Selasa, 29 Juni 2010

Hard Stylish Writing #1 ~ Ketika Bahasa Bergaya

Seringkali aku mendapat ide untuk entry blog dari celetukan iseng para mampirwan dan mampirwati lapakku ini. Salah satunya adalah Stezsen alias Yin, yang menanyakan soal gaya bahasa di celetukannya yang ini

Berhubung minggu lalu aku lagi pengen nulis soal mengulek cabe, pertanyaan yang bersangkutan baru kuangkat minggu ini. Gaya bahasa termasuk salah satu bahasan yang gemar berseliweran di forum-forum penulis setengah mateng yang dulu rajin kuikuti. Saking seringnya berseliweran, barangkali para penulis yang sudah tigaperempat mateng, atau secara umum udah lebih keren dari aku udah begah ngebahasnya. Saking begahnya barangkali kalau ditanya soal gaya menulis jawabannya kira-kira ga jauh dari, "oh, gaya itu masalah selera. Dan selera dikembalikan ke masing-masing orang."
   
    
Nah, kalau aku pribadi, jujur aja belum begah. Aku sudah mulai 'ngeh' mau menulis kayak apa sejak lima tahun lalu, tapi gaya bahasaku baru mulai stabil kira-kira kurang dari satu tahun belakangan. Jadi dalam masalah ini, aku bisa dibilang newbie. 

Berbekal kesadaran newbie itulah aku membuat catatan kecil mengenai perkembangan gaya bahasa. Memang yang kucatat adalah perkembanganku sendiri, tapi aku akan berusaha menarik kesimpulan sehingga artikel ini bisa berguna untuk siapapun yang mau memakai.

Menurut pengalamanku, para begahwan dan begahwati itu benernya ga salah. Gaya bahasa memang tergantung sama selera orang. Dan selera dipengaruhi baik oleh bakat bawaan maupun lingkungan. Selera juga bisa berubah; seperti yang kudengar dari beberapa celetukan, kadang kita habis membaca satu buku, kita terkesan sama gaya ceritanya dan jadi pengen meniru. 

Masalahnya, gaya bahasa yang belaka meniru biasanya nggak akan tahan lama. Berapa lama nulis, pasti balik ke 'aslinya'. Padahal dah ngebet banget pengen meniru. Belum lagi kadang perang batin. "Duh, kalau coba  nyontek gaya penulis X, nanti dicap sok niru ga sih?"

Kabar gembiranya, kukira ada cara untuk mengatasi kedua kendala itu. Tapi sebelum kita bicara meniru orang lain, ada baiknya kita mengenali diri sendiri dulu. Dan aku termasuk beruntung karena aku mengenali kekuatanku dengan cepat.

Kali pertama menulis, aku menulis cerita-cerita sederhana dan membandingkannya dengan karya teman-temanku. Aku langsung ngeh kalau aku mudah membayangkan sesuatu dan mudah menggambarkannya.  Dan teman-temanku berkomentar sama. 

Waktu itu aku belum menyadari apa-apa soal berbagai istilah kepenulisan. Namun, tahap ini tetap suatu tahap yang kuanggap penting. Dasar suatu gaya bahasa biasanya adalah hal apa yang menjadi kekuatan kita dalam menulis. Kalau kita berminat mengembangkan gaya bahasa, ada baiknya kita segera  tahu kekuatan kita.

Nah, sudah tahu kekuatan, apa berikutnya? Kelemahan. Kalau yang satu ini, aku baru ngeh lamaaaaaa banget. Saking gampangnya ngebayangin dan menuliskan kembali, aku jadi kelewat getol ngasi deskripsi sampai hal yang super detail. Dan kadang deskripsi ini loncat-loncat, ga runut. Sekebayangnya aja.

Sampai disini, kalau ada yang nanya lagi bagaimana mengembangkan gaya bahasa, aku bisa bilang bahwa langkah pertama yang bisa kita ambil untuk menciptakan gaya bahasa adalah mendamaikan kekuatan dan kelemahan kita.  

Atau, jika diucapkan dengan gaya sok ilmiah, gaya bahasa adalah produk dari usaha mendamaikan kekuatan dan kelemahan kita dalam menulis.

(Sebetulnya, kalau mau lebih tepat, mendamaikan kekuatan dan kelemahan dan keinginan. Tapi ini bahasan buat minggu depan, ketika kita bicara soal meniru gaya bahasa pengarang tertentu.)

Dalam kasusku, aku kuat di deskripsi. Aku bisa bikin orang membayangkan apa yang kubayangkan dengan tidak terlalu susah. Tapi penghalangnya justru pada kegetolanku ngasih deskripsi yang banyak banget, dan melompat-lompat. 

Memperbaiki ini pun nggak cepat. Aku perlu beberapa lama sampai akhirnya bisa menyimpulkan beberapa pegangan yang bisa membantuku. Aku sudah pernah mencantumkannya dulu di satu celetukanku, tapi akan kucantumkan lagi disini.

Satu, jadikan setiap kalimat maksudnya jelas dan mengena. Ini kaitannya dengan bentuk kalimat dan diksi.

Kedua, coba gunakan kalimat-kalimat yang nggak terlalu panjang

Ketiga, usahakan sesedikit mungkin pengulangan kata dalam paragraf

Keempat, sampaikan gagasan dalam paragraf itu dengan runut. Jangan meloncat-loncat acak.

Bagaimana memakai keempat aturan dasar ini? Ada dua cara. Pertama, dengan mengingat semua pedoman ini saat bekerja. Dengan begitu, saat menulis kita akan selalu menimbang. Apakah kalimat ini terlalu panjang, apa dihilangkan saja, atau dibagi dua kalimat? Apakah kalimat ini maksudnya sudah kelas? Apa saya terlalu banyak mengulang kata dan perlu mencari sinonimnya dengan bantuan kamus? Apa saya sudah runut?

Cara kedua, kerjakan saja dulu menurut gaya kita yang biasa. Nanti, jika sudah selesai (baik satu cerita atau satu bab,) baru diedit menggunakan keempat prinsip sederhana itu.

Karena ngebahas gaya bahasa ini agak susah, aku akan berhenti disini dahulu untuk memberi kesempatan bagi yang mau nyeletuk. Aku berharap agar para pemampir mulai merenungi kekuatan dan kelemahan mereka, berbagi lewat komentar-komentar, dan barangkali mendapat kesempatan sendiri untuk mencoba keempat pedoman koreksian itu. Syukur-syukur bisa ikut menambahkan pedoman baru untuk sama-sama membantu kita mengasah keunikan berbahasa masing-masing.




Luz Balthasaar

48 komentar:

Anonim mengatakan...

Mendingan sekalian dikasih contoh. Semisal menggambarkan orang yang sedang berdiri di bawah pohon, style-nya aja dah macem-macem. Mulai dari yang datar-datar, contoh: Ariel berdiri di bawah pohon. Ato yang agak detil: Pemuda berwajah mesum itu menyandarkan punggung liatnya pada sebatang pohon yang meranggas hingga luruh tiap helai daunnya, hampir mati seperti karirnya :D

Zenas,

Salam

Anonim mengatakan...

horee dijawab! senang...

hm.. kekuatan ama kelemahan ya..
sebetulnya saya bisa membayangkan dengan detail, tapi ga bisa menuliskannya dalam kata2
apa harus banyak2 baca kamus ya...

thanks

stezsen

Unknown mengatakan...

hmm.....gaya penulisan ini apa ada hubungannya sama penggunaan aku-kamu-elo-gue ,penggunaan komentar penulis atau ciri khas laen ??

sepertinya saya masih belum nyambung ma artikel ini (maklum otak masih pentium 2)

hmm...soal nama ,aku juga gag taw apa apa kuq bisa ganti ,tapi yang bener ya 'januar a.r.a.i' itu

thenks before

Juno Kaha mengatakan...

@Zenas: Kenapa Ariel = mesum??? *Lol*

@Januar: Hm, gaya bahasa sih, sepanjang pengetahuanku, lbh ke arah ya ... gaya bahasa. Gak termasuk lu/gue, aku/kamu, saya/Anda krn mnrt gw itu penggunaan kata ganti orang pertama yg digunakan sesuai situasi dalam cerita (kalo saya sih pakenya di dlm dialog utk perbedaan kata ganti tersebut).

Gampangnya sih, gaya bahasa itu bisa dilihat plg kentara di HarPot, penggunaan tanda kurung dan tanda pisah utk menambahkan keterangan2 tambahan, di Bartimeus Trilogy yg pake sudut pandang si Barty yg suka nyisipin celetukan2 pribadinya, di Taiko dan Musashi karya Eiji Yoshikawa yg cenderung straight to the point dlm hal penceritaannya, di karya C.S. Lewis yg pake perumpamaan2nya mengena.

Gaya bahasa--CMIIW--mencakup penggunaan majas, pemilihan kata, dan kebiasaan penyusunan kalimat (biasanya cukup terlihat "nuansa" dari sebuah kalimat).

@Signora: Sekarang jg ganti jd kyk blognya Mas Pur nih cara ninggalin komennya?

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Zenas, di artikel sambungannya nanti akan kukasih contoh paragraf.

Tujuannya aku nulis artikel ini sebetulnya bukan ngasih 'jenis-jenis' gaya bahasa, tapi bagi-bagi sedikit petunjuk tentang bagaimana kita bisa bikin gaya bahasa sendiri.

Nanti pas ngasih contoh pun kayaknya aku ga akan ngasi "ini sytle a, itu style b." Ada terlalu banyak gaya untuk dicontohkan satu-satu.

Lagipula, yang penting bagi penulis tentu bukan menghapal penggolongan, (ini sih urusan kritikus, XD XD XD,) tapi mengetahui bagaimana ia bisa membuat gayanya sendiri.
__

@Stez,

Kalau kasusnya kayak begitu, salah satu solusinya ya memang membaca kamus. ^^

Tapi berhubung kita tahu betapa bikin ngantuknya membaca kamus, aku lebih menyarankan kamu baca buku cerita yang bagus.

Baca satu kali untuk menikmati bukunya. Setelah itu buka-buka lagi bukunya untuk melihat bagian-bagian yang membuat perhatian kamu tertarik. Perhatikan bagaimana dia menggambarkan dan bagaimana dia bercerita. Nanti lama-lama ilmunya nular kok.
__

@Januar, itu nanti larinya ke diksi, atau pemilihan kata. Pemilihan kata membantu memberikan 'rasa' ke cerita. Kalau misalnya kita ingin novel kita 'berasa urban' atau pengen bikin tokoh-tokoh yang 'Jakarta banget', kita bisa memakai bahasa yang informal dan slang-slang Jakarta.

Tapi kalau kita mau novel ini misalnya 'terkesan American countryside' atau "rasa Eropa abad pertengahan' atau 'ala Indoensia jadoel' macam Wiro Sablengnya Bastian Tito, ya ngaco aja kalau kita sembarangan memilih kata lo-gue yang khas slang Jakarta hare gene.

Perkecualiannya kalau memang ada tokoh yang njakarta banget di tengah suasana non-jakarta itu karena suatu sebab. Atau kalau slang itu diniatin jadi humor.

Dan kalaupun humor, itu sebaiknya lihat sikon biar ga garing crispy.
__

@Juun, Sebetulnya, pemilihan lo-gue itu termasuk pemilihan kata alias diksi.

Nah, diksi ini, beserta bentuk kalimat, pemakaian majas yang mengena, serta penggunaan tanda kurung dan pisah yang tepat semuanya terkait dengan pedoman pertama. "Sampaikan dengan jelas dan mengena."

Dari semuanya, memang ini yang paling susah.

Nanti untuk bagian dua, ketika kita mulai membahas pedoman-pedoman itu, baru aku akan menawarkan pandanganku mengenai bagaimana menyampaikan cerita dikepala dengan jelas dan mengena.

Unknown mengatakan...

wah..........terimakasih mbak luz dan bang(bener ga ?) tuing ,,saya sudah agak mudeng

jadi gaya bahasa itu cara menceritakan sebuah kejadian,jadi mungkin kalau kita disuruh menceritakan suatu kejadian yang sama ,maka jadinya bakal beda beda

hmm....mungkin harus baca lagi buku tata bahasa buat memahami majas ,diksi dan kawan kawan

thenks ya para senior

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

nah ini dia.. = =''
GAYA BAHASA..

ehm, pengen nyoba2 nanya nih.. waktu aku kelas 1 smp.. kalo nulis cerita, rasanya gampangggg bangett.. senacur2nya tuh tulisan kata temen2ku enak dicerna... tapi 3 tahun kemudian, gaya mendadak berubah.. kata temen2ku yang baca malah jadi njelimet.. alias susah masuk di otak *sama, aku juga gitu sih*, trus kalo kubandingin.. karyaku 3 tahun sebelum ma sesudahnya.. malah bagusan 3 tahun yang lalu.. = =''
apa ini berhubungan sama kapasitas otakku yang makin dipenuhi rumus2, ato karena terpengaruh ma gaya bahasa novel2 yang kubaca??

hmm.. ada yg mau membantu aku menjawab persoalan ini??

Anonim mengatakan...

mbak luz,
iya, ni udah donlod KBBI hehe (fisik mahal)
ama berburu novel buat dibaca hehe
moga2 ilmunya cepet nular

thanks
ditunggu artikel lanjutannya hehe

stezsen

Juno Kaha mengatakan...

@Signora: Eh, tapi kan kalo lu/gue baru "sah" dipake kalo di dalam dialog kan ...? Masa iya di dlm kalimat narasi pake lu/gue??? Gw baca teenlit yg pake kata "nggak" di dalam kalimat narasi aja udah merasa itu aneh.

@Januar: Kalo kataku sih, belajar diksi gak harus plek dari buku tata bahasa kok. :D Malah belajar gaya bahasa, IMHO, enaknya dari baca novel lsg.

@Diclonius: Bisa dibilang sih, waktu kecil kamu nulis gak pake beban apa2, sekedar nulis sekenanya mau nyampein apa. Seiring dengan bertambahnya umur, kesadaranmu makin ada, makin byk mikir panjang, jadi mikir "ini udah cukup jelas blm ya kalimatnya" dst saat nulis, makanya berakibat pada kalimat yg kamu tulis ketambahan ini itu dlm rangka memenuhi "target" yg kamu buat tanpa sadar selama menuliskan kalimat tersebut. Itu wajar terjadi, IMHO. Gw jg dulu kalo nulis yg ngasal lbh dirasa org gak kaku ketimbang yg nulis serius. :P

Hehe.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mantoel : hehe.. bener juga sih.. dulu rasanya enjoy banget ngetik apa aja.. gak peduli walau karakter udah nyampe bejibun.. masih aja terus aku tambahin.. = =''

tapi sekarang pas aku baca ulang, kepala mendadak ngejelimet.., ternyata karanganku parah gak ketolong.. tapi kalimatnya memang rada santai ketimbang yang sekarang..

Juno Kaha mengatakan...

@Diclonius: Gw jg mengalami hal serupa kok. :D :D Jaman SD dulu bikin cerita suka2, gak jelas juntrungannya, tapi enjoy abis nulisnya, terlepas dari pas dibaca ulang pas udah gede, pengen gw bakar tuh buku isi cerita masa SD. Pas SMP jg masih suka2 banget bkn ceritanya, tapi struktur kalimat udah membaik, dan yap, kalimat2nya masih terasa mengalir.

Sekarang??? Tiap kali mau nulis kalimat kepikiran ini itu jadinya hasilnya malah kaku2. Jadi sekarang gw mencoba lbh rileks pas nulis, tulis dulu apa yg mau gw tulis, baru ntar dikroscek lagi kalimat2nya. :D

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Stezsen, nikmati pelajaranmu. ^^
__

@Januar, sama2 Bang.

kalau dipikir secara sederhana, memang kayaknya pendapat itu benar. Gaya bahasa adalah cara kita bercerita. Jadi kalau satu kejadian yang sama diceritakan oleh orang-orang yang berbeda, jadinya cerita itu beda-beda. Kurang lebih begitulah.

Nanti moga-moga kalau udah ada contoh tambah sip lagi mudengnya, hahaha.

Kalau soal senior-senioran, kayaknya nggak bisa dibilang ada senior-junior juga sih. Kita disini kan saling ngasih tahu. Istilah Inggrisnya, Give me your tahu and I'll give you my tempe. Impas gituh, hihihi.
__

@Vina, berbahagialah. Kamu merasa begitu adalah tanda kamu berkembang. Kamu mulai belajar teknik menulis baru, dan mulai mempertanyakan karya sendiri.

Dan soal kenapa karya dulu kelihatan lebih bagus daripada sekarang, aku pernah merasakan yang sama.

Kalau aku sih akhirnya merasa kalau karya 'dulu' itu terasa 'bagus' bukan karena dia secara teknis bagus. Itu belaka karena aku 'lupa' perasaan dan niatku saat menulis itu. Jadi aku bisa memandangnya impersonal, seakan naskah itu ditulis orang lain.

Sementara yang agak fresh itu aku masih ingat. Jadinya suka self-critical "Duh, kamu nulis bagian ini self-fullfillment fantasy banget!" atau "Ya ampun, ini keju dehhh!"

Ditambah lagi, kamu baru mengetahui cara-cara baru dalam menulis, dan kamu pasti bereksperimen.

Dan namanya eksperimen, pasti banyakan gagalnya, wkwkwkwkw. Jadinya cerita itu akan terus berasa 'jelek'--sampai nanti akhirnya kamu menemukan cara yang tepar buat kamu.

Itu sebabnya kita kadang jadi jengkel sama karya kita yang lebih baru. Tenang aja, jangan cemas, keep trying.
__

@Juun, benernya bisa juga kok bahasa informal itu dipakai dalam narasi. Itu bagian dari kreativitas. Atau, dalam bahasaku, akal-akalan dalam berkarya. Coba lihat ini:

OJ ngilang!

Itu kabar buruk pertama yang gue denger begitu buka pintu kantor, ngeluncur dari mulut si Tuyul Persia ke delapan penjuru mata angin. Waktu denger itu awalnya gue ga percaya sama sekali; si OJ, alias Ondel-ondel Jawa, bukan orang kaya gitu. Gak pernah ada ceritanye dia ninggalin temen. Gak pernah! Urusan cemen aja nggak, apalagi perkara gawat kayak gini.

Tapi gak lima menit lewat, si Bos sendiri lari ke ruangan sambil tereak-tereak, jenggot kebakar, kumis mencarin api kayak kembang goyang.

Maka tahulah gue kalau si Tuyul kagak ngibul.



OOT: Ini cerita tentang tempat kerjaku, hehehe.

Oh ya, dan kalau update minggu depan agak telat, mohon dimaafkan. Hari Senin sampai Rabu aku Dinas ke Tokyo, wkwkwkw. Ngunjungin TMG Building yang ada di Shin Megami Tensei Online itu.

Unknown mengatakan...

wah ............korea

posting potretnya mbak !

:-P

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mantoel : agaknya permasalahan ini berkutat pada 'rileks'.. hehe.. tapi setuju juga sih.. ^^ aku juga ngerasa gitu kok.. dulu kan masa2nya aku masih gak peduliin pelajaran.. otak jadi terasa ringan... ilmu juga belom menuh2in memori 100%.. jadinya lancar car car car car car.... ^^ tinggal ngetiknya itu.. hehe..

tapi ya hasilnya itu.. ^^a
pas direview setelah 3 tahun berlalu.. rasanya pengen nyemplung sumur.. haha.. saking gak nyangkanya.. kok dulu aku bisa bikin kayak gini??? O.O


@mba luz : iya, memang kesannya kayak baca buatan orang lain.. makanya kerasa bagus.. trus karena makin lama pikiranku juga terpengaruh ma gaya-gaya penulis dari novel yg pernah kubaca.. jadinya otakku campur aduk.. gak salah deh kalo pas kubaca malah jadi ancur.. = =''

hahaha.. kalo udah gini kasusnya.. aku memang harus nemuin gaya sendiri.. yang lebih santai + sesuai ma syle ku... hehe..
thnkz buat penjelasn dan infonya..

Juno Kaha mengatakan...

TMG? TMG ...? Tokyo M-apa Game?

@Januar: Jepang bukan Korea.

@Signora: Hmm, aneh juga yah, kenapa gw baca contoh dari Signora rasanya baik2 saja kalimat2nya padahal itu kalimat narasi yg pake kata gak baku sementara kalo pas baca teenlit kemarin rasanya mengganjal cuma krn ada kata "nggak"? :-? Coba deh ntar di rumah dan kalo ol lagi gw kutip kalimat dari teenlit itu.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, itu makanya aku bilang deskripsi dan narasi mau pake bahasa informal pun bisa. Ga usah dialog.

TMG Building itu Tokyo Metropolitan Government Building. Gedung Pemerintah Kota Tokyo. Bangunan itu juga ada di game Shin Megami Tensei Online. Klo di game, kita ngedaki sampai puncaknya bisa ketemu Beelzebub. Hehehe.

Kalau yang benerannya, ya nanti aku coba liat deh klo dah sampe sana. >:)

Anonim mengatakan...

Saya pribadi kurang sreg ama gaya bahasa lu-gua gitu, apalagi buat fikfan. Karena sehari-harinya kalo ngomong juga "nyablak" jadi pas baca buku ketemu yang nyablak juga malah males bacanya.

Contoh:

Joni komat-kamit ngoceh ga ada juntrungan, mukanya berkerut-kerut kaya orang pengen ee'. Kelakuannya persis dukun yang suka nongol di tipi, yang ngakunya jago melet tapi kaga laku-laku.

Tiba-tiba dari kuku jarinya yang item semua keluar sinar yang bikin mata kedap-kedip.

Sinar ntu makin gede kaya jerawat ABG, lalu si Joni ngeden sejenak dan...

DUARR!!

Sinar ntu telek banget ngehantem tubuh peyot Dumbledore yang lagi asik donlot video syur Ucok Baba.

Nah!

Salam,

Zenas

Luz Balthasaar mengatakan...

@Zenas, memang itu setengahnya urusan selera.

Tapi setengahnya lagi aku yakin, tergantung skill pengarang

Kalau pengarang kreatif, punya ide yang bagus, dan 'tahu selanya', nggak tertutup kemungkinan ada fikfan dengan bahasa informal yang bisa diterima pembaca.

Walau sampai sekarang penggunaan bahasa informal itu cenderungnya terbatas sama teenlit, novel bernuansa hidup metropolitan, dan 'fantasi ancur' alias fantasi parodi yang kamu contohkan, nggak tertutup kemungkinan suatu saat ada pengarang yang mumpuni mengolah bahasa informal di dalam fikfan.

Unknown mengatakan...

memangny ada mbak fikfan parodi ? sepanjang 1 tahun masa hidup saya di dunia perbukuan ,saya belum menemukan fikfan parodi

klo parodi fikfan luar saya taw ,mis : tuilet trilogi

Juno Kaha mengatakan...

Gw rasa Tuilet, New Monyong (ada bbrp versi nampaknya nih parodi) bisa sangat dikategorikan sebagai parodi, terlihat dari judulnya dan nama karakternya dari Cullen jadi Culun. :P :P

Kalo dr dalam negeri, gw rasa gak ada yg tergolong parodi. Mgkn tergolong humor sih ada, tapi bukan parodi dari karya lain.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Ah, ya, lupa nyebut. Fantasi humor juga sering memakai gaya bahasa kayal gitu.

Cuma sampai sekarang aku belum baca fantasi lokal yang bukan parodi, diniatkan ngocol, dan berhasil ngocol. Pernahnya nemu malah fantasi serius yang jadi lucu krn ngocol yang salah tempat.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Hmm...

Kekuatan: sama kayak Luz, aku paling bisa menggambarkan cerita dengan gaya deskriptif. Kalau aku lagi nulis, aku ngebayangin cerita itu seperti film di kepalaku, dan aku tulisin adegan per adegan yang mengalir dalam film/cerita itu.

Kelemahannya? Kadang sudut kamera, eh maksudnya sudut cerita yang kuambil kurang kena buat pembaca. Dan kadang-kadang aku lupa kalau adegan yang udah begitu jelas di dalam kepalaku belum tentu bisa dibayangin dengan jelas di kepala pembaca. Jadi taktik yang kuambil adalah, gimana caranya biar adegan di kepalaku ini bisa kebayang ama pembaca. Yah, mirip-mirip ceritain film bioskop yang udah kita tonton ke orang lain yang belum nonton.

Atau dengan kata lain, show not tell (aihh basi amat wkwkwkwkwk...)

Kelemahan yang lain: aku paling nggak bisa nulis dialog. Dialog yang kubuat cenderung jadi kaku dan nggak real.

Kalau gaya penulisan, aku pilih cara kedua, yaitu tulis dulu semau gue, mau gaya bahasanya kacau balau atau nggak peduli amat. Nanti kalau udah selesai didiemin dulu barang dua tiga hari, atau kadang-kadang ampe seminggu, baru dibaca ulang dan di-edit.

Cari gaya bahasa yang cocok? Banyak-banyak baca cerita/buku biar tahu macam-macam gaya bahasa, terus banyak-banyak latihan nulis, tiru gaya bahasa ini itu ampe kita nemu sendiri gaya bahasa yang paling cocok ama kita, dan gaya bahasa yang "kita" banget.

Menurutku sendiri, gaya bahasa yang saat ini kupake itu percampuran dari semua buku yang pernah kubaca, tapi yang paling dominan adalah gaya bahasanya Robert Jordan di serial Wheel of Time.

Anonim mengatakan...

Ada yang bisa kasih masukan ga? Kalo ada kata asing (baca: Inggris) yang mau kita pake dalem cerita kita, mending kita italic ato ciptain kata baru. Saya pernah liat kata crossbow yg ama penerjemahnya ga diartiin, tapi di italic aja. Gimana dengan kata2 Mail, Chain Mail, Club, Morning Star, Javelin?

Terima Kasih,

Zenas

Juno Kaha mengatakan...

@Zenas: Wow, kamu menanyakan yg baru kemarin ini diperdebatkan di forum GoodReads. :D

Kalo berdasarkan obrolan dari sana, ada dua kubu soal nulis benda yg kita gak tahu bhs Indonesianya tapi tahu bhs Inggrisnya itu:

- Kubu gak-italic-ganti-nama
- Kubu italic-gak-ganti-nama

Gw termasuk ke kubu italic-gak-ganti-nama. Alasan gw, ngeganti sesuatu yg sbnrnya udah punya nama jd bernama lain adalah kekonyolan tersendiri (no offense). Contoh yg udah jelas ada namanya tapi diganti jadi nama/istilah lain adalah di trilogi Klan Otori karya Liam Hearn, sudah diterbitkan di sini oleh penerbit Matahati. Di sana ada kaum yg ciri2nya sudah sangat merujuk kepada ninja, tapi mereka disebut sebagai Tribe. Kemudian ada lagi senjata rahasia ninja yg berbentuk bintang (shuriken) tapi dalam novel itu gak disebut sebagai shuriken yg di-italic melainkan disebut sebagai "senjata rahasia bintang". Gw pribadi sbg pembaca merasa risih sendiri.

Anggaplah kita memperkenalkan ato seseorang di Inggris/Belanda/Jerman/Brazil/Argentina/Uruguay/Spanyol dll (kok peserta Piala Dunia semua yg disebut??? :P) suatu hari datang ke Indonesia dan diperkenalkan pada keris, apakah wajib bagi mereka utk membuat istilah baru utk senjata bernama keris tersebut atau langsung aja pake kata keris yg di-italic? Mgkn mereka nerjemahin jadi "wavy-dagger" (kalo ini sih contoh terjemahan abal2 ala gw :P mgkn gak segitunya), utk seterusnya, mereka bisa menggantikan nama keris dengan "wavy-dagger". Masalahnya akan rumit kalo mereka--misalnya--pergi ke Thailand dan mendapati ada "wavy-dagger" juga tapi bukan keris (bentuknya beda, selain bahwa bersifat "wavy" aka bergelombang).

Kasus di atas kalo buat gw bisa diterapkan pada broadsword, claymore, dan zweihander. Tiga2nya sama2 pedang, sama2 lurus, tapi ukurannya beda2. Kasih nama "pedang lebar" ke salah satu berpotensi ambigu ke yg lain (gw perkirakan sih broadsword ama zweihander yg akan ambigu, CMIIW).

Itu mnrt gw selaku kubu italic-gak-ganti-nama sih. :D :D Kubu lain pasti pny pendapat lain.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@ Zenas, buat aku, jalan paling baik adalah ngelihat yang mana paling cocok dengan suasana cerita.

Italic-tanpa-diterjemahkan cocok kalau kita memang membidik cerita karya kita berasa 'terjemahan', atau kita menerjemahkan suatu karya, dan ingin mempertahankan suasana aslinya seutuh mungkin.

Jeleknya, kalau kita nggak bermaksud cerita itu berasa terjemahan, nanti jadinya berasa aneh.

Cara kedua, terjemahin semua. Ini biasanya berkenan buat kaum puritan Bahasa Indonesia yang paling hardcore. Tapi kalau ngelihat kasus terjemahan Klan Otori yang dibilang Juun, nilai rasanya suka bergeser.

Inilah masalah utama dengan terjemahan: tiap kata nggak selalu memiliki padanan yang tepat kata per kata. Contoh yang pernah diperdepatkan dulu, Elf yang 'diterjemahkan' sebagai Peri. Kalau kita cek KBBI maupun kamus bahasa Inggris maupun kamus legenda Tolkien (aku cek kamus dasar Tolkien yang karangan David Day), jelas nilai rasanya beda.

Memang, banyak orang menjadikan KBBI sebagai 'hukum'. Tapi kalau nilai rasanya meleset terlalu jauh atau terlalu umum (lihat contoh broadsword dan zweihander Juun), terjemahan itu bakalan terasa maksa. Apapun kata orang-orang yang merasa Pendeta Agung KBBI, masyarakat tetep aja ngerasa ga enak baca.

Kalau nyari terjemahan ga nemu-nemu, bisa juga bikin terjemahan sendiri. Tentunya, sekali lagi, perhatikan suasana cerita.

Crossbow misalnya, bisa dijadikan senapan busur (cocok untuk pemakaian secara umum), pistol busur (mungkin kalau ceritanya ada campuran suasana western atau kalau istilah pistol dikenal secara umum di dunia cerita), atau busur silang (kalau mau kedengaran rada 'asing').

Kalau chain mail, mungkin terjemahan yang cukup bisa dipakai umum adalah zirah rantai. Wavy-dagger mungkin bisa dijadikan pisau ombak, kalau kita nggak mau spesifik mengarah ke keris Indonesia.

Cara terakhir, yang enaknya bisa dipakai sama penulis fantasi, adalah bikin nama sendiri. Misalnya ada satu suku yang pakaian perang tradisionalnya mirip chain mail, atau senjata tradisionalnya kayak javelin, kita bisa bikin suku itu punya istilah sendiri untuk chain mail.

Misalnya...

Suku Dalriatha yang memiliki senjata semacam javelin, yang disebut Airluin.

atau,

Suku Garuda dan chainmail tradisional mereka, Baju Cirang (alias Baju Cincin Rangkai, klo mau rada panjang).

Nah, kalau untuk bikin istilah ini, udah masuk conlanging. Mungkin akan kubahas lain kali.

Anonim mengatakan...

*Langsung make jubah kebesaran*

KBBI adalah kitab suciiiii! Janganlah kalian berpaling darinya!



Nah, setelah uneg-uneg itu dikeluarkan, izinkan saya berpartisipasi.


@Luz: Nilai rasa?

Nilai rasa orang beda-beda, bos. Begitu kita nyebut soal nilai rasa, kita kembali titik di mana betapa semua orang punya (nilai) rasa yang berbeda-beda terhadap suatu perkara.

Dan lagi, dalam penerjemahan, perubahan, perluasan, dan penyempitan makna adalah hal yang lazim digunakan sesuai konteks materi. Sooo, kalo misalnya suatu terjemahan tidak sesuai dengan nilai rasa orang-orang tertentu, yah, namanya juga nilai rasa.

Oh, btw, penggunaan weasel word macam "masyarakat" jelas nggak memperjelas apa pun soal nilai rasa mana yang enak atau nggak enak dan tepat atau nggak tepat.


Tapiii... fair is fair I guess, sebagai pribadi, gw lebih memilih make "katana" dengan cetak miring daripada "pedang samurai" versi KBBI. Daaan, gw termasuk yang percaya bahwa sebaiknya narasi tetap dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pengalaman pribadi sih, gw pernah baca buku yang mencantumkan kata "dancuk" atau "sunan (asu tenan)" dalam narasi dan alhasil gw yang bukan orang Jawa langsung ill feel meski saat itu belum tau artinya apa.


Jadi, yah, begitulah, heuheuehu.



Ewing

Luz Balthasaar mengatakan...

@Ewing, dari sudut pandang "ahli bahasa berlesen" sih, mungkin begitulah adanya.

Kayaknya masyarakat bukan weasel word juga, kecuali memang kita berniat memulai debat kusir dengan mempermasalahkan definisinya.

Padahal, jelas dari maksudku bahwa masyarakat adalah, masyarakat pengguna bahasa itu, kan?

Dan jujur aku agak terkejut kalau ada orang yang berkecimpung di bidang budaya/bahasa yang langsung memukul rata, "nilai rasa setiap orang berbeda."

Ada perbedaan, memang. Tapi kita nggak bisa mengesampingkan nilai rasa umum yang disepakati, kembali lagi, oleh masyarakat.

Ambil contoh, dalam bahasa Jawa ada bahasa Jawa ngoko, kromo, dan kromo inggil. Karena ada kesepakatan dari masyarakat pengguna bahasa Jawa bahwa beberapa kata memiliki nilai rasa lebih halus daripada kata lain.

Atau mari kita pinjam contoh pelajaran bahasa SMP. Permaisuri dan istri dan bini, memiliki nilai rasa berbeda. Semua merujuk pada perempuan yang menjadi pasangan sah seorang laki-laki, tapi permaisuri lebih agung, dan lebih khusus (istri raja).

Sedangkan bini memiliki nilai rasa yang kasar, karena asosiasinya sebagai kata yang digunakan oleh kalangan yang umumnya "tidak menempati posisi tinggi dalam strata sosial."

Atau, dengan bahasa yang memiliki nilai rasa lebih kasar, "orang pinggiran."

Dan kita bicara dalam hal nilai rasa yang secara umum merasuk ke rasa berbahasa masyarakat.

Jadi, mengatakan "semua relatif" bagiku cuma terasa seperti upaya ngeles.

Soal perluasan dan penyempitan makna, itu memang ada.

Namun, kita juga harus ingat kalau perluasan dan penyempitan makna nggak terjadi secara instan.

Perluasan dan penyempitan makna itu terjadi melalui proses. Kata "Sarjana" yang dahulu berarti orang pintar, kini lebih lazim dipakai sebagai "pemegang gelar S-1"

Apakah ini terjadi secara instan? Nggak tuh. Jadi, kita nggak bisa seenaknya main menyempitkan atau meluaskan makna. Sebaiknya kita memperhatikan apakah di dalam masyarakat ada proses--atau tanda-tanda terjadi--penyempitan atau perluasan makna ke arah yang kita tuju dengan terjemahan itu.

Dan bukankah dalam menerjemahkan juga dikenal aturan agar suatu naskah terjemahan 'sedapat mungkin mendekati nilai rasa aslinya?'

Maka, nilai rasa ini nggak bisa dikeluarkan dari hitungan dengan mengatakan "semuanya relatif."

Dan soal penggunaan bahasa baku dalam narasi, aku cenderung untuk tidak menutup pintu bahwa narasi harus memakai bahasa baku. Kita tidak pernah tahu. Siapa bisa memastikan tidak ada orang di luar sana yang piawai memakai bahasa tidak baku untuk menuturkan kisah?

Anonim mengatakan...

*Pacang kacamata*

Sebentar, ini bagus. Gw pelajari dulu.


Ewing

Anonim mengatakan...

Baiklah, coba gw tanggapi ya, heuheuheu.

Weasel word, masyarakat itu weasel word karena kita selalu bisa bertanya, "Masyarakat yang mana?"

Hmm, nggak sih. Sebagai orang yang kebetulan berkecimpung di bidang itu, yep, gw bisa mengonfirmasikan bahwa nilai rasa setiap orang beda. Kadang ada yang suka terjemahan yang berpedoman teguh pada materi aslinya termasuk struktur kalimatnya, kadang ada yang lebih suka terjemahan yang melibatkan nuansa lokal dengan struktur kalimat dan kata-kata yang membumi dan mudah diakrabi (dan kadang ada yang nggak suka terjemahan sama sekali, baik terjemahan yang setia sama materi asli atau terjemahan bebas, ibarat kata, "bodo deh yang nerjemahin si A kayak gini atau si B kayak gitu atau si Z kayak gono, gw baca yang bahasa aslinya ajah!!!").


Soal bahasa Jawa, anuuu, kayaknya gw kurang menguasai bahasa tersebut, takutnya malah ngaco komentarnya, heuheuheu.


Nah, istri dan bini itu contoh yang bagus. Tapi kalo gw sih, gw akan menghilangkan permaisuri. Permaisuri umumnya memang menyiratkan strata sosial yang lebih tinggi daripada istri atau bini, tapi itu lebih karena makna yang dikandungnya jelas sangat spesifik yaitu istri raja.

Yep, gw bilang strata sosial, bukan nilai rasa.

Sebagai pembanding, coba gw kasih dua contoh kasus ya.


*Pekerjaan Joko adalah dokter gigi*

contoh kalimat:


Joko adalah seorang dokter.

Joko adalah seorang dokter gigi.




*wanita itu merupakan istri dari Michael yang kebetulan adalah raja kerajaan X*


contoh kalimat:


Wanita itu adalah istri Michael.

Wanita itu adalah permaisuri Raja Michael.


Kedua kalimat dari dua contoh kasus di atas benar, cuma yang satu menyatakan sekilas status dia, sedangkan yang satunya lagi sangat spesifik. Apakah kita salah kalo bilang Joko adalah seorang dokter? Apakah kita salah kalo bilang si wanita adalah istri Michael? Tentu tidak.

Nah, di sinilah letak perbedaan dengan istri dengan permaisuri. Permaisuri terasa lebih tinggi karena dia memang mengandung makna yang jelas-jelas menunjukkan strata sosial.


Oke, lanjut ke soal istri dan bini.

Di lain pihak, istri dan bini sama-sama tidak menyiratkan strata sosial. Di KBBI, perbedaan istri dan bini cuma satu, yaitu label cak. Yep, bini berlabel cak, sedangkan istri tidak.

Label cak berarti kata tersebut masuk ragam cakapan dalam arti tidak baku. Jangan salah, itu tidak berarti kata tersebut kasar atau tidak sopan.

Untuk kata yang kasar atau tidak sopan, KBBI punya label tersendiri, yaitu kas.



Btw, ntar gw sambung lagi deh. Dah sore nih. Daaaan ini diskusi yang menarik, heuheuheu.


Ewing

Luz Balthasaar mengatakan...

Kalaupun menurut kamus itu "ragam cakap," di dalam penggunaannya di masyarakat, bini itu 'lebih kasar' kukira.

Maksudnya nggak berarti bini itu kata makian, tapi nilainya lebih 'kasar' karena asosiasinya. Kayak ngoko dengan kromo inggil Jawa. Atau "Omae" dengan "Anata" dalam bahasa Jepang. Keduanya berarti "kamu", tapi satu menunjukkan rasa hormat yang lebih dari yang lain.

Jadi di sini, kita bicara "bahasa halus" dan "bahasa kasar." Atau, cara lainnya, kita sebut bahasa "tinggi" dan bahasa "rendah." Sama sekali nggak ada hubungan dengan makian.

Dan soal permaisuri, ya, memang dia punya nilai rasa yang tinggi karena dia spesifik. Tapi juga, orang-orang biasa toh sering memakai permaisuri untuk menyebut istrinya, terutama kalau dia sedang merasa ingin puitis dan 'meninggikan' pasangan. Sama kayak laki-laki menyebut "dewiku" untuk menyebut perempuan-perempuan tertentu.

Jadi, permaisuri bisa dipakai untuk menunjukkan nilai rasa meninggikan.

Balik lagi, kalau kita bilang "semuanya relatif", berarti kita nggak bisa mengukur tingkat ketepatan terjemahan. Kan semuanya relatif?

Nah, padahal, dalam kenyataannya? Ada yang namanya tingkat ketepatan terjemahan.

Aku juga berkecimpung dalam masalah di mana banyak terjemahan diperlukan. Bukan cuma Indonesia-Inggris, tapi dengan orang Jepang, Rusia, Jerman, banyak.

Yang kualami, pedoman di kamus selalu ditempatkan kedua, setelah 'ketepatan' pengertian dan rasa saat kita berdiskusi. We have to get the 'same' sense of the word. Itu yang penting.

Luz Balthasaar mengatakan...

Oh ya, nambah lagi, Nilai rasa juga kayaknya nggak selalu terkait dengan tinggi rendah. Nilai rasa bisa terkait dengan maskulinitas dan feminitas kata, malah mungkin juga menyampaikan muatan emosi.

Mari kita ambil bahasa Jepang lagi, mengingat ini bahasa yang pemakaian nilai rasanya kelihatan jelas sekali (dan sering bikin masalah kalau diterjemahkan jadi bahasa lain):

a. Shizuka ni shite kudasai.

b. Shizuka ni shiro yo!

b. Damare!

Dua yang pertama berarti, "Be Quiet, please." Yang pertama itu feminin, dan sangat lembut. Yang kedua maskulin, agak kasar.

Dan yang terakhir, "Shut up!" kasar banget, mungkin menunjukkan kemarahan, tapi bukan makian.

Dan aturan rasa ini disepakati sama masyarakat. Masyarakat mana? ya yang memakai bahasa itu. Jadi rasanya susah kalau kita mau bilang relatif.

Soal yang ini,

"...gw bisa mengonfirmasikan bahwa nilai rasa setiap orang beda. Kadang ada yang suka terjemahan yang berpedoman teguh pada materi aslinya termasuk struktur kalimatnya, kadang ada yang lebih suka terjemahan yang melibatkan nuansa lokal dengan struktur kalimat dan kata-kata yang membumi dan mudah diakrabi..."

Ini bukan nilai rasa, Om. Ini mah selera dan gaya penerjemahan. Bukan nilai rasa kata/frase yang kumaksud.

Luz Balthasaar mengatakan...

Soal weasel word,

Masyarakat itu weasel word karena kita selalu bisa bertanya, "Masyarakat yang mana?"

Yang mempertanyakan definisi seperti itu cuma orang yang mau debat kusir, kukira. Atau kalau kita bicara memakai istilah debating, mereka mau "weaseling', if that's what you mean. I'm quite familiar with the term, actually.

Untuk mereka yang mau melihat tanpa pretensi 'weaseling' atau berdebat kusir, tentu jelas bahwa pemakai bahasa adalah masyarakat.

Kita balik pertanyaannya: Memangnya siapa lagi yang memakai bahasa selain masyarakat?

Orang? Hanya karena dia bagian dari masyarakat. Kalau dia sendiri, tidak bermasyarakat, dia nggak perlu bahasa.

Perkara masyarakat yang mana, ya masyarakat yang memakai bahasa itu. Bahasa Jepang, ya masyarakat Jepang, atau masyarakat yang mempelajari bahasa Jepang. Bahasa Indonesia, ya masyarakat Indonesia, atau yang belajar bahasa Indonesia. American Sign Language? Idem.

Very simple, and very clear. Unless we deliberately cloud the picture by weaseling the definition, that is.

Anonim mengatakan...

Bengong nungguin subuh, sutralah, mari kita lanjutkan lagi diskusinya.


Btw, gw nggak tau cara bikin kutipan di sini, jadi gw copy paste ada komen lu yang pengen gw tanggepin ya.




Kalaupun menurut kamus itu "ragam cakap," di dalam penggunaannya di masyarakat, bini itu 'lebih kasar' kukira.

Mari kita ambil bahasa Jepang lagi, mengingat ini bahasa yang pemakaian nilai rasanya kelihatan jelas sekali (dan sering bikin masalah kalau diterjemahkan jadi bahasa lain):




Hmm,kita menerapkan pendekatan yang berbeda. Gw rada enggan mengira-ngira mana yang kasar atau nggak, karena itu gw lebih milih jalan aman yaitu ya liat kamus, heuheuheu.

Daaan, gw menduga-duga lu make bahasa Jepang sebagai contoh karena frankly, bahasa Indonesia nggak mengenal bahasa tinggi dan bahasa rendah. Mungkin bisa jadi karena memang bahasa Indonesia nggak mengenal konsep "kasar yang nggak ada hubungan dengan makian".


Soal asosiasi, entah kenapa gw merasa bahwa di luar kata yang jelas-jelas dilabeli kas, sebagian kata kasar/makian yang kita gunakan baru terasa kasar sesuai konteks aplikasinya.

Contoh: Anjing

Guguk adalah seekor anjing.

(maaf) Anjing lu!



Balik lagi, kalau kita bilang "semuanya relatif", berarti kita nggak bisa mengukur tingkat ketepatan terjemahan. Kan semuanya relatif?


Yang kualami, pedoman di kamus selalu ditempatkan kedua, setelah 'ketepatan' pengertian dan rasa saat kita berdiskusi. We have to get the 'same' sense of the word. Itu yang penting.




Nah,lagi-lagi sepertinya kita berbeda. Pertama, gw setuju bahwa ketepatan dalam penerjemahan adalah penting. Tapiii, gw merasa bahwa kita justru memerlukan kamus (dan senarai bahasa, dan glosarium, dll, dsb, dst) untuk menemukan ketepatan terjemahan tersebut.


Lanjut, nah, di sinilah nilai rasa menunjukkan sisi bermasalahnya. Dari istilahnya aja udah jelas kayaknya, gabungan antara "nilai" dan "rasa".


Siapa yang menilai? Siapa yang merasa? Subjektif.



Soal weasel word, tentu, gw sangat yakin lu paham. Justru karena itu gw angkat ke permukaan.

Baiklah, gw akui mungkin gw seharusnya lebih elaborate soal masyarakat itu.


Apapun kata orang-orang yang merasa Pendeta Agung KBBI, masyarakat tetep aja ngerasa ga enak baca.


Masyarakat mana yang ngerasa nggak enak baca?

Masyarakat mana yang merasa nilai rasa suatu karya terjemahan (setidaknya) terasa maksa atau bergeser dari makna aslinya?

Mengatasnamakan pribadi untuk mengutarakan pendapat soal sesuatu (nggak harus terjemahan loh ya) tentu sah-sah saja, tapi mengatasnamakan masyarakat? Agak sedikit berlebihan kayaknya, heuheuheue.



Btw, berhubung lu udah punya postingan baru, gw persilakan untuk tidak melanjutkan diskusi ini. Takutnya malah mengalihkan perhatian dari sana.


Ewing

Luz Balthasaar mengatakan...

Sebenernya, bahasa Indonesia mengenal konsep "tinggi" dan rendah", meskipun dia nggak dikelompokkan secara khusus seperti ngoko dan kromo. Ada kata yang memiliki nilai rasa lebih tinggi, dan ada yang rendah. Itu makanya kita mengenal ameliorasi dan peyorasi.

Bini itu peyoratif. Dia memiliki nilai rasa lebih kasar/rendah daripada istri, apalagi permaisuri. Gitu maksudnya. Sama dengan "kamu" dan "anda". Anda lebih sopan dari kamu. Mungkin ini penyamaan yang pas dengan dengan "omae" dan "anata".

Contoh lain, sudah kucantumkan. "Tidak menempatri strata sosial yang tinggi," dan "Orang pinggiran." Yang pertama lebih halus dari yang kedua.

Berikutnya, dalam nilai rasa yang makin kasar, "difabel," "cacat," dan "invalid" (yang ini kuno.)

Jadi,

gw menduga-duga lu make bahasa Jepang sebagai contoh karena frankly, bahasa Indonesia nggak mengenal bahasa tinggi dan bahasa rendah.

Tidak mengenal bahasa tinggi dan rendah? Do recheck your high school language lessons.

__


Balik ke kata berlabel "kas", sekarang ngerti kan kalau yang kumaksud nilai rasa kasar bukan kata berlabel "kas" dalam KBBI, yang sebagian besar kata makian?

Nih kata berlabel "kas" yang kudapat dari KBBI, yang kamu pakai sebagai pendukung argiumen sebelumnya:


Babi = 2 kas umpatan yg sangat kasar: enyah kau dr sini, -- !

Keparat = 2 kas bangsat; jahanam; terkutuk (kata makian): engkau ini anak -- !


Sama sekali nggak ada hubungannya dengan nilai rasa dari bini yang lebih kasar daripada istri, cacat yang kebih kasar dari difabel. Or, should you prefer it, some of these words are pejorative compared to the other. Merendahkan.

You can ask any person with a sufficient language education, and they will know what I am talking about.

I think you should have read more carefully about what we are discussing, O High Priest.

Dan soal label kasar, sejujurnya, KBBI itu tidak infalibel. Coba kita lihat entry untuk "tahi," sebuah makian kasar di indonesia. Menurut KBBI daring yang kupakai, "Tahi" malah nggak dilabeli "kas," padahal kita semua tahu kalau kata itu adalah umpatan kasar seperti "babi" dan "keparat".

Jadi darimana kita tahu "tahi" itu kasar? Dari masyarakat yang memakainya, kan?

KBBI itu kamus. Kita perlu kamus, tapi bahasa berkembang lebih cepat daripada update kamus. Lagipula, yang nyusun kamus itu siapa? Manusia. Sebab itu, kamus itu tidak infalibel.

Luz Balthasaar mengatakan...

Siapa yang menilai? Siapa yang merasa? Subjektif.

Subjektif, tapi ada aturan dalam menerjemahkan bahwa kita mencari nilai rasa yang disepakati secara umum, atau paling mendekati. I was a translator too, so I know about this.

Kalau kita menerjemahkan, "omae" dan "anata" bisa sama-sama diterjemahkan sebagai kamu. Tapi kalau kita mempertimbangkan nilai rasa, "omae" mungkin kamu, atau bahkan "elu", sedangkan "anata" akan menjadi "anda." Tentu, kita cocokkan dengan keadaan terjemahan.

Ini yang kubilang mencocokkan nilai rasa. Dan ini nggak sepenuhnya subjektif. Kalau semua itu diterjemahkan pukul rata sebagai kamu, ada 'rasa' yang hilang dari terjemahan.

Maka, kita bisa bilang, terjemahan yang memperhitungkan nilai rasa ini umumnya lebih baik daripada yang tidak.

__

Masyarakat mana yang ngerasa nggak enak baca?

Masyarakat mana yang merasa nilai rasa suatu karya terjemahan (setidaknya) terasa maksa atau bergeser dari makna aslinya?


Ya masyarakat yang memakai bahasa terjemahan itu dong? Dan tentunya ada karya-karya terjemahan yang secara umum disepakati oleh masyarakat bahwa kerja penerjemahan untuk karya itu nggak begitu baik.

Oleh karena itu, kalau dikatakan,

Mengatasnamakan pribadi untuk mengutarakan pendapat soal sesuatu (nggak harus terjemahan loh ya) tentu sah-sah saja, tapi mengatasnamakan masyarakat? Agak sedikit berlebihan kayaknya, heuheuheue.

Kenapa aku dituduh mengatasnamakan pendapat pribadi? Ini bukan pendapatku pribadi, karena memang ada karya-karya terjemahan maupun buku yang secara umum dianggap kurang bagus oleh masyarakat. Yang kukatakan adalah,

"Kalau nilai rasanya meleset terlalu jauh atau terlalu umum (lihat contoh broadsword dan zweihander Juun), terjemahan itu bakalan terasa maksa. Apapun kata orang-orang yang merasa Pendeta Agung KBBI, masyarakat tetep aja ngerasa ga enak baca."

Bukankah ini logis? Terjemahan yang meleset jauh (a.k.a ngaco), dan nggak meng-convey arti yang tepat pastilah membuat masyarakat ga enak baca, karena mereka bakal terbingung-bingung.

Itu makanya kalau kita download anime yang ada subtitelnya, biasanya ada rating. Apakah subtitelnya sudah bagus, masih jelek, atau baru lumayan?

Kenapa aku dituduh mengatasnamakan masyarakat untuk menyampaikan pendapat pribadi? Itu tuduhan yang nggak berdasar, really.

Aku cuma bilang, terjemahan yang nggak tepat akan membuat masyarakat nggak menikmati suatu karya. Dan ini bukan pendapat pribadi. Terbukti kita mengenal terjemahan jelek dan bagus. Dan ada rating subtitel. Ini bukti kalau masyarakat pun menilai bagus tidaknya karya terjemahan secara umum, kan?

Atau, kalau anda bersikeras aku mengatasnamakan pendapat pribadi, please ajukan bukti, karena aku sudah mengajukan bukti bahwa argumenku bukan pendapat pribadi.

__

Dan nggak usah cemasin kalaupun diskusi ini mau menarik perhatian dari entry baru. Ini blogku, dan aku nggak pernah bikin aturan semua diskusi harus di entry baru. Semua orang boleh post dimana saja dan kapan saja kok. It's free.

Lain masalah kalau memang anda yang nggak mau melanjutkan diskusi sih.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Ga bermaksud ikutan diskusinya, cuma mau nanya doang, bahasa Jepang ada yang maskulin dan feminin ya? Sering nemu kayak gini di manga, yang sering disebut sebagai "bahasa cowok" dan "bahasa cewek", tapi baru bener-bener ngeh setelah dikasih contoh (kalau di manga kan biasanya udah diterjemahin ke bahasa Indonesia yang nggak ada perbedaan maskulin dan femininnya, jadi ga jelas).

Jadi bertanya-tanya, kenapa ada perbedaan seperti itu di bahasa Jepang ya? Apa zaman dulu, cewek dan cowok di Jepang itu diharuskan berbicara dengan bahasa yang beda? Terus apa fenomena kayak gitu juga ada di Indonesia? Setauku, mungkin memang ada fenomena yang mirip, yaitu biasanya cowok ngomong dengan bahasa yang 'kasar' cenderung menjurus ke arah makian, sementara cewek (diharapkan) ngomong dengan bahasa yang lebih 'halus', dan kayaknya nggak banget kalo cewek maki-maki.

Tapi, teteup aja ada juga cowok yang bahasanya halus, sementara ada juga cewek yang bahasanya lebih gawat daripada sopir truk.

Agak OOT sebenarnya, mudah-mudahan yang punya lapak ga marah :D

Juno Kaha mengatakan...

@Ewing: Utk bagian ini:

Pertama, gw setuju bahwa ketepatan dalam penerjemahan adalah penting. Tapiii, gw merasa bahwa kita justru memerlukan kamus (dan senarai bahasa, dan glosarium, dll, dsb, dst) untuk menemukan ketepatan terjemahan tersebut.

Entah kenapa membuat gw teringat pada terjemahan spirit walker menjadi klanaroh pada The Chronicles of Ancient Darkness. spirit walker, kalo diterjemahan mentah2, jadinya mgkn pejalan roh/roh pejalan (kalo udah tahu bentuknya kyk apa, kyknya lbh tepat pejalan roh) tapi penerjemah dari pihak Matahati menggunakan kata "klanaroh" yg mayoritas pembaca gak ngeh bahwa itu merupakah kata modif dari "kelana" dan "roh". Di sini, IMHO, udah keliatan bahwa terjemahan yg dilakukan gak presisi (walker jd kelana/klana) tp unsur mistis dan kuno yg memang jd ciri khas The Chronicles of Ancient Darkness kerasa di pembaca. (tambahan: gw malah baru tahu belakangan ini kalo batu baiduri api itu batu rubi)

@Signora: Selain Javanese dan Japanese, org Sunda yg hampir selalu ketuker pas ngomong "p" ama "v" (Japanese jd Javanese dan sebaliknya? :D :D) jg kenal basa alus ama basa kasar (dan basa "tengah2" yg gw lupa apa namanya, maklum jelek mulu pelajaran Sundanya dari dulu). Gw rasa belakangan ini bhs Indonesia jg berkembang ke arah sana, punya semacam klasifikasi "basa alus" ama "basa kasar", tapi belum disahkan scr resmi di EYD ato KBBI krn perubahan itu--IMHO--emang cukup drastis dr gak punya jd (sebenarnya) punya. Gw kebetulan ngeh dgn maksud basa alus basa kasar yg dimaksud Signora krn sejak SD belajar bhs Sunda (yak, nilainya hampir selalu cuma 6), ortu srg bgt pake bhs Jawa dan sempat ngasih tahu soal bhs halus/nggaknya, plus gw sempat les bhs Jepang biarpun terseok2 ujian level 2 dan skrg pengetahuannya lbh byk disokong dr temen gw yg penerjemah manga di Elex.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Rie, yup, ada. Maskulin dan feminin dalam arti bahasa cowok dan bahasa cewek yang kamu sebut itu.

Memang di budaya Jepang (dan banyak kultur lain,) cewek diharapkan ngomong lebih manis. Dan ada bentuk-bentuk akhiran kalimat yang membuat kalimat itu dianggap lebih manis oleh masyarakat Jepang sono.

Kalau dijadikan Bahasa Indonesia, kadang feminitas atau maskulinitas yang terasa dari kalimat itu hilang. Namun, penerjemah yang kreatif biasanya mencari cara agar sedapat mungkin pembaca tetep mendapat rasa maskulinitas-feminitas itu.

Luz Balthasaar mengatakan...

"Gw rasa belakangan ini bhs Indonesia jg berkembang ke arah sana, punya semacam klasifikasi "basa alus" ama "basa kasar", tapi belum disahkan scr resmi di EYD ato KBBI krn perubahan itu--IMHO--emang cukup drastis dr gak punya jd (sebenarnya) punya."

Benernya ada dari dulu kok, Juun. Semua bahasa, bukan cuma bahasa Indonesia, mengenal nilai rasa. Ada kata yang memiliki muatan yang lebih hormat, lebih kasar, lembut, lebih umum, lebih kabur, lebih khusus, lebih akrab, dan seterusnya.

Ada nilai rasa subjektif, tapi ada juga yang disepakati umum. "Beliau" contohnya, disepakati secara umum bahwa nilainya lebih hormat daripada "dia."

Meskipun di dalam bahasa Indonesia nggak dikelompokkan secara khusus sebagai bahasa tinggi dan rendah (mungkin nanti, seperti yang kamu bilang, who knows,) nilai rasa itu dikenal di dalam bahasa kita.

Anonim mengatakan...

Dan marilah kita lanjutkan lagi kalo begitu, heuheuheu.


Tentu gw nggak selancang itu untuk menyangkal keberadaaan ameliorasi dan peyorasi. Tapi pada praktiknya, kata-kata yang telah mengalami proses ameliorasi dan peyorasi ataupun kata-kata yang disepakati umum memiliki nilai lebih tinggi tetap bisa dipakai dalam konteks yang sama sekali berlawanan.


Contoh lu bagus, "beliau". Beliau memang menunjukkan hormat, tapi dalam praktiknya tetap bisa dipakai sebagai sindiran, terutama bentuk jamaknya.


Begitu pula tahi. Sebagai pribadi, gw merasa penggunaan kata tahi dalam kalimat macam, "Awas, jangan diinjek tahi kucingnya." nggak terasa kasar. Sama dengan "Guguk adalah anjing yang cerdas."


Dan yep, gw masih nggak ngerti di mana letak kata bini lebih kasar daripada istri. Gw merasa (ah, gw juga merasa-rasa juga rupanya, jadi malu, heuheuheu) dia kurang lebih sama kayak missus, dan penggunaannya (berdasarkan pengamatan gw) sering kali menunjukkan keakraban antara orang-orang yang menggunakannya.


Kalo lu bicara soal terjemahan, tentu terjemahan yang buruk akan lebih mudah dikritisi karena jelas terjemahan buruk lebih mudah dideteksi daripada nilai rasa terjemahan yang dirasa meleset.

Contoh, misalnya claymore diterjemahkan menjadi pedang besar. Mungkin beberapa orang akan merasa nilai rasanya meleset, tapi belum tentu itu otomatis berarti terjemahan yang buruk.


@Juun: Yep, gw juga merasa klanaroh tuh udah sangat baik. (sialnya, serial Ancient Darkness punya satu buku yang terjemahannya termasuk buruk di mata gw, euh).



Ewing

Luz Balthasaar mengatakan...

@Ewing, karena itu kutekankan kita bicara secara umum. Lazim. Kita nggak bicara ironi.

Dan kalaupun kita bicara ironi, bahkan "beliau-beliau" yang memiliki nilai rasa ironis itu pun hasil dari ksepakatan masyarakat, bukan?

Kesepakatan nggak selalu hanya pada satu arti. Perubahan-perubahan nilai rasa pun merupakan sebuah kesepakatan dari masyarakat.

So, like it or not, nilai rasa nggak selamanya subjektif. Ada rasa kata yang secara umum disepakati.

Dan soal "tahi," itu makanya kubilang entri kamus itu tidak infalibel.

KBBI melabeli "babi" sebagai "kas", tapi "tahi" tidak. Padahal "babi" bisa dipakai dengan cara yang sama dengan "tahi"; sebagai kata benda yang memiliki nilai rasa netral, atau umpatan yang kasar.

Kalau ada ketidaklengkapan entri kayak gini, ke mana kita berpaling? Ke masyarakat selaku pengguna bahasa.

Mengenai bini, dia lebih kasar karena, balik lagi, coba lihat penggunaannya. Siapa yang memakai? Bagaimana ia dipakai?

Dia mungkin dipakai antara teman akrab, apalagi dalam pergaulan cowok. "Bini gue" aatu "bini lu." sama-sama memakai bahasa kasar, ga masalah karena sesama cowok memang expected to use bahasa kasar. (Satu lagi bukti kalau bahasa Indonesia mengenal halus kasar-btw).

Dan mungkin juga penggunaan bahasa kasar itu meningkatkan "manliness" mereka karena mendelegasi istri ke posisi "bini," dengan demikian mempertegas posisi mereka sebagai pemimpin.

Tapi kalau suami ngomong sama istri, apa dia bilang, "Bini, sini lu!" Nggak kan?

You have a wife. You should understand.

Kenapa dia nggak bilang begitu? Karena dia tahu itu kasar. Peyoratif. Adanya juga dia ngomong, "Mam," "Say," "Honey," atau, (klo lagi ada maunya,) "Istriku sayaaang."

See? Semua ada nilai rasanya.

Dan soal pedang besar = claymore, ada banyak pedang besar lain, dari negara lain. Bagaimana menyelipkan "rasa" bahwa pedang itu berasal dari negeri tertentu, dengan jumlah kata paling efisien?

Aku juga gak bilang terjemahan yang ngga tepat 100% itu pasti jelek. Mungkin kita ga bisa selalu tepat. Tapi kalau melesetnya terlalu banyak? Halah.

Aku yakin banyak yang setuju itu terjemahan yang kurang baik, dibanding kalau kita berhasil memberikan nilai rasa yang tepat.
__

@Juun, kalau aku jadi penerjemahnya, spiritwalker akan kuterjemahkan kelanajiwa.

Anonim mengatakan...

@luz:

Tapi kalau suami ngomong sama istri, apa dia bilang, "Bini, sini lu!" Nggak kan?

You pwned me with this single sentence, heuheuheuheu.


Baiklah, gw akan mempelajari soal ini lebih lanjut dan semoga bisa bermanfaat untuk pengembangan penulisan gw.


Ini debat yang bagus btw, meski ada pihak yang sangat ngotot, ngaco dan kepala batu. Semoga juga bermanfaat bagi siapa saja yang memantaunya.


Ewing

Juno Kaha mengatakan...

Udah diakhiri kan nih debat terbukanya? Yak, gw mulai agak oot yah. Pertama2, soal terjemahan spirit walker.

Knp dijadiin kelanajiwa, Signora? Pengen tahu aja sih pertimbangannya apa kok Signora milihnya itu.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

Pertimbanganku ada 4.

1. Ketepatan arti

2. Ketepatan dengan suasana cerita/konteks.

3. Nilai rasa, efisiensi kata/ketukan suku kata, dan keindahan bunyi.

4. Perkiraan mudah-tidaknya dimengerti oleh pembaca

Mari kita lihat tiga terjemahan yang mungkin untuk spiritwalker: pejalan roh, klanaroh, atau punyaku sendiri, kelanajiwa
__

Ronde satu, semua terjemahan ini lolos. Artinya tepat semua kan?
__

Ronde dua, juga semua lolos. Tapi pejalan roh agak kurang 'mistik' dibanding yang lain, kan? (Aku ambil pendapat kamu aja kalau kita memerlukan rasa 'mistik'.)Terjemahan itu kurang membawa suasana cerita. Jadi dia kurang di sisi ini.
__

Ronde tiga, nilai rasa, efisiensi ketukan suku kata dan keindahan bunyi.

spiritwalker = 4 suku kata. Dan kalau dibunyikan, terasa enak ya? Itu karena kata ini memiliki nilai puitis.

pejalan roh = 4 suku kata. tapi kalau dibunyikan, terasa kagok dibanding istilah aslinya, spiritwalker. Dan ini harfiah, kurang memiliki nilai puitis.

klanaroh = 3 suku kata. Paling hemat. Tapi kalau dibunyikan, dibandingkan dengan spiritwalker, terasa kagok juga. Mungkin dia puitis karena ada penggunaan "klana", tapi kecantikan bunyinya ga dapet.

kelanajiwa = 5 suku kata. Paling boros. Tapi beda sukukatanya cuma satu, dan kecantikan bunyinya (rima xa-xa-xa pada 3 suku katanya) memberikan keindahan puitis yang sebanding dengan "spiritwalker."

Jadi, terjemahan ini bukan saja menerjemahkan arti, tapi juga menerjemahkan nilai puitisnya ke dalam bahasa Indonesia.
__

Ronde empat, perkiraan kemudahan pemahaman.

Pejalan roh: paling mudah dipahami.

klanaroh: membingungkan. What is that? Klan-aroh? Kla-naroh?

Kelanajiwa : mungkin awalnya membingungkan, tapi kuperkirakan pembaca akan cepat 'kena' begitu mereka membaca "jiwa", ddan mengasosiasikannya dengan spirit". Setelah itu, mereka akan mengasosiasikan "walker," "pejalan" dengan "kelana." Agak rumit, tapi lebih cepet nyambung dibanding klanaroh.
__

Begitulah pertimbanganku kalau menerjemahkan. Ribet? Barangkali. But that is how I translate. Aku mencoba untuk tepat tidak hanya secara harfiah, atau hanya melakukan pendekatan by-the-book, tapi juga nilai rasa dan puitisasi.

Nah, tapi ini kan terjemahan sekilas, dan mengandalkan keterangan orang kedua, mengingat aku belum pernah baca Ancient Darkness. Kalau aku sudah baca sendiri, mungkin aku akan punya gagasan penerjemahan yang lain lagi.

Anonim mengatakan...

Pemilik lapak dan pengunjung pada maen pestol aer, scroll atas scroll bawah...nah itu dia, thx mantoel & luz bwt jawabannya.
Ikut maen pestol aer ah, gw mikirnya nawaitu para KBBI mania mungkin sebenernya seperti kasus kata "download", pada akhirnya masyarakat akrab juga dengan kata "unduh", dan yang disebut terakhir bukan kata baru. Alih-alih cari gampangnya doang dengan sekedar memiringkan kata, penulis dan penerjemah dituntut untuk kreatif memadankan suatu kata atau istilah.

Salam sotoy,

Zenas

Juno Kaha mengatakan...

Kalo kata unduh, saya malah jarang pake, tapi terpengaruh ama dosen yg hobi menggunakan kata "mangkus dan sangkil" (hayo, tebak ini biasanya apa? :D :D) pas kuliah, para mahasiswanya dia kebanyakan jd ikutan pake kata sangat baku. Tapi saya kurang setuju penggunaan kata sangat baku dalam bidang IT krn buntutnya gak dipahami! Peramban, pranala, tetikus, dst, dst ... Lieur, gan!

Hehe.

Dyah mengatakan...

Izin nyatet aturan2 dasarnya buat direnungkan :)

Saya masih belajar nulis nih jadi banyak yg belum diketahui.

Thanks Mbak atas tambahan pengetahuannya :D

Kuro Myswalk mengatakan...

"....gaya bahasa adalah produk dari usaha mendamaikan kekuatan dan kelemahan kita dalam menulis."

Sip, kalimat yang jitu dan tepat sasaran. Nice