Senin, 24 September 2012

The Halal Pork Bagian II ~ Apakah Khal Drogo Punya Twitter!?


Akhirnya, tiba juga saia pada masa-masa Cuba. Kalau ditanya apa itu Cuba biasanya saia akan menjawab, "CUma melaksanakan tugas, MBAk/Mas~" (Iya, maksa, saia tau.) Tapi kalau buat saia pribadi akronim itu berarti CUti diBAyar.
  
(Tapi sebelum ada yang bilang, "Enak ya," saia sarankan anda lihat dulu syarat Tugas Belajar. Kalau ga siap, bisa nangis darah. Beneran.) 
  
Memasuki masa cuba, saya punya sedikit waktu tambahan kalau lagi gak disibukkan tugas. Waktu ini akan saia pakai untuk isi blog; baik blog ini maupun blog Om Soto(y). Kebetulan sekali, salah satu skill yang diharapkan dari mahasiswa S2 adalah kemampuan untuk membuat critical review dan berargumentasi menggunakan tulisan. Itu berarti, menulis di blog adalah ajang latihan yang sebaiknya dilakukan!
  
Jadi mari kira mulai dengan melanjutkan entry Babi Halal!
   

~ Bab IV ~
~ Lebih Dalam tentang Kekurangan Babi Sandi ~

  
Waktu itu saia memutus pembahasan setelah selesai membahas tentang babi yang didapat dari hasil menyandikan. Pada bagian kesimpulan saia menyebutkan kekurangan babi sandi, yaitu bahwa "kalau penyandiannya terlalu sederhana atau nggak cukup teliti, babi sandi ini nggak akan kelihatan seperti bahasa alami."

Saia ingin menyinggung poin ini lagi dengan mengambil contoh bahasa Al Bhed yang dipakai di Final Fantasy X. (Thanks untuk Sis Shienny M. S. yang mengingatkan soal Al Bhed!)

Pada dasarnya babi Al Bhed hanya memanfaatkan pertukaran huruf. Teknik ini sebetulnya sama saja dengan teknik pembuatan bahasa Kedhalu dan bahasa Melnics yang saia sebut di artikel sebelumnya.

Bahkan, bahasa Al Bhed lebih sederhana. Baik bahasa Melnics maupun Kedhalu memiliki cara penyandian yang bertingkat, sementara Al Bhed tidak. Bahasa Kedhalu melakukan pertukaran huruf setelah tulisan asal berbahasa Indonesia dikonversi menggunakan tata cara penulisan aksara Jawa. Melnics lebih rumit dua langkah: tulisan asal berbahasa Inggris dikonversi ke dalam tata cara penulisan aksara Jepang, lalu disandikan lagi dengan pertukaran bunyi Melnics, dan akhirnya, hasil konversi itu ditulis menggunakan aksara Melnics.

Al Bhed tidak melakukan proses bertingkat seperti yang saia sebut di atas. Babi ini murni hasil pertukaran aksara, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Jepang. Terdapat dua kunci yang terpisah untuk menerjemahkan Al Bhed dari bahasa Jepang maupun bahasa Inggris. Selengkapnya mungkin bisa diintip guide Al Bhed dari Lynn Brown A.K.A. enigmaopoeia, dari GameFAQs.

Sebagai orang yang main Final Fantasy X (versi US), saia bisa bersaksi bahwa bahasa Al Bhed lumayan berhasil sebagai bahasa bikin-bikinan. "Dapat feelnya," kalau dalam bahasa kita kebanyakan. Namun, kalau kita bicara soal "feel", kita bicara terlalu dekat soal rasa dan selera, dan itu susah digugat. Persis kayak ayat kitab suci.

Meminjam istilah Remy Sylado--berhubung saia bukan nabi yang sedang dalam misi menyebarkan kitab suci agama babi--saia harus bisa digugat. Untuk itu saia akan menggunakan istilah serviceable, alias "gak segitunya bagus, tapi menurut kisaran umum, bisalah dianggap oke."

Mengapa saia bilang Al Bhed serviceable? Karena sejujurnya ada beberapa kata dalam bahasa Al Bhed relatif enak dilihat. Vidina, misalnya, yang berarti "masa depan," dan cecdram yang berarti "saudara perempuan." Tapi begitu ketemu uycec yrayt (oasis di depan) dan vmoehk (terbang), saia nyembur lebay. Bahkan istilah-istilah hukum dalam bahasa Belanda (contoh: recht, wetboek, ambtenaar, overmacht) masih lebih gampang diucapkan daripada itu!

Nah. Di dalam babi yang serviceable aja, kita bisa melihat jelas kekurangan babi sandi: kadang-kadang, kata yang dihasilkan dari penyandian itu nggak kelihatan seperti kata. Alias, ketahuan banget bo, kalau kelompok huruf-huruf tersebut adalah hasil pertukaran bunyi.

Bagaimana cara mengatasi kekurangan tersebut? Ya bikinlah sandi yang beres! Bahasa Melnics yang saia ambil sebagai contoh kemarin termasuk yang penyandiannya oke.

Tapi kalau gak mau pakai cara itu, kita bisa menggunakan cara kedua untuk menciptakan babi, yaitu.... bikin aja bahasa sendiri!


***

  
~ Bab V ~
~ Menyusul Mbah Tolkien? ~

  
Saia sering dengar dan melihat bahwa bikin bahasa dari dasar itu ribet. Memang betul. Dalam beberapa hal, bikin babi sendiri itu lebih ribet daripada bikin babi pakai sandi. Apalagi kalau belum apa-apa udah dikritik, "Sombong/sok pinter banget sih loe pake bikin-bikin bahasa sendiri! Ntar kalau loe udah ahli linguistik kayak Mbah Tolkien baru loe bisa bikin bahasa! Nyahahahah~!!"

Hiks.

Kesannya, kalau kita ga punya gelar sastra, babi yang kita bikin otomatis sampah yang--meminjam istilah Om KD Panda--perlu diprint, disobek-sobek, lalu dibakar.

Jawaban saia untuk pandangan ini adalah, "Nggak segitunya, kali?" Memang benar, menciptakan bahasa sendiri itu kerap lebih ribet dan lebih melelahkan daripada menyandikan. Tapi di lain pihak, menciptakan bahasa sendiri itu menyenangkan; dan kata siapa untuk bersenang-senang seseorang harus jadi ahli linguistik, atau minimal lulusan fakultas ilmu budaya dulu?

Saia yakin, siapapun bisa menciptakan babi buatan sendiri yang lumayan. Tapi yang bersangkutan sebaiknya memerhatikan sedikitnya dua hal, yaitu kesamaan rasa dan tata bahasa.

  
***

  
~ Bab VI ~
~ Kesamaan Rasa dan Tata Bahasa ~

  
Oh yea. Saia tahu gimana rasanya kalau kita mulai memikirkan kata-kata aneh untuk dipakai di dalam conlang. Tarzan akan lebih badass 1000 kali lipat kalau dia mengatakan "Kreegah!" alih-alih, "Tak pateni kowe!"

(Sejujurnya, ada awesomeness tersendiri kalau Tarzan sampai bilang “Tak pateni kowe!” Apalagi kalau beliau mengatakannya sambil berayun di sulur dan memakai blangkon. But that, of course, is another story.)

Karena perasaan inilah, banyak di antara kita mulai dengan menciptakan kosakata. Tapi kembali lagi, ingat bahwa dalam menciptakan kata, kita harus memerhatikan kesamaan rasa. Mari kita lihat contoh kosakata bahasa Elf di dalam novel Icylandar: The Elf's Kingdom karya Mbak Dionvy, seperti berikut:
 
  
nana: Ibu
rayko: Ayah
estenolis: Raja
bairanet: Selamat pagi (diucapkan kepada perempuan)
Glaudio-elmes: Pegasus emas, nama lambang kerajaan Icylandar
Jǻroz : api sihir super speshul yang sangat kuat
Dẽrai-ắmon: Nama tongkat sihir Jenderal Ababil Yaoi Antolin (Sungkem maap untuk Mbak Dionvy! Saia fangirl si Jenderal dengan segala kekejuan lebaynya, sungguh! Tapi dia emang ababil dan yaoi, jadi saia gak tahan pengen nyelak.)

  
Wow. Bikin terkesan gak sih? Sangat!

Serius. Pas saia melihat babi ini, saia terkesan. Amati lima kata pertama. Semuanya enak dibaca dan nyaman diucapkan. Plus, jika kita mengira-ngira pembagian suku kata dan memerhatikan bunyi vokal-konsonannya, ada kesan kalau semua kata itu diciptakan di dalam satu budaya. Dengan kata lain, kalau hanya mengamati lima kata tersebut, babi ini kesamaan antar katanya baik. Antara satu kata dan kata lain ada semacam pola yang menimbulkan kesan bahwa semua kata itu benar-benar berasal dari satu bahasa.

Kemudian kita akan melihat aspek lain. Dua kata terakhir, silakan coba ucapkan.

Bingung? Oh yea!

Saia bukan ahli bahasa. Saia nggak sama sekali buta membaca diakritik, tetapi pengetahuan saia terbatas cuma sampai pada bagaimana membaca acute (ˊ) dan grave (ˋ). Itu juga nggak sempurna. Jadi diakritik-diakritik yang sangat tidak umum ini bikin saia kesulitan.

Tapi saia mencoba membaca kedua kata itu tanpa memerhatikan diakritiknya, dan masih menemukan kesan padu dengan lima kata pertama. Jadi saia berasumsi bahwa diakritik di dalam kedua kata tersebut sebetulnya ga usah dipusingin. Hal ini kita kenali sebagai fenomena Heavy Metal Umlaut alias Diakritik Boleh Gaya Doang. Tanda-tanda di huruf itu benernya nggak ngaruh sama cara bacanya. Cuma hiasan aja, biar kelihatan eksotik, getoh.

Jadi, no problemo? Not so fasto.

To be fair, saia akan bandingkan diakritik bahasa Elf dengan apa yang saia ketahui tentang diakritik di dalam bahasa Irish-Gaelic. Bahasa ini mengenal pemberian diakritik acute pada huruf-huruf vokal, yang disebut fada. Huruf dengan fada dibaca berbeda dari huruf tanpa fada. Kalau dalam bahasa kita, kira-kira seperti perbedaan membaca huruf  “e” dalam “senyap” dan “tempe”.

Jadi, kelihatan kalau fada itu memiliki fungsi dan aturan pakai. Sebaliknya, Diakritik Boleh Gaya Doang di dalam bahasa Elf ini nggak. Ini menimbulkan pertanyaan. Kok di dalam bahasa Elf ada kata yang pake diakritik aneh, ada yang nggak? Lebih membingungkan lagi, nggak ada penjelasan kapan suatu kata harus pake diakritik dan kapan nggak, atau kata (macam) apa saja yang pake diakritik dan kata apa saja yang nggak. Kenapa lima kata pertama nggak ada satu hurufnya pun yang pake diakritik? Kenapa lima kata kedua ada?

Aturan-aturan pemakaian diakritik ini nggak jelas. Sebab itu, kehadirannya menimbulkan masalah kesamaan rasa. Penulisan dua kata terakhir itu nggak padu dengan kata-kata lainnya.

Saia pengen ngambil contoh Fiksi Fantasi Indonesia lain lagi, yaitu bahasa Elvar di dalam seri Ther Melian karya Sis Shienny M. S. Berikut contoh kosakatanya:

  
aeger: batu
aundra: air
ecendius: api
selicas: pasak
perixus: dinding
glacius: es
sollenius: asam

  
Sama seperti babi Elf di Icylandar, kesamaan rasa antar kata-katanya cukup baik. Nggak ada kata yang terkesan out of place, dan nggak ada diakritik aneh. saia bahkan merasakan aura pseudo-latin dari akhiran –us dan –a.

Yang sedikit berbeda dari bahasa Elf Icylandar, adalah bahwa di sepanjang keempat buku Ther Melian, babi Elvar hanya dipakai di dalam bentuk mantra sihir, yang biasanya terdiri dari gabungan dua kata. Misalnya seorang penyihir ingin menciptakan dinding es, maka dia harus mengucapkan “Perixus Glacius!”  Dengan kata lain, kita bisa melihat ada tata bahasa sederhana yang relatif konsisten disini.

Dan bicara soal tata bahasa yang konsisten, saia ingin menyinggung sedikit tentang pembentukan kata. Mari kita intip beberapa kata di dalam bahasa Dothraki dari serial Game of Thrones di bawah ini, semuanya saia ambil dari resource di situs Lekh Dothraki.

  
khal: gelar untuk pemimpin dari satu kelompok kaum Dothraki, raja
khaleesi: gelar untuk istri dari pemimpin kelompok kaum Dothraki, ratu
khalasar: satu kelompok yang setia pada satu khal
khalakka: anak lelaki seorang khal, pangeran
khalakki: anak perempuan seorang khal, putri

  
Perhatikan bagaimana kata khal dipakai sebagai dasar untuk membentuk semua kata lain yang memiliki kaitan dengan raja. Jika penulis menciptakan babi sendiri, perhatikan hubungan antara kata dasar dan kata-kata lain yang mungkin berkaitan dengannya.

Jangan sampai kita menciptakan kata grabak untuk menyebut “sapu” dan nono untuk “menyapu,” misalnya. Kata yang berhubungan memang tidak harus selalu memiliki unsur yang sama, contohnya air dan es di dalam bahasa Indonesia. Namun, jika terlalu banyak kesenjangan seperti yang sudah saia contohkan, ada resiko believability suatu babi akan jatuh. Oleh karenanya, saia menyarankan untuk menciptakan keterkaitan-keterkaitan semacam ini untuk membuat babi kita lebih kelihatan believable.

     
***

  
~ Bab VII ~
~ Penting Gak Sih Babi Itu Ada di Cerita? ~

  
Bagian saia tulis untuk menjawab pertanyaan Semit a.k.a Sasmito Yudho Husodo pada komentar untuk posting babi sebelumnya.

Kita bisa membuat babi—baik dengan penyandian maupun dengan menciptakannya dari dasar—sekedar untuk bersenang-senang. Tetapi ada kalanya kita menemukan suatu babi di dalam sebuah cerita, yang sebenarnya nggak memberi pengaruh terlalu besar pada jalannya cerita atau pembangunan suasana dunia. Ini menimbulkan pertanyaan. Sebenernya penting gak sih susah payah bikin babi kalau cuma buat ditempelin/dipakai seiprit doang?

Kalau seseorang punya banyak waktu dan memang suka bikin babi, maka barangkali itu penting buat senang-senang dan olah otak. Tapi dari sudut pandang orang yang tidak punya banyak waktu untuk menulis, jawabannya jelas: GAK PENTING!

Sebab itu, saia berprinsip bahwa semakin babi itu memiliki signifikansi di dalam cerita, semakin baik. Kalau cerita itu bisa jalan tanpa babi, dan suasananya pun bisa tergambar jelas tanpa babi, maka lebih baik saia gak kelewat bersusah payah bikin babi. Entah gunakan bahasa Indonesia yang saja, atau gunakan babi yang sederhana.

Bagaimana contoh babi yang signifikan di dalam cerita?

Kembali ke contoh Ther Melian. Bahasa Elvar digunakan untuk melakukan sihir. Satu poin ini sudah menunjukkan bahwa babi itu berguna di dalam cerita.

Meskipun begitu, ada beberapa hal yang bisa dipertanyakan. Misalnya, kalau bangsa Elvar memakai bahasa ini dalam melakukan percakapan sehari-hari, apa ga repot? Bahasa itu memiliki kekuatan magis. Susah membayangkan mereka memakai bahasa itu di dalam percakapan sehari-hari tanpa terjadi kecelakaan-kecelakaan merapal mantra, padahal sebetulnya mereka ga bermaksud menggunakan sihir.

Bayangkan situasi ini. Lagi ada kebakaran. Beberapa Elvar yang ngelihat barangkali ngomong, “Api! Api!” yang kalau kita terjemahkan ke dalam bahsa elvar akan menjadi “Ecendius! Ecendius!

Nah. Bisa bayangkan apa yang berikutnya terjadi? Karena ecendius juga mantera sihir, para Elvar malang ini tanpa sengaja merapal mantra aji eh salah mantra api dalam kepanikannya. Mantra itu kemudian meletupkan sumber api baru yang malah memperbesar kebakaran. 

Kejanggalan semacam ini berpotensi mengurangi believability dalam pembangunan dunianya. Kalau suatu babi malah terlalu jauh mengurangi believability, bukannya memperkuat worldbuilding, maka mungkin fungsi dan keberadaan babi di dalam dunia itu perlu dikaji kembali.
  
***

~ Bab VIII ~
~ Rasa dan Budaya ~

  
Beberapa teman, seperti Yin dan AbyssCrawler, juga menyinggung poin penting tentang budaya dan bahasa. Situasi hidup yang dihadapi suatu bangsa bisa berpengaruh pada bahasa mereka, seperti yang kami diskusikan pada tautan di atas. Lagipula, jika pengaruh itu tidak ada, bagaimana kita menjelaskan bagaimana Bahasa Altai terpecah-pecah hingga menghasilkan Bahasa Turki, Mongol, Korea, dan Jepang?

Bagaimana hal ini berpengaruh pada pembuatan babi? Seperti yang bisa dilhat dari salah satu poin yang diangkat oleh AbyssCrawler, orang akan merasa aneh kalau ada bangsa yang memiliki budaya canggih mulus ala negara Esthar di Final Fantasy VIII bicara dengan bahasa guttural dan pendek-pendek kayak kata-kata bahasa Klingon. Manusia umumnya memiliki persepsi tertentu tentang bunyi-bunyi kata yang dianggap canggih, yang sederhana, yang kasar, halus, tinggi, rendah, agung, jelata, dsb. Saia kira, inilah salah satu alasan kita mengenal bahasa Jawa Ngoko, Kromo, dan Kromo Inggil.

Seorang penulis fiksi bisa memanfaatkan persepsi ini untuk melakukan worldbuilding subtil melalui babi. Dengan kata lain, kalau kita menciptakan bangsa yang agung dan jago sihir, cobalah untuk membuat babi yang merefleksikan keagungan dan kemagisan itu.

Saia ingin mengambil contoh dari sebuah buku lama, The Riddle of the Wren karya Charles de Lint. Di dalam buku ini, ada sebuah surga yang di dalamnya berdiam tiga bangsa dewa. Salah satunya adalah dewa-dewa penguasa alam yang mirip elf dan tinggal di hutan. Bayangkan kaum Vanir dalam mitologi Norse. Atau Aos Sí dalam mitologi Irlandia. Atau dryad dan satyr dalam mitologi Yunani, hanya saja dikasih wewenang lebih gede. Buat yang nggak suka mitologi, bayangkan elf penghuni Lothlórien disilangkan dengan Native American. Atau kaum hippies yang selamanya cakep dan cantik dan bisa make sihir.

Yep. Saia harap anda sudah ngeh mereka kira-kira seperti apa. Mereka disebut bangsa Weren, dan menggunakan bahasa yang disebut Sennayeth. Kosakatanya saia kutip di bawah ini.


arluth: tuan, penguasa
WerenArl: dari weren-arluth, Penguasa kaum Weren   
Avenveres: “Tanah Pertama,” kira-kira sama dengan Firdaus  
caeldh: buka, perintah yang dipakai untuk membuka gerbang magis
caryaln: “maut-bayang,” sebutan untuk sejenis senjata
freycara: “saudara sejiwa”,  kira-kira sama dengan saudara angkat
silhonell: “dunia di mana jiwa-jiwa berjalan”, kira-kira sama dengan alam roh
tervyn: tutup, perintah untuk menutup gerbang magis
ster-arghan: “perak-bintang,” sejenis logam berharga
llan: Yang Mulia, yang suci, tetua, bergantung pada konteks
 

Dari definisi dan bunyi kata-katanya, kita bisa merasa bahwa bahasa ini memang wajar dan pas untuk dewa-dewi alam.

Bandingkan ini dengan bahasa Dothraki yang sudah saia sebut sebelumnya. Ada di antara kita yang saia yakin sudah tahu bangsa Dothraki seperti apa, tapi untuk mereka yang nggak mengikuti GoT dengan rajin (seperti saia, sebetulnya,) mereka adalah apa yang kita dapat kalau Umbrella Corporation memutuskan untuk mengkloning Conan the Barbarian alih-alih Milla Jovovich, lalu memberi mereka semua kuda dan pedang alih-alih senapan mesin.

Berikut contoh beberapa kosakata Dothraki:

  
graddakh: buangan, sampah, ampas, t*i dalam arti makian
hlizifikh: sabetan pedang yang membabi buta
jahak: kepangan rambut pria Dothraki
memzir: kicauan burung, alias... tweet. Hmmmm...
najahak: pemenang
shierak: bintang
thagwa: susu asam
zhor: jantung
Hoyali Jeshi ma Vorsasi: Nyanyian Es dan Api (Well, obviously!)

   
Sekali lagi, kita bisa membayangkan bagaimana kalimat-kalimat ini dipakai oleh kaum seperti kaum Dothraki. Kecenderungan untuk menyelipkan serta mengakhiri kata dengan konsonan keras mencerminkan betapa mereka adalah bangsa yang juga berkarakter keras.

Jadi, inilah akhir dari bagian kedua, sekaligus akhir dari posting saia tentang babi. Semoga bisa berguna bagi anda semua, dan sampai posting berikutnya, semper excelsior.




Luz Balthasaar
Memzir... *brb stalking Khal Drogo di Twitter*

18 komentar:

Chwilyswr mengatakan...

Ho. gaya babi yang kental dan populer keknya emang yang, antara ke-elf-elf-an atau ke-orc-orc-an yak? dua sisi ekstrim kerapuhan?

ke sudut lain gimana? misalnya, babi bangsa pedagang, apakah akan panjang-panjang katanya supaya langsung mampu menggambarkan maksud spesifik to the point biar hemat waktu(time is money)? atau justru kata-katanya dibuat sangat pendek(time is money lagi) tapi sengaja dibuat terbuka dalam banyak interpretasi, memungkinkan komunikasi yang berpuluh-puluh arah?

eh eh lain kali bahas Ithkuil dong bos Luz~

::Khuilasur::

Shienny M.S. mengatakan...

uwaaa TM dipake buat contoh *blush*

eniwei makasih buat tips nya dalam menulis babi *catat catat* ini bakal berguna utk mengembangkan kosakata babi Elvar di TM yang masih limited, belom lagi babi lain di universe TM kalo misalnya dibutuhkan utk dikembangkan XD

cuma nambahin sedikit aja (tapi ini mungkin partly kekhilafan gw juga yg lupa menjelaskan di dalam cerita) Babi di TM sebenarnya nggak punya kekuatan sihir tersendiri (spt di Eragon) jadi kalopun ada yg ngeliat kebakaran dan teriak2 "Ecendiussss!!!!" selama dia bukan magus dan nggak ada intensi mengonsumsi MP *plak* err intensi mengerahkan sihir, nggak bakalan kejadian apa2 sih XD

tapi masukannya bagus, I'll keep that in mind ^_^

Anonim mengatakan...

wuoo nama saia disebut <3 <3

(eh ini yin)

Fenny Wong mengatakan...

Wah, another good article from Luz.
Sejauh ini saya selalu menghindari penggunaan babi karena kalau salah digunakan, saya ngerasa bisa fatal dalam world building cerita.
Tapi setelah saya mencoba untuk melakukan world building itu sendiri, saya ngerasa babi itu nggak bisa nggak digunakan, karena babi itu tercermin pada penamaan karakter-karakter dan tempat.
Rasanya, pendapat saya loh ya, nama karakter juga termasuk ke dalam babi.
Hehe.

Chwilyswr mengatakan...

@Fenny Wong, iya sepakat, nama karakter, nama tempat, penyebutan benda-benda, itu musti masuk Babi. Dan kalau gak ngebuat babi, mestinya disetarain semua ke padanan bahasa Indonesia biar perlakuannya sama karena nggak berbabi. Tapi sesungguhnya saya tidak paham apa yang saya ketik di sini.

o...TL

Fenny Wong mengatakan...

@chwilyswr: wah kalau itu saya ga setuju. dicari padanan katanya ke Bahasa indonesia sih susah. Gimana caranya nge translate, misal, nama Legolas? Jadi Jaka?
Intinya menurutku babi itu mau ga mau harus dibuat (dalam worldbuilding fantasy maksudnya).... Walaupun dipakenya hanya sesubtil untuk sekedar nama.... IMHO.

Anonim mengatakan...

Setuju dengan Cuilsiwer!

Kalo di dialognya "ditrenslet" ke bahasa Indonesia, kenapa nama-namanya enggak sekalian ditrenslet ke bahasa Indonesia? LOTR aja mentrenslet babinya ke bahasa Inggris (Karningul jadi Rivendell, Khazad-dum jadi Dwarrowdelf, Rochan jadi Riddermark) kenapa kita gak bisa?

Tentang Legolas... itu bahasa Sindar yang kalo diingrisin jadi Greenleaf. Mau dijadiin bahasa Indonesia? Gampang, jadi Patera.

Selamat berbabi :D

Luz Balthasaar mengatakan...

@Semitsiwersiwer: sebetulnya gak cenderung 2 itu. Kebetulan 2 novel Fiksi Fantasi Indonesia yang babinya oke sama2 ngebahas soal elf, dan bahasa Dothraki relatif dikenal oleh rata2 pecinta fikfan sekarang. Jadi itulah yang saia pakai.

Lagian ada bagusnya juga. Kalau dikontraskan gitu yang baca akan mudahg ngebedain kan. Jadi mereka akan lebih gampang paham. kalau mereka dah paham, silakan aja bikin babi ala pedagang tergantung persepsi dia sendiri. :))

Soal Ithkuil... ini saia gak ada resourcenya, jujur. Dan bahasanya keknya ribet. Kalau dikau ada waktu pelajarinnya, dikau aja yang kasih kuliah Ithkuil di twitter. Saia bantuin RT deh. XD

On the other hand, saia tahu Calvin Michel Sidjaja pernah bikin novel Jukstaposisi yang bahasa dewanya mirip banget sama Ithkuil...

***

@Sis Shien,

Nyar, tenang aja. Sekalipun nyelip dikit atau ada yang lupa dijelasin (atau memang persepsi saia yang selip,) selama selip itu ga ngurangin believability terlalu banyak, ya pembaca umumnya nggak akan komplain gede-gedean.

Buat saia, nulis itu ga usa perfect. Good enough is okay. Kalau ada kekurangan yang saia tunjuk, like u said, itu memang cuma catatan yang bisa dipakai seandainya mau dikembangkan lagi. :3

Luz Balthasaar mengatakan...

@Yin *menimpuk* hayo sotoyin saia lagi biar ada bahan buat minggu depan ~!

***

@Fenny, Om Semitwer dan Bang Bowo: Un, ada baiknya memang, bikin Babi untuk penamaan tokoh. Tapi kalau buat saia gak mutlak ya.

Nama tokoh gak selalu harus pakai babi, dan kalau gak ada babi maka nama tokoh harus pakai bahasa Indonesia. Konsistensi aturan berbahasa bukan satu-satunya pedoman dalam nulis cerita.

Saia sendiri menimbang kelaziman dan kenyamanan pembaca sebisa mungkin. Nyaman nggak kalau nama ini ditrenslet jadi nama Indonesia? Membingungkan atau tidak? Perlu atau nggak? Cocok dengan aturan dunianya pa nggak?

Setahu saia, di universe LotR, bahasa Inggris itu common tongue. Maka wajar kalau ada nama tempat diterjemahkan ke bahasa Inggris. Itu juga alasannya terjemahan LotR di Indonesia gak ganti nama Legolas jadi Patera. Bahasa Indonesia nggak ada di universe itu. Lagipula, mengubek2 canon LotR dengan mengganti common tongue menjadi bahasa selain Inggris bukanlah hak penerjemah.

In the end, konsistensi memang penting. Namun, seperti semua alat dan aturan, ada takaran dalam memakainya.

yin mengatakan...

Enggak kepikiran mau kasi soto(y) apa >< (stok soto abis)

Tapi saia masi penasaran soal translit, bikinin entry buat translit donk

Masalahnya saia kesulitan menulis babi saia dengan abjad latin ihix ihix

Maunya ada babi yang cara bacanya kaya orang kulum lidah gitu, jadi lidah selalu melungker di tengah mulut sambil ngomong blabla
Kan bunyi yang keluar khas tuh

Tapi enggak bisa nulisnya dalam huruf latin

Jadilah ujung2nya saia pake jurus mengacau ria (tulis sembarangan)

Terus ditambahin kalo kecuali bangsa mereka sendiri enggak ada yang bisa nyebut itu nama n bahasa dengan benar biar saia bisa nulis pake sebutan2 turunan ngawur ala bangsa2 lain :v :v :v
(pengarangngaco.org)


Eh terus, gimana cara bikin misalnya ada si A, si B, si C itu punya bahasa ibu berbeda2
Tapi mereka udah mahir bicara dalam bahasa umum

Nah, terus kan biasanya masi keliatan ada khas2 rasa bahasa asal A, B, ato C gitu

Tapi enggak sekedar rusak grammar ato nambahin kata2 dialek gitu
Itu gimana cara bikinnya?

Apa emang ada "teori"nya ato emang itu cuma maen feeling aja?

(semoga pertanyaan saia kali ini cukup jelas)


------------
@harhar
LoTR itu kan emang diplot jadi mitologi Inggris, ya wajar kalo nama2nya bisa ditranslet ke bahasa Inggris tanpa ganti "rasa"nya

Kalo ditranslet ke Indonesia dengan bantuan sanskrit, jawa kuno, dll kok saia ga yakin "rasa"nya masi tetep ada yah?

Shengar mengatakan...

Menarik, jadi ingin minjem buku linguistik punya temen FIB dan bikin (celengan
) babi sendiri. Saya sih ada masukan juga untuk babi. semisal babi nya digunakan secara luas (babi raksasa gitu), alangkah baiknya kalau kita kasih sedikit sentuhan kayak perbedaam dialek. Ini akan sangat berasa di worldbuilding kalau setting nya itu di negara yang luas misalnya. Penggunaan dialek juga bakal berguna bahkan kalau kita gak pake babi sekalipun.

@yin karena akar bahasa Indonesia itu dari Melayu, beda pulau sama bahasa Jawa

Shengar mengatakan...

Menarik, jadi ingin minjem buku linguistik punya temen FIB dan bikin (celengan
) babi sendiri. Saya sih ada masukan juga untuk babi. semisal babi nya digunakan secara luas (babi raksasa gitu), alangkah baiknya kalau kita kasih sedikit sentuhan kayak perbedaam dialek. Ini akan sangat berasa di worldbuilding kalau setting nya itu di negara yang luas misalnya. Penggunaan dialek juga bakal berguna bahkan kalau kita gak pake babi sekalipun.

@yin karena akar bahasa Indonesia itu dari Melayu, beda pulau sama bahasa Jawa

dejongstebroer mengatakan...

maap, aku rasa metode sandi adalah metode conlanging yg paling pas untuk sebuah proyek novel, lebih cepat dan produktif sesuai kebutuhan,, karena kita tidak perlu menghentikan penulisan hanya untuk semata2 mengarang suka-suka sebuah kosakata (atau plus grammar)

Lagipula jika bahasa yg disandikan itu (bahasa sumbernya) punya kerabat, dan bahasa kerabatnya itu juga disandikan, maka kita sudah punya 2 buah conlang yg juga berkerabat {misal conlang hasil penyandian bahasa Jawa dengan conlang hasil penyandian bahasa Tagalog, Sunda, Makkasar, Madura, Batak, dll}, Dan juga sifat2 yg ada di bahasa natural pun juga ada di conlang yg kita ciptakan, seperti sifat irregularitasnya

Jadi ada kemungkinan jika kita sebagai orang yg awam (bukan profesor ahli bahasa sekelas eyang Tolkien), kita akan mengabaikan sifat irregularitas sebuah bahasa seperti perubahan fonem (misalnya di bahasa indonesia me+cari -> mencari, me+sapu -> menyapu, dsb) sehingga cenderung kita mengetrapkan pola seperti mecari/mesapu dalam conlang kita

Lagipula kita juga bisa menyerap karakteristik2 khusus sebuah bahasa sumber untuk conlang kita, seperti aturan perkasusan (deklensi), konjugasi kata kerja, dll dan membuat conlang ciptaan kita juga seunik bahasa sumbernya...

Mizuki-Arjuneko mengatakan...

Mbak, tahu dimana saya bisa dapat referensi tentang rune (terutama yang elder futhark) yang reliable nggak?

Di internet kadang sumbernya membingungkan satu sama lain

Luz Balthasaar mengatakan...

@Dejong, Klo baca posting Babi Halal Bagian 1, saia juga ngebahas unggulnya conlang penyandian itu gimana.

Cuman saia nggak berani bilang itu "PALING" bagus, secara saia udah liat kalau itu gak bebas masalah, terutama di fikfan lokal. Walau ga disangkal ada yang lumayan, sih, kayak Melnics.

Sama dengan kalau bikin dari dasar. Ada bagusnya, yaitu dia berpotensi kelihatan lebih kayak bahasa betulan. Jeleknya ya itu, lamaaaa~ dan banyak itungannya.

***

@Mikazuki,

Ah, saia kebetulan belum pernah nyoba pake futhark. Kalau cari resource, biasanya saia mulai dari wiki, lalu cek semua external link dan reference, dan saia kroscek semua info disitu.

Mengingat reply ini rada telat, semoga saat saia nulis ini dikau dah nemu sumber yg bagus... :D

Luz Balthasaar mengatakan...

@Bang Han, sure, dialek juga bagus untuk nunjukin perbedaan wilayah. Bisa jadi plot point bahkan.

Hanya saja, ingat kalau conlang itu bikinnya lama, tapi mau diapain juga, dia jadi elemen sampingan di dalam novel. Mungkin seperti yang pernah saia post di FB, saia copas kesini deh:


"Babi itu bagian paling unrewarding dari bikin novel deh (kalau emang niatnya bukan bikin novel, ya monggo disesuaikan tingkat perhatiannya thd posting ini). Udah bikinnya lama, ribet, banyak perhitungan... eh, banyak pembaca malah sering ngeskip/nggak peduli sama babi.

Udah gitu, jangan kira pembaca umum benar-benar musingin penjelasan. Kalau penempatan satu elemen cerita gak alami, tetep aja mereka akan berasa keganggu, gak peduli berapa banyak penjelasan yang diberikan pengarang. Memang bisa ketolong kalau penjelasan itu dimasukkan secara alami, atau secara singkat pada bagian-bagian yang nggak mengganggu. Tapi kalau skill pengarang nggak memadai... henshinlah semua itu jadi infodump/tempelan.

Not to say anak2 LCDP gak punya skill, tapi selip ke infodump itu bisa terjadi kepada siapapun, apalagi kalau penulis demikian cintanya ke babi buatan sendiri sampe bikin justifikasi bejibun supaya bahasanya yang keren itu bisa dipake. Daripada buang tenaga, lebih baik meminimalisir dengan membuat babi seperlunya saja. Nggak usah design the whole system if all you need is a few words.

Contoh kasus bahasa Dothraki dari ASOIAF, saja, itu awalnya cuman beberapa kata dibikin2 seadanya sama pengarang. (CMIIW, kalau ada yang tahu lebih dalam, secara saia jelas bukan fans). Tapi begitu serial tipinya populer, mulailah fans menyusun kamus Lekh Dothraki.

Pada akhirnya, conlang itu asik, tapi kalau bikin novel, fokus pada bikin plot, karakter, dan gaya narasi yang oke. Ibaratnya bikin burger, kita gak fokus pada sausnya. Kita fokus pada roti dan dagingnya."

dejongstebroer mengatakan...

Biar bebas masalah ya harus ada finishing dalam proses penyandian itu,, jangan sampai hanya karena unreadable, kata2 dalam conlang hasil karya kita di-skip oleh pembacanya..

Terus juga biar gak kelihatan norak seperti conlang Kedhalu :p , yg akhirnya berdampak pada penurunan mood membaca setelah ketahuan rumusan sandinya, sistem sandi harus dibikin sekreatif mungkin. Bisa digunakan bahasa sumber yang bukan bahasa Indonesia atau sebuah pola rumusan sandi yg tak banyak orang tahu sehingga tidak mudah tertebak maksud sebenarnya dalam bahasa sumber.

Kemudian perlu juga merancang sebuah grammar sederhana sendiri, bisa mempergunakan grammar bahasa natural asing yg disukai. Misal conlanger kebetulan suka dan belajar bahasa Korea, meskipun penyandian memakai bahasa Batak sebagai bahasa sumber, tetapi grammar ala Korea.

Tapi kalau dirasa ribet ya mending gak usah pakai conlang2an. Posisikan saja pada sudut pandang orang pertama di mana sang tokoh utama berbicara suatu bahasa yg diwakili oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar cerita, dan sang tokoh utama tidak paham bahasa lain (yg ada dalam setting cerita). Jadi tidak kebanyakan berbual conlang dalam mainstory kita.

Luz Balthasaar mengatakan...

Ng, begitulah Om Dejong. Sandi juga bisa, makanya saia ngebahas sandi Melnics di pos sebelumnya. Itu satu conlang sandi paling kreatif yang saia tau.

Tapi ya, kekurangannya tetep ada.