And every gasp of breath I grabbed at just to find you,
I climbed up every hills to get, to you,
I wandered ancient lands to hold, just you.
And every single step of the way, of pain,
Every single night and day,
I searched, for you.
Through sandstorms and hazy dawns, I reached for you.
"The Sore Feet Song" by Ally Kerr
Di Indonesia banyak orang yang cukup beruntung untuk dilahirkan di dalam situasi yang memudahkan mereka mendapatkan identitas lokal.
Kebanyakan orang yang kutemui bisa menjawab dengan jelas apa suku mereka dan apa agama mereka. Aku bahkan berani bersaksi bahwa banyak orang Indonesia didorong untuk bangga pada identitas lokal mereka. Kadang bahkan sampai pada titik dimana mereka berkata, "Saya adalah Suku Asli™, dan semua yang diluar suku saya nggak saya anggap!" atau "Saya adalah umat dari Agama Paling Benar™. Diluar agama saya semuanya kafir (dan gak boleh protes kalau saya hajar)!"
Memang nggak semua orang Indonesia begitu. Namun, setelah lebih dari seperempat abad hidup di negara ini, aku bersaksi bahwa begitulah iklimnya. Norma sosial membuat banyak manusia negara ini memeluk suku dan agamanya sedemikian kuat hingga menyebabkan timbulnya kekerasan.
Tak jarang juga kekerasan itu diamini hukum. Ada begitu banyak peraturan daerah maupun prosedur di negeri ini yang diskriminatif. Belum lagi permainan yang terjadi di berbagai insitutusi untuk mengucikan orang-orang yang dianggap tidak memiliki suku atau agama yang 'sesuai'.
Mereka yang mengaku berpandangan moderat pun tidak sepenuhnya bersih dari sikap ini. Dalam keadaan biasa banyak moderatwan dan moderatwati bisa bicara toleransi. Tapi jika masalahnya sudah di depan hidung, mereka tidak akan bersuara keras. Mereka lebih suka cari aman dengan tutup mulut, daripada beresiko ribut dengan golongan yang kurang moderat, tapi lebih vokal dan lebih punya gigi.
Sekali lagi, nggak semua pihak di Indonesia seperti itu. Tapi di dalam iklim inilah aku dan sekian banyak manusia Indonesia lain tumbuh besar. Yang kecil dipinggirkan. Yang besar meminggirkan. Sama sekali mereka yang besar ini lupa bahwa manusia tak bisa memilih dari rahim siapa mereka lahir. Dengan kata lain, adalah murni kebetulan jika seseorang lahir sebagai Suku Asli™ dan/atau di dalam keluarga yang menganut Agama Paling Benar™. Jika (apapun yang mereka percayai sebagai) Tuhan sungguh Mahakuasa, tidakkah Ia bisa membalik posisi antara yang meminggirkan dan yang terpinggirkan, hanya dengan berkehendak?
Aku tahu akan ada yang menyambut pernyataan di atas dengan, "Yah, kesian deh lo lahir tertindas. Untung gue kagak, heheheh!" Tapi aku yakin ada juga orang-orang yang otaknya belum sakit. Orang-orang ini akan melihat inti dari argumentasi yang kusampaikan di atas: kita tidak bisa memilih akan terlahir di lingkungan seperti apa, sebagai suku apa, di dalam keluarga beragama apa, dan dibesarkan dengan nilai-nilai macam apa. Jika orang-orang waras ini tidak lahir tertindas, mereka akan bersyukur dan menjaga diri mereka agar tidak menjadi penindas--karena mereka sadar sepenuhnya bahwa seorang manusia tidak bisa memilih identitas lokal pertama yang dilekatkan kepadanya.
Aku ingin mengaitkan pendapatku tentang identitas lokal pertama ini, sehubungan dengan pilihan seorang penulis fiksi fantasi untuk mengangkat lokalitas. Hal ini penting ditimbang, jika penulis berhadapan dengan tuntutan untuk mengangkat "budaya lokal" dalam tulisannya. Terlalu sering budaya lokal ini didefinisikan secara sempit sebagai budaya Suku Asli™ Indonesia, atau mengandung unsur-unsur Agama Paling Benar™.
Kalau suatu novel fiksi fantasi tidak memakai nama-nama yang berbau Suku Asli™, ia akan dicap asing dan ltidak akan diusung dengan bangga sebagai karya lokal, sekalipun yang mengarangnya jelas-jelas Warga Negara Indonesia. Kalau suatu novel mengandung unsur-unsur agama diluar Agama Paling Benar™, reaksinya bakalan, "Ah, kafir itu!" Padahal, kadang yang mengarang karya itu adalah penganut Agama Paling Benar™ yang super taat!
Lagipula, nggak semua orang Indonesia terlahir dengan identitas lokal pertama sebagai Suku Asli™ maupun memeluk Agama Paling Benar™. Ada orang Indonesia yang lahir, tumbuh dan hidup sebagai Warga Turunan Negeri Kho Ping Hoo™ atau Blasteran Kumpeni™ atau Cicit Saudagar Minyak dari Agrabah™ atau Sepupu Jauhnya Kadoya Tsukasa si Kamen Rider Decade™ atau Imigran Negeri Upin Ipin™, bahkan Pengembara Nyasar™. Agama mereka pun macem-macem. Ada Agama Agak Benar™, ada Agama Nyeleneh Dikit™, ada Agama Tukang Parkir (Lurus Kiri, Hop, Tahan, Maju!)™, Agama Poco Poco™, bahkan ada Agama Yang (Kata Mereka Yang Merasa diangkat oleh Tuhan jadi Juru Bicara) Sesat™.
Untuk orang-orang ini, kalau mereka mengangkat budaya Suku Asli™ atau Agama Paling Benar™, bukankah itu berarti mereka sebetulnya tidak mengangkat identitas lokal pertama mereka, yang berarti, mereka tidak mengangkat lokalitas mereka?
Apa bedanya ini dengan Orang Suku Asli™yang mencoba menuilis cerita silat dengan mengangkat budaya Warga Turunan Negeri Kho Ping Hoo™, atau fantasi medieval dari negeri kaum Blasteran Kumpeni™? Nggak ada. Keduanya sama-sama memakai budaya yang sebetulnya bukan budaya dari identitas lokalnya.
Satu-satunya perbedaan adalah, mengangkat budaya Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™ akan memuaskan para Sape Lo. Padahal mereka sendiri sehari-harinya belum tentu melaksanakan budaya Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™!
Garispantat (maksudnya, bottomline; lagi sok ngIndonesah nih), kita tidak selayaknya memandang rendah atau menjelekkan pilihan seorang pengarang untuk tidak memakai budaya Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™.
Setelah mengatakan ini, aku ingin kita merenung sejenak tentang Indonesia. Negara kita memiliki potensi keberagaman diluar Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™. Dari SD sampai SMP, kita diajari tentang Bhinneka Tunggal Ika. Sejarah menyatakan bahwa negeri ini tidak didirikan hanya oleh orang-orang Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™. Indonesia terbentuk dari banyak pengaruh dari seluruh Dunia. Di Jakarta saja kita bisa menyaksikan pengaruh dari kebudayaan Warga Turunan Negeri Kho Ping Hoo™, Blasteran Kumpeni™ dan Cicit Saudagar Minyak dari Agrabah™. Budaya-budaya ini memang berasal dari tanah asing, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka turut membentuk fondasi Indonesia.
Untuk itu, mengurung definisi "budaya lokal" Indonesia pada Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™ justru mengkhianati Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan inilah budaya lokal Indonesia yang paling Indonesia, yang merangkul negeri ini melewati batasan agama dan suku: untuk menjelajahi keberagaman, mengambil nilai-nilai dari keberagaman yang tadinya asing itu, dan meramunya menjadi nilai khas Indonesia yang satu.
Dengan kata lain, Wo kata negeri jij ini terbentuk dari influence bangsa-bangsa gaijin sejak jaman Pakcik Adam dan Makcik Hawa. Meminjam pengaruh atawa budaya asing di dalam berkarya sesungguhnya adalah kebiasaan yang sangat Indonesia yang sejalan dengan Bhinneka Tunggal Ika!
Begitupun, tak bisa dipungkiri, memakai budaya asing memiliki kendala tersendiri. Salah satunya sudah kubahas di atas, yaitu pandangan kaum Sape Lo yang basi. Kendala kedua adalah bahwa pemakaian itu kadang kikuk, menghasilkan fenomena Bule Celup dan Peri Yunani yang akan kubahas dalam update berikut.
Kendala-kendala ini wajar saja terjadi. Kenapa? Pelbagai budaya asing yang sudah kusebut di atas tidak membentuk Indoensia dalam satu malam. Ada proses asimilasi, yang tentunya memakan waktu. Dalam berkarya juga seperti itu. Kita pastilah harus menjelajah dahulu, baru menemukan harta. Oleh karena itu jelajahilah tanah-tanah asing, baik dengan bertandang ke sana, atau dengan membaca.
Seperti kata Ally Kerr yang kukutip di awal post ini, kita mungkin harus berjalan sepuluh ribu mil untuk menemukan harta itu, megap-megap, jatuh bangun, nembus badai... tapi kita tidak boleh menyerah demi apa yang kita cintai, bukan?
Garispantat (lagi), berikut ini adalah klip The Sore Feet Song, yang dipakai sebagai Opening dari Anime Mushi-shi.
Penulis lagu dari Negeri Tetangga Harry Potter™, menulis lagu untuk anime dari negeri Sepupu Jauhnya Kadoya Tsukasa si Kamen Rider Decade™?
Bhinneka Tunggal Ika?
Pasti!
Aku tahu akan ada yang menyambut pernyataan di atas dengan, "Yah, kesian deh lo lahir tertindas. Untung gue kagak, heheheh!" Tapi aku yakin ada juga orang-orang yang otaknya belum sakit. Orang-orang ini akan melihat inti dari argumentasi yang kusampaikan di atas: kita tidak bisa memilih akan terlahir di lingkungan seperti apa, sebagai suku apa, di dalam keluarga beragama apa, dan dibesarkan dengan nilai-nilai macam apa. Jika orang-orang waras ini tidak lahir tertindas, mereka akan bersyukur dan menjaga diri mereka agar tidak menjadi penindas--karena mereka sadar sepenuhnya bahwa seorang manusia tidak bisa memilih identitas lokal pertama yang dilekatkan kepadanya.
Aku ingin mengaitkan pendapatku tentang identitas lokal pertama ini, sehubungan dengan pilihan seorang penulis fiksi fantasi untuk mengangkat lokalitas. Hal ini penting ditimbang, jika penulis berhadapan dengan tuntutan untuk mengangkat "budaya lokal" dalam tulisannya. Terlalu sering budaya lokal ini didefinisikan secara sempit sebagai budaya Suku Asli™ Indonesia, atau mengandung unsur-unsur Agama Paling Benar™.
Kalau suatu novel fiksi fantasi tidak memakai nama-nama yang berbau Suku Asli™, ia akan dicap asing dan ltidak akan diusung dengan bangga sebagai karya lokal, sekalipun yang mengarangnya jelas-jelas Warga Negara Indonesia. Kalau suatu novel mengandung unsur-unsur agama diluar Agama Paling Benar™, reaksinya bakalan, "Ah, kafir itu!" Padahal, kadang yang mengarang karya itu adalah penganut Agama Paling Benar™ yang super taat!
Lagipula, nggak semua orang Indonesia terlahir dengan identitas lokal pertama sebagai Suku Asli™ maupun memeluk Agama Paling Benar™. Ada orang Indonesia yang lahir, tumbuh dan hidup sebagai Warga Turunan Negeri Kho Ping Hoo™ atau Blasteran Kumpeni™ atau Cicit Saudagar Minyak dari Agrabah™ atau Sepupu Jauhnya Kadoya Tsukasa si Kamen Rider Decade™ atau Imigran Negeri Upin Ipin™, bahkan Pengembara Nyasar™. Agama mereka pun macem-macem. Ada Agama Agak Benar™, ada Agama Nyeleneh Dikit™, ada Agama Tukang Parkir (Lurus Kiri, Hop, Tahan, Maju!)™, Agama Poco Poco™, bahkan ada Agama Yang (Kata Mereka Yang Merasa diangkat oleh Tuhan jadi Juru Bicara) Sesat™.
Untuk orang-orang ini, kalau mereka mengangkat budaya Suku Asli™ atau Agama Paling Benar™, bukankah itu berarti mereka sebetulnya tidak mengangkat identitas lokal pertama mereka, yang berarti, mereka tidak mengangkat lokalitas mereka?
Apa bedanya ini dengan Orang Suku Asli™yang mencoba menuilis cerita silat dengan mengangkat budaya Warga Turunan Negeri Kho Ping Hoo™, atau fantasi medieval dari negeri kaum Blasteran Kumpeni™? Nggak ada. Keduanya sama-sama memakai budaya yang sebetulnya bukan budaya dari identitas lokalnya.
Satu-satunya perbedaan adalah, mengangkat budaya Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™ akan memuaskan para Sape Lo. Padahal mereka sendiri sehari-harinya belum tentu melaksanakan budaya Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™!
Garispantat (maksudnya, bottomline; lagi sok ngIndonesah nih), kita tidak selayaknya memandang rendah atau menjelekkan pilihan seorang pengarang untuk tidak memakai budaya Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™.
Setelah mengatakan ini, aku ingin kita merenung sejenak tentang Indonesia. Negara kita memiliki potensi keberagaman diluar Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™. Dari SD sampai SMP, kita diajari tentang Bhinneka Tunggal Ika. Sejarah menyatakan bahwa negeri ini tidak didirikan hanya oleh orang-orang Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™. Indonesia terbentuk dari banyak pengaruh dari seluruh Dunia. Di Jakarta saja kita bisa menyaksikan pengaruh dari kebudayaan Warga Turunan Negeri Kho Ping Hoo™, Blasteran Kumpeni™ dan Cicit Saudagar Minyak dari Agrabah™. Budaya-budaya ini memang berasal dari tanah asing, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka turut membentuk fondasi Indonesia.
Untuk itu, mengurung definisi "budaya lokal" Indonesia pada Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™ justru mengkhianati Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan inilah budaya lokal Indonesia yang paling Indonesia, yang merangkul negeri ini melewati batasan agama dan suku: untuk menjelajahi keberagaman, mengambil nilai-nilai dari keberagaman yang tadinya asing itu, dan meramunya menjadi nilai khas Indonesia yang satu.
Dengan kata lain, Wo kata negeri jij ini terbentuk dari influence bangsa-bangsa gaijin sejak jaman Pakcik Adam dan Makcik Hawa. Meminjam pengaruh atawa budaya asing di dalam berkarya sesungguhnya adalah kebiasaan yang sangat Indonesia yang sejalan dengan Bhinneka Tunggal Ika!
Begitupun, tak bisa dipungkiri, memakai budaya asing memiliki kendala tersendiri. Salah satunya sudah kubahas di atas, yaitu pandangan kaum Sape Lo yang basi. Kendala kedua adalah bahwa pemakaian itu kadang kikuk, menghasilkan fenomena Bule Celup dan Peri Yunani yang akan kubahas dalam update berikut.
Kendala-kendala ini wajar saja terjadi. Kenapa? Pelbagai budaya asing yang sudah kusebut di atas tidak membentuk Indoensia dalam satu malam. Ada proses asimilasi, yang tentunya memakan waktu. Dalam berkarya juga seperti itu. Kita pastilah harus menjelajah dahulu, baru menemukan harta. Oleh karena itu jelajahilah tanah-tanah asing, baik dengan bertandang ke sana, atau dengan membaca.
Seperti kata Ally Kerr yang kukutip di awal post ini, kita mungkin harus berjalan sepuluh ribu mil untuk menemukan harta itu, megap-megap, jatuh bangun, nembus badai... tapi kita tidak boleh menyerah demi apa yang kita cintai, bukan?
Garispantat (lagi), berikut ini adalah klip The Sore Feet Song, yang dipakai sebagai Opening dari Anime Mushi-shi.
Penulis lagu dari Negeri Tetangga Harry Potter™, menulis lagu untuk anime dari negeri Sepupu Jauhnya Kadoya Tsukasa si Kamen Rider Decade™?
Bhinneka Tunggal Ika?
Pasti!
Luz B.
29 komentar:
Wow pertamax (ikut2an kaskuser XD)
Setuju saya sma artikel ini, kk!
Keren d^^b
Jadi g sabar nunggu lanjutannya. Penasaran sama "bule celup" dan "peri yunani" ehehehe
stezsen
Hehe, tengkayu... :D
Saia memang paling keren kalau saia lagi ngomongin yang SARA-SARA. Hidup SARA! Lestarilah SARA! Wkwkwkwkw...
Sabar-sabar nunggu update berikutnya yaa ^^
Ha ha ha pasti saking semangatnya nulis ini, jadi banyak typo-nya...
Good Post Luz :)
Zenas
Amen to you, sista! XD
Kalo aku sih termasuk Suku Bebek yang ngerasa jadi Anak Seribu Pulau dan punya agama Balance alias you'll reap what you sow (entah bener apa nggak nulisnya, maklum otak lagi ngehang)
Baidewei, posting kali ini banyak TM-nya hihihihihi XD
@Zenas, Mbak Dew: Itu TM yang bertebaran bukan typo. Itu trademark beneran karena itu semua adalah Agama dan Suku Bikinan Saia™. Asli bikinan saia, bukan bikinan orang >:D
WHOA!!! thanks mbak,artikel ini berguna banget buat nglebarin wawasan untuk orang baru kayak saya. (walo ga yakin juga Para Sape Lo bisa paham sama
istilah2 ajaib di atas wakakak!)
Kamsya' Bu!
Tingal bule celup dan peri Yunani! saya tunggu updatenya!
Hormat, haik!,
Christopher Thomas
NB: saya baru baca dikit review balik apocypha nya. Bhuahahaha.... top mbak,banyak cabe yang kena! ntar kalo ada yang g mudeng saya balik nanya deh!.Once again, thx banget! :D
Oya, nanya dikit mbak, saking penasarannya, apakah karya saya termasuk golongan bule celup? hehehe...
@Chris:
Yup. Ada kesan bule celupnya. Kenapa? Karena serbaneka lebay yang sudah kuberi catatan.
Kedua, karena kamu nggak makai nama otentik Rumania. Bahkan nama Perancisnya masih ngaco, dan panggilan Mademoiselle/Madame itu masih kurang tepat.
Ketiga, karena banyak salah ketik istilah.
Coba benahin dulu, dan lihat sendiri betapa bedanya naskah kamu setelah dibenerin.
Jangan takut. Saia juga kadang sering sulit melihat efek ini di karya sendiri. Itulah gunanya ada temen yang bantu baca.
Sip!sip!sip!. aku dah bca semua repiunya dan... ya! cabenya kena semua hehehe.
soal nama, saya mo nanya soal tata nama di Harpot nih. Di sana ada beberapa nama yang dicampur-campur tapi kok kesannya gak aneh ya? gimana cara bikinnya tuh? ada ide?
sori klo nanyanya di sini.. tanggung soalnya hehehe
Salam,
X
wiiih...salut gw sama lo, Luz :)
hmm...jdi inget ma salah satu spupu gw yg nolak bikin NPWP, karena KTP mamanya masih berstatus WNA, mau ngubah jadi WNI sulitnya minta ampun.... >.>
(kayaknya gag ada hubungannya ma post kali ini yah, hahaha)
@Chris: Karena Rowling mencampur nama dengan memerhatikan aturan dan latar.
Pertama, latar. Perhatikan kalau Rowling mengambil tema penyihir, dan dia membangun latar penyihir berdasarkan penyihir-penyihir abad pertengahan.
Di abad pertengahan banyak penamaan terpengaruh nama Greco(Yunani)-Latin. Faktor ini dipakai oleh Rowling dalam menamai penyihirnya (terutama penyihir yang berasal dari keluarga tua), digabung dengan nama Inggris dari masa-masa sekitar sekarang. (Atau Nama yang berakar dari kata berbahasa Inggris.)
Maka kita mendapatkan nama-nama macam:
1. Albus Dumbledore. Albus adalah bahasa Latin untuk "putih".
2. Severus Snape. Severus adalah nama Latin, pernah dipakai oleh beberapa kaisar Roma.
3. Xenophilius Lovegood (Inggris). "Xenophilius" adalah gabungan dari "xeno", dan "philia", dua kata Yunani yang berarti "aneh" dan "mencitai." Jadi, "pecinta keanehan."
Khusus keluarga Black, aturan penamaan itu sedikit lebih rumit. Bagian Graeco-Latin dari nama semua anggota keluarga Black juga merupakan nama bintang atau rasi.
Cek:
1. Sirius Black. Sirius diambil dari bahasa Yunani seirios, yang berarti "membara", sekaligus merupakan nama bintang.
2. Andromeda Black/Tonks.
Andromeda adalah nama putri dalam legenda Yunani, juga nama rasi.
3. Bellatrix Black/Lestrange Bellatrix adalah bahasa latin berarti "prajurit/petarung perempuan". Juga merupakan nama bintang di rasi Orion.
Intinya, Rowling bikin nama nggak sembarangan. Dia nyampur pun pake latar belakang kultural.
Pun untuk nama orang-orang yang bukan orang Inggris, dia nggak memakai nama Inggris. Dia memakai nama sesuai negerinya. Viktor Krum memakai nama Slavik, Fleur Delacour nama Perancis, Aidan Lynch nama Irlandia. ^^V
@Ivon: Thanks. ^^
Kadang-kadang aku memang suka menulis soal masalah-masalah begini. Dan nggak ada masalah kalau memang ada yang mau nulis komen yang kerasa "ga nyambung." (Padahal nyambung.)
Tapi hal seperti itu terjadi. Sementara ada teman-teman yang toleran, manusia-manusia intoleran juga ada.
It's about time to say that enough is enough.
Ada orang Indonesia yang lahir, tumbuh dan hidup sebagai Warga Turunan Negeri Kho Ping Hoo™ atau Blasteran Kumpeni™ atau Cicit Saudagar Minyak dari Agrabah™ atau Sepupu Jauhnya Kadoya Tsukasa si Kamen Rider Decade™ atau Imigran Negeri Upin Ipin™, bahkan Pengembara Nyasar™. Agama mereka pun macem-macem. Ada Agama Agak Benar™, ada Agama Nyeleneh Dikit™, ada Agama Tukang Parkir (Lurus Kiri, Hop, Tahan, Maju!)™, Agama Poco Poco™, bahkan ada Agama Yang (Kata Mereka Yang Merasa diangkat oleh Tuhan jadi Juru Bicara) Sesat™
Jadi keinget pernah baca review buku yang nganalisa kalau 9 dari 10 kata bahasa Indonesia berasal dari bahasa asing.
Padahal mereka sendiri sehari-harinya belum tentu melaksanakan budaya Suku Asli™ dan Agama Paling Benar™!
ROTF
Kendala kedua adalah bahwa pemakaian itu kadang kikuk, menghasilkan fenomena Bule Celup dan Peri Yunani yang akan kubahas dalam update berikut.
Nya ha ha ha ha =)) Ouch, saya jadi keinget karya sendiri :-P
Penulis lagu dari Negeri Tetangga Harry Potter™, menulis lagu untuk anime dari negeri Sepupu Jauhnya Kadoya Tsukasa si Kamen Rider Decade™?
Bhinneka Tunggal Ika?
Yeaaaaah!
Adrian
Kalau orang lebih banyak kayak Luz, mungkin Bhinneka Tunggal Ika itu nggak cuma sekedar semboyan aja yang kayak selama ini dikumandangkan. Tapi iya, aku juga percaya masih banyak kok orang yang otaknya ga sakit. :D Yah... think positive! :) hahahaha
@Adrian:
Maksudnya ini ya? Hehehe...
9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing
Memang benar. Bahasa Indonesia yang kita pakai ini ditempa dan dihaluskan oleh banyak sekali pengaruh asing. Jadi, kalau kita membenci perngaruh asing, barangkali tidak seharusnya kita memakai Bahasa Indonesia...
_
@Wong: Kalau ada lebih banyak orang kayak aku, dunia akan penuh ladang cabe (dan tomat).
Aku jadi bertanya-tanya.
Jika mereka-mereka yang dianggap 'asing' pergi dari negeri ini, apakah Indonesia akan menjadi lebih baik?
@Luz: jadi lebih baik atau tidak, toh kenyataannya masih banyak yang menginginkan seperti itu...
@luz
Ho oh. Bener. Buku yang itu :D
Adrian
@Fenny: Ahak ahak ahak. Kasihan deh kita, para orang asing, para alien alias A Lien!
XD
Makanya pas lahir jangan jadi A Lien! Jadi PriDator aja!
Saia sendiri nggak bener-bener A Lien. Saya PriDalien. Bokap PriDator. Nyokap A Lien. Tapi tetep aja kalau diliat orang, dibilang A Lien dan diperlakukan seperti A Lien, hehehe.
Wkwkwkw...
_
@adrian:
Kelupaan komen untuk Mas Adrian: Iya. Pengen beli buku itu. Dimana bisa dapat ya? Yg seken jg aku mau kok. Aku bayar harga poll ga papa.
@luz
Wah, maap. Saya juga ga tau bisa dibeli di mana. Di gramed dah ga ada ya? Emang sih tu buku dah lama banget. Saya baca reviewnya dah bertahun-tahun lalu di kompas.
Adrian
lagi jalan-jalan santai, eh, nemu postingan keren ala Luz. wkwk.
Apa yang dikau bicarakan di atas adalah jeritan hati para minotaur.. ups. maksudku minoritas. :p
Mungkin butuh bapak-bapak Kumpeni datang lagi ke sini kah? Supaya pridator dan alien bersatu lagi? XDD
(makin ngacooo..!)
Hehehe, tengkayu Mbak.
Dibilang jeritan hati juga gimana ya...? Baik para A Lien dan orang-orang yang toleran udah capek jejeritan. Ga didengar-dengar juga.
Apa Indonesia ga merasa rugi kalau orang-orang ini hengkang?
Ah kayaknya kaga. Paling2 nanti klo udah hengkang dan sukses bisa ikutan nebeng nama keren di belakangnya: XXX anak Indonesia sukses di negari seberang! XD XD
Btw, kk, update nya lama banget... ><
Lagi sibuk kah?
stezsen
Iyah Stez. Lg sibuk X3 Bos mau ke India. Mau ktemu Shah Rukh Khan setelah lihat videoklip Briptu Norman.
Moga-moga Jumat ini aku bisa ngasi entri :D
Sedihnya para A Lien suka disitu. Pas masih tinggal di Indonesia, didiskriminasi dan dibilang bukan orang Indonesia asli.
Begitu sukses di luar negeri, diaku-aku ini lo, anak/putra/putri Indonesia.
This kind of treatment is the reason I hate the term "anak bangsa". Memangnya siapa sih anak bangsa itu? Anak bangsa mana pula, maksudnya? Wiw.
To me it sounds really hollow, propaganda-ish, and insincere.
Kalau pada hengkang, awal2 mereka mungkin malah senang, tapi lama2 mereka akan "kangen". Biasaa.. kalau udah hilang barulah kehilangan XD
Soal anak bangsa, aku sih berpikiran positif. Yang bilang "anak bangsa" itu mungkin sesama alien atau simpatisan alien. Kalau para Suku Asli akan sinis bilang, "tidak nasionalis", "pengkhianat bangsa".
Tanya: Salah siapa? XD
moga2 (tidak) makin panas. wkwkwk >:D
Itu cuma personal preference.
Aku hanya nggak suka memakai istilah itu. Pertama si A Lien dibilang "tidak nasionalis," tapi begitu sukses... widiw. O_o* tiba-tiba dia jadi Anak Bangsa.
Kalau untuk satu hal ini aku pakai pendekatan realis. Aku nggak akan menyebut diriku anak bangsa. Aku hanya akan menyebut bahwa diriku adalah WNI pemegang KTP Jakarta. Itu faktanya, dan itu cukup.
Sedikit ikut nimbrung sharing lagi.... Sebagai alien aku ngerasa nggak ada rasa nasionalisme sama indonesia (walaupun temen-temenku yang lain yang alien tidak merasa hal yang sama).
Though, walaupun aku ga punya rasa nasionalis yang mungkin dimiliki para pridator, aku tetep milih Indonesia sebagai tempat tinggal karena lahir di sana, besar di sana, terbiasa dengan suasana di sana, dan yang paling penting keluarga dan teman semua di sana. :|
Sebenarnya at times, sebagai Alien di Indonesia aku merasa ibarat makhluk mutilasi: harimau tapi bukan harimau, gajah tapi bukan gajah, unta tapi bukan unta... serasa kehilangan identitas. ingin nasionalis pada Indonesia tapi tidak bisa, nasionalis dengan negara nenek moyang juga tidak bisa....
@Wong, kalau disuruh milih (dan tanpa iming-iming sesuatu yang menggiurkan), aku juga akan milih untuk tinggal di negeri ini.
Aku pribadi bukannya tidak cinta Indonesia. Aku tidak bisa mencintai beberapa bagian dari kehidupan bernegara di sini.
Tapi ada juga hal-hal yang aku suka: teman, keluarga, orang-orang waras, dan buku-buku Ayu Utami. XD
Oleh karena itu cintaku pada Indonesia tidak tertuju pada negara Indonesia itu secara keseluruhan, tetapi pada hal-hal kecil yang kusukai dari kehidupan di Indonesia.
Dan tentu saja aku berusaha sebaik-baiknya untuk menjaga kehadiran hal-hal kecil itu agar tidak punah dari negara ini.
*rada oot dikit*
wew, karena penasaran jdi ak cari info soal Mushishi; and I got hooked, instantly :D
kekny keren abis nih manga. jdi penasaran udah ada terjemahanny belum ya... hehehehe...
thx fr share, btw! ^^b
Told ya. Mushishi is AWESOME.
Kalau udah suka nonton itu ga bakal berhenti deh. TT_TT
Ep. Favoritku: yang jembatan pelangi sama Tenpen no Ito. Kereeeennnn~
Posting Komentar