongga mulut si bandar budak. "Aku tidak mengeluarkan uang untuk mendapatkanmu," pria muda itu tersenyum padanya, pistolnya tak lepas dari si pedagang budak yang meratap terkencing-kencing, "karena itu kau bukan milikku, tapi rekanku."

Maka, alih-alih menjadi budak di negeri-negeri tunaadab, Oriana Medici menjadi ajudan Durante Sentenza, pemilik sebenarnya La Ragazza Col Fucile, Tuan Muda dari klan Vento Levante—Angin Timur—klan bajak udara paling kuat di benua Euravia.

Dan hari itu mereka datang ke Verona untuk sebuah “urusan kecil,” begitu kata Tuan Muda Durante; namun, Oriana tahu betul betapa Tuan Mudanya yang tampan, cerdas dan sangat sombong itu gemar mencari perkara lalu menyepelekannya. Sekali lagi ia mengatupkan tangan dan berdoa. Kabut sihir putih kembali mengitari tubuhnya lalu melayang ke geladak bawah, ke ruang kerja orang yang menjadi sasaran doanya.

Tuhan akan melindungi Tuan Muda Durante kini.

Semoga.

Pukul delapan tepat. Oriana menutup jam sakunya. Berkenaan dengan “urusan kecil” mereka, Tuan Muda Durante telah memintanya mengumpulkan tujuh orang di anjungan La Ragazza pada pukul sembilan. Insinyur Bertolt, Ahli Bahasa Montresor, Sophie dan Sophie, Komandan Embriaco Falcone. Lima sudah menerima pemberitahuannya. Dua yang terakhir perlu cara tersendiri, dan satu dari mereka selalu ada di geladak teratas sewaktu pagi. Diam. Duduk. Tak tampak.

"Letnan Kaél?"

Sepi. Oriana menahan napas, menutup mata, mendengar. Tak ada jawaban, kata ataupun… nada.

"Anda di sekitar sini, Letnan? Maafkan saya menganggu. Tuan Muda Durante berharap anda berada di anjungan pukul delapan tiga puluh pagi ini."

Masih tak ada jawaban. Oriana mulai merasa bodoh karena berbicara pada udara, dan merasa makin konyol saat mendengar langkah-langkah berat. Sesosok pria manusia datang mendekat. Ia muda dan tinggi besar, tangannya siaga pada gagang pedang. Garis wajahnya amat petarung tapi rambut dan matanya coklat muda hangat. Tak bisa disembunyikan memang, Komandan Embriaco Falcone adalah orang baik. Sangat beriman. Lulusan Kolese Prajurit Suci. Memakai zirah bajaperak dan tunik putih itu, ia harusnya berada di depan barisan paladin, bukan di atas kapal bajak udara. Sayang, seperti yang terjadi pada seorang anak perempuan yang dijual di pasar budak, nasib Komandan Falcone pun berbelok dari kewajaran karena suatu kemalangan.

"Komandan," sapa Oriana, sedikit membungkuk. Ia sedikit heran Sang Komandan belum pergi ke anjungan, tapi tak merasa perlu bertanya. Pria itu mengangguk ramah dan langsung menebak masalahnya--"Kau mencari Kaél?"

"Ya. Tapi barangkali Letnan sudah mendengar saya. Barangkali ia sudah menuju anjungan."

Komandan Falcone tersenyum lebar. " Tidak. Ia masih disini. Biar kubantu."

Oriana menyingkir ketika Komandan Falcone menghunus Stellacadente, pedang mata-gandanya yang berat. Sang Komandan mengacung pedang itu ke depan lalu mendadak menebas ke belakang. Dentang menggema. Bajaperak beradu dengan sebidang sinar putih yang melengkung serupa perisai. Keduanya saling berkuncian beberapa kedip—

--dan perisai itu beralih bentuk menjadi sabit, yang langsung menyambar Komandan Falcone dengan kekuatan yang sama persis dengan tebasannya. Sang Komandan mengubah sudut Stellacadente untuk bertahan. Ia sama sekali tak kaget meski lawannya tak tampak dan tak bersuara. Cekatan ia menghalau dua lagi kilatan sabit yang menyusul membabatnya, dan mengirim satu tusukan balasan. 

Stellacadente kembali beradu dengan bidang putih. Kali ini perisai cahaya itu bertahan. Di belakangnya, seperti lukisan yang berangsur disusun dari sentak-sentak warna, muncul sesosok tubuh tinggi ramping. Orang itu memakai baju panjang dan sarung tangan dari kain hitam yang menampakkan pola simpul berangkai di bawah cahaya. Lengannya dilindungi rantai-bintang, sejenis rantai dari logam langka yang berwarna perak tapi penuh galur spiral berwarna gelap. Rambut orang itu putih-mutiara sepanjang mata kaki, juga dijalin dengan rantai-bintang. Garis wajahnya halus, telinganya memanjang naik, matanya ditutup bebatan kain hitam.

Letnan Kaél Coileáin na Ciúnas.

“Muncul juga kau,” sang Komandan menggerutu, menekan Stellacadente pada perisai cahaya. “Ada apa? Biasanya kau muncul sebelum menyerang.”

Alis pucat Letnan Kaél terangkat sedikit. “Kemarin kau berkata ingin tantangan.”

“Ah--benar.”

Komandan Falcone menarik pedang, membuyarkan titik keseimbangan antara dirinya dan Letnan Kaél. Ia hampir berhasil memanfaatkan huyungan tubuh lawannya untuk memasukkan tebasan. Namun, Letnan Kaél lebih cerdik; alih-alih berusaha menahan badan, ia justru sengaja menjatuhkan diri lalu melancarkan sapuan. Serangan rendah itu masuk telak. Komandan Falcone jatuh telentang. Dan Sang Letnan, dengan kelincahannya yang jauh melebihi manusiawi, melenting berdiri untuk menginjak tangan kanan Komandan Falcone yang memegang Stellacadente.

“Sial!”   

“Sudah kuperingati kau tak akan menang. Pula, kau seorang paladin. Mengapa kau tidak memakai sihir?”

“Aku tidak memakai sihir kalau lawanku tunaiman sepertimu. Itu tak adil karena kau tak bisa memakai sihir.”

“Aku punya kekuatan sendiri yang unggul dari sihir karena aku tak bergantung pada Tuhan atau Dewa yang Tiada.”

Komandan Falcone berdecak. “Kalau iman membuat kita lemah, kau sudah menang dari Pendeta Learaí sejak dulu.”

“Kalau iman membuatmu kuat, kau tidak akan takut menantang na Amhrán.”

Komandan Falcone menyeringai. Sebagai balasannya satu tekukan kecil muncul di sudut bibir Letnan Kaél. Senyum yang indah. Namun, Oriana merinding; kali pertama ia melihat senyum semacam itu adalah lima tahun lalu, di balik ayunan seutas rantai-bintang. Galur-galur spiral benda itu berubah dari hitam menjadi merah karena warna yang mengalir dari leher ayahnya.

Darahkotor.

“Oriana?”

Oriana terhenyak. Komandan Falcone menatapnya. Letnan Kaél mengarahkan muka padanya, tidak melihat menembus bebat mata, tentu saja, tapi tetap bisa menginderanya. Tergugup ia berkata, “Ah—maaf, Letnan. Tuan Muda Durante ingin anda datang ke anjungan pukul delapan tiga puluh.”

“Na Amhrán juga?”

Oriana mengangguk. Diam-diam merinding lagi. Na Amhrán. Ia tahu persis siapa yang dimaksud Letnan Kaél, dan membayangkan orang itu membuatnya takut. "Tapi saya belum memanggilnya, Letnan,” ia menjawab, berusaha tak terbata. “Saya melewati bangsal sihir saat kemari. Ada suara-suara di dalam. Pendeta Learaí sepertinya sibuk. Saya tidak berani menganggunya."

Dahi Komandan Falcone berkerut. “Suara?” Lalu ia mengerang, "Ya Tuhan!"

"Ia memanggil setan," Letnan Kaél menyimpulkan.

Serempak kedua pria itu berlari ke bangsal sihir. Oriana tak sempat menolak tarikan tangan Letnan Kaél, yang membawanya serta dalam lompatan-lompatan panjang nyaris melayang. Turun dari dek teratas, melewati ruang-ruang tempat para awak kapal asyik bekerja. Walau sedikit terkejut, Oriana tak sedikitpun cemas; memakai penutup mata tidak membuat Letnan Kaél buta. Dengan tepat sang letnan berbelok menghindari para juru mesin La Ragazza yang terlonjak, Ésclépion si tabib kapal yang saking kagetnya hanya terpaku, dan Magi Reinhagen, si magi kapal bertubuh bocah yang baru keluar dari ruang pustaka dengan menjinjing setumpuk surat bersegel sihir palsu.

Letnan Kaél terjun dari tangga melingkar, menyeberangi ruang mesin penuh rangkaian pipa, saluran bening, dan kumpulan rodagigi berwarna tembaga. Salah satu dinding ruang itu didereti belasan tabung tembus pandang setinggi empat kali tubuh manusia. Semua tabung itu mengandung sebongkah besar kristal batudaya. Ada batudaya api yang merah, ada batudaya angin yang kuning emas. Dan pada lantai di sekitar tabung-tabung itu berbelitan kabut sihir merah dan kuning emas…

…dan anehnya, nila dan perak.

Sihir gelap dan cahaya.

Padahal mesin kapal tidak memakai batudaya gelap ataupun cahaya.

"Astaga," hela Komandan Falcone saat melihat betapa tebal kabut  nila dan perak itu. "Sebanyak ini… paling tidak ia memanggil tiga cagnazzo atau satu calcabrina."

Oriana bergumam, "Cagnazzo... setan peringkat delapan?" Komandan Falcone menggeleng. "Lebih parah—enam. Calcabrina lima. Mereka bisa melantakkan La Ragazza jika pendeta kita”—nada suaranya masam pada dua kata terakhir—“ceroboh."

Komandan Falcone mengetuk pintu bangsal dan mendapat jawaban berupa erang panjang. Bergema, berdeguk-deguk, seakan yang bersuara itu punya lebih dari satu mulut. Sang Komandan langsung menghunus Stellacadente dan memegangnya tegak lurus di depan wajah. Ia mengucapkan In Nomine Dei Miseratoris Misericordis, kanta awal semua doa Gereja, disusul sepotong doa pendek.


Yang Maha Kuasa, Sumber Segala Sihir,
Perkenankan kami tujuh perisai
dari cahaya dan murka bumi
dari gelap dan petir,
dari api, angin, dan air.


Kabut sihir menjawab doa itu dengan membentuk bidang lengkung di sekitar tubuh Komandan Falcone. Perak, hijau, nila, ungu, merah, kuning emas, biru. Berturutan lapis-lapis cahaya itu bergabung menjadi kilau putih Madah Tujuh Perisai, berkah pelindung terkuat milik seorang paladin.   

"Mundurlah."

Komandan Falcone menerjang. Pintu terbanting membuka, dan Oriana mengilas dua pita kabut merah sebelum tersilaukan oleh kilatan api, tepat di depan wajahnya.

Dentum keras menghajar telinganya.

Tapi ia tidak mati--mereka tidak mati. Tangan Letnan Kaél teracung membentuk medan perisai putih, menahan ledakan api, cipratan darah, semburan daging. Saat dinding cahaya itu padam, sesuatu menggelinding ke kaki Oriana: potongan kepala dengan tiga wajah perempuan. Yang kiri renta, yang tengah dewasa, yang kanan kanak-kanak. Tiap wajah punya dua mata tapi berbagi satu dengan wajah di sebelahnya, sehingga kepala itu punya empat mata yang mengalirkan darah.

"Calcabrina," sebut Komandan Falcone sebelum mengalihkan tatapan pada potongan-potongan lain yang terpencar ke seluruh ruangan. Kaki. Lengan. Tubuh putih porselen yang tergeletak di tengah bangsal, terserak di luar sebuah lingkaran sihir yang digambar di lantai dengan kabut sihir perak.

Oriana memejamkan mata dan berpaling. Bukan hanya pemandangan itu yang membuatnya takut, tapi juga orang yang ada di tengah bangsal, duduk malas di atas takhta sihir dengan menumpangkan satu kaki di sandaran tangan: Pendeta Learaí Seathrún na Amhrán. Ia memakai jubah pendeta yang tak ditutup, jubah berkabung dari kain hitam berpola simpul. Rantai-bintang melilit tangan dan lehernya. Rambutnya sama pucat dan panjang dengan rambut Letnan Kaél.

Dan Oriana bisa melihat merah-lembayung mata ibunya pada mata orang itu.

Komandan Falcone maju. Si pendeta tampak terlalu sibuk mengamati sebuah pisau dari opal hitam, sepertinya tak sadar ada yang datang apalagi merasa bersalah karena sihir apinya hampir menghabisi tiga orang. Tapi kemudian ia  berkata, "Mau apa kalian?"  

"Mau apa?" Komandan Falcone membelalak meski nada suaranya tidak naik. "Aku yang harusnya bertanya. Apa yang kau lakukan?"

"Memanggil setan. Apa lagi?"

"Dan membantainya?"

Pendeta Learaí mengangkat bahu. "Makan lebih sedikit tenaga dibanding mengirimnya pulang ke neraka."

Komandan Falcone berdecak. "Kau pendeta, seharusnya tahu hukum Tuhan. Setan-setan barangkali jahat, tapi kau tidak pantas main bantai jika mereka sudah membantumu."

"Yang satu ini tidak membantuku. Aku bertanya. Ia tidak bisa menjawab. Jadi--"

Pendeta Learaí menjentik. Jarinya mengeluarkan letupan api kecil—dan ia tertawa.

"Enyahlah. Aku sibuk."

"Durante ingin kita berkumpul di anjungan," Komandan Falcone membalas. "Kau termasuk, Pendeta."

"Aku tak perlu mematuhi kehendak anjing sepertimu, atau separuh-anjing macam Durante Sentenza."

Oriana ragu-ragu hendak bicara, tapi Pendeta Learaí bahkan tak mengampuni niatnya--

"Diam, darahkotor."

—dan ia menelan ludah. Lima tahun lalu, orang-orang itu, pembunuh-pembunuh keji itu, juga memanggilnya begitu. Karena di dalam tubuhnya darah ayahnya telah mengotori darah ibunya.

"Kita diperlukan, na Amhrán."

Suara tenang Letnan Kaél membuat bola mata Pendeta Learaí berkilat. Merah-lembayung terpantul pada pisaunya yang hitam. Si pendeta mulai bicara lagi, kali ini dalam cakapnada, bahasa tanpa kata yang mengungkapkan arti dan rasa hanya lewat naik-turun-liuk-jeda suara. Kadang indah seperti seperti nyanyian, kadang nyaring liar seperti lengking berburu burung pemangsa.

"Aku bukan pelayan anjing sepertimu, na Ciúnas."

"Pelayan anjing yang bisa menghajarmu," balas Letnan Kaél, juga dalam cakapnada. Ia mengangkat lengan, memamerkan putaran cahaya putih di sekitar pergelangannya. Pendeta Learaí membalas dengan tertawa halus sambil menyalakan segumpal api di telapaknya.

"Kau begitu pandai membuatku senang."

Seketika kilatan api dan gelombang-gelombang tajam bertabrakan. Oriana sedikit terkejut saat Komandan Falcone tiba-tiba menariknya keluar, tapi ia sigap membantu pria itu mendorong pintu bangsal sihir. Berhati-hati agar tidak tersasar. Hal terakhir yang terkilas olehnya adalah Letnan Kaél, satu tangan membentang perisai putih untuk menahan lontaran tombak-tombak es, satu tangan lagi melepas penutup matanya.

Merah-lembayung.

Pintu menutup. Kini pertarungan itu tinggal ledakan-ledakan teredam. Komandan Falcone langsung menyeka dahi. "Pantas saja Kepulauan Eriú tidak pernah menguasai dunia," desahnya. "Kapanpun kau pertemukan dua sídhe di dalam satu ruangan, mereka saling bunuh."

"Ah... shii, bukan sidh," Oriana membetulkan lafal Komandan Falcone. "Dan hanya yang jantan yang begitu, jika mereka terikat sumpah laga."

Komandan Falcone melotot. "Jantan?"

"Sídhe menyebut diri mereka dengan jantan dan betina, bukan lelaki dan perempuan... ibuku, bahkan setelah bertahun-tahun bersama ayahku, ia selalu menyebut dirinya betina."

Oriana merasai tatapan Komandan Falcone, lama dan menimbang, pada wajahnya yang ramping. Pada sosoknya yang semampai menurut hitungan manusia. Pada telinganya yang sedikit melancip, rambutnya yang coklat, keriting seperti sulur anggur. Wajah warisan ibunya dan mata hijau tua ayahnya.

"Kusangka kau berdarah manusia dan alvére seperti Durante. Memang kulitmu tak gelap, tapi kau berbeda jauh sekali dari Kaél dan Learaí."

"Wajar saja," Oriana membalas, tangan terangkat, berusaha menegaskan ia tidak tersinggung; wajahnya memang mengecewakan untuk seseorang yang memiliki darah kaum paling cantik di dunia. "Darah mereka tidak tampak jelas jika—"

Jika dikotori.

"Aku bukannya ingin menyebutmu buruk rupa."

Sedikit malu karena Komandan Falcone merasai kegelisahannya, Oriana tergagap.

***

Seperti yang terlihat, Bab 1 ini sudah sangat berbeda dengan awalnya. Hal  pertama yang tampak pastilah perkembangan alur penuturan yang lebih lancar dan pemakaian kata yang lebih efektif, walau tentunya ini masih bisa diedit lagi. Patut diperhatikan juga, aku mendebat sebagian besar dari kritik teman-teman di pulau penulis bukan seepenuhnya untuk mementalkan pendapat mereka, tapi untuk menggali apa yang sesungguhnya 'keliru' dari naskahku. Tampak bahwa kritik-kritik itu tidak semua kuterima seperti "apa adanya yang diomongin para kritikus". Namun, pada akhirnya poin yang mereka sentuh selalu kupertimbangkan, dan jika memang terasa lebih baik diperbaiki, akan kuperbaiki. Pada saat-saat tertentu debat itu bisa menjadi panas, tetapi sejauh semuanya dikendalikan di dalam sudut pandang untuk memperbaiki cerita dan tidak sengaja dibawa-bawa ke masalah pribadi, aku yakin pada akhirnya hasilnya akan baik.

Bagi anda yang berkenan untuk mengomentari Bab 1 ini, seperti selalu, silakan. Meskipun bentuk yang kupajang diatas sudah sangat mendekati tahap draft akhir, saran dari siapapun akan selalu didengar dan dipertimbangkan, karena aku ingin naskah ini menjadi suatu karya yang--sedikitnya--menarik dan berbobot jika suatu saat bisa kusampaikan di tangan anda semua.




Luz Balthasaar

52 komentar:

Anonim mengatakan...

Hm, belum baca yang versi non cabenya.

Tapi yang versi cabe-nya ini benar-benar melelahkan mata dan kepala. Begitu banyak karakter, deskripsi, dan informasi luar biasa terjejal dalam satu bab yang jumlahnya hanya sekitar 10 halaman. Alias langsung masuk gigi tiga sejak start.

Kesan kalimat efektifnya memang benar. Tapi ya itulah masalahnya: kurang celah dan momen untuk men-save informasi dalam otak. Padahal intinya di bab ini cuma mengumpulkan orang sesuai perintah si Durante sekaligus ajang perkenalan. Tapi ini jelas lebih daripada itu...

Hm, mungkin ini memang gayamu. But after all, ini toh cuma satu bab saja. Mungkin pendapatku bisa berubah saat melanjutkan ke bab berikutnya.

Eh, btw, aku membayangkan setting fantasinya mirip-mirip jaman Reinassance (karena efek nama italiano-nya pula). Benarkah begitu?

Salam. Heinz.

Luz Balthasaar mengatakan...

Menurut konsultasiku dengan seseorang lain di Goodreads, 10 halaman itu udah banyak lo Heinz.

Dan kudengar juga, daripada kita membuat prolog dan menaikkan cerita pelan-pelan, lebih baik langsung mulai. Resikonya memang langsung gigi-3 untuk cerita yang kesannya sederhana.

Padahal sebenernya di dalam 10 halaman ini aku sudah meletakkan deskripsi dunia, teknologi, dan religi, yang langsung bisa kebayang. Akibatnya, langsung ketangkep ini alternate universe jaman renaisans.

Faktor berikutnya, aku ingin menyelesaikan cerita ini di bawah 120 kata, kalau bisa. So ya, plot ga bisa berbasa-basi.

Mempertimbangkan saran kamu, aku akan mengakalinya dengan menguta-atik kalimat dan memangkas paragraf supaya cerita ini semakin mudah dibaca.

Sedikit minta bantuan lagi, yang bikin capek itu kutebak sepertiga bagian awalnya yah?

Anonim mengatakan...

Entah kenapa, versi yang non cabe (mengikuti analogi sebelumnya :D) jauh lebih mengesankan daripada yang versi cabe

Luz Balthasaar mengatakan...

Thanks... anonim. XD

Baidewei, tulis nama dunk. Bukan buat dikejar kok, cuma kalau anda ada situs atau page dimana, biar aku bisa intip juga maksudnya.

Mungkin lebih mengesankan karena banyak ide yang kupotong dari versi awal, untuk kusebar pelan-pelan di seluruh cerita. Ini salah satu kritik yang kuterima di awal, dan aku cenderung setuju dengan para kritikus awalku itu.

Thanks sekali lagi!

Villam mengatakan...

luz,

terus terang gue lebih suka opening versi yang lama, yang ttg 'kapalnya bergerak masuk ke pelabuhan'. lebih dinamis, daripada sekadar satu paragraf deskriptif panjang tentang bentuk kapalnya.

kalimat 'la ragazza adalah kapal udara yang sangat cantik' kalo bagi gue adalah kalimat yang sangat lemah, gak tajam dan gak menarik, dan sebagai paragraf pembuka, deskripsinya terasa terlalu berat (gue pribadi butuh baca ulang satu-dua kali utk benar2 paham seperti apa kira2 bentuk kapalnya, dan sayangnya deskripsi ini toh akhirnya hanya merupakan atribut bumbu belaka, bukan info yg benar2 penting utk disampaikan di awal cerita), dan sangat potensial membuat pembaca langsung menskip dan masuk ke paragraf2 berikutnya (yg bisa membuat pembaca benar2 masuk atau terkoneksi ke dalam cerita, yg kalo buat gue baru benar2 terasa pada saat oriana teringat ayah dan ibunya).

so kalo masih boleh kasih saran, mending sekitar 5-8 paragraf awal diutak-atik lagi (nanti aja tapinya, kalo bab terakhir udah selesai ditulis, jangan sekarang). cari kalimat pembuka yg tajam, dan paragraf pertama yang lebih ringan namun tetap menarik juga. kalo memang tetap mau menampilkan sosok si kapal di awal, lebih baik gambarkan itu dalam persepsi oriana selaku tokoh povnya. coba liat, apa sih yg benar2 penting dan menarik dari kapal itu buat dia? benarkah tiang2 dan sayapnya itu yang menarik (secara, oriana sudah terbiasa dg bentuk kapal itu, lalu apa menariknya), atau ada hal lain yg lebih menarik? atau jangan-jangan, yang lebih menarik buat dia justru bukan kapalnya, melainkan pelabuhannya--seperti yg kemudian tersampaikan di paragraf2 berikutnya? dan jika pelabuhan dan kota itu lebih menarik, kenapa bukan hal ttg pelabuhan itu yg ditampilkan di paragraf awal, alih2 kapalnya?

mengenai cerita sesudahnya, tak ada perbedaan berarti dg versi yg sebelumnya. bagus dan menarik kok, gue gak ada keluhan besar. paling hanya sempat tersendat beberapa kali dengan kosakata baru yang elu perkenalkan, berusaha paham dengan cara membaca ulang satu atau dua kali, dan jika gue belum bisa paham juga, ya gue baca terus, sampai selesai. karena toh pada akhirnya inti cerita yg hendak disampaikan juga tidak terlalu rumit. detil2nya yg bikin rumit (yg bisa bikin sebagian orang jatuh hati dg nuansa fantasinya, tapi bagi sebagian yg lain akan terasa sangat melelahkan). :-P

jadi, sementara itu dulu komen dari gue. dan seperti yg gue dulu bilang, luz, gue bener2 berharap oriana adalah tokoh penting dalam cerita ini, dan mendapat porsi bercerita yang cukup banyak (lebih banyak daripada yg gue liat dulu di versi awalnya). karena apa artinya gue mencoba berempati pada perasaan dia ttg ayah, ibu, dirinya sendiri dan orang2 di sekitarnya, pada bab pertama, jika ternyata hal itu tidak benar2 penting dalam cerita secara keseluruhan.

good work. :-)

Poppy D Chusfani mengatakan...

Menurutku naskah ini lengkap dan padat, suasana dunianya bisa ketangkep. Tapi jujur, butuh dua kali baca keseluruhannya baru bisa tertanam dengan benar di kepala. Saranku sih bukan untuk memangkas paragraf, Luz, tapi justru menambah deskripsi. Terlalu dini untuk mengomentari ini itu, mungkin di bab2 selanjutnya ada deskripsi yg lebih mendetail, bukan hanya adegan aksi (langsung gigi 3, wkwkwk) seperti seember penuh bola yg dilemparkan langsung semuanya ke muka pembaca sementara pembaca gelagapan mau nangkep yg mana duluan.

Tapi bab 1 ini (setidaknya buatku) mampu bikin penasaran dengan world building dan jenis2 makhluk di dalamnya, bikin aku kepengin tau lebih banyak apa sebenarnya mereka dan apa misi mereka. Congrats! Ditunggu bocoran plot berikutnya :D

Luz Balthasaar mengatakan...

@Villam... bener tuh, aku bermasalah di kalimat pertamanya. Masalahnya, aku nggak mau utilitarian, memotong semua yang divonis "ga ada gunanya ke cerita". Kegunaan itu nggak selalu tampil gamblang di plot atau di cerita.

Kasusnya begini dengan deskripsi kapal. Tanpa itu ada kekurangan pada bangunan dunia, bahwa dunia ini dikenal bentuk kapal terbang yang bentuknya kayak gitu.

Nanti kalimat pembukanya akan kuubah, walau memang sekarang belum ada ide buat itu.

Soal tokoh, jangan cemas, dan nggak usah segitunya berusaha bersimpati... krn ini bukan sinetron XD

Semua tokoh, konflik, dan motif yang kutebar akan kurangkum lagi. Cerita ini nggak akan kubikin nggantung atau pake model ending diburu.

@ Mbak Poppy, Thanksss~ ini yang paling ditunggu komennya.

Malah sarannya nambah deskripsi, gyakakaka XD

Mungkin gini kali Mbak--gimana kalau tempo penceritaannya aja yang diperbaiki biar bisa seolah-olah ngasih jeda ke pembaca untuk memahami deskripsi yang sudah ada?

Poppy D Chusfani mengatakan...

Hihihi, iya maksudku dengan nambah deskripsi juga begitu sebetulnya. Lari...tarik napas...lari...tarik napas...

Villam mengatakan...

dan jangan cemas juga, luz. gue juga gak segitunya berusaha bersimpati. :-P

btw, gue gak paham kalimat penutupnya. oriana tergagap pigimana maksudnya? kayak azis? emang dia mau berusaha ngomong apa lagi?

Luz Balthasaar mengatakan...

@ villam... aku nggak pernah mencemaskan orang lain kok, nggak juga si Azis, soalnya aku ga tau siapa dia... XD

BlackFairy mengatakan...

Akhirnya gw baca juga

gw suka gaya deskripsi loe, keren >.<
Sesuatu yg mesti gw unduh dari loe nih hehehehe.

Cara loe ngejelasin setting, dunia, budaya, dan religi juga top banged. Semuanya mengalir enak lewat sudut pandang Oriana.

Tapi... nah ini dia dateng cabe nya ^^;;

kalo boleh kasih saran sih, terus terang gw ngerasa cukup capek ngebaca bab ini, deskripsi yang detail kalo terlalu banyak cukup bikin kepala gw lelah untuk mengingatnya. Apalagi begitu banyak nama-nama yang harus diingat sekaligus dalam satu bab. Kalau nama-nama ini nantinya emang relevan sekali dengan plot sih gpp, tapi kalo misalnya ngga relevan dan hanya ditulis just for the sake of nunjukin betapa dalamnya pengarang membangun dunianya, mungkin bisa ditone down sedikit (jangan tottaly dihilangkan juga) atau bisa dikali dengan disebar2 pada bab lain jadi nggak terlalu berat mencerna bab 1 nya.

Ibaratnya ini masih appetizer, lezat tentu boleh, berbumbu banyak, silahkan, tapi porsinya jangan kebanyakan ntar pembaca udah kenyang duluan sebelom masuk soup, main course dan desert


gw rasa gitu aja :)

keep up the good work

Anonim mengatakan...

Sepertiga bagian awal memang banyak deskripsi. Tapi sudah kebiasaanku kalo deskripsi ini-itu bakal dibaca kilat. Bentuk kapal hanya sedikit terbayang tapi juga tidak masalah. Kondisi kota Verona sih aku suka. Yang mulai sulit begitu si Kael muncul. Tau-tau udah tempur, terus mulai muncul sidhe, merah lembayung, tegangan tinggi dan otakku mulai nge-lag. Hehehe.

Tapi aku masih juga belum sempet bandingin ama versi non cabe-nya.

Eh, tapi mau konsultasi dunk!
Di sini kan si pendeta...(ehm, aku scroll dulu ke atas. namanya panjang jadi lupa). ah, ya, Learai. Dia'kan summon devil tuh? Numpang tanya, mekanisme summon-nya gimana?

Soalnya selama ini, aku selalu mentok untuk urusan summon men-summon yang harus selaras ama logika. Kalo elemental 'kan, emang di sekeliling kita banyak element. Kalo raise dead, musti ada mayat dulu. Tapi kalo summon demon, gimana? Maksudnya si demon itu bisa dapet body dari mana? Ataukah dari portal dunia paralel?

Selama ini, aku selalu berpegang pada prinsip kekekalan massa Lavoisier. Dan selama ini jika sangkut pautnya dengan urusan demon (apalagi esper, GF, eidolon, dll), selalu mentok.

Heinz.

Luz Balthasaar mengatakan...

@ Shienny.... Thank yoooouuuu XD. Kayaknya berkat komen kamu langsung kena satu lagi nih masalahnya.

Nama-nama asing itu udah problematik dari draft awal. Aku sudah mengurangi sebagian yang bisa dikurangi, dan kalau mau dijawab semua nama itu relevan, ya relevan. Semua kepake di dalam cerita. Namun, aku juga pasti meninjau ulang bagaimana cara menyampaikannya biar gag terlalu berasa ngabreg.

Seperti yang kudapat dari komen Mbak Poppy, aku bakalan memperbaiki "pacing" deskripsi itu supaya inti yang disampaikan nggak banyak berubah, tapi lebih enak dibaca.

Oh ya, satu pertanyaan lagi buat yang baca contoh naskah ini, mungkin masalahnya bukan jumlah deskripsinya, tetapi apakah kesannya aku "lari terlalu cepat" dalam menggambarkan begitu banyak hal, yang akan lebih mudah dimengerti justru jika digambarkan lebih pelan?

Mungkin itu solusi dari semua masalah yang dirasakan pas baca contoh ini soalnya--go slower XD

@heinz... Jadi maksudnya mungkin gini... kalau aku pakai deskripsi yang lebih lazim, nggak susah kayak "lembayung" mungkin lebih gampang dipahami ya? Kalau repot ga usah bikin kajian perbandingan juga gpp, aku mah udah thanks berat dikasih bantuan sebanyak ini XD. Itu mah kalau kamu curious aja.

Urusan summon devil, di cerita ini sistemnya portal. Neraka itu dunia paralel. Setan bisa ditarik kapan aja, dimana saja, sama seorang pendeta. Namun, aturannya si pendeta harus gambar lingkaran sihir yang ditulisi kanta tertentu dulu, dan berdiri di dalamnya. Kalau nggak nanti dia bakal diserang ma setan yang dia summon sendiri. Ini aturan yang kuambil dari buku Ars Goetia, The Lesser Key of Solomon. (Yeah, aku punya satu kopi buku panggil2 setan itu!! ^^)

Aku nggak akan menjelaskan ini secara mendalam di ceritanya, though. Tar dikirain penyembah setan lagi, ahahaha XD

Fenny Wong mengatakan...

Aku suka ide gimana walau cuma baca sepotong awalnya, aku bisa ngebayangin gimana serunya petualangan seorang bajak udara nantinya, seperti gimana aku suka banget dengan petualangan para bajak laut. Sedikit mengingatkanku sama Wanted nya Hino Matsuri.

Oriana yang adalah ajudan kapal untuk sesaat aku kira cowok.. hehe.... Bayangannya kalau ajudan itu selalu cowok, kenapa ya? Tapi setelah baca beberapa paragraf berikut langsung ngeh.

...Aku agak nggak setuju dan nggak ngeh dengan penggunaan "...Pula,..." Kenapa nggak pake 'lagipula' aja? hehe... aku sempet agak bingung waktu baca.

Lalu pingin kasih masukan juga, gimana kalau daripada awal bab dibuka sama deskripsi, lebih baik dengan sesuatu yang lebih 'gerak', kayak adegan dialog, atau bahkan mungkin adegan berantem. Rasanya bakal lebih asik kalau dikasih sedikit 'pemicu' di awal.

Oh iyaa.. aku suka banget cara Bone ngasih tahu latar belakang keturunan Oriana. Nggak langsung mentah-mentah ngasih tahu, tapi memasukannya ke jalan cerita. Love it~

soal tanggepanmu ke shiennyms soal go slower, aku setuju berat. hehe.

FA Purawan mengatakan...

Gue gak punya masalah sama-sekali. I still love both version down until the last drop!

Tapi kurasa ide mengambil napas itu baik sekali, terutama di paruh depan untuk memberikan gembaran lebih nyata bagi pembaca demi membiarkan mereka 'live in Euravian air'.

Salute!

Anonim mengatakan...

hmmm, gak bisa bikin komentar kelas berat kayak semua yg diatas~~

tapi opiniku gini:

1. suka banget ama deskripsi dunianya, bikin penasaran, kesannya megah dan detail, dan selera gua banget..

2. setuju ama komentar: banyak banget inpo, mungkin sedikit terlalu detail (yg gak masalah kalo buat gua) dan yeah, gua butuh 2x baca biar bener2 nyambung, tapi efeknya bikin penasaran, mungkin tergantung selera pembaca yah..

3. sentuhan ala manga ? karakterisasi dan adegan tempurnya.. manga banget gak sih ? hehe, gua termasuk pecinta manga, tapi untuk sebuah novel yang bernuansa manga, entah ya, rasanya ada yang kurang pas aja..

buat gua, kekurangannya mungkin ada di adegan ala manga itu~~ mungkin bisa diperhalus biar kesan manga nya agak ilang ? ato emg luz pengen mempertahankan unsur ini ?

bubub

Uci mengatakan...

Hi Luz, gw khawatir nggak bisa kasih komen yang canggih-canggih ^_^

Satu pertanyaan saja, apakah buku ini direncanakan khusus untuk penggemar fanatik fantasy? Karena terus terang sebagai pembaca awam (fantasy), gw kesulitan memahami bab ini (walaupun nggak blank sama sekali sihh)

Intinya, gw setuju sama kesimpuan di atas. Go slower Luz...kasihanilah orang-orang seperti gw yang gak terbiasa langsung diserbu nama-nama dan istilah aneh di halaman pertama! Kecuali emang niat kamu nggak menyasar pasar yang lebih luas selain penggemar berat fantasy...

Anonim mengatakan...

Baru baca versi non cabe-nya.

Yup, memang benar ada sentuhan yang berbeda pada openingnya. Kalo yang di non cabe, aku melihat Verona. Kalo yang cabe, aku melihat body kapal. Jujurnya kalo film aku lebih suka opening yang cabe. Langsung terasa fantasinya. Tapi karena ini novel, entah kenapa aku prefer opening yang non cabe.

Gaya bahasa di non cabe lebih ringan sementara di cabe agak berat. Tapi sekalipun lebih berat, agak terbayar karena lebih bagus dan berbobot. Jadi so far aku lebih condong menyukai versi yang cabe ini. (Apalagi pas deskripsi Verona dan berkah sihir, wuih banget)

Ehm, tapi kalo kupikir-pikir lagi, aku gak tahu pendapatku itu masih objektif ato kaga. Soalnya ini kan kedua kalinya aku baca (dari dua versi) sehingga kali ini, aku baru benar-benar mengerti dan mendapat gambaran sempurna. Hehe.

Oh, ya, kunilai pemilihan nama-nama italio-nya pas banget. Juga Verona, katedral, kapal. Dengan segera langsung mengacu pada masa reinasans dan penjelajahan dunia. Thumbs up.

Heinz.

Luz Balthasaar mengatakan...

@heinz... maksudnya lebih ringan, itu satu kalimat langsung menyampaikan ide gitu ya? Sedang yang "cabe" itu pake mikir dulu maksudnya gimana?

Barangkali itu juga bisa karena udah baca 2 kali. Tapi aku memang akan mencoba membuat supaya kalimat-kalimat dalam versi cabe ini lebih singkat dan gampang dimengerti.

@mbak uci... thanks berat mbak. Aku mikirin yang baca ini ya orang-orang yang dari sananya suka fantasi. Tapi untuk ngimbangi aku coba bikin supaya deskripsinya lebih lambat, biar kesannya naskah itu ga 'lari'. Dan sebenernya nama asing itu ga usah dihapal, karena aku akan berusaha supaya pembaca nanti terbiasa sendiri tanpa merasa, "eh, yang disebut Mckdlshnw tadi itu apa ya?"

@Bubub... iyah Bub. Maklumlah aku juga doyan mengkaji masalah religi, jadi cara ngangkat religinya ya gini deh. Mengenai manga, sebetulnya sentuhan itu ada dua maksud. Pertama, karena aku suka. Dan kedua, mengingat para penulis dan penggemar fantasi jaman kita banyak yang udah kepapar sama manga dan game, aku mencoba memakai sentuhan itu walau ga mentah-mentah, dengan maksud 'menghubungkan diri' dengan mereka.

Kalau pengaruh manganya masih kurang subtil, mungkin solusinya aku akan memotong deskripsi karakter supaya orang lebih bebas membayangkan mereka, dan mengakali 'cahaya-cahaya berantem' yang mungkin rada kelewat manga itu. Atau mungkin ada saran lain supaya pengaruh manga itu terasa lebih nyatu?

Om Pur dan Wong... Thanks berattt XD. "Pula" akan segera dikapak sampe mati. Nanti bagian awalnya tetap deskripsi, tapi seperti kata Villam, akan kubuat kapal itu bergerak.

Khusus Om Pur... apa kabar si Jo Pasaribu Om? XD

Danny mengatakan...

*Habis baca komen2 diatas*

Hmm... aku ga ngerti kenapa semua minta go slower. buatku pacing dan kecepatan larinya udah pas. Dari deskripsi, narasi, dialog, adegan tempur, semua berjalan baik dan smoothly dalem kepalaku. Mungkin aku cuma agak ketuker antara Verona sama Oriana di bagian2 awal (karena Verona juga kerasa kaya nama cewek), tapi ga lama aku bisa ngebedain mereka lagi.

Deskripsi kapal menurutku malah perlu dibbuat panjang dan agak detail kaya gini, sebagai penunjuk kalo kapal udara di dunia ini bbeda sama kapal laut dunia nyata. Kalo ga ada deskripsi ini ya, aku mbayangin kapal terbangnya kaya kapal terbang di Ledgard; sekedar kapal laut yang diangkat ke udara.

Pertanyaan awalku, terutama habis penjelasan singkat Oriana dijual ke pasar budak, adalah berapa umur Oriana ini? Waktu baca kalo dia dijual ke pasar bbudak aku kira kejadiannya udah lama banget, mungkin lima tahunan yang lalu. Tapi trus aku dapet kesan kalo kejadiannya itu barusan aja.

Sama, mungkin ada kesalahan dikit waktu ngedit bab ini, karena aku nemu satu kata yang ditulis dua kali yang kayanya aku ga liat waktu bbaca versi awalnya dulu:
Dulu sekali, selepas petang, mereka akan berkumpul di [b]sebuah sebuah [/b]kedai kecil tak jauh dari batas luar Pelabuhan Udara.

si pemilik kedai percaya bahwa tidak ada sakit dan penat [b]yang yang [/b]tidak bisa disembuhkan oleh segelas besar brau pekat yang memabukkan.

Sama bagian dialog ini:
"Komandan," sapa Oriana, sedikit membungkuk. Ia sedikit heran Sang Komandan belum pergi ke anjungan, tapi tak merasa perlu bertanya. Pria itu mengangguk ramah dan langsung menebak masalahnya--"Kau mencari Kaél?"

Menurutku lebih bagus kalo bagian "Kau mencari Kael?"-nya dipisah paragraf. Walaupun udah ada penjelasan "pria itu" aku tetep nganggep kalo yang ngomong itu Oriana.

Selanjutnya, yang tersisa mungkin cuman pujian. Cara kamu nyelipin bagian pemikiran Oriana udah bagus banget, kita bisa tahu itu pikiran Oriana tanpa harus di-italic. Deskripsi isi dalam kapal waktu Kael narik Oriana juga cukup lancar, ga bikin bingung sama sekali. Demikian juga adegan bbattle-nya. So fluid.

Sama, bikin font yang beda buat bahasa cakapnada itu juga keren. Cukuplah buat pertanda itu bahasa asing yang Oriana ga tahu. Dan, eh, aku udah bilang belum ya? Aku suka deskripsi karaktermu. biasanya kalo ada banyak karakter muncul barengan, aku susah ngebedain karakter2nya, tapi disini aku bisa ngeliat mereka jelas. Termasuk gaya nakalnya Learai (dia cewek, kan?).

Overall, cukup bagus lah. Mungkin aku cuman jadi agak kasian sama kapten kapal ini, punya dua orang pembuat masalah dalem kapal dan dua2nya ga pikir panjang buat saling bunuh. Gimana ngendaliin mereka tuh? ;D

FA Purawan mengatakan...

Hmmm,... ada yang nanyain Jo Pasaribu? Di G-5.2., udah punya motor baru! Hehehehe,...

Luz Balthasaar mengatakan...

@ Danny... Psst... Learai cowok. Memang dia kalau ngomong bermakna ganda. Tapi tenang aja, nggak lebih dari itu.

Mengenai go slow, maksud mereka, aku pikir ada bagusnya memperlambat tempo dengan mengurangi koma, kalimat majemuk dan perluasan keterangan. Meskipun secara hitungan itu ngehemat kata, teknik ini sepertinya bikin ide rada susah ketangkep satu-satu untuk beberapa orang pembaca. Barangkali karena titik memberi jeda lebih untuk peresapan ide daripada koma.

Jadi, less comma, more period. Itu aja.

BTW, thanks yah! Komen kamu bikin aku tambah semangat nerusin. Udah kebakar banget nih XD

@Om Pur: Motor si Jo apaan Om? Kawasaki Ninja pa Honda Tiger? XD

FA Purawan mengatakan...

@Luz, Honda Tiger, definitely! :D

Anonim mengatakan...

Lebih ringan maksudnya sekali baca langsung ngeh. Tapi ga bisa jadi patokan juga. Itulah....Gara-gara udah dua kali baca. Nanti yang edisi berikutnya minggu depan (kalo masih ada) aku bakal coba baca yang non cabe dulu.

Salam, Heinz.

Anonim mengatakan...

setuju ama mb poppy, kayaknya perlu ditambah deskripsi, biar gak terkesan terlalu ngebut~~ kalo yg sekarang, IMO, emg terlalu hemat, jadi agak ngos2an~~

btw gua suka banget kalo emg bakal ada unsur religi dan detail laen yg bakal dimasukkan ke plot cerita, meski cuman jadi latar.. dan bab pertama ini emg dapet banget universe-nya, buat gua~~

soal manga, setuju banget kalo ada pengurangan "cahaya2 berantem" dan efek manga lainnya (ngakak), soalnya kalo terlalu kuat kesan manga-nya jadi agak aneh aja (buat gua sih)~~

bubub

Anonim mengatakan...

versi yang ini memang lebih enak dikunyah dibanding versi yang di bengkel.

aku suka dengan penggambaran berkah do'a yang membuat dunia Verona seperti tertutup kabut damai, tentram dan bahagia.

pun begitu aku tidak tertarik dengan pembukaan kapal yang cantik.

lembayung, tuna adab...wew ini kuasa pilihan kata pengarang siy...

cerita ini beneran layak ditunggu Luz. Bagiku, setelah kemampuan pencritaan yang hebat nian, yang penting isi critanya. dan kerna dirimu telah belajar pada orang-orang yang tepat, daku tinggal menunggu kapannya di toko buku.

smangat!

pemandu sorak fantasi dalam negeri
cheers!

elbintang

Luz Balthasaar mengatakan...

@ Bub... okay Bub! Kalau nambah deskripsi, mungkin itu prioritas sekunder. Deskripsi tambahan nggak gitu diperlukan lagi begitu dunianya udah ketangkep ma pembaca.

Prioritas primerku sekarang adalah memperbaiki tempo penuturan cerita. Dan religi ga cuma latar dalam cerita ini, karena konflik cerita nanti terikat erat dengan Gereja.

@ elbintang... ini yang juga aku tunggu komennya, wekekeke...

Aku berencana memperbaiki diksi, tapi tunaadab itu menurutku nggak terlalu aneh sih. Klo lembayung kelewat mendayu emang.

Thanks atas komennya mengenai teknis penceritaan. Aku jadi tahu kalau arahku sudah benar. Sekarang memang aku harus kerja keras beresin isinya.

Soal kalimat pembukaan, aku sebetulnya dapat saran dari Mbak Truly di Goodreads dan iseng-iseng main asosiasi kata sama adikku kemaren, jadi udah nemu cara yang menarik.

Doakan supaya ada penerbit bagus yang minat dan dibaca banyak orang yah Mbak!

Anonim mengatakan...

Aku udah baca, seperti novel2 fantasy, awalnya emang butuh waktu untuk bisa paham, tapi ga butuh lama kok, pas masuk paragraf ke 5-6 udah mulai paham akan penggambarannya. Kalau untuk fantasy (biasanya) orang lebih connect kalau deskripsi awal tentang kota atau dunianya daripada langsung ke benda, apalagi kalau pembaca fantasynya masih level novice, macam aku, tapi gpp sih, masih oke.

Soal alur cerita, aku setuju, agak ngos-ngosan ikutinnya, jadi untuk lebih paham butuh 2 kali baca, karena dari Oriana ada di pelabuhan, terbayang masa lalu terus tiba2 adegan duel, a little bit confuse to me when I read it for the 1st time. Mungkin lebih enak kalau dari gigi 1 perlahan gigi 2 baru gigi 3 :D
Aku malah lebih suka kalau ada tambahan deskripsi selama deskripsi itu padat dan jelas, karena fantasy itu menurutku butuh penjelasan lebih banyak daripada non fantasy.

Terus kosakata bahasa Indonesianya, ada beberapa yg bikin rumit, terutama mereka yg ngga biasa buka KBBI.

Soal adegan ala manga atau vidoe game, walaupun aku suka sama manga dan video game tapi kalau untuk novel aku pribadi justru kurang sreg.

Tapi kabar baiknya, novelmu langsung sukses bikin aku penasaran pas masuk paragaraf 8 dst itu cerita udah ngalir degan baik, kalaupun ada yg kurang tambah garam aja lagi eh deskripsi.
~Aryn~

Luz Balthasaar mengatakan...

@Aryn:

Okay... thanks, Aryn! Jadi bener yah, kuncinya benerin 1/3 bagian awal. Soal deskripsi, nanti kalau udah masuk edit overall kurasa perlu, akan kutambah.

Kalau bahasa indonesia... yep, kadang susah dihindari, termasuk juga Bahasa Indonesia bikin-bikinanku, tapi semoga kalimatnya bisa membatu hingga kata-kata itu nggak bingungin.

Mengenai kesan manga, aku mau ikutin kata si Bubub. Tapi aku nggak bisa menghindari pengaruh itu sih. Pertama aku suka, dan kedua aku tertantang aja untuk 'menerjemahkan' mangaisme dalam bahasa tulisan. Moga-moga pas editan terakhir aku udah dapat trik dan komposisi yang pas.

Kalau berhasil penasaran, hehe, itu hadiah paling indah buat aku. Kerja lagiiiii~

Unknown mengatakan...

aih, keren, keren. Gelagepan sih, bacanya, harus dua-tiga kali, tapi keren banget. Blessed with talent you are. Aku ngerasain sensasi yang rada mirip waktu baca Ledgard di awal-awal. Ada banyak hal yang diciptakan penulisnya, ae' sirri lah, fellis lah, segala esvath, dll. Cuma yang ini jauh lebih nonjok, terasa riil dan asyik. Legit deh. Waitin more of this to come!

Kalo, ada satu cabe dariku sih, semua karakter di atas terasa soooo very cool, semua keren-keren, badass hollywood kabeh (kecuali Oriana, tapi dia pun tetep terasa jaim). Apa memang ini sengaja? *garuk-garuk*

Cheers anyway!

Fa

Luz Balthasaar mengatakan...

@Mbak Fa...

*nyengir*

Thanks a lot. Like I told you before, I'm a showoff. Not an educator... hehehe.

Soal Oriana, yeap. Dia memang gitu. Pemalu, hati-hati... tapi loyal sama Tuan Mudanya ^^ ada maksudnya dia begitu memang.

Jadi? Since you think this manuscript is cool, "mereka" kira-kira minat ga?

Aku sih rencananya mau kirim naskah ini ke beberapa penerbit, trus liat siapa aja yang mau dan ngasi penawaran terbaik.

Sekarang permisi dulu, mau balik lagi ngerjain Bab 23, ditemani Lady Gaga dan "Alejandro"... wekekeke...

Unknown mengatakan...

Luz, apa maksud asterisk-nyengir-asterik itu? hihihihi.

Sorrrih deh for not kasih kabar ablablabla cukup lama, satu tim lagi dihantam badai deadline yg tiba-tiba sebulan-dua bulan ini, dan aku belum tega memaksakan meeting utk konsep naskah yg kugadang-gadangkan waktu itu. But, well, you say contact me at your convenience aja kan? wakwakwak .... thus, my damage is excused.

dan, soal "mereka" tertarik atau tidak itu ... *sigh* I'll try to see what I can blabbing about *sigh* karena biasanya apa yang kuanggap 'cool' itu distempel sebagai 'njelimet amat sih!'. Tergantung trik nawarinnya, ihi ihi.

Terus, soal cabeku. Sebenernya yg kutanyain itu begini, kenapa semua karakternya (or, majority of them) harus terasa oh-so-cool-badass-hollywood hero. Kata-kata dan tingkah mereka rada terlalu nggaya supaya org2 di sekitar mereka pada 'wakwaaaawww' semua (kalo Oriana yg pemalu, loyal, lagi hati-hati berubah jadi cewek cakep yg dikejar-kejar mereka semua, kayanya resmi nih Twilight). Masa sih, di dunia ini ga ada (atau belum nongol?) pendeta bloon, org gagap, ksatria slengean yg kocak abis, pengecut, a not-another-antihero-who-act-herolike, simply tokoh gendut pendek, or apalah ... yg nggak badass, yg nggak hollywood banget. Kinda waitin for atypical characters born from your good hand.

*PS : I'm China Mieville's groupie, so yeah, I'm CRAVING atypical plot and characters. Pardon moi.

Fa

Luz Balthasaar mengatakan...

@Mbak Fa...

Ya gag papa sih, kalau mereka juga belum mau dengar konsep itu sih ga papa. Toh kalau aku yang duluan ngejual konsep itu ke pihak lain, kan mereka yang rugi, kekeke...

Kalau kenapa mereka oh so cool badass... well, why not? I'm a fan of Lady Gaga, and I love her glam. Makanya aku suka karakter (terutama cowok) yang keren dan badass.

Aku nggak mau membuat karakter orang pendek atau pendeta bloon hanya demi menunjukkan "Hey, look! Saya bikin karakter cacat! Ini berarti saya penulis yang original dunk!"

Bikin karakter cacat nggak otomatis bikin kita jadi original. Sama kayak rajin sembahyang ga otomatis bikin orang takwa.

Bikin karakter kayak gitu namanya fenomena Anti-Sue, dimana penulis berusaha untuk tidak bikin karakter stereotip dengan cara membalik semua stereotip karakter "cool", dengan harapan dia bakal dicap original.

Ini nggak akan berhasil, trust me. It's a cheap trick, and the readers will not fall for that.

Kayaknya udah waktunya aku menulis tentang penciptaan karakter di blog ini deh...

Dan soal Oriana ditaksir sama semua orang, oho, you will not find anything like that. Para badass-wan dan badass-wati di ceritaku punya masalah yang jauh lebih penting daripada rebutan cewek/cowok.

Tapi kalau memang mau cari yang atypical, gini deh... Bagaimana kalau kubilang tokoh antagonis cerita ini adalah seorang perempuan baik-baik, rajin beribadah, dan sudah menikah dengan orang baik-baik?

Unknown mengatakan...

Nothing wrong with oh-so-cool-badass, iya, Luz ... tapi gimana ya ... gimana mengolah deskripsi karakter 'badass' dan 'cool' itu loh. Almost typical dari satu buku ke buku lain. Kalimat-kalimat hemat, makian-makian, gagah maskulin, gak pecicilan, gaya cuek-nyantai pas tarung, apa ya ... aku miskin kata-kata deh buat ngungkapinnya. Mudah-mudahan kebayang yah apa maksudkuh kepadamuh. (Rasanya mirip-mirip kaya nonton trilogi Bourne setelah skian lama dijejalin pilem-pilem Arnie, Syl, atau Bond. Gimana gitu ya, si penulis deliver 'cool'nya si Bourne).

Not that I dont enjoy hollywood badass. Semua karakter cowok Euravia delicious banget buat kugila-gilai (apalagi Falcone, aih, sini-sini sama Tante). Not that I seek for pure originality (hari geneeee, original?) Cuma, cuma, nggak smua penulis punya skill buat nyiptain karakter yg terasa nggak just-another-hollywood-badass. Aku sih, personally (cih, personally, siape loh?), berharap dari dirimu yang pembelajar dan-sumpah!-tulisannya di atas rata-rata ini, lahir karakter-karakter yang 'yummy' nan legendaris. Yang suatu saat bisa bikin orang bilang "...eh, udah baca buku xxx belom? jagoannya tipe-tipe Komandan Falcone gitu dari Euravia. Bedanya, cuman dia punya tanda samber geledek aja di jidat."

Gimana gitu ya, caranya, enaknya, supaya nggak kliatan kaya cheap trick (u know triple better lah), ehehehehe.

Yooo, saya tunggu deh postingan karakternya. Mungkin bisa mengobati jiwa saya yang haus akan cheap trick karakter dan plot, hihihi.

‘… Where’s the skill in being a hero if you were always destined to do it?’ said Hemi.
(UN LUN DUN, Mieville)

Cheers, Luz! :)

Fa

Luz Balthasaar mengatakan...

@Mbak Fa...

Kalau gitu, silakan baca aja naskahku nanti untuk menentukan apakah mereka pada-pada just-another-hollywood badass atau tidak, apakah mereka keren sampe belakang atau nggak, wekeke. Kalau ini mah udah urusan pembaca deh.

Maybe later I'll send a copy to "them"... atau mau lewat Mbak aja? Sejauh ini sih yang kusasar nanti ya "mereka", terus dua penerbit lain yang cukup punya nama, terus satu penerbit baru yang reputasinya bagus di kalangan penulis fikfan.

BTW, titip salam buat Om Ledgard. ^^ Kapan yang bersangkutan bikin novel fantasi lagi?

Unknown mengatakan...

kirim ke emailku aja kalau dirimu nggak takut dibajak, wakwakwak. Nanti kukirimi email si ibu manajer deh. Cuma ya, resiko pasca pengiriman tanggung sendiri yeh (misalnya, dipaksa bikin satu paket, tiga buku sejenis Euravia buat penerbit. Oh,well, series minded) :p :p :p

Si Ledgard sibuk dgn kegiatan dosennya. Meracuni pikiran anak-anak muda dgn filosofi politik bangsa Fellisnya (May God save those innocent children!) *cry hysterically*

Fa

Luz Balthasaar mengatakan...

@Mbak Fa...

Klo gitu tunggu sedikit lagi aja. Mampir-mampir ajalah ke sini sering2. Soalnya aku lebih milih ngirim hardcopy kalau udah lebih 75% kelar gini.

Apa? Euravia dijadiin series? Neveeerrrr~!!!! *Ngakak*

Ga tahulah. Aku niat bikin cerita ini one-shot doang sih. Tapi lihatlah nanti.

Thanks again!

Bonmedo aka Boni mengatakan...

Hello Luz,

Sorry baru sempat nih baca. Aku baru baca sebagian. Sementara ini pendapatku seperti di bawah ini:

Satu yang gue paling salut dari naskah bab 1 ini, adalah penulisan deskripsinya Luz. Dan gue yakin u juga udah tahu kalau di bidang yang satu ini, u sangat kuat. Dan kelihatan sekali kalau u gunakan kemampuan luar biasa di dalam pendeskripsian ini dengan sangat maksimal.

Tapi gue yakin u gak mau denger yg bagus2nya kan yah dari forum ini. Satu yang gue rasa sangat perlu untuk ditelaah lagi, adalah sangat banyaknya informasi yang u coba jejalkan ke pembaca di dalam 1 bab ini, sehingga baru mulai membaca setengah bab, gue udah terbingung2 dan pusing sendiri. Ini gue liat dari kacamata sebagai orang yang doyan baca fantasy, yah, Luz. Yang demen sama cerita dengan deskripsi yang super deskriptif dan panjang. Gue kebayang kalo orang yang biasanya baca ciklit coba baca bab 1 you ini, gue rasa mereka bisa-bisa nyerah setengah jalan, gak sempat lagi ngelanjutin ke chapter2 berikut yang gue Yakin seyakin-yakinnya, cerita lu ini pasti OK banget.

Sebagai gambaran yah.

Di awal-awal gue udah nemuin segini banyak bahasa yg gue ngerti:

La Ragazza Col Fucile
Verona
Romana
Euravia
Guglielmo Sparviero
Oriana
Katedral Principessa Chiara
Durante Sentenza
klan Vento Levante
Bertolt
Montresor
Sophie
Embriaco Falcone
Letnan Kaél
Stellacadente
Letnan Kaél Coileáin na Ciúnas
Cagnazzo
Calcabrina

Ini kalo setiap kali gue kudu liat ke glosarry, susah juga Luz. Ini baru nama yah ... otak gue belum lagi mencoba mencerna gambaran kota, yang u coba gambarkan langsung hampir ke seluruhannya di bab 1. Gue di tengah-tengah pusing sendiri dengan segini banyaknya tempat untuk di gambarkan di kepala gue yg kecil ini:

toko
Sekolah-sekolah
perpustakaan Katedral
aman-taman berpagar jeruji hitam dan penuh lili-lili putih
bengkel
Menara Magi
halaman Kolese Prajurit Suci
kedai kecil
Pelabuhan Udara
pasar budak

Dan belum lagi, di bab 1 ini sendiri, u coba menjejalkan cukup banyak history latar belakang yang membuat gue semakin sulit untuk mencerna semuanya.

Saran gue adalah untuk memecah informasi-informasi itu ke dalam beberapa bab. Yang tidak perlu diketahui sekarang, gak usah di kasih tau dulu. Misalnya ... yang penjelasan tentang berkah turun ke Verona .. u jelaskan sangat panjang lebar kemana saja ia turun. Bagus memang .. dan gue ngerti u coba untuk menjabarkan pandangan kotanya secara vivid. Tetapi apakah perlu di lakukan langsung di bab 1, dan dalam 1 paragraf? Mungkin tidak. Kalau u konsen aja dengan keadaan di pelabuhan misalnya di bab 1 ini, mungkin u bisa lebih fokus dalam membawa pembaca ke keadaan yang lebih menarik mereka untuk membaca lebih lagi.

Sementara segini dulu, Luz. Sorry buru2 banget .. maap-maap kalo ada yg salah tulis :) Ntar kontak2 aja lagi yah :)

Cheers,
Boni

Luz Balthasaar mengatakan...

@(Om) Boni, makasih banyak bantuannya. XD

Berdasarkan komen yang kudapat, aku memang akan menata kalimat dan mencoba mengurangi apa yang disebut 'nama asing' itu.

Tapi dari komentar lain, banyak pembaca tetep ngerti meskipun ga buka glossary.

Aku ga bermaksud pembaca harus hapal arti detail nama-nama itu sekali baca di bab 1.

Asalkan mereka tahu apa arti nama itu pas membaca paragraf yang menyebutnya, ga papa. Kalau setelah itu mereka lupa, nggak masalah, asalkan pas disebut lagi di paragraf lain, mereka ingat lagi.

Dan soal deskripsi kota, Kalau ditanya "apakah perlu"? Maka aku jawab dengan yakin, sangat perlu. Jika aku nggak menggambarkan kota itu, apakah kelihatan kalau cerita ini terjadi di setting sosiobudaya seperti apa?

Malah kalau kugambarkan pelabuhan, itu yang nggak perlu. Itu cuma akan jadi deskripsi pointless karena setelah lewat dari bab ini kita hampir ga ada urusan lagi dengan pelabuhan Verona.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Luz, aku belum baca versi non cabenya, tapi tetep mau ikut kasih komen :D

Setelah ngebaca bab ini, (dan ngebaca sedikit awal2 bab versi non cabe) kesan yang pertama kali kudapet adalah, paragraf2 awal ceritamu ini kayak movie pembukaan Final Fantasy. Langsung kebayang di kepalaku kapal putih bersayap dengan kabut sihir raksasa di bawahnya, lagi melayang di atas kota yang di mana2 juga ada banyak kapal serupa berseliweran di sekitarnya. Semuanya serba 3D, semuanya serba indah, dengan karakter2 cantik dan cakep ala FF. Menurutku sih itu bagus banget, entah apa emang itu tujuanmu atau bukan ya. Menurutku, ceritamu ini visual banget sampe kebayang gitu aja di pikiranku, tapi mungkin juga karena aku termasuk khalayak penggemar FF :p

Tapi seperti kebanyakan komentator di sini, aku juga setuju klo paragraf2 awal versi non cabe mu lebih bagus ketimbang versi cabenya. Klo kebayang di aku, kamu mau nyoba menggambarkan cerita (movie) nya dengan adegan kapal terbang sebagai pembukaannya. Kapal cantik, putih, yang sayap-sayapnya lagi mengepak dengan anggun, sementara di belakangnya ada jejak kabut sihir (alih2 asap ya) putih. Trus kamera menjauh dari kapal, menyorot kota Verona dengan langitnya yang penuh kapal-kapal lain. Baru kamera di zoom ke atas kapal, dan menyorot tokoh utama kita, sang Oriana Medici.

Yah, kalo di movie sih keren banget, tapi kalo diterjemahin ke bahasa tulisan, jadinya malah penuh dengan deskripsi kapal yang bikin alur cerita jadi lambat banget. Kalau di versi non cabenya, dengan deskripsi kota Verona pembaca bisa langsung masuk ke dalam cerita, meresapi dunia lain yang kamu sugukan di depan hidung mereka. Dan alur ceritanya nggak kayak tol dalam kota jam 5 sore, padat merayap.

Maaf kalo sotoy lho, barangkali bayanganku salah

Lanjut, awal mulanya aku juga ngira Oriana itu cowok. Mungkin karena terpengaruh kata “ajudan kapal”, dan menurutku nama Oriana itu nggak cewe2 amat juga, beda kalo namanya Mari atau Nina atau Bella :p Alhasil, aku agak kejedug gubrak waktu baca “remaja perempuan sehat”. Nah lho?

Terus, buatku pribadi sih aku nggak terlalu ambil pusing dengan nama2 aneh bin ajaib yang kamu sodorin di bab ini. Tapi aku emang kesulitan ngebayangin rentetan hujan berkah yang kamu gambarin. Sampai bagian “pada jubah putih calon-calon pendeta yang menjinjing buku-buku berat dari perpustakaan Katedral” masih oke, tapi kalimat2 selanjutnya mulai nggak kebayang ama aku, dan seterusnya aku mulai baca dengan scanning alias nggak terlalu ambil pusing ama deskripsi yang ada di paragraph itu. Menurutku sih sayang banget, secara kamu menuliskannya seperti itu kan biar pembaca bisa kebayang gimana suasana kota Verona itu sebenernya. Kalau pada akhirnya deskripsi itu di-skip ama pembaca, apalah gunanya?

Mungkin deskripsi hujan berkahnya bisa dibagi jadi beberapa paragraf?

Sedikit tambahan, paragraf2 awal nggak terlalu memberi impact buat aku. Aku baca dengan pemikiran “Oh gitu, oh yeah, trus?” Menurutku momentum ceritamu ini malah dimulai di titik “puncak-puncak menara itu kini tertutup kilau putih, kabut sihir yang dipanggil oleh doa-doa para pendeta pada misa pagi.” Di bagian ini aku baru ngebatin “Whoaaa” trus mulai interest banget baca ceritamu.

Lanjut lagi, aku juga nggak bermasalah sama sekali sama bahasa yang kamu pake, kayak tunaadab (walaupun sempet ngedip waktu bacanya, sempet berasa ikan tuna :p) tunaiman, pula, lembayung, dst. Menurutku, gaya bahasamu malah original banget, dan bisa jadi ciri khasmu yang nggak bisa disaingin penulis lain.

Cuma mau nanya nih, waktu Kael bilang “Sudah kuperingati kau tak akan menang.” apa nggak lebih baik diganti jadi “kuperingatkan”? Kayaknya lebih masuk akal. Kalo pake kata “kuperingati” yang kebayang malah peringatan 17 Agustusan :p

Terus, soal mata merah lembayung, itu maksudnya mata ungu ya? Yang kebayang di aku warna matanya itu merah marun, kayaknya lebih eksotis gimannaaa gitu.

Soal efek2 manga, kayak kilasan2 cahaya itu, buatku sih nggak berasa manga kok. Tapi mungkin karena dari awalnya aku dah kebayang FF ya?

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Komen bagian 2, soalnya komen sebelumnya kepanjangan jadi mesti dibagi jadi 2 bagian !^_^

Soal setan peringkat delapan, enam ato lima, langsung kebayang Baldur’s Gate campur GF nya FF. Sebenernya waktu baca pertama kali sih berasanya oke, tapi setelah baca yang kedua kali kok jadi berasa game banget ya. Tapi nggak terlalu bermasalah kok ke ceritanya itu sendiri. Cuma murni preferensi daku ajah.

Overall, cerita yang visual banget, gaya bahasa yang original, dan ide cerita yang fresh. Penceritaannya pun mengalir lancar setelah sepertiga bagian awal. Karakternya menggugah selera dan rasa ingin tahu, ada beberapa foreshadowing (seperti masa lalu Oriana dan ketidaktahuannya apakah ibunya udah mati atau belum) yang bikin aku penasaran untuk ngelanjutin baca. Sepuluh jempol deh buatmu, Luz! (minjem jempol tetangga sebelah)

Sori kalo panjang komennya, soalnya aku termasuk kaum *ngelirik postingan yang lain* Sastramasochist wkwkwkwkwk....

Luz Balthasaar mengatakan...

@Rie, thanks berat komennya!

Aku ngeriset dan bereksperimen banyak soal gaya bahasa untuk membuat cerita ini. Tujuanku adalah biar gayanya evokatif. Dalam arti, dia bisa membuat pembaca membayangkan, tanpa ngasih terlalu banyak detail kata. Jadi kalau visualnya dapat, baguslah.

Memang modelku juga fmv-fmv FF dan anime. Inspirasinya jelas dari sana. Tapi aku ga pake mentah-mentah. Hasilnya beginilah caraku nerjemahin visual ke bahasa kata.

Pembaca muda kita udah terlanjur kepapar sama manga dan anime. Jadi bahasa novel fantasi standar kayaknya kurang kena ke mereka.

Terbukti juga, test readerku yang lebih muda biasanya lebih gampang connect ke cerita ini. Which is a good thing, karena cerita ini kubuat terutama untuk mereka.

Cuma karena aku memang dasarnya lebih ke show daripada tell, kadang-kadang deskripsi itu masih kepanjangan. Nanti akan kucoba untuk menata ulang.

Kalau kalimat pembukaannya, kayaknya lebih baik pakai kapal. Pasalnya kapal ini perannya gede di cerita. Deskripsi kota dipendekin bisa, tapi dihilangin kayaknya nggak.

Kaua nama-nama aneh, memang ga usah terlalu dipusingin. In time, you will know who is who. ^^

Soal koreksi... iya, seharusnya "ingatkan". O_O lagi demam mengubah "kan" jadi "i" dan lupa ngecek KBBI.

Dan kaum sidhe itu memang matanya merah-ungu. Marun. Tadinya mau blood red sekalian, tapi setelah coba kugambar terlalu serem, kayak pilem 28 Days Later. O_O

kalau rank demon itu gini. Aku baca Ars Goetia dan sebagian (kecil banget) dari Divine Comedy untuk model setan di cerita ini.

Setan itu ada tingkatannya. Cuma, kalau pake bahasa sumber aslinya doang, bingung. Jadi kubuat Gereja make sistem peringkat untuk nentukan kekuatan setan. Biar pembaca lebih cepet inget. Mungkin rasanya rada game, tapi moga2 ga 'over'.

Oh ya, Oriana bukan tokoh utama. (Dan namanya dia itu nama cewek yang lumayan wajar di Eropa. Memang jarang dipakai.) Policy-ku adalah dunia ini nggak punya bias jender, (kecuali di negeri-negeri tertentu,) jadi ajudan kapal pun bisa cewek.

Dia sebetulnya 'pembantu' dari tokoh utama, si Durante. Dan foreshadowing yang kamu sebut itu benar. Ada masalah penting berkenaan dengan masa lalunya.

Yaaa, moga-moga selesai segera. Ni udah tinggal story arc terakhir ma ending. Huhuhuhu~~~

Anonim mengatakan...

Hm, iseng-iseng mampir ke pulpen dan baca sisanya ampe si Insinyur Bertolt (Bab 6 kalo ga salah). And here is my thought:
A. Positive thing
1. Gaya bahasa bagus. Sangat menarik dan jujurnya baru buatku. Ehm, boleh tau nih keidean dari novelis mana? Atau asli ide sendiri?
2. Naming sense yang sangat mengena.
3. Tokoh-tokoh yang berkesan. Tapi hal ini juga masuk dalam "negative thing". Oya tokoh favoritku sepertinya jatuh ke Commander Falcon. Dan seharusnya juga Durante tapi somehow sorotan ke dia kurang terang. Si Learai juga sip. Tapi omong-omong ni pendeta umur berapa ya? Kenapa aku selalu merasa dia udah old crack.

B. Negative thing.
1. Tokoh. Terlalu banyak yang bagus. Sampe bab 6 nyaris semua dapet porsi spotlight, kecuali si dobel Sophie. Akibat terlalu banyak yang bagus, sayang kalau dibuang begitu saja. Tapi yang jadi masalah, ampe bab 6 cerita belum maju juga. (Seharusnya itu udah nyaris mendekati 100 halaman A5). Dan saking bagusnya, tokoh-tokoh yang sebelumnya jadi "terlupakan". Contoh si Orianna dan si Kael yang buatku agak tertelan oleh si Falcon, Durante, dan Learai. Dengan tokoh-tokoh dan juga background yang bagus seharusnya bisa displit jadi beberapa novel.
2. Beberapa deskripsi mungkin terlalu anime. Yang paling kuinget adalah rambut putih panjang si Kael. Duh kalau kubayangkan ni orang nyata, yang kuinget langsung penari Kabuki.
3. Gaya penceritaan cukup berat. Mungkin efek samping dari keefektifan. Sebenarnya buatku sih sebagai penikmat fantasi gak terlalu masalah. Asik malah. (yang masalah sih deskripsi, but it always happen to me. Selera deskripsiku memang agak beda dengan umum. Jadi diabaikan saja). Tapi aku ga tau untuk kalangan umum. Soalnya ni cerita bagus. Ibarat rudal Tomahawk. Bisa dipake hajar seorang presiden. Bisa juga dipake hajar satu kota. Hm, boleh minta ijin kasih intip ni karya ke satu temenku yang doyan baca cerita ringan?

Oya, ada satu pertanyaan: tentang si setan wanita badut kok kesannya kaya payah ya? Padahal udah tingkat keempat dan bisa buat efek ratatanah. Ritual pemanggilannya juga harus keroyokan. Tapi ternyata cukup sekali dihajar oleh paladin muda Rochelle udah ko it. Atau si Rochelle ini yang jago?

Hm, sori kalo ada salah-salah kata.

Heinz.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Heinz, Ah, yep. Thanks Heinz. Dibaca pe bab 6 lagi XD TT_T terharuuuu~

Iya, gpp, kasih lihat temen juga gpp. Aku malah berterima kasih karena makin banyak yang baca.

Nanggepin yg negatif dulu,

1. Ini memang bukan struktur alur maju tradisional. Kalau aku pake alur maju, entah kenapa rasanya dunia, tokoh, dan ceritanya jadi satu dimensi semua. Jadi plot lurus ini terpaksa kukorbankan untuk banyak hal lain.

Resikonya, struktur jadi ga lazim. Jadinya mungkin rawan kena protes sama orang yang mengharapakan alur maju macam jagoan-ketemu-orang-terus-pergi-bertualang-ke-berbagai-lokasi.

Euravia ini ini kayak 'cerita detektif' yang banyak action, sebetulnya. Makin cerita maju, kita belajar "what the frack is going on and why," dari berbagai kisah para tokohnya yang saling terkait. Itu sebabnya judulnya I Racconti... "stories", karena memang ceritanya nggak satu.

2. Aku juga sadar banyak karakter. Nggak mungkin mereka semua simultan jadi tokoh utama, jadi cerita ini dibagi-bagi. Karakter A perannya paling gede di bab berapa sampai berapa, B di bab lain, C di bab lain lagi.

Cuman Durante sebagai si main chara dapat porsi paling gede. Konflik utama cerita juga masalahnya dia, tapi masalahnya dia itu terkait dan terhubung sama masalah anak-anak buahnya, bahkan masalah musuhnya.

3. Kalau deskripsi anime, hehe, sayangnya udah kadung suka. Apalagi krn kemaren baru dibeliin FF XIII. Tambah anime/game lagi deh. Tapi mungkin akan kutakar-takar lagi.

Tapi kalau soal deskripsi rambut yang putih panjang itu, aku malah ngambil dari novel-novel fantasi Amerika. Spesifiknya beberapa novel Forgotten Realms yang dihadiahin sama aku dari temen. Di dalam buku itu ada ras dark elf yang penggambarannya seperti itu.

4. Soal setan badut, soalnya dia pas turun udah sekarat dihajar sama para paladin dan pendeta yang summon dia. Begitu sampai di depan Rochelle, tinggal final attack dah.


Nanggapin hal positif..

1. Gaya bahasa kukembangkan sendiri. Awalnya karena aku pengeeen banget nge-convey keseruan anime dan game Jepang di dalam tulisan, tapi aku tahu itu mustahil dilakukan dengan cara seperti, "Ketua, MP-ku Habis!"

Jadi aku sadar, solusinya barangkali di gaya bahasa. Jadi mulailah aku bereksperimen lamaaaa banget buat ngembangin gaya bahasa sendiri.

2. Tokoh bagus? Hmm... iya, memang aku nekenin di tokoh-tokohnya. Dan gayaku juga karakter-sentrik. Glad U enjoy them. Susah banget buat ngebangun mereka soalnya.

Kayaknya aku nyium resiko "kena protes kalau ada orang yang suka satu tokoh eh taunya tuh tokoh cuma peran 'sampingan'".... kabur, kabur!

Kalau untuk ngesplit mereka jadi beberapa novel, kayaknya nggak bisa. Tapi mungkin kalau aku niat aku akan bikin beberapa cerpen untuk ngedukung naskah utama ini.

Learai itu umurnya 32-33, sama kayak Kael. Tapi ya, mereka sidhe gitu, dan yang nulis juga suka lihat co cakep bunuh2an, jadi mereka kelihatan muda-muda aja.

Okay, thanks komen panjangnya. XD. Tambah semangat menulis nih ^^

Anonim mengatakan...

Balas.
1. Tentang gaya bahasa. Salut deh ngembangin sendiri. Thumbs up. Kupikir apakah terpengaruh gaya novelis siapa gitu (yang kutebak semula bukan dari genre fantasi). It's ur own unique style.
2. Tentang struktur. Sebenernya aku ga terlalu berharap alur maju tradisional juga sih. Cuma kesannya di sini seolah semua background tokoh hendak dijelaskan detil dari awal biar nanti "maju"-nya gampang. Soalnya salah satu seleraku untuk tipe cerita non linear adalah tipe mozaik sih aka rahasia-rahasianya muncul dikit-dikit seiring cerita jalan.

Tapi yah aku cuma baca ampe bab 6 juga sih. Ga tau ke belakangnya gimana, apakah bakal ada rahasia-rahasia lagi atau twist plot. Kalo ada,
itu jelas bagus banget (segini aja udah bagus) dan anggap komen ini ga penting.

Oya tentang gaya bahasa berat soalnya begitu beres baca ini aku baca Death to Come-nya Palar. Bumi dan langit bo! Walau di sana tokohnya notabene penyihir umur ratusan tahun, tapi gayanya kayak Harry Potter. Kalo Euravia, sepertinya satu tingkat di atas Akkadia. AKA bacanya lebih enak di kertas daripada di kompie.

Heinz

Luz Balthasaar mengatakan...

Yaah, senang mendengar usaha kerasku bikin gaya sendiri ada hasilnya... XD

Waktu awal menulis, policy-ku persis seperti yang kamu bilang. Menulis soal BG dulu biar maju ga susah. Tapi berkat beberapa masukan--termasuk dari kamu--pelan-pelan aku bisa menyebarnya. Di produk akhirnya info itu udah kesebar lebih rata.

Memang formatnya mau mosaik gitu. Potongan-potongan cerita para karakter itu nanti membentuk satu cerita besar.

Plot twist dan rahasia pasti banyak. Tapi soal bagus pa nggak, kayaknya kuserahkan ke pembaca aja. Aku sih berharap mereka bakal suka.

Anonim mengatakan...

Oya setelah ditilik-tilik lagi tentang si setan badut, akhirnya aku nangkep dia udah babak belur. Badan setengah terbakar, darah menetes. Kupikir itu emang penampilannya kayak kuntil mengerikan gitu. Tapi ternyata emang lagi sekarat yak?

Udah baca tuntas bab 8. Asik. Kalo terbit, aku pasti ngantri.

Eh, btw aku ga gitu kebayang. Perisai stasis itu kaya gimana sih? Bisa bikin seorang balik ngebacok diri sendiri. Terus madah 7 perisai gunanya buat apa?

Heinz.

Luz Balthasaar mengatakan...

Perisai stasis itu benernya medan gaya. Dia dibangkitkan pake kekuatan pikiran dan bekerja dengan meredam atau membalikkan energi. Jadi, dia bisa menahan atau mantulin tenaga serangan.

Dapat ide dari kinetic barrier-nya psionicist D&D sih. Juga karena ngefans sama Psycho Mantis MGS. (Astaga, ketahuanlah kalau aku ini gamer nian...)

Cuman kalau pakai penjelasan ini, teknis banget. Rasa fantasinya kurang... XD

Tapi thanks koreksiannya. Nanti coba kubuat lebih jelas bahwa dia itu memantulkan tenaga.

kalau Madah Tujuh Perisai, dia gunanya ngeredam semua sihir, termasuk peluru sihir dan panah sihir. Makanya bis pake itu para paladinnya jadi pada kebal sihir semua.

Penjelasannya ada di bab 9, tapi bab 9-nya ga kutampilin.

Dan kalau suka, doain supaya aku cepet kelar dan cepet dapat penerbit bagus dunk, hehehe ^^

Anonim mengatakan...

Medan gayanya sih kebayang. Model sihir barrier atau reflect atau share damage yang ada di Might Magic gitu. Tapi karena mantul ampe bacok sendiri mati, aku langsung inget pelajaran momentum semasa SMA deh. Hahaha, terlalu teknis memang.

Ah, MGS....Jaman PS1 maennya masih numpang. Jadi ga maen deh. But it's Kojima, and it's very good.

Hm, seharusnya sih udah bukan sekedar doa lagi. Aku sih udah ngantri. Hehe.

Heinz.

Jojo mengatakan...

Astaga, kenapa novel dengan dunia yang sekeren ini belum juga terbit? Ayolah para penerbit, masa ga bisa lihat naskah yang jauh lebih bagus dibandingkan 90% fiksi fantasi di indonesia sekarang?

Luz Balthasaar mengatakan...

@Elmion, hehehe, makasih. Tapi beneran, soal novel ini sepenuhnya salah saia.

Saia lagi mempelajari novel macam apa yang paling cocok sama saia, dan dengan cara bagaimana pengerjaannya, dengan panjang berapa. Itulah alasannya saia belum bisa nerbitin.

Tapi saia sudah menemukan cara kerja yang cocok. Semoga saja saia bisa menghantarkan karya pertama saia segera. Thanks for your support!


:D

Mizuki-Arjuneko mengatakan...

puanjang ya, Mbak. Aku pingin baca versi terbitnya aja nanti XD

When? Huaaa XD