Rabu, 04 Agustus 2010

Audio Visual Gakuen ~ Pelajaran dari MaFiA-Game

Pertama-tama aku harus minta maaf (dalam semangat narsisme, pada diriku sendiri,) karena telat ngisi blog. Penyebabnya? Nggak lain dan nggak bukan, ngantuk dan males. Kemarin malam aku udah nggak kuat buka mata dan akhirnya lebih milih tepar di kasur daripada nyelesaikan entri.

Maka inilah catatan yang terlambat satu hari ini, sudara-sudari. Enjoy.
  
 
Sudah lumayan lama aku pengen nulis catatan kecil tentang pengaruh film, video game, manga dan anime pada novel fiksi fantasi Indonesia. Berdasarkan pengamatanku, banyak sekali rekan-rekanku sesama penulis 1/2 mateng yang menulis novel fantasi karena terinspirasi salah satu dari ketiga media yang kusebut diatas.

Aku bisa mengerti alasan mereka. Udah berkali-kali aku ngelihat film atau anime keren, main game atau baca manga, dan langsung mikir, "Wow, aku pengen bikin yang kayak gini!" Atau, lebih tepatnya dalam kasusku, "aku pengen bikin novel karena aku nggak bisa gambar komik/bikin game/animasi/film tapi pengen bikin seseruan kayak gini!"

Masalahnya, semua yang mengerjakan novel dengan tujuan menerjemahkan rasa Manga-Film-Anime-Game alias MaFiA-Game itu ke dalam bentuk novel akan menyadari, cepat atau lambat, bahwa upaya mereka adalah suatu proses yang sulit. Kritik yang paling sering mereka dapat biasanya adalah, "Ih, tulisan lo itu manga banget deh." Atau, "Lo mau bikin anime apa mau bikin novel sih?" atau, "Ini kayaknya lebih cocok jadi skenario film deh," atau, "Kok rasanya ini mirip RPG ya?"

Dan seringnya komentar kayak gitu nggak ditujukan untuk memuji.

Lalu apakah ini berarti pengen membawa keseruan MaFiA-Game ke dalam tulisan kita adalah sesuatu yang keliru? Apakah kalau tulisan kita kemanga-mangaan atau berasa game/film/anime maka tulisan itu buruk? Nggaklah.

Hanya saja, ada beberapa catatan yang harus kita perhatikan saat jiwa keempat media itu pada karya kita. Dan menurutku, yang pertama adalah bahwa MaFiA-Game memiliki bahasa yang berbeda daripada media novel.

Ada yang mau bilang mungkin, WTF are u talking about? Maksudku begini. Perhatikan jenis keempat media itu. Game adalah media audio-visual interaktif. Film, dan anime adalah media audio visual, sementara manga adalah media visual. Sedangkan novel adalah media verbal.

Jika kita perhatikan, media verbal dan (audio) visual (interaktif) bicara dalam bahasa berbeda. Dalam media audio visual kita menggambarkan kemarahan dengan mimik si aktor ngamuk, muka yang memerah dan kadang sound effect geraman. Dalam media visual, kita dapat gambar statik, dan caption "Graaaaaah!! D***ie Biatch!" yang kadang-kadang ditulis dengan font bergerigi atau speech bubble yang tajam-tajam kayak rambut Cloud Strife.

Namun, dalam media verbal, kita tidak bisa memakai itu semua. Bahasa verbal tertulis tidak mengenal mimik dan suara, atau speech bubble. Alat-alat ekspresi bahasa verbal adalah spasi, paragraf, suku kata, tanda baca, rima, aksara. (Dan segala unsur puisi lain yang belum kudalami, duh.) Permainan elemen visual paling-paling terbatas pada font, misalnya nge-italic suatu kata untuk menunjukkan tekanan. Contohnya, "Apa?" yang menunjukkan rasa kaget lebih baik daripada, "Apa?"

Nah, ini maksudku bahwa mereka bicara dalam bahasa yang berbeda. Kayak Orang Inggris dan Orang Arab punya bahasa sendiri dan huruf sendiri. Dan supaya apa yang diomongin Si Britpop Idol bisa ketangkep sama Sheik Al-Jenggot, diperlukan terjemahan.

Sama halnya dengan media. Supaya apa yang disampaikan lewat media (audio) visual bisa disampaikan dengan tepat lewat media verbal, diperlukan proses terjemahan.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menerjemahkan? Yang paling mudah tentunya adalah mengkonversi apa yang kita lihat di film/manga/anime/game menjadi deskripsi verbal. Tapi seperti terjemahan harafiah seringkali terasa kaku, menulis novel yang serupa deskripsi film/manga/anime juga akan terasa 'nggak kayak novel'. Jadinya malah berasa kayak kumpulan deskripsi.

Mengapa bisa jadi begini? Karena deskripsi harafiah nggak cukup untuk menyampaikan 'rasa' yang kita dapat saat menikmati keempat media itu. Menggambarkan begitu saja orang berkelahi nggak akan membawa keseruan yang sama dengan kalau kita baca Inuyasha, nonton The Matrix atau main SoulCalibur.

Kita bisa menggambarkan suatu gerakan--tendangan tinggi, sabetan berputar, straight, uppercut, tapi cuma membaca kata-kata itu nggak akan membawa ketegangan yang sama dibanding kalau kita ngelihat Inuyasha menghajar Moryomaru dalam panel-panel komik, nonton Neo berantem sama Agent Smith dengan segala SFX-Fu, atau mengendalikan tombak dan pedang Hilde untuk ngebantai Algol di SoulCalibur IV.

Atau, kita bisa membaca, "Ia menjatuhkan diri dari tebing," Tapi tetap saja, kata-kata itu nggak ada apa-apanya dibanding kesedihan dan keagungan yang kita tangkap kalau kita ngelihat panel demi panel kematian heroik Bunchuu di manga Hoshin Engi.

Nah, berdasarkan hal itu, aku menyimpulkan bahwa yang perlu kita lakukan adalah, jika kita mau memasukkan jiwa MaFiA-Game, adalah menceritakan sesuatu sedemikian rupa sehingga yang baca bisa mendapatkan 'rasa' yang sama dengan kalau dia menonton film. Apakah 'rasa' itu kemarahan, momen heroik, kekerenan, excitement, whatever. Kita tidak sekedar menggambarkan adegan film/anime atau gambar di dalam panel-panel komik, tetapi juga menceritakan 'rasa' yang kita dapat saat membaca, main, atau menonton.

Sehubungan dengan itu, ijinkan aku mengajukan contoh dibawah. Silakan lihat gambar berikut:



Gambar diambil tanpa permisi dari komik Cerita Spesial Doraemon karya Fujiko F. Fujio terbitan Elex Media Komputindo, halaman 113, dengan masud untuk memberikan ilustrasi edukatif. Dalam bahasa nggak sopannya: buat ngesotoy. Gambar diambil dengan kamera Nokia C3 karena scannerku rusak dan kamera digital lagi dikuasai oleh Mr. Papih.

Hanya dengan melihat gambar ini kita bisa merasakan kerusuhan dan hingar-bingar yang terjadi di dalam panel itu. Bagaimana kalau kita terjemahkan secara harfiah ke dalam kata-kata? Mungkin begini...

...semua berkumpul di depan televisi, di ruang keluarga rumah Nobita. Dekiru dan Kidori menyanyi keras-keras. Satu anak perempuan bermain piano sambil bernyanyi. Shizuka berdiri tenang, memainkan biola. Giant yang memakai celana gulat melakukan tendangan terbang ke arah dagu Nobita sambil meleletkan lidah. Dorami berteriak, "Siaran usai!" untuk menghentikan mereka.

Tapi coba bandingkan dengan terjemahan tidak terlalu harfiah ini:

Tanpa bisa ditahan, semua anak serempak unjuk gigi. Dekiru dan Kidori mulai melolongkan lagu kacau. Seorang anak perempuan bergabung dengan mereka sambil memainkan piano. Shizuka  sekalipun tidak ketinggalan; dengan wajah tenang ia menggesek biola, tak sadar bahwa permainannya sumbang. 
Namun, yang paling mengerikan tetap saja Giant. Si bocah gempal langsung mendaulat kebisingan ciptaan teman-temannya sebagai lagu tema pribadi. Ia menggeram bak gorila lalu menyarangkan tendangan ke dagu Nobita, sama sekali tak mendengar Dorami berteriak, "Siaran usai!"

Kuharap contoh kecil ini cukup untuk menggambarkan apa yang kumaksud dengan perbedaan bahasa (audio) visual dan verbal, dan bagaimana menerjemahkannya. Tentu aku bisa mengajukan contoh yang lebih kompleks. Tapi mengingat itu memerlukan pencatutan screenshot atau clip--dan aku lagi pelit--kuserahkan eksperimen penerjemahan visual-verbal yang lebih kompleks itu pada anda semua.



Luz Balthasaar

37 komentar:

Juno Kaha mengatakan...

PERTAMAX, gan!!!

Erm, soal komen yg tipe "tulisan elu bergaya anime/manga" kdg2 malah ada org (slh seorang rekan di VGI sih lbh tepatnya) yg komentarnya itu malah sepertinya ditujukan utk memuji. Kira2 kenapa gw menyimpulkan dia kecenderungannya memuji tu krn kalimat lengkapnya kira2 gini:

"Gw lbh suka yg dulu, yg lbh kerasa anime dibanding sekarang."

Kata ewing, dia emang masih susah membedakan media, jd gw gak ambil pusing lbh lanjut.

Gak ada komen lbh lanjut soal postingnya. :D :D Ntar nunggu tanggapan dr org2 lain aja.

Hehe.

Anonim mengatakan...

Bukannya kalo orang terinspirasi ama anime, manga, game cuma pengen nyomot gagasan yg kemudian diolah lagi?

Masa sih ada yg ampe mindahin adegan di ketiga media tersebut ke dalam tulisan (novel)? Jadi keinget salah satu penerbit yg bikin novel kejar setoran dari film-film horor (wannabe) indonesia?

Kalo manga walau tanpa kata2 dan dialog ceritanya masih bisa hidup, contoh: Gong. Coba kalo manga model Gong dinovelin, wah ribet coz salah satu kekuatan novel ada pada dialog

Zenas

Anonim mengatakan...

Setuju banget, mba! Bahasa mafia-game dan prosa emang beda, worlds apart :D Kayak bandingin duren dan laptop :-P

Kalo saya pribadi, film, anime dan game masih saya tonton dan main karena ide-idenya ada yang bisa diambil, walau ga bulet-bulet. He he he, jadi kayak yang mba Luz bilang soal nyuri ayam dijadiin cordon bleu :-P

Kalo manga, nah ini dia nih. Saya udah stop baca manga, walau saya suka banget manga. Terus terang, setidaknya untuk saya pribadi, baca manga agak kurang baik untuk skill menulis saya. Karena ya itu, bahasanya beda. Saya yang seharusnya banyak belajar soal ekspresi verbal malah terpapar ekspresi visual. Waktu nulis malah jadi bingung mau nulis gimana. Akhirnya saya baca novel-novel aja.

Adrian

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Hmmm, aku belum pernah baca karya novel yang dikomentari mirip MaFiA Game karena gagal menerjemahkan bahasa audio-visual-interakftif ke dalam bahasa verbal. Yang aku tahu, suatu novel itu dikomentarin begitu karena:

1. Logika ceritanya agak kurang bisa dipercaya, atau maksa, makanya dikomentarin mirip manga atau anime yang kadang logika ceritanya emang ga sesuai ama dunia nyata kita dan ga mungkin terjadi di dunia nyata.

Contoh nyata (mohon maaf sebesarnya pada yg nulis) cerita Wing Buster di forum PulPen di Lautan Indonesia. Di cerita itu tokoh utamanya adalah pilot pesawat tempur dan sidekick nya yang umurnya baru 17 thn. Di novel, premis begini susah diterima karena proses jadi pilot itu ga gampang dan makan waktu ga sedikit, mirip ama proses jadi dokter. Dan si penulis pun ga menjelaskan, kenapa tokoh utamanya udah bisa jadi pilot pesawat tempur di umur segitu. Makanya ceritanya dikomentarin mirip anime. Kalau di anime, kayaknya sah-sah aja ada pilot umur 17 thn tanpa ada penjelasan logis (entah kenapa)

2. Kalau dikomentarin terlalu mirip RPG, biasanya karena formulanya yang terlalu klise: Tokoh utama A (yang biasanya senjatanya pedang) ngelakuin perjalanan, ketemu B (yang mungkin adalah healer) terus ketemu C (yang mungkin penyihir/maling/pemanah), bikin tim, trus naklukin big boss.

3. Kalau dibilang mirip game (terutama RPG) biasanya ada aspek2 game yang diikutin dalam cerita, padahal agak aneh kalau ada di novel, misalnya senjata yang naik level, minum potion karena kehabisan darah atau MP (ini dulu dari buku mana ya? perasaan pernah baca di salah satu repiu di Fikfanindo), beli senjata/armor/minuman penyembuh di toko, dll.

Menurutku, salah satu penyebab premis MaFiA Game ga bisa diterjemahkan bulet2 atau mentah2 ke novel, adalah karena novel itu sedikit banyak lebih mencerminkan kehidupan nyata yang memang diatur oleh berbagai hukum dan logika, sementara MaFiA Game terkadang tidak mempedulikan hukum dan logika ini (mungkin karena tujuannya yang memang untuk hiburan). Jadi, kalau mau masukin ide MaFiA Game ke dalam novel, penulis harus siap2 menyediakan hukum atau logika yang bisa menjustifikasi ide tersebut (halah bahasanya tinggi amat, but you got the message)

Juno Kaha mengatakan...

@Zenas:

Masa sih ada yg ampe mindahin adegan di ketiga media tersebut ke dalam tulisan (novel)?

Berdasarkan pengetahuan gw, org2 yg terbiasa memainkan game, baca manga, nonton anime/film, mereka secara tidak sadar terkekang pada saat membuat visualisasi adegan dlm kepala saat hendak membuat sebuah adegan dlm novel/tulisan. Hampir semua pengarang gitu, gw rasa, bikin visualisasi dulu dlm kepala baru menuangkan ke dalam kepala. Tapi di sini bedanya, antara penulis yg berpengalaman dan belajar menulis dari novel bukan dari media audio/visual dengan penulis yg wannabe ingin membuat sesuatu yg beride wah dgn media tulisan, adalah kesiapan dan kemampuan mereka dalam mengkonversi bentuk visual (dan mgkn audio) yg ada dlm benak mereka menjadi bentuk tulisan. Yg biasa baca novel pasti udah kebayang hrs nulis narasi/deskripsi apa, tapi buat yg biasa mengkonsumsi MaFiA Game, sudah pasti dia mengalami kekurangan kata untuk mengkonversi visualisasi dlm benak mereka krn MaFiA Game adalah media yg minim tulisan deskripsi/narasi krn udah di-cover dengan audio/visual.

IMHO, akan sedikit berberbeda untuk media bernama visual novel. Gw pernah maen visual novel dan di sana cukup byk teks (selain audio dan visual, malah IMHO visual di sana kdg cuma variasi latar belakang :P), at least lbh byk daripada MaFiA Game sehingga org yg biasanya maen visual novel jauh lbh bisa nulis deskripsi/narasi.

@Yican: Yg pake HP/MP itu novel Summonster, kalo gw gak salah inget. Shock jg pas gw pertama kali ada kyk gitu di sana. Gw yg bkn tulisan perdana aja masih sangat dipengaruhi pola game gak memasukkan unsur HP/MP di cerita.

Hehe.

Anonim mengatakan...

Hmm... klo tulisannya cuma berisi dialog2 plus sound effect itu jelas efek buruk dari MaFiA Game kan?
Saya dulu kalo nulis begitu soalnya ehehehe
Tapi ga yakin itu termasuk novel de, bukannya yang begitu namanya script film/anime/manga yah? hehe

Klo fikfanindo yg bergaya manga saya tahunya cuma Goran. Penasaran ama review2 yang bilang gaya 'mangaish' ternyata stlh dibaca emang bener2 manga


stezsen

Juno Kaha mengatakan...

@stetzsen: Yep, itu juga termasuk salah satu pengaruh buruk. Biasanya kenapa sound effect bermunculan itu disebabkan krn si penulis ingin pembaca ikut "mendengar" suara yg terjadi dlm adegan yg telah dia tuliskan, tapi caranya salah, yakni dengan memberikan sound effect. IMHO, sound effect itu bukan gak boleh dipake, tapi kalo berlebihan rasanya jadi jengah bacanya keputus2. Apa gunanya kata ganti bunyi kalo semuanya disebut "dug dug dug" "drap drap drap" "prok prok prok" dan seterusnya? :D

Masukan dari gw, utk membuat SFX terasa efeknya ke pembaca, sisipkan perumpamaan ato sekalian buat jd hiperbola. Yg umum ya macamnya "hampir membuat gendang telinga pecah" atau "seperti seseorang yg menggaruki papan tulis dengan kuku". :D Jgn malah ditulis bunyinya kyk apa.

Hehe.

Anonim mengatakan...

@juun
Kalo ditulis "DUG DUG DUG" ==> show
Kalo ditulis "gendang telinga pecah" ==> tell

IMHO. Dua-duanya bisa dipake.

Heinz.

Anonim mengatakan...

@dewi
Hm, tentang poin nomor 1 yang Wing Buster itu, sebenernya itu temenku di ke-kom. Kalo ga salah umurnya baru 15 taun. Baru masuk SMA.

Yup, karyanya emang banyak kepengaruh ama game dan anime. Pas bikin Wing Buster tentang pesawat-pesawatan ada unsur Ace Combat-nya. Pas bikin cerita spionase, ada unsur MGS ato Splinter Cell-nya. Terus penampilan para karakternya juga terpengaruh anime yang chibi dan shonen gitu.

Dan jujurnya aku juga pernah komen dengan kata-kata yang senada dengan yang dibuat bos Luz ini pada dia.

Tapi ya dulu aku juga bikin cerita kepengaruh Saint Seiya di RCTI dan Dungeon&Dragon. Kumpulin party, lalu mati satu per satu di perjalanan. Lakon cowo super cakep punya pacar putri super cantik. Penyihir tua. De el el. Hohoho until hoeks...

Kupikir segala sesuatu memang ada prosesnya. Kita gak tau ada apa di depan. Tapi kalo emang berniat mendalami tulis-menulis, orang itu pasti bakal menyesuaikan dengan sendirinya.

Sebelum belajar perkalian, ya belajar dulu penjumlahan. Kalo ternyata perkalian sebegitu sulitnya, mungkin bukan di situ jalurnya.

Heinz.

Anonim mengatakan...

Hehe, klo skrg baca novel yg tau2 muncul SFX emang rasanya mengganggu gitu
Tapi eyang Tolkien juga pake SFX, n yg itu bacanya ga kerasa aneh (kenapa ya? ilmunya beda kali ya? XD)

Klo saya dulu pake SFX soalnya emang cuma 'memindahkan panel2 manga ke tulisan'
Makanya ga ada deskripsi ama narasi
hehe

Oh, ya

Izin copas punya kk heinz ya:

"Kalo ditulis "DUG DUG DUG" ==> show
Kalo ditulis "gendang telinga pecah" ==> tell"

Klo gitu berarti tulisan penuh SFX show semua donk?
Ato saya salah menafsirkan?

Hehe

stezsen

Anonim mengatakan...

@stezsen

He? Eyang Tolkien pernah pake SFX? Di bagian yang mana? Waktu adegan apa? o_o Ga nyadar gw :D

Adrian

Luz Balthasaar mengatakan...

Dua hari koneksi kantor buruk, dan koneksi rumah dipake fulltime buat main game sama adek. Ikz. @_@

Anyway, ternyata tanggapan soal MaFiA Game ini lebih bervariasi dari yang kukira...
__

@Juun, ada juga orang yang kutemui yang biasanya ngomong "gaya kamu manga banget" dengan maksud kalau itu jelek. Om kita neh termasuk yang sering begini, wkwkwkw.
__

@Zenas, Maksudnya beda dari novelisasi sebuah manga/film/anime yang udah jadi kayak contoh kasus penerbit horor kamu.

Perhatikan deh, kalau orang nyomot gagasan di manga dan anime, kadang eksekusi di novelnya kayak penggambaran panel-per-panel manga. Atau adegan-per-adegan film. Padahal novel yang beneran novel umumnya nggak kayak gitu.

Ini sebabnya kadang-kadang yang baca berasa 'ga kena'.

kayaknya dialog Juun dan yang lain selanjutnya udah ngebahas ini, hehehe...
__

@adrian: kalau aku sih masih terus baca manga. (Hiks, onemanga tutup!!!) Tapi selain itu aku juga baca novel. Dua itu memang beda dunia, tapi bukannya mustahil diakalin...

Luz Balthasaar mengatakan...

@Rie, logika juga salah satu problem. Tapi itu nggak spesifik ke game atau anime. Logic fail bisa terjadi di mana saja, atau bisa disengaja terjadi demi kemenarikan cerita.

Dan di anime, kalau dibilang "kayaknya sah-sah aja ada pilot umur 17 thn tanpa ada penjelasan logis," sebetulnya nggak.

Hampir selalu ada penjelasan believable mengapa anak2 umur 14 tahun bisa jadi pilot. Case in point: Evangelion dan Gundam, dan... uh... Z.O.E?

Kalau di cerita yang kamu sebut, salahnya bukan premis anime tentang bicah 14 tahun jadi pilot. Salahnya adalah penjelasannya kurang believable, atau nggak memadai.

Kalau RPG, nah, itu contoh "translasi literal" yang kumaksudkan. Bikin novel dengan HP, MP, beli senjata dan boss fight. (Altho, boss fight ini relatif mudah diterjemahkan.

Pun Novel nggak segitunya lebih mencerminkan hukum dan logika dibanding MaFiA Game. Dan justifikasi njelimet nggak selalu perlu, kalau kita bisa menarik pembaca untuk percaya dengan cara lain.

Contoh: Coraline. Mana ada penjelasan logis soal kunci yang nyambung ke dunia lain? Contoh lagi, Narnia. Lemari itu penjelasannya apa kok kehubung ke dunia lain? Nggak ada. Tapi kita percaya. Mengapa? Suasana cerita dan cara penyampaiannya tepat.

Jangan terpaku Novel fantasi = harus ada justifikasi/harus logis/harus patuh pada hukum logika, kalau nggak ada dihujat.

Masalahnya bukan justifikasi, tapi believability. Justifikasi itu cuma satu cara untuk mencapai believability.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Semua yang ngomongin sfx,

Aku juga doyan pake SfX. Tapi jangan kebanyakan. Mengutip heinz dan Stez, tu memang over-show, tanpa tell yang dishow-nya itu apaan, wekekekek.

Aku sih makenya kalau mau menggal paragraf yang dramatis aja. Dan jangan lupa diitalic.
__

Krakkkk!!!

Cabang berat itu jatuh berdebam, hanya setengah langkah di sebelah kiriku.

Anonim mengatakan...

CC luz...

sori lama banget gak balas sejak komen terakhir. kompi masuk bengkel, turun mesin, ganti oli, dan semacamnya.

yah tulisanku selama ini selalu terkesan minim deskripsi, mungkin besar karena visual novel sih...

like every visual novel yang diterjemahin sama g-collections.

back to topic.

jadi itu sebabnya mungkin hasilnya bisa jadi seperti ini...

http://www.videogamesindonesia.com/forum/showthread.php?t=73827 (hutang link kemaren)

sekalian kasih tahu kakak juun...

ini udah self edit lho(sombong!)
tapi kalo masih jelek berarti emang

saya <=== penulis kurang bakat, namun teteup berusaha.

CC luz...

masih boleh gak minta kapan-kapan lecture tentang Pace penulisan...

kapan kita harus nyelipin sampah. bagaimana membuat sendi di antara kerangka karangan yang saking fleksibelnya dianggap tulang rawan....

Thx b4
IVAN

Anonim mengatakan...

Ooops gak isa edit sekalian nanya

ada yang ikut gathering VGI gak?

Ivan lagi

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Luz, believability ya? Oke *catet*

Untuk SFX, aku ga terlalu suka make, tapi mungkin bagus buat dramatisasi.

Buat semua, turut berduka cita atas tutupnya Onemanga T_T Mangafox juga udah mulai nutup manga yang udah dilisensi. Hadohh, suramm...

Anonim mengatakan...

@kk adrian
Ituu waktu glorfindel datang
Clippety clip (moga2 nulisnya ga salah)
Diterjemahin jadi klipetiklip ehehe
Sama waktu si Frodo jatoh di hotelnya Barliman hehe

@kk dewi
Hah? One manga tutup?
Waw, ga bisa dapet donlod gratis lagi donk TT
-- ketinggalan berita saya TT

stezsen

Juno Kaha mengatakan...

@Stetzsen: Tapi itu cuma dua dari trilogi yg masing2 terdiri atas sebuah buku setebal kira2 300-400 halaman kan? Kalo cuma segitu gak taraf mengganggu. Kalo pny Andry yg di-post di GR, IMHO, itu udah masuk taraf disturbing.

@Ivan: Komen gw ntar di VGI aja. :D Haw, kalo udah diedit sekali masih jelek, itu bukan cuma kamu aja yg mengalami. Byk org yg mengalami hal semacam itu dan banyak jg dari mereka yg masih terus mengedit. Kalo cuma krn sekali edit masih dianggap kurang bagus ama pembacanya dan kamu memvonis diri gak bisa nulis, itu udah memasuki langkah awal utk pensiun dini jd penulis, bukan langkah awal untuk jd penulis beneran.

Hawh, soal byk mangascan udah ditutup, gw rasa wajar lah. Bayangin aja gimana kalo cerita kita yg ada versi novelnya ditemukan dlm bentuk e-book gratisan di internet dan bisa diakses+download semua org? Gw sih gak akan idealis bilang, "Oh, gpp, yg penting cerita gw dibaca." Kalo idealis kyk gitu, ngapain ngirim ke penerbit, IMHO. Rilis aja sbg e-book di Evolitera ato di mana dan distribusikan. Mangascan gak ada, Gramedia pny 3 divisi komik yg rata2 terbitannya judul mainstream ato cukup dikenal di sana (terlepas dari fakta bahwa bbrp judul kok diganti jd bhs Inggris jd rasanya kurang matching :P).

Hehe.

Anonim mengatakan...

Tebak SFX:

NYOTT!!!

Hayo apa itu? :p

Zenas

Anonim mengatakan...

sweatdrop?

klo bener manga banget yah?

Memakai Sfx itu bisa diganti dengan narasi.

namun seandainya jika suara itu baru bagi kamus kuping.

EX:
Ziuuuung!!!
atau
suara charge dari senjata besar(narasi mode)

padahal char nya sendiri gak liat apa itu senjatanya atau pernah mendengar suara seperti itu.

atau harus make pengandaian?

minta pencerahan para dewa!

Ivan

Danny mengatakan...

Kalo pendapatku sendiri sih, ga usah terlalu semangat pake narasi. Karena (maksa nyambung2in sama artikelnya luz) "rasa" dari satu adegan, IMO, lebih bisa disampaikan ke pembaca lewat narasi, bukannya sfx.

Aku pernah baca ada satu novel (fikfan. pernah di review di fikfanindo) pake sfx BLUPP!!

Tadinya aku kira itu suara kaya sesuatu dijatuhin ke air, ternyata itu suara ledakan kecil dari semacam peledak yang gunanya buat buka paksa pintu.

Ga nyambung banget, kan? Bayangan sama adegan aslinya.

Juno Kaha mengatakan...

Ziung kyknya mendekati "mendesing"/"berdesing".

IMHO, suatu SFX yg susah dijabarkan itu boleh diinisiasi pengenalannya kepada pembaca via SFX, tapi utk bbrp kalimat ke depan, coba ganti jd narasi/deskripsi, baru sesudah ada jarak, tulis sebagai SFX lagi. Jd biar gak terlalu dekat jarak antara SFX satu dengan yg lain.

Hehe.

Anonim mengatakan...

Klo triknya eyang Tolkien kayaknya digabungin sama narasi gitu
Jadi SFXnya kaya kata2 biasa, cuma di-italic doank
The Hobbit juga ada SFX-nya deh, kayaknya

Tapi emang bener sih, kebanyakan terasa mengganggu
Lagian SFX dlm bahasa Indo tuh banyak yg 'terdengar aneh' kalo dicampur ama paragraf:
Zrat! Buk! Buk! Gedubrak! Krompyang!

O, ya, klo dialog novel ama komik bedanya apa yah?
Pernah denger katanya beda, tapi blom yakin di mana bedanya.

thanks

stezsen

Anonim mengatakan...

trus
pensuaraan/sfx charge seperti apa

sfx saat skeith "hold X" di data drain mode

ivan

Luz Balthasaar mengatakan...

@Ivan, Kapan-kapan mungkin aku akan tulis sesuatu tentang pace penulisan. Kalau ditanya kapan harus nyelipin sampah, aku akan jawab, "Jangan nyelipin sampah."

Kalau menulis, seharusnya kita tahu mengapa kita menulis suatu bagian, bukannya nambah-nambahin tanpa alasan.

Soal cerita kamu, masalah pacenya mungkin berasal dari narasi yang ga mulus.

Salah satunya karena bahasanya. Ada cerita yang pake bahasa nggak baku tapi bisa bagus. Bahasa baku dalam cerita kamu bukan yang jenisnya seperti itu.

Kalau cerita dengan suasana kayak gini, mending bahasanya pake baku deh.

Mengenai pace cerita, itu rasanya juga hasil dari narasi kamu masih kurang mulus.

Karena narasinya nggak mulus, cerita ini nggak bercerita. Dia lebih mirip gambaran rangkaian kejadian. Rasanya cuma kayak kayak dikasih tahu, "ada kejadian ini, terus itu, dan ini," alih-alih membaca cerita yang mulus tentang ketiga kejadian itu.

Kuncinya disini. Ada beda antara 'memberi tahu' dan 'bercerita'.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

sekarang pertanyaannya? gimana cara ngendaliin gaya maFiA-Game ini dari penceritaan ala bahasa novel?

saya akui dengan sangat, saya pun masih terbawa dengan gaya MaFiA-Game ini..

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

ehm, tambahan..

ONEMANGA TUTUP??!!!! OMG!!!!*jerit histeris*
T,T
saya belom selesai baca ELFEN LIED DAN MANGA-MANGA LAINNYA! serius nih?? serius?? terus, kalo mau baca manga-manga gratis yang belom terbit di indo gimana?? ~.~

Luz Balthasaar mengatakan...

@Vina, caranya ya harus rajin-rajin baca novel. Dengan begitu kita tahu bagaimana novel umumnya menyampaikan sesuatu yang disampaikan oleh MaFiA-Game.

Penyampaian di dalam novel pun tergantung jenis dan pengarangnya. Jadi, makin banyak jenis novel yang kita baca akan ikut membantu kita melihat cara-cara mereka menyampaikan cerita.

Soal Onemanga tutup, masi ada mangafox kok... untuk sementara. XD

Duh. Telat Update lg, bis bikin cerita buat fantasy Fiesta... ~_~

Juno Kaha mengatakan...

Cerita buat Fantasy Fiesta 2010 bakal dipajang di sini gak? :D :D Ntar dimaafkan keterlambatan updatenya kalo diposting ceritanya. >:) >:)

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Hmm... aku malah lagi mikir2 untuk majang disini apa nggak. Kalau mau majang, aku skip update minggu ini untuk nulis. Kalau nggak, aku update aja.

Nulis cerita memang lebih susah daripada bikin catatan sih.

Pajang, nggak, pajang, nggak... Hehehe... XD

Anonim mengatakan...

PAJANG!

Heinz.

Juno Kaha mengatakan...

Saya vote: pajang!

Hehe.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mba luz : ikutan vote... pajangg!!! hehehehe...

alhmdulillah.. masih ada situs manga gratis.. ~.~ ehm,makasihbuat sarannya.. haha...

Anonim mengatakan...

bukannya maksudnya maksa cuman
*ehem-ehem*
rindu nihhh. ama post CC
sekalian ikut yang lain.

disgaea style:
Post about the short story
Senator 8lackz Vote: AYE!

Anonim mengatakan...

Tidak usah dipajang. Untuk menciptakan efek dramatisasi menjelang deadline FF: "Tunggu! Masih ada aku."

Ho Ho Ho

Zenas

Luz Balthasaar mengatakan...

Hmm? Udah diserahkan, dan akan kupajang Selasa depan.

Aku juga lagi nyelesaikan Euravia yang tinggal 3 bab lagi ini. ufff~ final chapters memang selalu paling berat.

Abis itu ada sedikit edit untuk chapter 20an... dan kelarlah 1st draft.

Moga2 bisa kubereskan september ini.