Pada sesi diskusi nyeletuk dan cuap-cuap kemarin, aku jadi sadar kalau aku belum pernah bikin catatan apapun tentang bagaimana membangun dunia atau setting fiksi fantasi. Padahal dunia adalah salah satu nyawanya novel fiksi fantasi, selain cerita dan karakter. Nyawa nomor tiga, kalau kubilang; nyawa nomor satu lari ke cerita, dan nyawa nomor dua, ke karakter. Atau mungkin karakter nomor satu, dan cerita nomor dua. Tapi dunia tetap nomor tiga. (Mengenai 'peringkat' ini dibahas minggu depan aja yah.)
Mari mulai. Pertanyaan pertama, dunia semacam apa sih yang bagus? Sama kayak di catatanku tentang karakter, yang believable. Bagaimana dunia yang believable itu? Mari kita pinjam lagi jawaban Om Soto(y) kita tercinta.
"Dunia fiktif yang bisa menarik I untuk sejenak menggantung realitas demi masuk ke dalamnya!"
Okeh Om, we hear ya, loud and clear. Dunia cerita yang baik seharusnya bisa membuat pembaca sejenak merasa bahwa tempat itu adalah nyata. Paling minim, mungkin nyata. Paling maksim (iyah, aku tahu ada pemain piano ganteng namanya Maksim, tapi ini bukan manggil-manggil ye-be-es, maksudnya; ini cuma nyama-nyamain sama "minim" kok,) orang bisa ampe bela-belain mewujudkan dunia rekaan itu di dunia nyata. Aku sudah pernah menyebut contoh tentang betapa tergila-gilanya orang pada dunia sihir Harry Potter sampai akhirnya dibikin theme park Harry Potter. Atau contoh lain, acara Star Wars Weekends di Disney's Hollywood Studios.
Jadi bagaimana kita bikin dunia cerita yang believable? Aku sering ketemu teman-teman seprofesi--maksudnya sesama penulis, baik yang setengah mateng atau yang ngerasa sudah mateng--yang menyuarakan mantra bahwa kuncinya adalah pada detail. The Devil is in the Details, begitu mantra mereka. Detail, detail, detail. Dunia itu harus detail. Gambarkan semuanya. Bagaimana baju mereka, pena mereka, kursi mereka, and so on. Pertanyaannya, apakah ini benar?
Kira-kira 15% benar, aku bilang.
Dan reaksi yang kudapat adalah, "WTF?"
Reaksi itu wajar saja sih. Soalnya banyak banget komentar yang menyanjung-nyanjung detail Hogwarts dan njelimetnya kebudayaan, bahkan bahasa di Middle-Earth. Tambah lagi, para endorser kecap kayaknya doyan banget memakai kata "detail" di dalam puja-puji mereka yang seringkali kosong. Belum ada survei nya sih, tapi "detail" barangkali adalah kata kedua yang paling sering muncul dalam endorsemen novel fiksi fantasi Indonesia setelah "imajinasi / -tif."
Mari kita merenung sejenak. Kalau kata "detail" itu sudah segitu banyaknya dipakai, curigalah bahwa ia sudah menjadi stockword, alias kecap standar yang dimajukan tiap kali ada endorser diminta bikin endorsemen. Kecap standar ini bukan observasi, apalagi kajian valid. Kalau si endorser bilang "detail", itu bukan berarti ceritanya detail. Bisa jadi dia cuma kepikiran kata kecap pertama yang muncul di kepalanya.
Jadi? Detail itu jelas perlu, tapi jangan kebawa-bawa kecap endorser. Detail cuma bagian dari masalah. Bukan masalahnya sendiri.
Nah, kalau masalahnya bukan detail, di mana dong? Menurutku dua. Evokasi dan koherensi. Penggugahan dan keterpaduan. Itu yang penting.
Salah satu pengintip blog yang kritis (dan kebeneran agak mesum) mengangkat tangan, "Mbak, evokasi / penggagahan... eh, penggugahan itu apaan yak?"
Evokasi, atau penggugahan, adalah bagaimana kita selaku pengarang menggugah pembaca untuk membentuk dunia cerita di kepala mereka. Sebaiknya evokasi ini terjadi secepat mungkin. Makin cepat pembaca tergugah untuk melukis dunia itu di dalam kepala mereka, makin tinggi believability dunia rekaan kita.
"Trus caranya melakukan itu gimana dong dong dong dong?"
Nah, disinilah baru kita memakai detail. Gambarkan semua yang perlu digambarkan untuk menggugah pembaca membuat lukisan dunia rekaan kita. Sampai seberapa detail? Sampai dunia itu believable. Test reader bisa membantu untuk menentukan apakah detail yang anda taruh pas, kurang, atau kelebihan, apakah dunia itu sudah jelas, masih kurang jelas, atau menampilkan detail yang belum diperlukan.
Dan tentu saja, ada teknik lain yang diperlukan selain detail. Mengatur alur cerita (untuk menentukan mana dulu yang disampaikan) dan gaya bahasa tentu berperan dalam mengajak pembaca masuk ke dunia cerita.
Dan ada juga teknik deskripsi yang bisa membangunkan dunia rekaan tanpa terlalu banyak bergantung pada detail. Misalnya? Menggalakkan presisi, atau ketepatan dalam menggambarkan. Caranya? Pakailah sambung-urut kata, diksi, dan perumpamaan yang tepat. Ketiga hal itu akan memiliki kekuatan menggugah citra yang sama, atau bahkan lebih, daripada deskripsi literal yang bergantung pada detail.
Tapi berhubung aku lagi malas dan topiknya juga bukan teknik menulis, pembahasan soal presisi ini nanti-nanti aja kali yee...
Oke. Asumsikan kita berhasil melakukan evokasi. Pada satu bagian pertama kita ngasih gambaran yang jleb nancep tentang dunia kita. Lalu berikutnya? Koherensi, atau keterpaduan.
Nah, koherensi ini yang suka jadi batu sandungan. Penulis biasanya mampu menggambarkan elemen-elemen dunianya secara individual. Dia bisa menggambarkan istana dengan menara-menara dan dinding benteng dan parit dan jembatan. Dia juga bisa menggambarkan pesawat tempur sampe menjelaskan mekanisme-mekanismenya segala. Tapi kemudian dua hal itu ditabrak dalam satu dunia. Nah lho. Dimana koherennya?
Contoh ketidakpaduan macam ini bisa dilihat di salah satu repiu Blog Sebelah. Persisnya bagian yang ini...
Contoh lain ada di repiu Blog Sebelah juga. Tepatnya pada bagian ini...
Penggambaran sebagus apapun, sedetail apapun, bakalan useless kalau nggak ada koherensi antara satu elemen dengan elemen lain di dunia itu.
Bagaimana kita membuat koherensi? Ingat prinsip sebab-akibat. Jika di suatu dunia ada mobil terbang berbentuk bulat, mengapa mobil itu harus bulat? Alasannya bisa saintifik (bentuk cakram adalah bentuk yang hambaran udaranya paling sedikit, misalnya), kultural (percaya kalau bentuk bulat adalah bentuk yang baik atau membawa keberuntungan), atau religius (ajaran agama dunia itu mengharamkan semua kendaraan yang bentuknya kayak kaleng kerupuk.
Nah, dalam menciptakan hubungan sebab-akibat, kaitkanlah elemen yang dijelaskan itu dengan elemen lain dunia. Ambil contoh soal mobil bulat itu lagi, dan alasan religiusnya. Mobil yang halal itu harus bulat. Karena itu, di dunia dimaksud nggak mungkin ada mobil kaleng kerupuk macam Daihatsu Gran Max.
Jadi bagaimana kita bikin dunia cerita yang believable? Aku sering ketemu teman-teman seprofesi--maksudnya sesama penulis, baik yang setengah mateng atau yang ngerasa sudah mateng--yang menyuarakan mantra bahwa kuncinya adalah pada detail. The Devil is in the Details, begitu mantra mereka. Detail, detail, detail. Dunia itu harus detail. Gambarkan semuanya. Bagaimana baju mereka, pena mereka, kursi mereka, and so on. Pertanyaannya, apakah ini benar?
Kira-kira 15% benar, aku bilang.
Dan reaksi yang kudapat adalah, "WTF?"
Reaksi itu wajar saja sih. Soalnya banyak banget komentar yang menyanjung-nyanjung detail Hogwarts dan njelimetnya kebudayaan, bahkan bahasa di Middle-Earth. Tambah lagi, para endorser kecap kayaknya doyan banget memakai kata "detail" di dalam puja-puji mereka yang seringkali kosong. Belum ada survei nya sih, tapi "detail" barangkali adalah kata kedua yang paling sering muncul dalam endorsemen novel fiksi fantasi Indonesia setelah "imajinasi / -tif."
Mari kita merenung sejenak. Kalau kata "detail" itu sudah segitu banyaknya dipakai, curigalah bahwa ia sudah menjadi stockword, alias kecap standar yang dimajukan tiap kali ada endorser diminta bikin endorsemen. Kecap standar ini bukan observasi, apalagi kajian valid. Kalau si endorser bilang "detail", itu bukan berarti ceritanya detail. Bisa jadi dia cuma kepikiran kata kecap pertama yang muncul di kepalanya.
Jadi? Detail itu jelas perlu, tapi jangan kebawa-bawa kecap endorser. Detail cuma bagian dari masalah. Bukan masalahnya sendiri.
Nah, kalau masalahnya bukan detail, di mana dong? Menurutku dua. Evokasi dan koherensi. Penggugahan dan keterpaduan. Itu yang penting.
Salah satu pengintip blog yang kritis (dan kebeneran agak mesum) mengangkat tangan, "Mbak, evokasi / penggagahan... eh, penggugahan itu apaan yak?"
Evokasi, atau penggugahan, adalah bagaimana kita selaku pengarang menggugah pembaca untuk membentuk dunia cerita di kepala mereka. Sebaiknya evokasi ini terjadi secepat mungkin. Makin cepat pembaca tergugah untuk melukis dunia itu di dalam kepala mereka, makin tinggi believability dunia rekaan kita.
"Trus caranya melakukan itu gimana dong dong dong dong?"
Nah, disinilah baru kita memakai detail. Gambarkan semua yang perlu digambarkan untuk menggugah pembaca membuat lukisan dunia rekaan kita. Sampai seberapa detail? Sampai dunia itu believable. Test reader bisa membantu untuk menentukan apakah detail yang anda taruh pas, kurang, atau kelebihan, apakah dunia itu sudah jelas, masih kurang jelas, atau menampilkan detail yang belum diperlukan.
Dan tentu saja, ada teknik lain yang diperlukan selain detail. Mengatur alur cerita (untuk menentukan mana dulu yang disampaikan) dan gaya bahasa tentu berperan dalam mengajak pembaca masuk ke dunia cerita.
Dan ada juga teknik deskripsi yang bisa membangunkan dunia rekaan tanpa terlalu banyak bergantung pada detail. Misalnya? Menggalakkan presisi, atau ketepatan dalam menggambarkan. Caranya? Pakailah sambung-urut kata, diksi, dan perumpamaan yang tepat. Ketiga hal itu akan memiliki kekuatan menggugah citra yang sama, atau bahkan lebih, daripada deskripsi literal yang bergantung pada detail.
Tapi berhubung aku lagi malas dan topiknya juga bukan teknik menulis, pembahasan soal presisi ini nanti-nanti aja kali yee...
Oke. Asumsikan kita berhasil melakukan evokasi. Pada satu bagian pertama kita ngasih gambaran yang jleb nancep tentang dunia kita. Lalu berikutnya? Koherensi, atau keterpaduan.
Nah, koherensi ini yang suka jadi batu sandungan. Penulis biasanya mampu menggambarkan elemen-elemen dunianya secara individual. Dia bisa menggambarkan istana dengan menara-menara dan dinding benteng dan parit dan jembatan. Dia juga bisa menggambarkan pesawat tempur sampe menjelaskan mekanisme-mekanismenya segala. Tapi kemudian dua hal itu ditabrak dalam satu dunia. Nah lho. Dimana koherennya?
Contoh ketidakpaduan macam ini bisa dilihat di salah satu repiu Blog Sebelah. Persisnya bagian yang ini...
...penggambaran istana-istana yang mengambil konsep benteng berparit-parit pertahanan (berarti asumsinya untuk peperangan infantry dong), tapi pas terjadi pertempuran, pihak musuh menyerbu naik pesawat! Apa gunanya parit buat pertahanan, kalo gitu???
Contoh lain ada di repiu Blog Sebelah juga. Tepatnya pada bagian ini...
Dan itu pun gak dijelaskan teknologinya secara nalar. Salah satu contoh adalah alat perekam portabel, diceritakan bisa digunakan untuk record dan playback audio (MP3 player ala Fantasy!), yang MENGGUNAKAN BATERAI DAN HARUS DICAS (Catatan: Kata-kata "di-charge" bener-bener ditulis "di-cas"! Apakah memang demikian menurut KBBI?). Numpang tanyaa Baaang! Ntu dicasnya di stekker nyang mannnahh??? Di istana ini gak ada stekker!!
Penggambaran sebagus apapun, sedetail apapun, bakalan useless kalau nggak ada koherensi antara satu elemen dengan elemen lain di dunia itu.
Bagaimana kita membuat koherensi? Ingat prinsip sebab-akibat. Jika di suatu dunia ada mobil terbang berbentuk bulat, mengapa mobil itu harus bulat? Alasannya bisa saintifik (bentuk cakram adalah bentuk yang hambaran udaranya paling sedikit, misalnya), kultural (percaya kalau bentuk bulat adalah bentuk yang baik atau membawa keberuntungan), atau religius (ajaran agama dunia itu mengharamkan semua kendaraan yang bentuknya kayak kaleng kerupuk.
Nah, dalam menciptakan hubungan sebab-akibat, kaitkanlah elemen yang dijelaskan itu dengan elemen lain dunia. Ambil contoh soal mobil bulat itu lagi, dan alasan religiusnya. Mobil yang halal itu harus bulat. Karena itu, di dunia dimaksud nggak mungkin ada mobil kaleng kerupuk macam Daihatsu Gran Max.
Atau mungkin ada, tapi yang menaikinya bukan orang-orang yang menganut Agama Mobil Bulat. Mereka adalah orang-orang buangan yang dijuluki Kaum Pantat Kafir karena mereka berani menaruh pantat mereka di atas barang haram.
Disini kita melihat hubungan sebab-akibat yang majemuk antara bentuk mobil (elemen satu), Agama Mobil Bulat yang menjadi mayoritas (elemen dua) dan julukan Kaum Pantat Kafir (elemen tiga).
Contoh yang agak kurang lucu, mari kita ambil Harry Potter lagi. Dunia itu mengenal sihir (elemen satu), tapi karena ketakutan terhadap sihir (elemen dua), mereka membentuk masyarakat tersembunyi, (elemen tiga.) Sebagai akibat mereka membentuk masyarakat, mereka memiliki sistem kemasyarakatan berupa hukum-hukum penyihir (elemen empat) dan lembaga-lembaga seperti Kementrian Sihir dan sekolah Hogwarts dan bank Gringotts untuk menopang sistem itu (elemen lima.) Nah, karena ada sekolah, ada kurikulum, ada OWL dan NEWT (elemen enam). Ada bank, ada galleon dan sickle dan knut. (Elemen tujuh).
Itu baru satu cabang. Coba kita bikin cabang lain. Ada sihir (elemen satu) tapi sihir itu nggak gratis dan harus dipelajari (elemen dua). Untuk itu mereka harus belajar. Dan yang mereka pelajari macam-macam. Ada Transfigurasi, ada Charms, Ramuan, Defense Against the Dark Arts (elemen tiga). Dan karena yang mereka pelajari banyak, maka gurunya juga banyak. Semua dengan kepribadian masing-masing. Ada Dumbledore yang Epic Win, ada Lockhart yang Epic Fail.
Kesimpulanku, detail itu cuma sebagian kecil dari pembentukan dunia. Yang penting adalah menggugah pembaca untuk membayangkan elemen-elemen itu, dan yang kedua, memberi keterpaduan antara satu elemen dengan elemen lain.
Sederhana yak, kayak panduan pembuatan karakter yang kutulis. Iyalah, tulisan di blog ini memang selalu sederhana dan (ng)gampang(in).
Makanya, dicoba dong.
Nanti kalau nyoba dan ternyata babak belur, kembalilah ke sini untuk ngasih tips 'simpel' lain untuk mereka yang belum (tahu kalau mereka bakalan) babak belur!
Luz Balthasaar
14 komentar:
Hehehe.. selama ini elemen yang paling sering aku abaikan itu world building. Untuk naskah yang selanjutnya, aku bakal mulai lebih memperhatikannya ah... :)
Haha, kali ini tentang setting ya?
Iya nih semenjak nyebur ke lautan baru nyadar ada konsepku yang miss tentang yang satu ini. Masalahnya tentang batasan, mana yang bakal "dipermasalahkan" dan mana yang kaga.
Aku bikin tentang suatu dunia yang terdiri dari sejumlah kapal yang ada di tengah lautan dan kuberi nama (asal) Atlantis. Maka ada yang nanya: kok bisa ada benua Atlantis di cerita lu? Ga masuk sense. Padahal maksudku ya cuma kasih nama doang sehubungan kasusnya tentang dunia di tengah laut. Ganti nama jadi Pasifik atau Antartik juga ga papa kok. Tapi kenapa harus selalu disangkutpautkan dengan Atlantis yang itu?
Tapi di babad Euravia juga ada setan-setannya Malebrance Bang Alighieri.
Belum lagi di Castlevania ada berbagai jenis setan dan senjata dari seluruh belahan dunia.
Belum lagi pula sosok Shiva yang seksi dan putih di Final Fantasy series.
Mungkinkah gara-gara dunia per-game-an mengajarkan sesuatu yang tidak wajar?
Heinz.
@Wong, lumayan wajar kali kalau world building diabaikan. Soalnya memang itu nomor tiga. Nomor satu dan dua ya cerita dan karakter.
Benernya, suatu cerita bisa saja hidup dengan worldbuilding minimal, kalau cerita dan karakternya bagus. Cuma, kalau novel fantasi, sedikit banyak pembacanya 'berharap' untuk dibawa ke dunia lain. Jadi ya, ada pentingnyalah kita sedikit mempertimbangkan worldbuilding.
___
@Heinz, mungkin tergantung audiensnya, juga masa dan cara penyampaiannya. Cerita Atlantis itu dinilai sama siapa? Apakah pada waktu itu novel fantasi sudah dikenal dalam pengertian seperti sekarang? Apakah kita menyampaikannya benar, sehingga kumpulan kapal itu terasa seperti nama, bukan terasa seakan kita smack-dab naruh sebuah benua di sana?
Memakai nama tentu saja nggak dilarang. Seperti Malebranche yang kupinjam dari Bang Dante Alighieri.
Lagian itu bukan satu-satunya yang kupinjam dari si abang. Dante itu kan kependekan dari... Durante. Hahaha.
Kalau suatu nama dipermasalahkan, biasanya problemnya bukan karena itu nama pinjaman.
Yang jadi masalah adalah penyampaiannya. Mungkin sekali kita menyampaikannya tanpa penjelasan atau kesatuan rasa hingga kesannya asal comot. Aku pernah bahas soal ini di repiu Aerial di Fikfanindo. Monggo diintip kalau pengen menyegarkan ingatan.
Penyampaian nama pinjaman ...? Entah kenapa gw jadi berpikir untuk ngasih "alasan" kenapa nama2 (misalnya) summon creature dalam salah satu cerita gw diambil dari mitologi Mesopotamia, dengan alasan gini:
"Nama para summon creature berbeda dengan nama saat mereka hidup. Summon creature itu hanya jiwa yang saat terlahir kembali mengambil nama lain, entah dari mana. Batas antar dunia--kalau ada dunia lain selain dunia ini--sama sekali tidak ada saat seseorang telah tiada."
Erm ... bentar deh, gw liat review Aerial tempo hari itu. BRB.
Hehe.
Ato mungkin pembaca yang terlalu masalahin nama itu pembaca yang kelewat "cerewet". Maunya segala sesuatu mesti original sampe2 nama pinjeman pun ga boleh ada. Baik minjem dari karya fiksi lain ataupun dunia nyata.
Biasanya ini tipe pembaca yang paling ngerepotin, sekaligus paling susah "dipuasin". Yang lebih ngerepotin lagi kalo dia ngasih contoh nama "original" yang ternyata pinjeman juga. >.<
Kalo aku bikin dunia supaya kerasa lebih "believable" aku tambahin detail2 yang pembaca mungkin ga perlu tahu. Kaya soal budaya, sejarah, ato semacamnya.
@Luz
Aerial--> Masochistic sunbathers. :ngakak
Link sis sudah saya masukkan di blog saya :D
mantra-> Cas :ngakak
setting. salah satu kelemahan saya nih, artikelnya bagus untuk dipelajari bagi penulis novel fantasi :D
jadi ingin curhat, kesalahan fatal yang saya lakukan saat membuat novel yang saya buat sekarang adalah kurangnya riset mengenai efek nuklir kepada lingkungan, sehingga setelah sudah setengah jadi, saya merasa banyak kejanggalan yang patut dikoreksi. contoh, saya menggambarkan kalau setelah perang nuklir, daratan dunia padang pasir menjadi berwarna merah tanpa penjelasan ilmiah yang jelas (jadi malu).mungkin lebih masuk akal kalau warna dunia menjadi abu-abu atau hitam akibat debu radiasi, yang merusak tanah atau tanah yang terbakar akibat ledakan...
mengenai nama pinjaman, di novel saya sendiri, saya menggunakan nama pinjaman dari film fiksi untuk homage, judul filmnya soylent green. di novel saya diceritakan ada kubah yang menampung penduduk yang bertahan hidup setelah perang nuklir. kubah tersebut bernama soylent, ditulis menggunakan cat berwarna hijau hehehe, entah berapa banyak pembaca yang dapat jokenya
Nama salah satu tokoh juga pinjaman, yaitu Mimir, yang kuambil dari mitos viking, mengenai kepala yang memberikan kebijaksanaan bagi orang yang meminum air dari sumurnya, walau harus ditukar dengan sesuatu (odin menukar sebelah matanya untuk mendapatkan pengetahuan tersebut) asal-usul namanya sengaja saya jadikan lelucon sekalian untuk membuat setting dunia menjadi kabur, dimana saat Mimir hendak menjelaskan asal-usul namanya, sahabatnya, Nero, menolak mendengarkan karena merasa bosan :P
penamaan karakter novel rencananya akan kubuat berdasarkan nama warna, (Nero, Green, Indigo, dll ada beberapa pengecualian tentu saja) tapi takutnya kena kritik penamaan yang tidak pas...masih perlu dipikirin nih alasan yang cocok, ada yang mau bantu kasih ide?
@strif
Kalo berdasarkan nama warna sih sepertinya selalu masuk. Rasanya cukup umum orang dikasih nama berdasarkan warna....asalkan di Eropa. Hehe. Contoh: Johnny Black. Terlihat keren. Anita Dark (duh ini mah artis XXX jadul wkwkwkwk).
Tapi coba kalo: Joni Item. ASTAGA NAGA!
Gitu aja sih salah satu usulanku untuk bahan pertimbangan.
Di Magic Knight Rayearth, CLAMP ngambil nama berdasarkan merk mobil.
Aku sendiri sempat berencana mengisi nama-nama tokoh sampingan berdasarkan nama kota, pulau, gunung, de el el di bumi. Misal: untuk klan Dragon semuanya kompak pake nama gunung. Tapi biasanya nama kaya gini cuma buat yang kelas figuran doang. Bahkan dalam kasus ini pula, aku tadinya berencana menyatukan perang antara tiga mitologi besar: Norse-Mesopotamia-Yunani. Tapi ya itulah, rentan pasal comot dan tidak kreatif. Jadi rencana tinggallah rencana.
Heinz.
Nah, disinilah baru kita memakai detail. Gambarkan semua yang perlu digambarkan untuk menggugah pembaca membuat lukisan dunia rekaan kita. Sampai seberapa detail? Sampai dunia itu believable. Test reader bisa membantu untuk menentukan apakah detail yang anda taruh pas, kurang, atau kelebihan, apakah dunia itu sudah jelas, masih kurang jelas, atau menampilkan detail yang belum diperlukan.
Ini dia nih, kesalahan yang sering kita lakuin. Saking pengennya pembaca kita tergugah oleh dunia yang kita buat, jadinya kita menghabiskan berparagraf-paragraf sampai berhalaman-halaman hanya untuk menggambarkan detail dunia kita. Bukannya tertarik, pembaca cenderung malah jadi bosan duluan.
Kalau aku sih melakukan evokasi dengan cara menceritakan detail dunia tersebut dari sudut pandang karakternya, misalnya daripada menulis:
Ruangan itu tampak luas, bercat hijau, dihiasi oleh beberapa sofa kulit berwarna hitam.
Aku bakal nulis:
Kirana memasuki ruangan tersebut. Area itu tampak luas, catnya yang berwarna hijau membuatnya merasa tenang. Gadis itu berjalan ke tangah ruangan dan menghempaskan dirinya ke atas sofa empuk dari kulit berwarna hitam.
Presisi dan ketepatan? Aku jadi penasaran apa itu maksudnya :)
@yican: Itu salah satu cara yang paling pas buat ngemasukin deskripsi setting, IMHO, tapi sering kali ada pembaca yang merasa gak sabaran pengen tahu situasi settingnya kyk apa. Jadilah rasanya dari komentar yg diutarakan si pembaca, kita merasa kita kurang lengkap menjabarkan settingnya, padahal kita sbnrnya menyimpan deskripsi itu secara tersebar dalam kalimat2 narasi, gak sekedar dominasi deskripsi saja.
Hehe.
@Juun, itu penjelasan yang bagus.
Sebenernya, kalau setting udah believable, penjelasan seperti itu nggak diperlukan. Tapi mengingat penjelasannya singkat, nggak apa-apa juga sih kalau mau dimasukkan.
Kalau soal pembaca ga sabaran, memang susah juga. Tapi biasanya, kalau kita ngasih cuma satu potong kecil cerita, kita ga bisa berharap mereka ga komen begitu. Perlu cukup banyak penggalan cerita sampai kita bisa menentukan sendiri apakah deskripsi dunia sudah memadai atau belum.
__
@Danny, setuju. Kadang ada pembaca yang terlalu "Nggak boleh ngambil nama sama sekali." Kalau ketemu yang begini, aku sih biasanya ya sudahlah, biarkan saja kalau yang bersangkutan nggak suka. Naming cuma satu faktor. Selama secara keseluruhan dunianya tetap koheren, itu sudah cukup.
Soal detail, aku pernah dapat saran bagus dari Om Soto(y). Meskipun penjelasan itu tidak dikatakan di cerita, implikasinya terlihat, dengan demikian ngasih siratan bahwa penjelasan itu ada. Misalnya Star Wars Ep. 4 sebelum 1-2-3 dirilis. Ada perang yang akhirnya mendirikan 'galactic empire' tapi perang itu sendiri ga diceritakan. Cuma implikasinya terasa lewat penggambaran dunia yang kayak tempat2 pasca perang.
__
@Striferser, mungkin nggak usah dibilang nuklir aja? Bilang WMD juga gpp. WMD kan bisa senjata biologis, bisa nuklir, bisa senjata kimia, bisa kombinasi semuanya. Efeknya pun bebas kita yang menentukan. Suka-suka. Mau tanah merah, tanah pelangi kayak Skittles, oke-oke aja. XD
Soylent Green juga jadi referensi di Xenogears, akakaka.
Penamaan Mimir, menurutku bisa-bisa aja. Sama dengan pemakaian warna untuk nama. Nggak usah dikasih alasan juga gpp sebetulnya. Yang penting 'rasa' nya cocok. 'Rasa' ini malah kadang lebih penting dan lebih efektif dari alasan, karena dia mengena ke pembaca tanpa perlu dijelaskan.
__
@Heinz, kalau Indonesia pake nama warna juga bisa kok. Banyu Biru tuh, anaknya Djenar Maesa Ayu (klo ga salah). Cakep namanya.
Kalau aku sih nggak ngebedain nama figuran sama tokoh utama. Biasanya mereka pake konvensi yang set. Dan caranya juga ga harus comot nama dari mitologi tertentu atau nama tempat. Bisa ada trik lain dalam naming.
Di Euravia, manusia pakai nama-nama Italia abad 15-18. (Durante, Embriaco.) Alvere pake nama Yunani, tapi dieja dengan ejaan Perancis (Esclepion, Nephelie, Sophie.) Dverg pake nama Germanik yang ga lebih dari tujuh huruf (Otto, Eirik, Ingrid, Hilde).
__
@Rie, Cara itu bisa dipakai.
Kalau menggambarkan yang cuma menyebutkan seperti contoh pertama, memang rasanya cerita itu jadi impersonal, dan bikin aku susah 'masuk' ke dunianya. Aku ngelihat kamu pake ini di Artefaktor, dan lumayan berhasil bikin dunianya believable kok.
Soal presisi, itu nanti dulu deh. Masih mematangkan cara itu juga soalnya. ^^
@ Heinz dan Luz
thanks atas masukannya.
soylent green juga gua awalnya tahu dari Xenogear, terus gua cari artikelnya di Wiki, tuh film kayaknya keren, jadi pengen gua pake:p. yang pemakaian WMD mantep juga, semakin menambah 'keabstrakan' setting.
Joni Item :D, kalau si 'Joni Hitam' masih mending, 'item' :ngakak
alasan gw pake nuklir awalnya karena terpengaruh oleh game fallout dan cerita a boy and his dog, dan referensi mengenai efek nuklir cukup banyak beredar di internet, sehingga memudahkan saya untuk cari referensi (wlau tetap ada sebagian efek yang didramatisir...)
aih pembahasannya keren...
mw tanya kk, sampai sejauh mana dunia fantasi kita mesti ngikutin dunia nyata?
biasanya saya bikin kesalahan di hal2 yg 'konyol' tapi pada fatal semua jadinya.
misalnya pernah bikin cerita kereta api tapi letak gerbongnya terbalik. VVIP saya taro di belakang, padahal kata org mestinya di depan.
atau org yg menyelamatkan diri wkt jatuh dari tebing dgn mencengkeram dinding2 tebing yg ternyata g masuk akal itu (efek nonton film hollywood).
hasilnya harus rewrite XD
sejauh apa kesalahan kita bisa ditolerir? ato emang mesti cari refrensi sampe detail2 terkecil juga?
** ah... karena itu saya pengen daftar kesalahan2 tropes
soalnya klo baca artikelnya kk (maaf klo g teliti), kayaknya ttg setting yg 'besar'2 semua.
gimana dgn yg 'kecil'2? efek panah pada orang, gaya melompat yang salah, dll?
kan banyak cerita2 yg banyak adegan2 g masuk akalnya.
misalnya matrix, film2nya jet lee, ato klo yg manga naruto, one piece, dll
apa itu termasuk world building yang salah?
ato ada syarat n ketentuan lain?
mohon pencerahannya
stezsen
@Stezsen,
Thanks udah mampir... ^^
Soal seberapa jauh dunia fiksi fantasi harus mengikuti dunia nyata, jawabanku adalah sampai pembaca merasa 'bisa percaya' sama dunia itu. Gampang aja.
Kalau masalah-masalah detail kecil yang salah, kayak kereta VVIP itu, benerinnya seharusnya ga susah.
Kalau masalah orang jatuh dari tebing, ini lihst dulu situasinya semacam apa. Apakah tebing itu tebing 'ajaib' seperti lubang kelinci di Alice in Wonderland? Kalau tebing itu bukan tebing normal, wajar kalau dia jatuh nggak luka. Kalo dalam kasus Alice malah mendarat di ruang yang ada kue dan minuman.
Contoh yang lain aku pernah lihat di game Legend of Dragoon. Iyah jadul... tapi di sana ada lembah yang namanya Valley of the Corrupted Gravity. Karena perang besar, daerah itu jadi 'terkontaminasi' sihir, menyebabkan gravitasi di sana kacau. Alhasil, di sana orang 'jatuh ke atas' pun bisa.
Nah, kalau contoh kamu, (aku dah baca cerita km btw, tp cuma beberapa paragraf pertama,) kelihatannya itu tebing normal. Bukan tebing sihir atau apapun Jadi seharusnya dia jatuh dengan cukup normal juga. Kalau dia jatuh sempat pegangan, ya normal-normal saja kayaknya.
Soal Matrix, kan dia melakukan itu bukan di dunia nyata, tapi di dalam matrix. Kalau film Jet Lee, itu efek wushu yang didramatisir, nggak keliru selama (balik lagi) yang nonton merasa 'bisa percaya'. Kalau Naruto dan One Piece, kan memang tokohnya punya kemampuan ajaib. Jadi ya sah saja.
Intinya, lihat sikon. Kalau sikonnya berada di dalam situasi di mana hukum dunia nyata bisa dikesampingkan (karena aturan dunianya mang ga lazim atau karena kemampuan ajaib si tokoh sendiri,) monggo untuk keluar dari logika dunia nyata.
Tapi kalau keadaan dunia ga bisa menjelaskan ketidaklaziman itu, dan si tokoh juga ga memiliki keistimewaan yang bisa memelintir logika dunia nyata yang biasa dipakai dalam sikonnya, ya jangan maksa dengan alasan "ini fiksi fantasi, apa aja mungkin."
oke, berarti semuanya tergantung sikon
n selama kita masih bisa bikin pembaca percaya ama cerita kita berarti sah2 aja yah
terima kasih pencerahannya hehehe
stezsen
Posting Komentar