Selasa, 23 November 2010

Rule of Cool ~ Explain Less, P4wn More

Balik dari minggu-minggu sibuk, aku perlu waktu untuk kembali bisa update teratur. Semoga aku nggak akan terlalu sibuk lagi sampai akhir Desember. Cukup sudah kerja gila-gilaan selama sebulan.

Untuk kali ini aku ingin menulis sedikit tentang 'penjelasan logis' di dalam cerita fantasi. Kenapa dengan tanda kutip? Karena pernyataan ini nyaris paradoks: kok khayalan harus logis?

Benarkah cerita fantasi harus logis? Sebetulnya, aku bisa mengatakan dengan yakin, tidak harus. Fantasi tidak perlu logis, tapi fantasi harus believable, alias harus bisa diterima pembaca.
  
  
Atau, mari kita belajar dari kutipan Om Tom Clancy di bawah ini.

The difference between fiction and reality? Fiction has to make sense. 

"Make sense" cerita fiksi di dalam kutipan ini adalah sama dengan "believability" di dalam cerita fantasi. "Make sense" biasa diterjemahkan sebagai "masuk akal". Dan kalau kita menyebut "masuk akal", otak kita otomatis nyambung ke "harus logis", mengingat kedekatan asosiasi kata "logika" dan "akal."

Tapi "sense" juga bisa diterjemahkan sebagai "rasa" atau "kesan." Jika aku diijinkan untuk sedikit bermain kata, aku akan bilang "make sense" ini juga bisa diterjemahkan sebagai "masuk rasa" atau "masuk kesan", dalam arti, "membangkitkan rasa yang tepat" atau "memciptakan kesan yang tepat."

Jadi, untuk menciptakan believability, kita bisa bekerja dari dua sudut: logika, dan rasa.

Sudut yang pertama kukira sudah jelas. salah satu frasa favorit orang-orang yang demen mengkritisi novel fantasi (macam saia) adalah, "ini ga logis deh! Menurut ilmu fisika/biologi/kimia/sejarah/koreografi goyang dombret kan harusnya begini..."

Sesuatu di dalam dunia fantasi diukur menurut hukum yang berlaku di dalam dunia nyata. Apakah ini perlu dilakukan? Ya, apabila pada situasi di dalam cerita tersebut seharusnya berlaku aturan dunia nyata. Misalnya, di dalam pertarungan pedang yang tidak melibatkan pedang sakti atau ilmu sihir, nggak ada ceritanya rapier bisa menebas kepala orang dengan satu ayunan. Kenapa? Karena rapier tidak didesain untuk menebas, tapi menusuk. Kalau pedang itu sebuah katana di tangan samurai terlatih, tentulah lain cerita.

Selain mematuhi logika dunia nyata (pada saat diperlukan), untuk menjadi believable, suatu kisah fantasi hendaknya nggak melanggar hukum-hukum yang diciptakan penulis di dalam dunianya. Contoh pelanggaran  logika in-universe ini misalnya, (semua contoh nyata yang pernah tampil di Fikfanindo):

1. Jika kita menciptakan ras vampire-wannabe yang nggak tahan kena cahaya matahari, normalnya mereka nggak akan berperang demi mendapatkan matahari, 'kan?

2. Jika suatu artifak hanya bisa dimiliki oleh laki-laki keturunan raja, aneh aja kalau di dalam ceritanya tau-tau pedang itu de facto dipegang oleh perempuan yang bukan turunan raja.

3. Dalam setting medieval, jangan sampai ada ceritanya ada alat perekam yang perlu di-CAS. Seperti kata Om Soto(y), "Stekker-nya dimanaaaahhhh?"

4. Ada tokoh yang bilang, "Ketua! Aku tidak kuat lagi! MP-ku habis!" sementara setting dunianya dunia high-fantasy ala Eragon, bukan setting parodi atau dunia game online ala .hack.

Pelanggaran logika seperti ini akan bikin pembaca--setidaknya yang kritis--ketendang dari believability cerita. Kalau cuma satu-dua kebolongan, barangkali nggak apa-apa. Bahkan bisa jadi pembaca (atau pengarangnya sendiri) nggak nyadar. Tapi kalau pelanggaran ini numpuk terlalu banyak, rasa dan suasana akan rusak. Akibatnya, believability jadi turun drastis, dan cerita yang dibangun menjadi lemah. Pembaca jadi nggak percaya pada dunia kita.

Tapi kadang-kadang, pengarang ingin tetap mempertahankan pelanggaran-pelanggaran ini tanpa mengorbankan believability. Untuk itu mereka akan memberi penjelasan di dalam cerita. Kadang-kadang kritikus atau pembaca juga menuntut penjelasan. Akibatnya, si pengarang cenderung menghabiskan banyak paragraf untuk memberi penjelasan supaya cerita itu bisa diterima dibanding memajukan cerita. Atau dengan kata lain, dia melakukan infodump.

Gejala macam ini membuat seorang teman menaruh komentar di forum Goodreads, yang bunyinya kira-kira begini, "Bingung sama maunya pembaca. Kalau dikasih penjelasan terlalu banyak, dibilang over. Kalau terlalu sedikit, disuruh ngasih penjelasan tambahan/dicari-cari kekurangannya."

Nah, bagaimana nyikapin dilema ini? Kalau kurang penjelasan, nggak believable dan malah dikritik. Kalau kelebihan, malah dibilang infodump. Salah satu solusi yang perlu diingat adalah, simplify things, and throw less at the problem.

Bagaimana prinsip ini bekerja? Seringkali kalau kita berhadapan dengan  kritikus atau pembaca beta yang menuntut kita untuk menjelaskan, menjelaskan, dan menjelaskan. Begitu kita sampai pada level yang memuaskan si kritikus, penjelasan yang kita buat sudah jadi infodump. Ini cara yang keliru, sebetulnya. Kalau kita menghadapi masalah, don't throw more at the problem. Jangan kasih penjelasan panjang bergunung-gunung. Sebagai gantinya, cari penjelasan paling singkat untuk menjustifikasi pelanggaran tersebut. Inilah yang kusebut throw less at the problem.

Dan kalau masalah itu tidak bisa dijelaskan dengan penjelasan pendek, jangan pakai alasan itu untuk menjustifikasi infodump. Potong bagian masalah itu, atau ganti, atau hilangkan saja, sehingga penjelasan panjang tidak diperlukan. That way we can throw less at the problem.
  
Selain logika, believability juga mengandalkan satu hal: rasa. Dan berkenaan dengan rasa ini ada baiknya kita mencamkan Rule of Cool. Dalam bahasa Indonesia Rule of Cool ini kuterjemahkan sebagai: logika (baik logika dunia nyata maupun in-universe) selayaknya hanya dilanggar selama kekerenan yang dihasilkan sebanding/worth it dengan pelanggaran yang dilakukan.

Contoh kasus Rule of Cool ini terjadi di Goodreads Indonesia beberapa hari lalu. Seorang teman membuat narasi dimana kereta dihambat lajunya dengan karung pasir. Lalu ketika kereta itu tidak berhenti, seorang anak perempuan berkekuatan super menonjoknya sehingga kereta tersebut keluar jalur. Segera ada banyak post yang menanggapi bahwa ini tidak masuk akal. Beberapa teman bahkan berusaha menjelaskan dengan fisika dan momentum.

Pendapat mereka tentu saja benar. Namun, logika bukan satu-satunya jalan. Bayangkan jika narasi itu adalah narasi sebuah fanfic Final Fantasy 7. Kereta itu bukan kereta penumpang yang ditonjok, tapi kereta Shin-Ra yang ditebas jadi dua oleh Sephiroth. Apakah mereka akan protes? Aku yakin tidak, sekalipun kedua kasus itu sama nggak masuk akalnya. Kenapa? Sederhana raja. Seph menebas kereta pake pedang is so damn cool.

Ada satu lagi bukti Rule of Cool yang mungkin nggak disadari banyak orang: Trilogi Lord of the Rings yang keren itu. Bagian mana tepatnya? SELURUH trilogi itu. Check this out:


Kalau Gandalf punya elang (yang terakhirnya dia pakai untuk nolong Frodo) daripada susah-susah jalan ke Mount Doom, kenapa nggak bikin ribut di depan gerbang Mordor untuk mengalihkan mata Sauron, sementara Frodo dan Gandalf memakai elang untuk TERBANG dan menjatuhkan cincin ke kawah? (Dan  mengalihkan perhatian Sauron ini mungkin terjadi, toh taktik ini dipakai di Return of the King, ada perang di depan Mordor sementara Sam dan Frodo memanjat gunung.)

Kenapa nggak ada yang protes? Because the three movies are so cool.

The moral of the story is, K00L P4wnZ. Tapi seperti yang dikatakan oleh seorang teman, Rule of Cool bukannya tanpa resiko. Cool menurut satu orang belum tentu cool menurut orang lain. Oleh karena itu, sebaiknya kita sadar untuk siapa kita menulis. Apakah untuk anak-anak, remaja laki-laki atau remaja perempuan, dewasa, penyuka pendaki gunung, fans Kamen Rider, and so on. Semakin berpengalaman, kita bisa berharap kita akan semakin jago untuk menentukan cool yang bagaimana yang menarik untuk pembaca yang lebih umum.

Idealnya memang kita bisa membuat sesuatu yang memenuhi logika (nyata atau cerita) dan keren sekaligus. Tapi kalau sesuatu harus dijelaskan terlalu panjang atau terlalu rumit, coba ubah sesuatu yang harus dijelaskan itu menjadi sesuatu yang lebih keren. After all, we are writing fantasy, aren't we?



Luz Balthasaar

11 komentar:

Juno Kaha mengatakan...

Biarkan gw jadi yg pertamax mengomentari~ :D :D

Untuk kali ini, gw bisa sepenuhnya setuju ama masukan soal mengatasi info dump dan kekurangan informasinya krn bukan solusi yg jenis "tergantung penulisnya". :D :D

Kadang kala gw merasa butuh masukan yg pasti, jgn cuma dibilang "tergantung penulisnya".

Hehe.

Anonim mengatakan...

Yay! Ini keren mbak
Izin copas buat belajar yah hehehe

** shortcut LoTR nya asik banget ^^

stezsen

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun: Yeap, I know.

Cara mengatasi infodump memang banyak. Rule of Cool dan Throw Less ini cuma dua diantaranya. Penulis bisa menemukan jawaban sendiri.

In essence, jawaban "tergantung penulis" itu bener. Tapi kalau nggak dikasih jalan yang konkrit memang bikin butek.

Barangkali mau nambah cara lain lagi?
___

@Stez: di U tube banyak "How xxx Should have Ended. Yang paling lucu memang yang LotR itu. soalnya kalau dipikir... ya masuk akal kan. @_@

Anonim mengatakan...

Wakakaka
Bisa jadi juga sih hehe
Sayang ga ada pertempuran udara elang vs nazgul XD XD (kayaknya lucu klo ada hehe)

Hyaay, klo mw punya skill bikin rule of cool kaya eyang tolkien perlu bertapa puluhan taon dulu saya XD

stezsen

Anonim mengatakan...

He he he, lucu juga tuh yang link LOTR. Kalo dipikir2, bener juga ya.

Btw, yang empire strikes back juga lucu. Bener juga ya, si vader napa ka nangkep si luke waktu dia jatoh. kan force-nya kuat :-P


Adrian

Juno Kaha mengatakan...

@Signora Luz: Gw sampe ngomong gitu tempo hari di GR bisa dibilang krn gw udah stuck dan blm nemu solusi yg pas buat gw, jadi, yah, kalo ditanya ada masukan, untuk kali ini belum ada. :D :D

Mungkin kalo gw udah nemu yg gw rasa pas di gw dan beda (org lain blm tentu kepikiran) akan gw share.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Satu kebolongan yang ketutupan Rule of Cool yang baru kusadari lagi...

Di ending Devil May Cry 3, waktu Vergil Jatuh, kenapa Dante nggak make mode Quicksilver untuk bergerak lebih cepat dan nolong saudaranya?

~_~

*soalnya kalau Vergil nggak jatuh nggak ada adegan keren nan dramatis pas dia jatuh, dan nggak ada Nelo Angelo...*

Okay, justified...

Selain Rule of Cool, di tvtropes juga masih ada juga Rule of Funny, Rule of Drama, Rule of Fun, Rule of Scary, dan Rule of Romantic.

Tapi aku juga perhatiin, kalau satu karya terlalu berpedoman pada satu rule, karya itu akan jadi kurang berdimensi.

Christopher Thomas mengatakan...

Whoa! penampilan baru nih? Cool hehehe ntu yang di atas ilustrasi buat novel perdananya y? manga banget :)
congrats deh... ta tunggu artikel berikutnya!

cheers,
Christ

Luz Balthasaar mengatakan...

Hehe, bukan Novel Perdana kok om Chris.

Banner itu kubuat dari ilustrasi untuk ceritaku, yang termuat di Kumcer Fantasy Fiesta 2010. Besok akan aku upload artikelnya ^^ Look forward to it!

Christopher Thomas mengatakan...

inilah akibatnya kalo punya hobi nyacat gak pake mata hehehe. Gak "om" deh mbak, baru 26 soale :P
ditunggu artikelnya, terutama rview icylandar. aku pengin beli tapi liat-liat reviewnya dulu soalnya.

thx,
"Dhek Christ" :D

Luz Balthasaar mengatakan...

Klo Repiu Icylandar di Fikfanindo nanti.

Soal beli nggak belinya, gini. Kalau mau belajar nulis dan punya 88k perak yang bisa di-spend, nggak ada salahnya beli.

Problemnya dengan beberapa orang, mungkin, ini banyakan ceritanya tentang hidup para karakter di dunia Icylandar. Inti masalahnya sendiri muncul di awal, tapi baru disentuh agak lama kemudian. Jadinya banyak bagian yang memang ngebangun dunianya, tapi berasa kosong, gitu...

Belum lagi beberapa bagiannya yang agak mirip sama "a certain boy-wizard fantasy novel"...