Selasa, 14 September 2010

Teenlit Totem ~ What the Youngsters Remember

Ideku agak seret selama beberapa bulan ini, jadi aku berusaha mencari penyegaran dengan membaca buku-buku dan nonton film. Untuk buku, aku memilih Wolf Totem dan What the Body Remembers. Dua-duanya bacaan yang berlabel 'berat' bagi beberapa orang. Aku mengimbanginya dengan tontonan 'ringan'. Angel Beats, dan dua seri Kamen Rider, Decade dan Double. Plus semua film layar lebarnya. Jadilah aku menulis ini dalam keadaan rada-rada mabuk suaranya Gackt nyanyi Journey Through the Decade, dan The Next Decade.
  
  
Gah. Damn you, Gackt.
 
Aku membayangkan seorang teman baca ini sambil ngakak-ngakak. "Imba(lance) deh, antara tontonan dan bacaannya!" Memang kelihatannya aneh sih. Tapi begitulah. Dalam keadaan biasa aku nggak akan mempermasalahkan hiburan yang kutonton atau kubaca itu buat pasar mana. Asalkan asyik ya sudah.
  
Kira-kira setelah aku menghabiskan 3/4 buku Wolf Totem dan selesai nonton 31 episode Decade, aku jadi menyadari sesuatu. Aku memang bukan orang yang peduli pada pengkotakan dan batasan umur dalam menulis. Tapi kali ini, aku langsung nyadar senyadar-nyadarnya bahwa Wolf Totem dan Kamen Rider itu sama-sama membuatku terhibur, tapi nggak semua orang punya jalan pikiran secampuraduk jalan pikiranku. Dalam menulis, selayaknya aku mulai memikirkan untuk siapa naskah ini kutulis, dan aku mau jadi penulis seperti apa.
  
Di sinilah aturan segmentasi yang nggak kuanggap penting itu berperan. Kepada siapa aku ingin berbicara? Apakah kepada orang dewasa, kepada anak-anak, atau kepada remaja?
  
Melihat keadaan pasar sekarang, aku kira pilihan yang paling sesuai untuk para novelis fiksi fantasi sekarang adalah bicara kepada anak-anak dan remaja. Kalau dari sudut pandang penerbit, perhitungannya sederhana. Remaja adalah pasar yang besar. Dan tidak bisa dipungkiri, teenlit punya amat berperan dalam menaikkan minat baca remaja Indonesia sekarang.
  
Dari pengalamanku membaca forum kiri-kanan, dan dari celetukan Kuro di blog Kastil Fantasi soal "membuat generasi berikut menyukai fiksi fantasi," aku jadi sadar sesuatu. Jika kita menulis fiksi fantasi untuk remaja dan anak-anak, mereka yang menyukai karya kita inilah yang nantinya tumbuh menjadi pecinta fiksi fantasi dewasa.
  
Sedikit catatan, kalau aku bilang dewasa, maksudku bukan fiksi fantasi yang mengandung seks dan kekerasan. "Dewasa" tidak bersinonim "seks" dan "kekerasan", meskipun dua hal itu sering nongol di literatur-literatur yang ditujukan bagi orang dewasa. Maksudku dengan literatur dewasa adalah bahwa novel itu mengandung hal-hal, barangkali tema atau alur penalaran maupun teknik bercerita yang paling cocok jika disampaikan kepada orang dewasa. Ambil Wolf Totem, bacaanku yang terakhir. Itu adalah novel dewasa. Namun, tidak satupun paragrafnya bicara tentang seks atau kekerasan--kecuali kekerasan terhadap alam.
  
Kembali ke "menciptakan generasi baru pecinta fikfan," aku jadi berpikir bahwa ada baiknya penulis fiksi fantasi, aku termasuk, sekali-sekali mengintip teenlit. Tentu itu nggak berarti kita semua harus mulai menulis fantasi-teenlit. Aku cuma berpikir, banyak hal yang bisa kita pelajari dari teenlit. Misalnya, bagaimana teenlit menyambungkan diri dengan pembacanya? Apa yang menyebabkan remaja begitu mudah menerimanya? Apakah faktor-faktor itu bisa diterapkan juga untuk fiksi fantasi?
   
Sejauh ini faktor-faktor yang kuamati adalah, pertama, kedekatan teenlit dengan realita remaja. Itu membuat mereka lebih mudah menaruh diri sendiri ke dalam situasi tokoh-tokoh cerita, dan karenanya, lebih peduli pada cerita itu.
  
Kedua, tidak bisa dipungkiri, ragam. Ada banyak pilihan cerita teenlit dari banyak pengarang. Dan kayaknya penerbit teenlit nggak pernah kekurangan pengarang. Selalu saja ada penulis teenlit baru yang muncul setelah periode tertentu.
  
Dan ketiga, nggak bisa dipungkiri juga, tebal dan harga. Remaja alergi sama buku tebal, dan uang sakunya terbatas. Itu tentunya bukan salah mereka. Namanya juga uang dapet dari ortu. Lagipula minat membaca remaja kita masih baru-barunya bangkit--lagi-lagi, berkat fenomena teenlit. Sebab itu, banyak diantara mereka yang nggak bisa langsung pegang buku fiksi fantasi yang tebal. Jika kita ingin membuat mereka tumbuh menjadi orang-orang yang menghargai produk imajinasi 600 halaman, ada baiknya kita selaku penulis yang mengulurkan tangan lebih dahulu. Caranya? Dengan membuat fiksi fantasi yang bisa mereka akses, baik dari sudut ketebalan maupun dari sudut harga.
  
Tiga faktor ini akhirnya akan mengembalikan kita pada idealisme vs. pembatasan penerbit. Fiksi fantasi identik dengan tebal dan seri-seri panjang. Sementara di lain pihak, penerbit belum tentu mau mengambil resiko dengan menerbitkan buku tebal. Satu solusi yang sudah dicoba sekarang adalah menerbitkan fantasi-teenlit. Tapi barangkali, ijinkan aku berkhayal sedikit liar, ada yang bisa menemukan jalan untuk membuat sesuatu yang memiliki kadar fantasi lebih kental, tetapi bisa berbicara dengan akrab kepada remaja-remaja Indonesia?




Luz Balthasaar

23 komentar:

Danny mengatakan...

Ga nyobain Stay the Ride Alive? Itu lagu super epic lo.

Hmm, strategi gimana caranya fikfan bisa diterima sama pembaca yang lebih muda? Ini bisa diliat dari berbagai sudut pandang sih. Aku juga udah mulai pake salah satu strategi yang kamu tulis, bikin buku yang lebih pendek. Biarpun tujuan awalnya biar lebih gampang diterima penerbit.

Saran yang mendadak muncul di kepalaku adalah: Gimana kalo masukin unsur klise sedikit lebih banyak? Tau sih, banyak yang "anti-klise" karena itu sudah sering dipake, basi, dll. Tapi klise jadi sering dipake dan jadi dibilang basi itu juga karena pembaca terbukti suka. Contohnya kaya hero yang tadinya nobody, berubah jadi somebody, trus menyelamatkan everybody.

Mungkin ga harus kaku ngikutin rute ato pakem ini, tapi bisa aja dicoba. Ato coba pake klise damsel in distress dislametin sama knight in a shining armor.

Ato, solusi kedua, masukin unsur game cukup banyak di cerita kita. Tentunya unsur game ini bukan berarti tiap kali karakter utama nyerang monster, diatas kepala monsternya keluar tulisan "221 damage" ato semacamnya. Tapi model karakter hero, setting dunia, senjata, ato plot yang bikin mirip sama cerita satu game. Could be anything.

Luz Balthasaar mengatakan...

Stay The Ride Alive... blom. Ntar nyari ah.

Aku juga ada minat untuk nyoba bikin buku yang lebih pendek dulu. Ini lagi belajar malah.

Aku pribadi nggak anti-klise medok, tapi aku suka kalau klise itu jangan over. Paling nggak kasi sentuhan pembedalah sedikit...

Juno Kaha mengatakan...

Hrrmm ...

*melayang berputar2 ala Chesire Cat, tapi wujudnya panda (ngabis2in kapling)*

Kalo gw boleh menjadikan FF2010 kemarin sebagai lahan utk melihat "pasar" preferensi cerita umum (dgn asumsi para penulis ada di kisaran umur 15-20++) ... gw sedikit menyimpulkan kalo lmyn byk yg seneng ama adegan action dan romance.

well, mayoritas teenlit berbicara romance, so mari kita lihat sisi action.

D'Angel ama Mawar Merah, dua2nya karya Luna Torashyngu, itu mengangkat action. Gw gak tahu seberapa tinggi penjualannya, tapi nampaknya cukup byk yg suka.

Kalo gw berpikir dan mengamati di luar lingkup FF2010 kemarin, ngeliat di toko buku sekarang ini kebanyakan novel selain yg temanya romance, biasanya bertema motivasi, inspiratif, ato berlatar keagamaan. Ada juga yg mengangkat konspirasi.

Hrmm ... malah teenlit udah gak terlalu bejibun sekarang ini, IMHO. Ada cukup byk kok karya fikfan non-lokal di rak buku. Tapi gw blm ngeh apa yg membuat org mengambil buku tersebut dari rak dan bawa ke kasir. Selain kover, of course.

*melayang2*

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun: T...t...TAREPANDA TERBANG! Gyaaaaa! *ambil shotgun*

Aku mikir soal bikin fantasi pendek ini juga karena melihat kiri-kanan. Selera remaja ini berkisar pada Eksyen dan Percintaan.

Memang aku rada telat nyadarin bagaimana 'sebenarnya' pasar remaja ini masuk. Tapi rasanya aku pengen mencoba sesuatu...

Soal fikfan non-lokal, aku juga nggak bener-bener yakin apa yang membuat orang ngambil. Tapi kulihat Gramed ganti haluan dari nerbitin fikfan tebel macam His Dark Materials ke yang tipis2 macam Wake, Uglies dan the Mortal Instruments...

Inidikasi apakah ini?

Anonim mengatakan...

SETUJU !!
kalo ingin menarik kaum remaja belsan tahun (seperti saya) faktor utma adalah tipisin bukunya murhin hrganya ^_^

dan kedua ,tokoh tokohnya harus memiliki mind nag remaja ,karena sipa tahu antara tokoh dan pembaca bisa sepikirn

hm...ini menurut say lho ya sebagai pembaca

salam
Arai

Luz Balthasaar mengatakan...

@Arai, huah, thanks. Pandangan dari remaja sangat dihargai dalam hal ini.

Kemaren soalnya aku ngobrol-ngobrol sama beberapa orang soal novel remaja. Juga ngelihat pesan Twitter Mbak Poppy D. Chusfani. Karena itu aku jadi ngebongkarin beberapa teenlit yang kubeli, dan ngadain riset kecil tentang literatur Young Adult.

Hasilnya, aku jadi ada sedikit gambaran novel fantasi bagaimana yang 'berisi' tapi bisa diterima sama remaja, dan nggak terlalu tebel.

Lagi kucatat dalam bentuk kerangka sih. Moga-moga bisa kugunakan suatu hari nanti.

Thanks atas sumbangan pikirannya.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

gimana kalo fantasy itu dibuat series? temanya ya seputar dunia remaja, tapi setting ma kondisinya lain..

bisakah menarik peminat?

Anonim mengatakan...

Klo masalah tentang berseri sih ujung-ujungnya cuman 1 buku putus.

contoh cardan dan goran yg tipis tapi berseri...

Good story, but gantung gak nyambung.

aggh sayang kan?

Luz Balthasaar mengatakan...

@Vina, Ivan,

Soal fantasi berseri yah? Taktik itu sudah pernah dicoba, dan memang kebanyakan putus di tengah jalan.

Coba aku kumpulkan beberapa buku fikfanku yang 'putus' itu (Cardan, Goran, Tanril, dan Ledgard) dan nanti kukasih analisis ngasal tentang mengapa mereka putus, wkwkwkw...

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mba luz : ditunggu analisisnya.. hehe..

emm.. boleh nanya? sebenernya udah dari dulu aku bingung soal ini.. sekuel sama seri itu beda atau sama sih? O.O *gubrakz*

kalau diliat dari targetnya *remaja kebawah (soalnya ini yang sering bikin laris buku)*, mungkin cerita bisa dibuat macam magical seria? yaaa.. walau lagi-lagi musti gabungin teenlit-fikfan.. tapi seenggaknya itu udah bikin sedikit perubahan di minat para pembaca *mm.. maybe yes maybe nooo*..
= =a

Fenny Wong mengatakan...

aaah, benar. Kalau saja fantasi bisa dapat hal yang membuatnya sepopuler teenlit, that would be great.

Menurutku teenlit bisa diterima dengan baik juga karena banyaknya jumlah remaja yang nganggur, dan waktu senggang mereka lebih banyak daripada orang dewasa yang cenderung lebih sedikit daydream, lebih sedikit berimajinasi.... hehehe

Luz Balthasaar mengatakan...

@Wong, itulah yang lagi kupikirin. Masalah fiksi fantasi sekarang itu kan pada dasarnya cuma satu: Pasar. Dan pasar yang paling enak kita garap itu yang mana? Remaja. Alasannya persis kayak yang kamu bilang. Mereka punya banyak waktu membaca.

Lagian fantasi buat remaja itu fleksibel. Kalau dia bagus, orang dewasa dan anak (yang otaknya rada lebih tua dari umurnya, wkwkw) juga bisa ikutan baca.

Anonim mengatakan...

@luz

Ide bagus sih mba. Cuma saya aja yang ga kebayang gimana cara nulis buat remaja. Maklum, bukan remaja lagi :-P

Adrian

Luz Balthasaar mengatakan...

@Adrian,

Awalnya aku juga berpikir aku nggak akan bisa menulis untuk remaja, karena aku udah kelewatan 26. Kelewatan 8 tahun dari kualifikasi remaja paling bangkotan.

Tapi beberapa hari lalu aku pergi ke suatu tempat dan... ada pembicaraan *serius* yang bikin aku jadi sadar sesuatu.

Aku nggak akan pernah jadi remaja lagi. Tapi dalam beberapa tahun kedepan, bisa jadi aku akan punya anak. Dan anakku bakalan tumbuh jadi remaja, 'kan?

Jadi aku pikir, mungkin aku bisa belajar bicara pada anakku dengan cara membuat cerita yang, jika aku sudah jadi ibu, kira-kira mau kusampaikan pada anakku yang sudah remaja nanti.

Entah gimana hasil akhirnya. Pastinya sih itu nggak akan jadi cerita model teenlit.

Juno Kaha mengatakan...

Yg Signora Luz sebut itu bukannya terbitan non-Gramed? Uglies setahu gw terbitan Matahati.

Matahati tu gencar banget nerbitin novel fikfan. Mereka gak takut2, gw rasa, dan hasil penjualannya jg bagus.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun: Matahati ya? Yang Mortal Instruments itu juga Matahati kah? Klo yang Wake itu aku lumayan yakin Gramedia punya.

Kalau penjualannya bagus, itu berarti pasar fantasi YA memang bagus. Fantasi YA dengan teenlit kan beda. Bayanganku kurang lebih yang macam YA fantasy itu.

Juno Kaha mengatakan...

Uglies itu dari Matahati. Wake itu dr Gramed. Mortal Instruments dari penerbit lain, gw gak inget.

Hehe.

FA Purawan mengatakan...

Mortal Instruments Penerbitnya Ufuk

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Hm, ini kembali lagi ke dilema idealisme vs pasar. Di satu sisi, kita sebagai penulis, pasti punya satu karya yang kita anggap paling ideal, paling ingin kita terbitkan, paling seru, paling asyik, paling epik, and so on. Sementara, belum tentu pasar (terutama remaja) bisa menerima karya tersebut, baik dari sisi ketebalan buku, tema, isi, dsb.

Yah, sekarang terserah kita, mau ngejer idealisme atau ngejer pasar? (kalo aku sih sementara ini milih idealisme dulu hehehe)

Mungkin kita bisa adain survey atau angket pembaca, buku seperti apa yang mau dibeli remaja? Tebalnya, harganya, ceritanya tentang apa?

Entah ini berhubungan atau nggak, tapi mau sharing aja. Kemarin hampir beli Biru Indigo karena kepincut ama sinopsis di kover belakangnya. Tapi akhirnya nggak jadi deh. Jadi, salah satu faktor yang bikin aku tertarik beli buku adalah apa sinopsisnya bikin penasaran atau nggak.

But, I'm no longer a teenager, so my opinion doesn't count, I guess wkwkwkwk

Danny mengatakan...

Hmm... ternyata ada yang lain ya yang ga jadi beli biru indigo gara2 sinopsisnya.

*toel2 Om Pur*

Om, kapan tuh reviewnya dipajang?

Luz Balthasaar mengatakan...

@Om: Ufuk yah? Okeh. Thanks infonya ~_~...

@Dewi, itulah. Akhirnya balik ke pilihan. Tapi seandainya saja ada jalan untuk mendamaikan idealisme dan pasar ini... alias ngebuat fantasi yang kaya dan disukai pasar remaja dalam 70k kata... itu bakalan asik banget.

Kalau untuk ketebalan mungkin ga perlu poll ya. Dari kerjaanku mengamati teenlit dan buku-buku fantasy YA akhir-akhir ini, kayaknya remaja cenderung enggan untuk membaca naskah yang jumlah halamannya lewat dari 400.

Untuk harga, tentunya itu menyesuaikan dengan ketebalan halaman dan kualitas cetakan. Lagi-lagi kita bisa memakai harga teenlit jadi patokan.

Kalau cerita tentang apa, ini yang paling bergesekan dengan idealisme. Kalau kita nurut kemauan pasar, ntar idealisme ga bisa terwujudkan. Kalau kelewat idealis, ntar pasarnya susah. Jadi, jalannya adalah mengolah idealisme itu supaya bisa diterima oleh pasar. Caranya inilah yang elusif...

Hmm, hmmm, hmm...

@Danny: hehehe, aku lg coba2 bikin repiu Valharald. Moga2 bisa kelar sebelum aku tugas luar lagi. Sabar yah...

Anonim mengatakan...

menunggu review Valharad

kalo liat crita teman-teman di nanowrimo, kebanyakan juga membidik pasar remaja. Bahasanya ringan, isinya ada, konfliknya gak se-teenlit (lokal), dan nggak panjang-panjang bener.

...

kukira crita Luz itu larinya ke Y.A semacam Magician Guild-nya Trudi C. ^^ -bukan yah?-
.

Luz Balthasaar mengatakan...

repiu Valharald OTW, tenang aja. Sedapatnya akan kusetor ke Om kita sebelum Sabtu depan (aku berangkat tgl 16 malam ke Hamamamtsu).

kalau Euravia, dia nggak terlalu YA.

Tapi kalau kerangka yang baru kudapat idenya ini, kayaknya bisa masuk YA. Aku nggak ngebidik kayak Magician's Guild... aku pengennya sesuatu yang lebih seru. Hehehe, lihat aja nanti.