Akhir-akhir ini kita banyak melihat buku fiksi fantasi Indonesia yang dikarang oleh penulis remaja. Aku berkesempatan membaca empat, dan sudah merepiu tiga diantaranya. Yang sudah kubaca adalah Eurgava: Epos Awal Dunia Sudarot karya I Tsu Baskara, Another World Elmore karya Aulia M. Firmundia, dan Arquella: The Beginning of the Destiny karya Maaya Hiroshi. Satu yang terakhir, yang masih dalam progress membaca adalah The Chronicles of Willy Flarkies: Petualangan Memasuki Dunia Upside Down karya Satrio Wibowo.
Dari antara keempat novel itu, ada yang sudah bisa kubilang bagus. Ada juga yang masih jelek. Namun, artikel ini bukannya mau ngebahas bagus-jeleknya; anda bisa melihat semua bagus-jelek itu di repiu masing-masing. Aku menulis artikel ini dengan tujuan untuk menyorot respons dan sikap yang diambil oleh orang-orang berkenaan dengan terbitnya buku-buku itu.
Pertama-tama, ijinkan aku sedikit bernostalgi(l)a plus curcol mengenai perjalananku belajar menulis.
Mereka yang mengenal aku barangkali tahu bahwa sebelum proyek Euravia yang sekarang, aku pernah membuat sebuah novel panjang yang mulai kukerjakan saat aku berumur 17. Judulnya Creed of the Fallen, yang kumuat bersambung di Forum Video Games Indonesia beberapa tahun lalu. Novel tersebut sudah selesai kira-kira 4 tahun lalu. Rencananya cerita itu akan ku-remake.
Tapi sebelum Creed, aku pernah mengerjakan satu naskah lain lagi waktu umurku masih sekitar 14-16 tahun. Naskah fiksi fantasi juga, yang dengan gilanya kurencanakan sebagai septalogi.
Waktu mengerjakan naskah itu aku sama sekali nggak niat untuk menerbitkannya. Aku cuma banyak berkhayal dan pengen banget menuangkan khayalan itu di dalam tulisan. Jadi ya aku nulis. Buatku, tulisan itu adalah sarana untuk menuangkan "imajinasi liar tak berbatas". Suatu cara untuk mengungkapkan semua pemikiran dan khayalan pribadiku. Semacam jurnal dalam bentuk cerita.
Tapi kemudian orang tuaku mulai bertanya-tanya kenapa aku begitu lama menghabiskan waktu di depan kompie. Barangkali mereka cemas aku mulai doyan buka-buka situs porno atau belajar menggambar komik hentai. Maka jadilah Nyokap memulai mode interogasi, yang menyebabkan aku harus menjelaskan panjang lebar bahwa aku sedang menulis cerita yang samasekali bukan cerita porno.
Oh, well, kalau kupikir ulang, ada bagiannya yang rada-rada nyerempet sih. But still, it's not pr0n.
Begitu cerita tulisanku lolos inspeksi Nyokap, tahukah anda-anda sekalian bagaimana reaksi beliau?
"OMG, ini luar biasa! Kamu baru umur segini sudah bisa nulis novel yang panjang sekali! Jenius sekali! Imajinasi kamu juga, luar biasa kaya, luar biasa dalam! Hebat sekali! Ini harus diterbitkan!"
Jadilah naskah itu dibawa ke seseorang, sebut saja Om H. Bukan Om Hentai ya. Om H doang. Ceritanya, Om H ini punya koneksi dengan AU dan Penerbitan G.
Iyah, penerbitan G yang itu, G yang bukan Gundam, Gatchaman, apalagi Gundala Putra Petir.
Nyokapku ngasih naskah itu ke dia. Dan tahu reaksinya apa?
"Gila! Ini novel yang bagus! Sangat realistis! Kamu bisa menggambarkan efek tarikan gravitasi pada saat penerbangan pesawat tempur dengan sangat tepat! Ini harus terbit! Saya akan suruh orang-orang AU membacanya!"
Sampai disini, anda-anda sekalian mungkin tidak percaya. But it happened. It really happened to me. Iming-iming penerbitan, di depan mata, dengan begitu mudahnya, waktu aku SMA.
Lalu mereka bawa lagi naskah itu ke entah siapa di Penerbit G. Dan reaksi yang kudengar,
"Luar biasa! Sesuatu sefilosofis ini dikarang sama remaja! Ini pasti Anak indigo!"
Jujur aja, waktu itu aku seneng banget. Siapa coba yang nggak seneng karyanya dihargai? Pakai dikasih predikat "filosofis" sama "indigo" lagi! Uooooh, kedengeran canggih banget!
(Waktu itu aku sama sekali ga tau bahwa bahwa istilah "indigo children" itu cuma label pseudosains yang kandungan kebenarannya kira-kira sama dengan kolom astrologi mingguan tabloid gosip.)
Tapi di balik kesenangan itu, aku menyimpan ragu. Tiap kali melihat naskahku, aku ngerasa ga puas. Aku selalu pengen merevisi naskah itu. Rasanya selalu aja ada yang kurang, atau kalimat yang rasanya cheesy, atau berpotensi mengungkapkan pikiran pribadi yang aku tidak ingin orang lain tahu. Namanya juga itu ungkapan pikiran dan semua imajinasi pribadi dalam bentuk cerita. Isinya ya kebanyakan pikiran-pikiran yang "rasanya lebih baik kalau ini hanya aku yang tahu".
Anda tidak akan membiarkan orang lain membaca diary anda, kan?
Karena itulah, aku sebenernya agak nggak nyaman dengan seluruh rencana penerbitan itu. Beberapa kali aku bahkan mengungkapkan kecemasanku. Beberapa kali aku bilang bahwa aku belum nyaman jika naskahku dibuat jadi hardcopy dan disebar ke delapan penjuru mata angin. But alas, being a kid, nggak ada yang mau mendengar. Yang ada di dalam pikiran mereka cuma satu. "Anak indigo" ini harus tampil. Ia harus diperhatikan. Ia harus melakukan book signing. Ia harus ikut bedah buku, dan segalanya.
Iyah. Semuanya sampai sejauh itu. I swear I am not making this up.
Maka dimulailah Operasi Infiltrasi Penerbit G. Nyokap, Om H, dan temannya, mengajukan naskah itu ke Penerbit G dengan *ehem* make koneksi mereka. Lebih gila lagi, mereka sampai promosi dengan gencar ke semua orang, ke segala handai tolan dan relasi, yang mengatakan bahwa "Hei, kami punya anak luar biasa dan dia akan segera menerbitkan novel yang sangat filosofis!"
Madness? It was. Bahkan buatku, yang gembira karena naskah ini katanya mau diterbitkan, ada sebersit rasa tidak yakin yang membuatku terus-menerus cemas. Bagaimana kalau ternyata novel ini nggak segitu filosofisnya, dan aku ga segitu indigonya? Toh aku cuma anak SMA. Aku ga pernah baca buku filsafat. Itu semua cuma khayalanku. Masa sih khayalan remaja doang bisa bikin aku jadi indigo? Bukannya semua remaja juga berkhayal ya?
"OMG, ini luar biasa! Kamu baru umur segini sudah bisa nulis novel yang panjang sekali! Jenius sekali! Imajinasi kamu juga, luar biasa kaya, luar biasa dalam! Hebat sekali! Ini harus diterbitkan!"
Jadilah naskah itu dibawa ke seseorang, sebut saja Om H. Bukan Om Hentai ya. Om H doang. Ceritanya, Om H ini punya koneksi dengan AU dan Penerbitan G.
Iyah, penerbitan G yang itu, G yang bukan Gundam, Gatchaman, apalagi Gundala Putra Petir.
Nyokapku ngasih naskah itu ke dia. Dan tahu reaksinya apa?
"Gila! Ini novel yang bagus! Sangat realistis! Kamu bisa menggambarkan efek tarikan gravitasi pada saat penerbangan pesawat tempur dengan sangat tepat! Ini harus terbit! Saya akan suruh orang-orang AU membacanya!"
Sampai disini, anda-anda sekalian mungkin tidak percaya. But it happened. It really happened to me. Iming-iming penerbitan, di depan mata, dengan begitu mudahnya, waktu aku SMA.
Lalu mereka bawa lagi naskah itu ke entah siapa di Penerbit G. Dan reaksi yang kudengar,
"Luar biasa! Sesuatu sefilosofis ini dikarang sama remaja! Ini pasti Anak indigo!"
Jujur aja, waktu itu aku seneng banget. Siapa coba yang nggak seneng karyanya dihargai? Pakai dikasih predikat "filosofis" sama "indigo" lagi! Uooooh, kedengeran canggih banget!
(Waktu itu aku sama sekali ga tau bahwa bahwa istilah "indigo children" itu cuma label pseudosains yang kandungan kebenarannya kira-kira sama dengan kolom astrologi mingguan tabloid gosip.)
Tapi di balik kesenangan itu, aku menyimpan ragu. Tiap kali melihat naskahku, aku ngerasa ga puas. Aku selalu pengen merevisi naskah itu. Rasanya selalu aja ada yang kurang, atau kalimat yang rasanya cheesy, atau berpotensi mengungkapkan pikiran pribadi yang aku tidak ingin orang lain tahu. Namanya juga itu ungkapan pikiran dan semua imajinasi pribadi dalam bentuk cerita. Isinya ya kebanyakan pikiran-pikiran yang "rasanya lebih baik kalau ini hanya aku yang tahu".
Anda tidak akan membiarkan orang lain membaca diary anda, kan?
Karena itulah, aku sebenernya agak nggak nyaman dengan seluruh rencana penerbitan itu. Beberapa kali aku bahkan mengungkapkan kecemasanku. Beberapa kali aku bilang bahwa aku belum nyaman jika naskahku dibuat jadi hardcopy dan disebar ke delapan penjuru mata angin. But alas, being a kid, nggak ada yang mau mendengar. Yang ada di dalam pikiran mereka cuma satu. "Anak indigo" ini harus tampil. Ia harus diperhatikan. Ia harus melakukan book signing. Ia harus ikut bedah buku, dan segalanya.
Iyah. Semuanya sampai sejauh itu. I swear I am not making this up.
Maka dimulailah Operasi Infiltrasi Penerbit G. Nyokap, Om H, dan temannya, mengajukan naskah itu ke Penerbit G dengan *ehem* make koneksi mereka. Lebih gila lagi, mereka sampai promosi dengan gencar ke semua orang, ke segala handai tolan dan relasi, yang mengatakan bahwa "Hei, kami punya anak luar biasa dan dia akan segera menerbitkan novel yang sangat filosofis!"
Madness? It was. Bahkan buatku, yang gembira karena naskah ini katanya mau diterbitkan, ada sebersit rasa tidak yakin yang membuatku terus-menerus cemas. Bagaimana kalau ternyata novel ini nggak segitu filosofisnya, dan aku ga segitu indigonya? Toh aku cuma anak SMA. Aku ga pernah baca buku filsafat. Itu semua cuma khayalanku. Masa sih khayalan remaja doang bisa bikin aku jadi indigo? Bukannya semua remaja juga berkhayal ya?
Tapi untungnya, aku ketemu sama seorang editor di Penerbit G yang jadi dewi penyelamatku. Namanya Bu L. Tapi bukan Lara Croft. Bu L ini dengan langsung dan jujur dan ngasih tahu langsung upfront ke aku kalau "Naskah kamu nggak bisa diterbitkan. Ini bukan naskah yang bagus."
Dan dengan satu kata dari dia, terhentilah semua kegilaan itu. Naskahku nggak diterbitkan, nggak ada bedah buku, nggak ada book signing. Nyokap dan Om H nggak menyerah. Mereka mengontak divisi lain penerbit G untuk menerbitkan naskah anak indigo ini. Dan untungnya, di sana juga ada editor yang langsung kirim surat tertulis, langsung bilang kalau naskah itu jelek. Jelek, jelek banget. 2 halaman A4 penuh celaan.
Dan tahukah anda bagaimana reaksiku? Awalnya, aku marah. Tapi aku cepat sadar bahwa aku bukannya marah kepada para editor budiman itu. Aku marah sama orang-orang yang menyebut naskahku bagus padahal kenyataannya nggak. Mereka memberi label "filosofis," "indigo," dan "luar biasa" pada karya yang sebetulnya nggak segitunya istimewa. Apalagi karena mereka menyebarluaskannya, menggembar-gemborkannya kepada begitu banyak orang tanpa peduli pada firasat dan keberatanku. Aku tahu karyaku itu belum bagus, walaupun belum bagus di sisi mananya, aku nggak bisa nunjuk. Yang aku tahu adalah, jika aku ingin membenahinya tiap kali melihatnya, karya itu belum sempurna.
Namun, pertimbanganku nggak penting buat Nyokap dan Om H. Mungkin karena aku cuma "anak kecil yang nggak tahu betapa bagus karyanya sendiri." Yang penting bagi mereka adalah menunjukkan karyaku, membuat aku jadi terkenal, menampilkan aku dalam bedah buku dan book signing.
Oleh karena itu, aku sangat berterima kasih pada Bu L dan Editor Surat karena mereka menolakku. Jujur, aku sangat, sangat, lega, karena aku tahu memang naskah yang kubuat belum sempurna, apapun yang dikatakan orang lain.
Lalu, Nyokap dan Pak H berusaha menghibur aku, dan bilang penolakan itu biasa bla-bla-bla bahwa nanti mereka akan mencari penerbit lain. Mereka nggak mengerti kalau aku senang, bukannya sedih; maka aku bilang, nggak usah, karena naskah itu memang belum bagus.
Tebak reaksi Nyokap?
Tapi ya, waktu itu aku belum sesinis sekarang. Katakan saja Nyokap menerima versi lebih lembut dari gugatan itu, hehehe.
Dan dengan satu kata dari dia, terhentilah semua kegilaan itu. Naskahku nggak diterbitkan, nggak ada bedah buku, nggak ada book signing. Nyokap dan Om H nggak menyerah. Mereka mengontak divisi lain penerbit G untuk menerbitkan naskah anak indigo ini. Dan untungnya, di sana juga ada editor yang langsung kirim surat tertulis, langsung bilang kalau naskah itu jelek. Jelek, jelek banget. 2 halaman A4 penuh celaan.
Dan tahukah anda bagaimana reaksiku? Awalnya, aku marah. Tapi aku cepat sadar bahwa aku bukannya marah kepada para editor budiman itu. Aku marah sama orang-orang yang menyebut naskahku bagus padahal kenyataannya nggak. Mereka memberi label "filosofis," "indigo," dan "luar biasa" pada karya yang sebetulnya nggak segitunya istimewa. Apalagi karena mereka menyebarluaskannya, menggembar-gemborkannya kepada begitu banyak orang tanpa peduli pada firasat dan keberatanku. Aku tahu karyaku itu belum bagus, walaupun belum bagus di sisi mananya, aku nggak bisa nunjuk. Yang aku tahu adalah, jika aku ingin membenahinya tiap kali melihatnya, karya itu belum sempurna.
Namun, pertimbanganku nggak penting buat Nyokap dan Om H. Mungkin karena aku cuma "anak kecil yang nggak tahu betapa bagus karyanya sendiri." Yang penting bagi mereka adalah menunjukkan karyaku, membuat aku jadi terkenal, menampilkan aku dalam bedah buku dan book signing.
Oleh karena itu, aku sangat berterima kasih pada Bu L dan Editor Surat karena mereka menolakku. Jujur, aku sangat, sangat, lega, karena aku tahu memang naskah yang kubuat belum sempurna, apapun yang dikatakan orang lain.
Lalu, Nyokap dan Pak H berusaha menghibur aku, dan bilang penolakan itu biasa bla-bla-bla bahwa nanti mereka akan mencari penerbit lain. Mereka nggak mengerti kalau aku senang, bukannya sedih; maka aku bilang, nggak usah, karena naskah itu memang belum bagus.
Tebak reaksi Nyokap?
Beliau ngamuk-ngamuk ke aku karena "menyerah sebelum berperang." Nggak ada yang mau mendengar penjelasanku bahwa masalahnya bukan disitu. Aku tahu karyaku masih jauh dari bagus. Tapi apa yang aku tahu nggak penting. Yang penting adalah tujuan mereka, yaitu, kuulangi, menunjukkan karyaku, membuat aku jadi terkenal, menampilkan aku dalam bedah buku dan book signing.
Jujur aja, aku jadi pengen ngomong, "Nyok, benernya gue ini anak loe, apa macan sirkus?"
Jujur aja, aku jadi pengen ngomong, "Nyok, benernya gue ini anak loe, apa macan sirkus?"
Tapi ya, waktu itu aku belum sesinis sekarang. Katakan saja Nyokap menerima versi lebih lembut dari gugatan itu, hehehe.
Tentunya, apa yang kualami ga dialami oleh semua penulis remaja juga. Tapi aku mengamati bahwa di jaman dulu, problem yang dihadapi anak-anak yang ingin jadi penulis fantasi / seniman / pemusik / profesi nyeleneh lain adalah bahwa orang tua menentang dan merepresi hobi mereka. Nah, di jaman ini ada lagi masalah baru: mendukung tapi kebablasan.
Mungkin orang dewasa / ortu ngerasa kalau mereka selama ini terlalu repsresif. Mereka pikir, ngasih kritik akan mematikan kreativitas si anak. Karena itu mereka ngasih dukungan tanpa syarat, ga peduli karya itu baik atau buruk, come hell and high water.
Padahal, menurutku ini sangat keliru. Kritik dan represi terhadap aspirasi anak itu adalah dua hal yang berbeda. Represi menghambat mereka dalam menempuh proses untuk bisa melakukan apa yang mereka sukai. Kritik tidak menghambat. Kritik hanyalah penilaian jujur akan hasil usaha mereka.
Lihat bedanya? Jika anda merepresi, anda menghambat proses anak anda untuk menjadi lebih baik pada bidang yang mereka sukai. Anda melarang mereka untuk melakukan apa yang mereka sukai. Ga boleh main gitar. Ga boleh gambar komik. ga boleh menulis. Itu represi.
Namun, Jika anda mengkritik, anda mungkin mengatakan bahwa apa yang mereka hasilkan masih jelek. Namun, anda tidak melarang mereka untuk mencoba lagi. Anda tidak melarang mereka untuk berusaha lagi, agar di lain waktu mereka bisa kembali dengan hasil yang lebih baik.
Satu menghambat proses, satu menilai hasil.
Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa tulisan-tulisan para novelis remaja ini hendaknya disikapi dengan kepantasan. Janganlah mereka direpresi. Tapi jangan juga mereka didukung tanpa syarat, bahkan sampai diberi label berat yang sebenernya ngaco, macam "indigo" atau "filosofis".
Ibaratnya, kalau kita pake analogi lagu, si anak jangan dilarang nyanyi. Tapi janganlah, kalau dia baru bisa nyanyi di kamar mandi, dia udah digadang-gadang sebagai the next Gita Gutawa. Keduanya adalah bentuk ketidakadilan pada si pengarang muda. Satu melarang, satunya membebani.
Bayangkan apa jadinya, jika suatu saat si anak tahu bahwa sesuatu yang dulu digadang-gadang sebagai "luar biasa" dan "karya revolusioner" itu sebenernya bukan apa-apa...
Mungkin nggak semua anak sesinis aku. But there will be consequences.
Aku menyelidiki beberapa latar belakang pengarang muda ini, dan menemukan bahwa yang paling bagus diantara mereka sepertinya sudah mendapat dukungan dengan tepat, walaupun masih kekurangan promosi. Syurkurlah. Ada juga yang agak direpresi, tapi untunglah sama sekali tidak dilarang mengejar cita-cita. Ada juga yang belum jelas. Ada juga yang mengalami apa yang pernah kualami, dan sayangnya dia nggak ketemu sama Bu L atau Editor Surat.
Dan begitu karya ini kukritik, seperti biasa, rekan dan handai taulan beramai-ramai melontarkan tuduhan dan pembelaan yang... yah, silakan dibaca sendirilah. Mereka tidak tahu bahwa aku sudah pernah mengalami hal yang sama, dan aku tahu seperti apa rasanya menemukan sendiri bahwa karya kita nggak sebagus apa yang dikatakan orang-orang.
Aku merasa bahwa jika aku bicara mengenai karya ini secara lugas, jujur, dan terus terang, maka sedikitnya ada yang mau mengatakan kebenaran. Bu L dan Editor Surat sudah berbuat baik dengan tidak membohongi aku. Karena itu, aku juga nggak akan mengkhianati perbuatan baik mereka dengan membohongi orang lain.
Dan sekarang? Aku masih giat dan senang belajar menulis. Dalam waktu dekat aku yakin aku bisa menghasilkan naskah yang akan membuat Bu L dan Editor Surat senang. Sedikitnya karena mereka telah mengkiritik dan aku tidak patah semangat! Begitu naskahku selesai, aku akan mencoba mengirimkan karyaku ke semua penerbit yang kukira baik. Termasuk penerbit G, dan kali ini tanpa koneksi dari Om H, yang sebetulnya sangat bisa kupakai. I'm not gonna do that again. Ever. Mungkin nanti ditolak karena alasan pertimbangan pasar dan tebal naskah, tapi itu kan baru kemungkinan, hehehe.
Wokeh, sesi curhat sudah cukup untuk hari ini. Minggu depan kita akan kedatangan tamu agung di blog ini. Siapa dia? Masih rahasia. Tapi dijamin beliau akan membawa pencerahan yang terang-benderang dan agung bagi kita semua.
Luz Balthasaar
Mungkin orang dewasa / ortu ngerasa kalau mereka selama ini terlalu repsresif. Mereka pikir, ngasih kritik akan mematikan kreativitas si anak. Karena itu mereka ngasih dukungan tanpa syarat, ga peduli karya itu baik atau buruk, come hell and high water.
Padahal, menurutku ini sangat keliru. Kritik dan represi terhadap aspirasi anak itu adalah dua hal yang berbeda. Represi menghambat mereka dalam menempuh proses untuk bisa melakukan apa yang mereka sukai. Kritik tidak menghambat. Kritik hanyalah penilaian jujur akan hasil usaha mereka.
Lihat bedanya? Jika anda merepresi, anda menghambat proses anak anda untuk menjadi lebih baik pada bidang yang mereka sukai. Anda melarang mereka untuk melakukan apa yang mereka sukai. Ga boleh main gitar. Ga boleh gambar komik. ga boleh menulis. Itu represi.
Namun, Jika anda mengkritik, anda mungkin mengatakan bahwa apa yang mereka hasilkan masih jelek. Namun, anda tidak melarang mereka untuk mencoba lagi. Anda tidak melarang mereka untuk berusaha lagi, agar di lain waktu mereka bisa kembali dengan hasil yang lebih baik.
Satu menghambat proses, satu menilai hasil.
Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa tulisan-tulisan para novelis remaja ini hendaknya disikapi dengan kepantasan. Janganlah mereka direpresi. Tapi jangan juga mereka didukung tanpa syarat, bahkan sampai diberi label berat yang sebenernya ngaco, macam "indigo" atau "filosofis".
Ibaratnya, kalau kita pake analogi lagu, si anak jangan dilarang nyanyi. Tapi janganlah, kalau dia baru bisa nyanyi di kamar mandi, dia udah digadang-gadang sebagai the next Gita Gutawa. Keduanya adalah bentuk ketidakadilan pada si pengarang muda. Satu melarang, satunya membebani.
Bayangkan apa jadinya, jika suatu saat si anak tahu bahwa sesuatu yang dulu digadang-gadang sebagai "luar biasa" dan "karya revolusioner" itu sebenernya bukan apa-apa...
Mungkin nggak semua anak sesinis aku. But there will be consequences.
Aku menyelidiki beberapa latar belakang pengarang muda ini, dan menemukan bahwa yang paling bagus diantara mereka sepertinya sudah mendapat dukungan dengan tepat, walaupun masih kekurangan promosi. Syurkurlah. Ada juga yang agak direpresi, tapi untunglah sama sekali tidak dilarang mengejar cita-cita. Ada juga yang belum jelas. Ada juga yang mengalami apa yang pernah kualami, dan sayangnya dia nggak ketemu sama Bu L atau Editor Surat.
Dan begitu karya ini kukritik, seperti biasa, rekan dan handai taulan beramai-ramai melontarkan tuduhan dan pembelaan yang... yah, silakan dibaca sendirilah. Mereka tidak tahu bahwa aku sudah pernah mengalami hal yang sama, dan aku tahu seperti apa rasanya menemukan sendiri bahwa karya kita nggak sebagus apa yang dikatakan orang-orang.
Aku merasa bahwa jika aku bicara mengenai karya ini secara lugas, jujur, dan terus terang, maka sedikitnya ada yang mau mengatakan kebenaran. Bu L dan Editor Surat sudah berbuat baik dengan tidak membohongi aku. Karena itu, aku juga nggak akan mengkhianati perbuatan baik mereka dengan membohongi orang lain.
Dan sekarang? Aku masih giat dan senang belajar menulis. Dalam waktu dekat aku yakin aku bisa menghasilkan naskah yang akan membuat Bu L dan Editor Surat senang. Sedikitnya karena mereka telah mengkiritik dan aku tidak patah semangat! Begitu naskahku selesai, aku akan mencoba mengirimkan karyaku ke semua penerbit yang kukira baik. Termasuk penerbit G, dan kali ini tanpa koneksi dari Om H, yang sebetulnya sangat bisa kupakai. I'm not gonna do that again. Ever. Mungkin nanti ditolak karena alasan pertimbangan pasar dan tebal naskah, tapi itu kan baru kemungkinan, hehehe.
Wokeh, sesi curhat sudah cukup untuk hari ini. Minggu depan kita akan kedatangan tamu agung di blog ini. Siapa dia? Masih rahasia. Tapi dijamin beliau akan membawa pencerahan yang terang-benderang dan agung bagi kita semua.
Luz Balthasaar
30 komentar:
ganbate, sis....
*calon pengantre pertama begitu nopelmu dirilis*
--Ijul--
Hm sebenernya selama ini aku belum pernah dapet definisi eksak nan pasti tentang istilah berikut ini: cheesy/keju dan cardboard/kardus. Tolong minta petunjuk donk tentang dua definisi istilah gaul itu? THX!
Heinz
@Mas Ijul, yaaa, didoakan aja dapat penerbit deh, hehe. Dan jangan segan2 ngehujat yah. Itung2 balas dendam krn aku doyan ngehujat Twilight... XD
Eniwei, Charlie dan shotgun di filmnya keren banget deh b[>.<]d
@Heinz, cheesy/keju itu bahasa Indonesia yang baik dan benarnya adalah "picisan".
Sedangkan kardus itu sinonim dengan dus, yang dalam bahasa Inggris adalah "thus", yang bisa diterjemahkan secara baik dan benar menjadi, "oleh karena daripada itu."
Disangka bikin pron ya? Hehehe.
Kalo aku dulu lagi asyik2nya duduk nulis berjam2 di depan kompi, ortu malah ngira aku lagi belajar. Padahal dulu belajar cuman sekali sebelum ujian. :P
But that's a good thing though, mereka selalu ninggalin aku sendirian nulis terus2an. Tak terganggu.
*celingak celinguk* umm, numpang nanya nih.... kebo nya sebelah mana ya...?
Anyway, bukannya mau mengdiskreditkan nyokapmu atau ortu dari setiap penulis fikfan remaja Indonesia, apa mungkin memang, bagi mereka, karya anak2 mereka itu (termasuk karyamu) sangatlah bagus? Mungkin aja kan, karena mereka jarang baca buku, jadinya karya yang bikin "silau" sedikit atau yang beda sedikit ama yang pernah mereka baca, terus langsung mereka anggap bagus? Soalnya setahuku (juga dari pengalaman) semakin banyak kita membaca buku, kita bisa semakin tahu buku mana yang bagus, mana yang nggak. Makanya editor itu (yang bener dan bagus lho, ya) kalau udah memilih suatu karya untuk diterbitkan, biasanya karya itu memang bagus, soalnya dia udah baca beratus karya lain dan udah bisa ngebandingin, mana yang bagus dan layak terbit, mana yang oke, mana yang juelek. Tapi ini cuma pendapatku sih.
Dulu aku nulis dari kelas 5 SD (umur berapa tuh? 10?). Waktu itu yang tahu aku hobi nulis cuma Kakak ama Adikku, dan mereka bilang ceritaku bagus tapi ga ampe heboh luar biasa kayak gitu. Yah, masih sama2 piyik sih, jadi belum kepikiran tuh soal penerbitan. Kalaupun kepikiran, paling diterbitin di Mading wakakakakaka!
Yang mendorongku untuk terus menulis itu komentar guru Bahasa Indonesiaku. Beliau bilang, "Kamu pinter nulis. Diasah terus ya!". Tapi ya dia ga heboh2 begimana gitu. Jadi kurasa aku lebih beruntung daripadamu, Luz XD XD XD
Oh iya, ini Rie / Yican lho, lagi ganti nama soalnya lagi nyoba bikin blog juga X(
@Danny, a writer needs solitude, anyway. ^^
@Rie, aku ngerti kalau mereka heboh ngelihat aku nulis buku. Tapi reaksinya itu lho! Lebai abis, ampe pake ngasi label indigo, filosofs, jenius segala macam.
Sekalipun mereka silau, nggak seharusnya mereka berlebihan, apalagi ngasih label ke sesuatu yang sebenernya nggak live up to the label.
Tambah lagi pake sebutan indigo itu. Indigo itu apa sih? Label pseudosains yang nggak terbukti kebenarannya, kan?
Aku setuju kalau kamu bilang kamu beruntung. Guru bahasa Indonesia kamu itu sudah melakukan langkah yang benar untuk membina calon penulis.
Aku juga sebetulnya ngerasa diriku beruntung karena Bu L dan Editor Surat.
Tapi miris juga rasanya kalau ngelihat apa yang (untungnya batal) terjadi padaku terjadi pada calon penulis lain.
ah tentang indigo itu...
jadi kangen forum indigo nyang dulu -OOT-
kalo gw, sepertinya, if buku-buku karya anak muda usia 13-15 tahun terus direspon penerbit dengan gempita, memang ada baiknya membuat lini buku seperti punya Mizan "Kecil-kecil punya Karya"
satu hal, mereka termotivasi untuk terus menulis dan di sisi lain, pembaca sudah dipersiapkan mental bahwa nyang nulis masih sangat muda.
Apakah masih sangat muda itu bisa menjadi salah satu alasan bahwa karya mereka tidak layak diperhitungkan alias sungguh benar-benar sangat jelek atau minimal uhm...'jelek nih' namun karena punya koneksi bisa terbit? tidak, tentu bukan ke sana arahnya.
1. buku yang jelek itu bukan karena usia pengarangnya. yang usianya sudah hampir ratusan tahun juga ada kok yang jelek.
2. buku yang jelek menurut sebagian besar penulis, belum tentu baik menurut sebagian kecil pembaca, tapi bisa jadi lumayan untuk pembaca yang lain.
3. dan menurut gw yang paling bikin sakit gigi adalah...buku fantasi bisa jelek kerna pahamnya penerbit *sebagian banyak penerbit* adalah cerita dengan genre ini bisa crita apasaja, makin aneh makin OK. Ada romansanya, bakal ngejual dan tipikal lah dengan cerita yang sedang digandrungi...
...
seperti menyemangati teman-teman yang pernah menerbitkan karya pertamanya dengan standar yang ancur-ancuran *hingga heran kenapa penerbitnya ok?* gw pun menyemangati mereka para muda yang sedang melewati kawah panas timbangan pembaca segala umur. Harapannya, seperti teman-teman gw yang sedang menikmati perubahannya dari ulat menuju kupu-kupu, dengan tema dan penulisan buku yang semakin rapih, menarik, matang dan mendapatkan respon positif dari pembaca...semoga penulis-penulis muda ini tidak berhenti pada satu buku sudah itu mati.
Mari-mari terus menghadirkan buku karya kalian. dan biarkan kami menikmati proses kematangan itu.
*mengingat banyaknya buku yang ditulis kembali berasal dari dongeng lokal yang sungguh tidak jelas muatan apa yang diinginkan dari cerita-cerita itu, padahal tagnya dongeng pengantar tidur anak. sigh!
Luz : gw menunggu. launching tahun ini?
@Mbak El
Iya bener, Mbak. Mizan udah berinisiatif untuk bikin lini khusus buat pengarang remaja, tapi tetap ga jadi alasan bagi mereka untuk nerbitin buku yang memang jelek. Nanti remaja2 lain di luar sana bisa mikir, "Yang kayak gini toh karya yang bagus, yang bisa diterbitin?". Salah2 nanti bisa2 standar penulisan kita jatuh ke taraf jelek.
Aku belum baca sih buku2 keluaran "Kecil-kecil Punya Karya", jadi aku nggak bisa menilai, apa Mizan udah menyeleksi karya-karya penulisnya sebelum diterbitkan atau main terbitin aja.
Soal penerbit yang mikir fantasi itu bisa berarti cerita tentang apa aja, tetep aja mereka seharusnya nggak keluar dari konteks "karya yang bagus", yaitu karya dengan gaya penceritaan yang runut, jelas dan bisa dimengerti. Seperti halnya nulis laporan, makalah atau skripsi ada bab pendahuluan, dasar teori, isi, penutup, cerita fiksi pun ada "kerangka"nya, dan (sekali lagi) harus ditulis dengan kalimat atau gaya penceritaan yang koheren, jelas dan bisa dimengerti.
Wah, tambah pelajaran neh mba buat minggu ini. Oh iya mba luz, bisa minta tolong untuk merepiu nvel saya gak? Klo berkenan seh mba, judulnya "The Missing Man" penerbitnya Masmedia Buana Pustaka. Hehehe... Siap menerima kritikan dan masukannya mba.
Afandi M.
Yup, setuju dengan Yican.
Yang terpenting dari suatu novel selain isinya tentu saja adalah formatnya. Kalo format bahasanya udah sebegitu kedodorannya (istilah tekniknya: schizophrenic) sehingga sangat sulit dicerna isinya, jelas ini bakal mengganggu keseluruhan taste novel tersebut.
Ibaratnya siapa yang bakal kuat ngabisin suatu burger harum menggoda buatan chef terkenal asli dari Saturnus tapi bahan bakunya daging badak.
Heinz.
@Heinz
Masih mending daging badak. Kalau bahan bakunya daging tikus, atau daging "paslu" yang kemarin banyak diberitain di TV, gimana tuh?
Kalau menurutku sih, mungkin imajinasi sang penulis fikfan remaja udah oke, tapi proses executing nya itu yang kedodoran banget. Istilahnya pengen bikin buger harum daging badak ala chef dari Saturnus, tapi jadinya cuma burger ala pedagang kaki lima yang sering nongkrong di pinggir jalan. Mau bahan bakunya daging badak kek, daging kaviar kek, daging manusia kek, akhirnya teteup aja ga enak dimakan :p
@Mbak El, sangat setuju mengenai bagian Kecil-kecil punya karya itu. Kalau mau memberi semangat, lakukan dengan proporsional.
Terbitkan karya mereka, tapi jangan kelilingi mereka dengan hype berlebihan. Itu bukan cara yang baik untuk mengenalkan mereka pada proses panjang yang diperlukan untuk meraih cita-cita.
Kalau launching tahun ini, nggak tahu ya Mbak. Kalau untung bisa. Tapi yang pasti, naskah itu kelar tahun ini. Mungkin 1-2 bulan lagi. Terbitnya nanti kalau dapat penerbit, hehehe.
@Rie, setubuh... eh, setujuh!
Kadang problemnya, penerbit banyak nggak mengerti fiksi fantasi itu yang kayak apa. Akibatnya, mereka nyamain fiksi fantasi = cerita yang ngeyel. Anggapan itulah yang salah satunya menjadi penyebab terbitnya cerita-cerita yang kacau beliau.
@Mas Afandi, boleh aja. Aku coba ya cari kalau jalan ke toko buku. Kalau mau ngirim sendiri dan bayar via transfer juga boleh.
Namun, mengingat aku juga lagi bantu beta-reading draft novel seorang teman, agak ngantri yah. ^^
@Heinz, dan Rie juga, setubuh... eh, setujuh lagi! Kuncinya memang di eksekusi. A writer is not a writer because of what s/he writes, but how s/he writes.
OT: Layout blognya bagusan yg lama. Yg baru ini perlu scrolling lagi buat ngeliat verifikasi hurufnya.
Gw bingung hrs merespons apa ama cerita Signora. :D :D Mnrt gw kocak2 ironis gimanaaa gitu. Itu bukan rekaan sama sekali tho???
Hehe.
@Juun, Tp yang ini lebih keren.... XD. Dan dari semua template yang kujajal, paling enak yang ini.
Lagipula aku juga lom tahu cara ngedit header template yang ada Home, RSS dan edit itu.
Klo tau, plz tell me, biar aku bisa eksperimen dengan template lain.
Soal cerita yang kucantumkan diatas, iyah, itu serius. Bukan rekaan. Kalau diingat lagi memang bikin ngakak. Ternyata orang dewasa dan anak-anak nggak jauh beda dalam urusan overacting, yah...
@Luz
Waduh mba, terus terang, artikel yang satu ini sangat menyentuh. Dan mba bener-bener beruntung waktu itu ada ibu L dan Editor Surat itu.
Btw, saya tunggu novelnya ^^
@Heinz
Gw setuju bro. Satu hal yang bikin gw tahan baca lord of the rings yang amit-amit tebelnya itu karena bahasa inggrisnya indah dan penulisannya yang prima. *sungkem sama mbah Tolkien*
Adrian
@Adrian, thanks berat karena ngerti 'arahnya' artikel ini.
Yup, semoga aku bisa nyelesaikannya cepat. Duuh, tinggal bagian terakhir ma ending ini... ^^*
***
Oh ya, kalau hari ini blognya aneh2, harap maklum. Lagi ngejajal template2 dan memodifikasinya. Itung2 belajar HTML otodidak, hehehe.
saya tunggu novelnya mba luz
Afandi M.
Hmm... seumur-umur aq gak pernah dapet koment JUJUR dari orang-orang yang udah baca karyaku, mereka selalu bilang, "keren!", "bagus!", tapi aq gak pernah ngerasa gitu, setiap aku baca ulang, pasti aku nemuin keganjalan, tapi ya aku gak tau harus betulin di bagian mananya? maka dari itu kubutuh banget komet jujur dari orang-orang yang mau baca karyaku... sesadis apa pun komentnya, aku tau itu yang terbaik.. ^^
*lho, kok ikutan curhat*
gomen.. hehe..
@Vina, itu sebabnya penulis perlu komunitas yang mau memberi kritik dengan tulus... ^^
Aku selalu merasa beruntung bisa bergabung dengan komunitas-komunitas semacam ini. Beberapa diantaranya tercantum di daftar Jalan-Jalan, kolom ketiga paling bawah. Be sure to check them out, if you haven't done so.
@Adrian
Tapi aku ga tamat ey LOTR. Ga tau udah ada movienya, ga tau dagingnya terlalu alot buatku.
@luz
Daftar jalan-jalan kolom ketiga atau keempat dari bawah?
Ehm, lagi coba-coba template lagi ya?
Tapi itu donk: kolom recent comment-nya jangan ilang. Jadi ga harus ngecek semua biar tau posisi komen terakir.
Heinz
@heinz, kolom ketiga, paling bawah. ^^
Tadi nyoba pake recent comment, jadinya ancur mina. Padahal aku hostingnya udah bener, HTMLnya juga kyaknya ga ada yg bolong, dan sama widget lain bekerja.
Td dah nulis surat ma yang bikin template. Moga2 cepet dijawab TT^TT
But anyway, it's a nice template, right?
@vina
Itu masih mending sis ^^ Setidaknya gak ngajak berantem. Kan ada juga tuh yang bilang "mengkritik" padahal isinya cacian/celaan yang ga jelas 1) apa yang jelek dan 2) gimana bikin lebih bagus. Atau bahkan no 1 aja juga ga ada.
Atau lebih parah lagi: meracau, marah-marah, atau komen yang ga ada hubungannya dengan karyanya. Pas dilihat karya-karyanya, karya-karyanya ga lebih baik dari yang "dikritik" =))
Adrian.
Kolom ketiga paling bawah?
Profil Goodreads?
Sempet ngintip, kok kayak ga liat apa-apa.
Harus sebut password kah? Hehe.
Template ketiga lebih bagus dari yang pertama. Tapi aku lebih suka tampilan yang kedua.
Sepertinya alamat kastilfantasi baru belum ada.
Heinz.
Kolom ketiga, bener. Kolom posting yg pertama, yang merah kedua, yang kuning ketiga. Jalan-jalan kan paling bawah tuh, berikut semua linknya. ^^
Alamat KastilFantasi nanti kutambahkan klo template blog dah fix aja. Maklum pemula, tiap kali ganti template link bablas kabeh. Mau pake copas widget, malah pusing sendiri.
Kalau tu soal recent comments masi ga ada jawaban juga, aku mau ganti template lg. Bentuknya notepad biru dan kertas kelabu kayak template pertama, tapi cuma dua kolom, dan lebih lebar. Tampilannya simpel bersih kayak yang kedua.
Dari kemarin gw stuck gak bisa ninggalin komen di sini, gubraks, jangan2 gr2 elu utak atik, Signora???
Buat referensi HTML, CSS, java script, bisa dilihat yg bersahabat utk non-programmer di: http://www.w3schools.com
Moga2 membantu.
Hehe.
Iyah, aku utak-atik biar komennya bisa justify. Bis ga sedep aja liatnya kalau rata kiri. Kerewelan penulis 1/2 mateng, biasa.
Thanks linknya yah. Ntar deh pelan2 aku belajar... kalau lagi ga ada kerjaan lain.
Pengen ngusulin ke Om kita buat ganti tampilan Fikfanindo, hehehe. Tp klo aku yang ngerjain nanti ancur ga ya?
Aaaaa, balik nulis repiu Nadi Amura dulu yah... ~_~
Luz : errr...lagingutak-ngatik tampilan yeuh? gw nulis via hp, panjang-panjang...ngilang. garuk-garuk aspal :p
Dewi : say...keknya kudu baca postingan gw dua kali deh. salah nangkep kayaknya.
*brasa mau bersalah liat postingan balasan Dewi*
gw gak bilang menerbitkan buku jelek perlu lini sendiri. yang gw bilang menerbitkan karya anak 13-15 tahun itu kalu emang lagi booming kudu dibuat lini seperti yang dimiliki Mizan.
satu hal tentang ekspektasi, kerna seringnya kita -pembaca- nggak dikasih tahu range pangsa cerita.
dan demikian menjadi celah jualan super duper eksploitasi. yang indigo lah, satu-satunya.penulis.cilik.dengan.imajinasi.liar lah, de es be...
dan hei! buku jelek itu nggak bakal bikin kualitas atau standar tulis/baca menjadi menurun. Ada juga...buku jelek, penerbit jelek bakal hilang dengan sendirinya *walaupun bakal ada generasinya tapi gw percaya generasi baca buku bagus 100x lebih cepat pertumbuhannya*
Love
@Mbak El, hm, kayaknya aku yang salah mengkomposisi komentarku, alhasil maksudnya jadi ga tersampaikan.
Aku sih setuju banget kalau ada lini khusus untuk penulis remaja, misal umur 13-15 tahun, biar kita para pembaca nggak berharap terlalu banyak berharap waktu mau membaca buku-buku terbitan pengarang muda (seperti yang Mbak El bilang). Lagian, lini buku kayak gini juga bagus untuk memberi bahan bacaan yang pantas untuk remaja umur segitu, daripada mereka baca buku-buku dewasa yang sebenernya belum pantas buat anak seumur mereka. Kayak aku dulu, umur segitu udah baca Sidney Sheldon yang banyak adegan "dewasa"nya. Awalnya aku nggak ngerti segala bip bip bip dan tut tut tut di sana. Begitu udah ngerti, rasanya jengah juga.
Yah, kayak film ada rating nya, mungkin buku juga baiknya ada rating nya.
Dan aku nggak bilang lini penulis remaja itu khusus untuk buku-buku jelek. Nggak sama sekali kok. Aku malah sangat sangat sangat berharap lini buku seperti itu malah menghasilkan penulis-penulis muda yang handal, yang bisa punya kesempatan merasakan pengalaman mulai dari menulis buku sampai menerbitkannya. Itu pengalaman yang pastinya sangat berharga buat mereka. Nggak kayak kita-kita (dengan asumsi Mbak El seumur atau minimal deket umurnya ama aku) yang sangat minim sekali pengalamannya soal penerbitan, karena di zaman kita, pintu gerbang itu belum terbuka selebar sekarang.
Aku hanya ingin menyampaikan pada Mizan khususnya dan pada penerbit lain umumnya, yang berniat menerbitkan karya penulis remaja, please please please punya standar yang bagus untuk pemilihan karya mana yang bakal mereka terbitkan. Jangan hanya jadi ajang eksploitasi belaka, atau hanya jadi ajang ikut-ikutan tren semata.
Kalau buku jelek nggak membuat standar tulis/baca jadi menurun, aku sih bersyukur alhamdulillah. Mungkin ini cuma ketakutanku semata, sebagai pembaca maniak dan penulis yang lebih maniak lagi.
@mba Luz : hehehe.. betul itu.. ^^ aq belajar lagi dari review2 yg pernah kubaca.. hehe..
kolom ketiga paling bawah?? aku udh liat.. itu khusus untuk penulis2 ya??? boleh gabung?? ^^
@adrian : hmm... itu kasus itu aq belom pernah sih... y mungkin karena 'itu', mreka keseringan muji nympe kdg aq gak sadar kalo karya q gx nyampe stngh layak terbit.. T.T
untung akhir2 ni aq gak terlalu mikirin pujian org2... bisa2 aq malah tenggelem terus ditempat itu...
coba kupikir.. hmm.. koment pedes baru kudapet dari temen di fb.. tpi kritikny ntu make alasan... jdi y kuterima.. lagian pas q baca ulng ceritaku.. emnk bener kok katanya.. hehe.. ^^v
ak belum pernah komen di post ini ...?
Sungguh, diriku: kamu sungguh TERLALU.
#plakh
hmmm ...
kekny ada yg mau kutanyakan sama Signora .. tapi mungkin ntar kapan2 di YM aja deh :3
thanks for sharing this, btw, I guess I'm lucky in ever finding this post :)
Posting Komentar