Selasa, 01 Juni 2010

Story Construction Manual ~ Langkah-Langkah Membuat Novel Fiksi Fantasi

Ngobrol-ngobrol minggu lalu memberiku inspirasi untuk menyusun langkah-langkah membuat karya fiksi fantasi yang panjang. Sebelum kita mulai, aku ingin bilang bahwa langkah-langkah yang kucatat ini bukan langkah mutlak, tapi lebih ke metode dasar yang bisa dijadikan patokan oleh semua orang yang masih belajar dan pengen membuat novel fiksi fantasi. Ketika kemampuan kita bertambah, kita selalu bisa bikin modifikasi sendiri untuk membuat variasi dari langkah yang kutulis.  
  
  
Pertama, menurut pengalamanku, cerita seharusnya punya ide awal yang menjadi pemicu. Seperti desis dan nyala pertama di sumbu dinamit, ada sesuatu yang memicu cerita itu dikonstruksi. Pemicu ini macam-macam bentuknya. Kadang bentuknya bisa berupa premis, seperti, "saya ingin bikin cerita tentang petualangan orang-orang yang memiliki kekuatan super," atau "cerita pertarungan antara ksatria-ksatria yang harus saling bunuh sampai terakhirnya hanya ada satu orang," atau "cerita sekelompok orang berbeda suku dan ras yang harus bertarung bersama-sama untuk melawan raja kegelapan, tapi mereka terpecah oleh perbedaan di antara mereka."
   
Bisa juga inspirasi awal itu datang dalam wujud karakter. Abis main Final Fantasy VIII, misalnya, langsung pengen bikin karakter utama cowok dingin-dingin cuek gimana gitu, tapi jago berantem. Atau baru diputus pacar, langsung pengen bikin karakter ce/co ideal yang setia sampe mati sama cinta sejatinya. 

Atau mungkin inspirasi awal itu malah datang dalam bentuk setting. Abis nonton LoTR pengen bikin dunia medieval. Abis nonton Twilight, pengen bikin dunia di mana mahluk-makhluk supranatural itu nyata. 

Apapun bentuk inspirasi itu waktu datang, satu hal yang sebaiknya segera kita lakukan adalah, kembangkan premis awal itu. Caranya? Be specific
   
Ambil contoh kita mau bikin cerita dengan premis awal petualangan orang-orang super. Siapa saja orang-orang itu? Bagaimana mereka bisa punya kekuatan super?  Di mana petualangan mereka terjadi? Apa mereka bertarung begitu saja, atau terbagi menjadi pihak-pihak? Apa implikasinya terhadap kehidupan orang-orang yang ga punya kekuatan; atau, apakah ada orang-orang yang ga punya kekuatan sama sekali?
   
Sama dengan kalau ide awalnya karakter. Siapa dia? Asalnya dari mana? Penampilannya gimana? Apa yang dia suka atau dia benci? Apa yang ia inginkan? Apa dia punya keluarga?
  
Lebih detail tentang pembangunan gagasan awal dan karakter pernah kubahas disini dan disini. Silakan diintip kalau berkenan.
   
Setting juga idem dengan karakter dan premis. Dunia itu seperti apa? Apakah menyerupai planet lain, dunia masa depan, atau dunia masa lalu. Kalau planet lain, seperti apa? Apakah dia planet yang seluruhnya air hingga ras-ras yang tinggal di dalamnya menyerupai ikan? Atau planet gas di mana aliennya memiliki tubuh gas kayak Pokemon Gastly dan evolusinya? Kalau dia kayak dunia masa lalu atau masa depan, spesifiknya tahun kapan? Jika ada masyarakat, bagimana sistem kemasyarakatan mereka? Apakah ada negara? Kerajaan mutlak, atau ada perwakilan masyarakat? Bagaimana bahasa mereka? Sama dengan kita, atau berbeda? Dan elemen-elemen fantasi apa yang membedakan dunia itu dari dunia nyata?  (Biasanya  salah satu elemen ini adalah 'sihir', yang membawa kita ke pertanyaan selanjutnya: bagaimana sihir diterapkan di dunia itu? Pakai mantra ala Harry Potter, atau pake sistem kristal ala Final Fantasy XIII?)

Aku memang belum bikin catatan apapun soal worldbuilding. Untuk sementara, daftar pertanyaan singkat ini dulu aja yah yang dipake. Nanti kalau ada catatanku tentang worldbuilding, aku  akan taruh link yang benar.

*Edit* Akhirnya bikin juga. Silakan dilihat disini
   
Nah, kalau ide awal anda sudah dituturkan secara detail, apa yang harus anda lakukan? Langkah kedua adalah melengkapi. Apabila ide awal yang pertama kita dapat adalah karakter, buat premis awal cerita dan setting. jika dapatnya premis, bikin karakter dan setting. Jika dapat setting, bikin premis dan karakter.

Sedikit catatan, walau aku menyebutnya 'melengkapi', detail premis-setting-karakter itu nggak harus selalu komplit dari awal. Sebagai contoh, aku pernah membuat satu tokohku  dengan sifat "sombong, pintar, suka cewek, tukang cari masalah," tapi aku nggak ngerancang kalau dia penggemar opera, suka baju bagus, dan jago berbahasa asing sampai aku selesai menuliskan Bab 2. Jadilah imej karakter itu berkembang dari "bajak angkasa biasa" menjadi "sosialita bandit."

Jadi, penambahan itu bisa dilakukan seiring perkembangan cerita. Kapanpun kita dapat gagasan untuk menambahkan sesuatu pada sifat atau backgroundnya yang mendukung plot, silakan. Tapi pada awalnya, kita hanya perlu melengkapi premis-setting-karakter ini sejauh yang diperlukan untuk memulai. 

Sekarang kita sudah melengkapi premis-setting-karakter. Berikutnya apa? Mulai menulis, dong! Coba ceritakan premis awal itu. Bagaimana cerita bermula, di mana, dengan tokoh seperti apa. Jika anda sudah selesai menulis penggal pertama, baca ulang, dan pikirkan. Sesuaikah itu dengan rencana yang  anda bangun? Atau apakah anda mendapat ide yang lebih baik?
   
Mulai dari sini, disarankan kita mulau memasuki langkah berikutnya, yaitu membuat kerangka. Kerangka itu bisa kaku, bisa longgar. Aku sendiri cenderung memakai kerangka longgar, yang di diskusi minggu lalu disebut Striferser sebagai "kerangka tidak tersusun."
   
Bisa juga kita nggak ngelihat longgar tidaknya suatu kerangka, tapi dari utuh atau tidaknya. Kita bisa bikin kerangka yang menunjukkan keseluruhan cerita beserta seluruh cabang, alur, dan endingnya, atau  kerangka bab per bab yang saling terkait erat. 
   
Ibaratnya kita bisa memahat seluruh kerangka sekaligus. Atau, kita bisa bikin tengkoraknya dulu, lalu tulang selangka, lalu tulang belikat dan tulang rusuk, dan sambungkan semuanya. Kita bisa bikin satu kerangka utuh lalu mengerjakannya, atau bikin satu kerangka untuk satu bab, kerjakan, dan begitu membuka bab baru, membuat kerangka untuk bab baru itu.
   
Catatan untuk kerangka-kerangka yang lebih longgar, suatu cerita dengan kerangka semacam ini masih bisa lari kemana-mana, dan karenanya menjadikan kerangka itu ga guna. Untuk mengatasi hal ini, Yican (Rie-Chan) alias menyumbang saran seperti berikut ini. Aku sangat setuju pada saran ini. Kalau dibahasakan sesuai artikel kita sekarang, saran itu bisa ditulis sebagai:
   
Pertama, jangan arahkan plot dan konflik atau unsur apapun dari cerita hingga jadi menyimpang dari bangunan premis, karakter, atau setting. Jika satu cerita memiliki premis sekelompok remaja berkekuatan aneh bertarung menyelamatkan dunia, jangan cerita ini tau-tau belok jadi cerita cinta segitiga.
   
Dan kedua, poin pertama nggak berarti kita ga boleh  menambah premis atau plot atau setting. Boleh saja. Kuncinya satu: apakah penambahan yang anda lakukan itu memerlukan penjelasan atau perombakan panjang lebar untuk membuatnya bisa diterima? Kalau ya, jangan lakukan dulu. Catat saja perubahan itu di coret-coretan ide, dan endapkan. Setelah beberapa lama, pikirkan lagi. Apakah anda masih ingin menambahkannya?
   
Tambahan dariku, adalah prinsip pancang. Kalau kita memakai kerangka longgar, bikin pancang, alias target. Pada bab sekian, cerita sudah harus menceritakan soal si ini, si ini, dan si itu. Konflik harus terbuka sampai titik ini. Udah mulai ada petunjuk-petunjuk tentang siapa penjahat sebenarnya.
    
Nah, selama membuat kerangka  dan mengerjakan ini, cobalah untuk mulai memikirkan endingnya seperti apa. Jadikan ending itu sebagai patokan terakhir, dan arahkan semua konflik dan kejadian di dalam plot agar mencapai ending itu.

Ada pertanyaan sampai disini, apakah ending boleh berubah? Bisa. Menurut pendapat Sriferser dan Danny, dari diskusi kemarin, ending bisa berubah jika perubahan itu perubahan minor yang dibuat demi kesesuaian dengan plot. Atau, bisa juga perubahannya besar / total, jika ending lama itu mulai terasa tidak masuk akal dipasangkan dengan bangunan cerita yang selama ini kita kerjakan. Dalam kasus ini, kita harus membuat ending baru yang sesuai dengan bangunan cerita, dan teruskan bagunan cerita agar plot dan ending 'ketemu'.

Bahasa birokrasinya, ada koordinasi antara bangunan cerita dan ending.

Kesimpulannya, Langkah-langkah pembuatan fiksi fantasi secara sederhana adalah:
  1. Temukan gagasan awal, entah premis awal cerita, karakter, atau setting.
  2. Lengkapi ide awal itu, ciptakan detail, sampai cukup untuk memulai. jangan terlalu cemas soal detail lain, karena itu bisa ditambahkan belakangan.
  3. Buat awal cerita, dan tinjau. Sudah suka 'bunyi' bagian pertama itu? Kalau suka, lanjutkan. Kalau belum, brainstorming lagi.
  4. Bikin kerangka. Bentuknya bisa kaku atau longgar, utuh atau per bab.
  5. Jika kerangka itu longgar, bikin patokan dalam memberi 'daging' pada kerangka. Jangan menyimpang dari premis, karakter, atau setting. Apabila kita ingin melakukan perubahan yang memerlukan revisi besar, tulis dulu di kertas lain, dan tinggalkan sejenak. Setelah beberapa lama, tinjau lagi apakah kita masih ingin memakai ide itu atau tidak.
  6. Pakai patokan. Bikin target. Misalnya, di bab sekian cerita sudah maju sampai di  bagian  mana. Konflik sudah kebuka sampai mana. Tujuannya biar cerita itu ga ngelantur kemana-mana. 
  7. Pikirkan ending, dan jadikan itu patokan tertinggi. Kalau sudah ketemu, arahkan seluruh cerita agar mencapai ending itu. Perhatikan kesesuaian bangunan cerita dengan ending. Kalau diperlukan perubahan, silakan lakukan. Koordinasikan jalan cerita dan ending agar 'ketemu'.
Oke, sekali lagi, langkah-langkah ini adalah trik sederhana untuk siapapun yang mencoba menulis fiksi fantasi. Silakan dicoba, diuji, dan dimodifikasi. Kalau udah nyoba dan menemukan tips baru yang bisa ditambahkan ke kerangka sederhana ini, jangan segan membagi-bagi yah! 



Luz Balthasaar

31 komentar:

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Mau nyumbang tips.

Dasar cerita itu ada 3, seperti yang udah dijelaskan di atas, yaitu Karakter, Setting, dan Premis atawa Plot.

Konflik antara Karakter dan Setting dapat menghasilkan Plot utama atau Plot cabang, misalnya tokoh yang tergila-gila pada cewek cakep, tapi terpaksa tinggal di asrama cowok yang mengharamkan cewek. Dus dia harus berjuang untuk mendapatkan cewek yang dia mau.

Konflik antara Karakter dan Plot dapat menghasilkan Setting, misalnya tokoh utama yang polos akan melakukan perjalanan/petualangan yang pada akhirnya mengubah dia menjadi pembunuh nomor satu di dunia tersebut. Bisa dibuat setting yang mendukung, misalnya negara dengan sistem guild pembunuh, atau dunia pasca apocalypse di mana semua orang harus bertahan hidup.

Konflik antara Setting dan Plot dapat menghasilkan Karakter, misalnya di sebuah daerah yang menganut sistem patrilineal, seorang wanita harus berjuang untuk mendapatkan hak-haknya, dan pada akhirnya mengubah sistem patrilineal tersebut jadi sesuatu yang lebih moderat. Dari sana bisa kita tentukan, apakah wanita itu adalah tipikal the Warrior yang kuat, ganas, dan memandang rendah laki-laki, atau tipe BOW yang nyebelin-ngeselin-tapi-keren-juga gimana gitu, atau tipe costum, yang memenangkan perjuangannya justru dengan kekuatan femininnya.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Rie, Saran bagus tuh.

Cuma mau ngoreksi dikiiiiit banget, sebenernya premis bukan plot, tapi gambaran yang menjelaskan cerita itu tentang apa. Mungkin kalau aku bilang, "Gambarkan Artefaktor dalam lima kalimat pendek!" dan kamu ngasih penjelasan itu ke aku, maka penjelasan itu adalah premis.

Kalau plot, ya keseluruhan jalan cerita kita.

Juno Kaha mengatakan...

Premis itu nama lain untuk logline? Macam sinopsis di kover belakang manga?

Jaah, gw blm ngerampungin Simple Notes gw yg ngebahasin soal startup fiksi, udah keduluan ama Signora. :P Org yg lbh berpengalaman dan lbh pny ilmu emang beda kecepatan komposisi postingan blognya. :D :D

@yican (CMIIW, gw agak lupa username pulpennya orz) Apa gak salah kalo bentroknya antara karakter ama plot bisa jadinya setting? Gw kira karakter ama setting bisa menjadikan plot, tapi jarang ada plot + karakter jadinya setting. Bukan gak mgkn sih, tapi lbh ke arah itu reaksi kimia yg lemah. Jadi plot+karakter gak selalu jadi setting, plus setting gak selalu dari plot+karakter. Bisa aja hubungannya secara matematis dinyatakan dengan saling lepas dan saling bebas.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, premis itu kayak sinopsis, tapi lebih pendek lagi. Kalo sinopsis dia masih nyeritain plot. Kalau premis, itu sebenarnya jawaban pendek dari pertanyaan, "Cerita kamu ini cerita apa sih?"

Coba aja rampungin simple notes untuk bikin cerita, terus kita saling link halaman. Cara kan nggak satu. Kali aja ada yang suka pake langkah-langkahku, ada yang lebih suka pake langkah-langkah kamu.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Luz, ohh gitu ya. Diterima koreksinya *nyatet*

@Juun, waduh bahasa matematisnya, saling lepas dan saling bebas :D

Memang biasanya interaksi yang terjadi adalah karakter versus setting menghasilkan plot, tapi nggak menutup kemungkinan kalau kita udah punya karakter dan plot duluan, baru kita tentukan settingnya yang pas. Atau udah punya setting dan plot, baru kita tentuin karakternya mau kayak gimana. Atau malah udah punya karakter yang berdiri sendiri, udah nyiptain setting, dan udah punya plot, baru kita interaksikan satu sama lain.

Ini cuma sumbang ide, salah satu cara memulai menulis fiksi fantasi, walau ga harus kudu wajib kayak begitu.

Nick Pulpenku emang Yican kok, so don't worry :D

Villam mengatakan...

good article.

dan ternyata udah banyak artikel bagus di sini yg belum sempat gue baca sebelumnya. bagus, luz. :-)

soal premis. mmm... bukan, premis bukanlah bentuk ringkas atau singkat dari sinopsis. premis adalah ide dasar, suatu pertanyaan awal yang memancing seorang penulis utk mulai menulis cerita, sekaligus juga nantinya harus bisa memancing pembaca utk mau membaca cerita tersebut.

dan biasanya premis berbentuk sebuah pertanyaan terbuka "what if ...?", atau "what would happen if ...?"

contoh:

"apa jadinya jika bocah sederhana semacam kita mendapat tanggung jawab untuk memegang Ring of Power?" - LOTR

"apa jadinya jika kita bisa hidup beratus tahun dan ternyata ada orang lain semacam kita yang mengincar kepala kita?" - Highlander

"apa jadinya jika kita bangun di pagi hari dan ternyata terus menemukan hari yang sama?" - The Groundhog Day

"apa jadinya jika kita bisa menghadirkan dinosaurus di jaman sekarang?" - Jurassic Park

"apa jadinya jika kita ternyata adalah bocah penyihir yang kemudian harus masuk sekolah penyihir?" - Harry Potter

"apa jadinya jika kita terpaksa harus memanggil makhluk kegelapan untuk melawan musuh kita yang lebih kuat?" - Akkadia (heheheheheh...)

semakin unik, radikal atau aneh pertanyaan tsb, maka semakin besarlah potensi cerita itu utk jadi cerita yg bagus, dan juga menarik pembaca utk membaca nantinya.

jadi, terkait dg artikel di atas, utk mulai membuat cerita, memang tidaklah cukup dg hanya memikirkan setting dunia atau karakter. sebagai inspirasi, keduanya oke, tapi untuk membuat cerita, kita butuh lebih dari itu. yang kita butuhkan adalah situasi. situasi menghasilkan cerita. dan situasi awal itu diungkapkan melalui premis.

premis bukan sekadar tema. dia makhluk paling besar dan paling penting yang harus kita temukan sebelum kita memutuskan untuk menulis cerita tentang apapun.

halah.

Danny mengatakan...

Hmmm... Villam, kalo pake contoh premis yang kamu tulis itu, apa ga malah bikin resiko tokoh yang kita buat itu sekedar jadi self insertion penulis? (minjem istilah Luz)

Seolah2 kita sendiri yang harus jadi tokoh utamanya dan bukannya tokoh utama yang kita buat itu.

Villam mengatakan...

@danny, ini topik yg berbeda.

tapi apakah ada yang salah dengan membuat diri kita masuk atau melebur ke dalam diri tokoh yang kita buat? dan mencari tahu apa yang bakal dia rasakan jika mendapat kejadian2 tersebut? justru harus, karena jika tidak bagaimana bisa kita membuat cerita tentang dia?

sejauh kita tidak membiarkan diri kita merusak karakter tokoh kita tersebut, maka tidak ada yang salah.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Villam, premis yang kubaksud sebenernya beda dari "what if" question. Premis bukan pertanyaan. Premis itu pernyataan yang menerangkan cerita kita ini sebetulnya tentang apa.

"What if" juga bisa dipakai untuk memulai cerita, tapi itu cara yang lain banget dari pendekatan setting-premis-karakter yang kubuat.

Dari pengalamanku dan hasil ngobrol-ngobrol dengan rekan-rekan, biasanya inspirasi nggak datang dalam bentuk pertanyaan what if. Dia lebih sering datang dalam bentuk pernyataan.

Jadi disini mengusulkan jalan alternatif selain metode what if. Harapannya, caraku mungkin bisa lebih mudah dipakai buat sesama orang yang belajar nulis otodidak.

Soal melebur ke dalam karakter, pandanganku gini. Kita harus memahami karakter, tapi jangan jatuh ke dalamnya.

Caraku melakukan ini adalah dengan menciptakan "buffer persona" yang menjadi pembatas antara diriku dan karakter cerita. Cuma teknik ini masih nyoba-nyoba juga sih. Nanti biarlah berhasil-tidaknya dilihat setelah naskahku kelar.

Juno Kaha mengatakan...

Omongannya balik lagi ke karakter deh. :P :P

Hmm. Coba gw "mem-premis-kan" dua cerita gw. *dgn lancang menggunakan fasilitas ninggalin komen di blog ini sbg tempat latihan :P*

Signat: seseorang yang ingin membalas dendam pada saudara seperguruannya krn kematian sang guru.

Dunamis: seorang remaja yang tiba-tiba dikejar-kejar karena dianggap membahayakan banyak orang.

Sesingkat itukah sebuah premis? :-?

Hehe.

Villam mengatakan...

agak sangat terlalu umum, juun. apakah benar2 hanya itu ide awal yang dulu membuat elu menulis signature & dunamis? gue yakin enggak.

kalo dari pendekatan gue, seharusnya yang semacam ini:

untuk dunamis: apa jadinya jika kita (atau remaja itu)punya semacam bom atom campur biologis yang bisa membahayakan semua orang?

semacam premisnya film The Mercury Rising: apa jadinya jika seorang bocah autis berhasil memecahkan sebuah kode rahasia militer?

untuk signature, misalnya begini: apa jadinya jika kita (atau tokoh itu) kehilangan sang guru yang dibunuh oleh saudara yang sebenarnya sangat kita (atau tokoh itu) cintai?

premis berbentuk pertanyaan ini bisa dibalik jadi pernyataan sesuai metode luz.

Juno Kaha mengatakan...

...

Kalo ngomongin ide awal dan melupakan premis2an (mengasumsikan gw waktu pertama kali beride bkn tu gak ngerti premis), ide awal gw separah contoh yg dijabarin Signora Luz di postingannya, jenis2 yg habis nonton/baca Twilight pengen bkn cerita ttg dunia yg jg dihuni vampir dan manusia serigala.

Villam memangnya kalo mengawali cerita rata2 berupa pertanyaan? Dan--hmm--kalo dikatakan terlalu umum, gw gak akan bilang bahwa yg gw tulis udah agak spesifik sih, emang pada kenyataannya lbh umum daripada yg versi Villam, tapi gw rasa yg namanya premis itu pada mulanya ya umum, baru setelah karakter, setting, plot ada bayangan, si premis itu menemukan penyempitan tersendiri.

Kyk, kalo pengertian gw ttg premis sekarang itu bisa dianalogikan dengan calon petani.

Awalnya dia cuma mikir, "Saya mau jadi petani!" <-- premis (?) Dalam contoh ini anggaplah dia mau jadi petani anggur.

Sesudah itu dia mulai mengolah lahan, membeli benih anggur, belajar dan mempraktekkan tata cara mengolah lahan yg benar, baru sesudah si anggurnya tumbuh (karya tulisannya) bisa ketahuan si anggur itu manis, asam, asin, pait, ato gimana.

Dalam prosesnya si petani anggur memutuskan utk menanam anggur, bisa aja saat benihnya blm tumbuh (ato dia malah baru beres belajar cara bercocok tanam ato mengolah tanah) tiba2 dia kepikiran kalo dia pengen mengarahkan anggurnya untuk produksi kismis buat distok ke toko2 roti di sekitarnya, ato mau dijadiin wine, ato mau dijadiin selai, dst.

Penyempitan tujuan "premis" awalnya baru terjadi pas dia udah mulai bercocok tanam (menulis) kan kalo gitu?

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, Villam,

Sebagai orang yang mengajukan cara ini, aku ingin membedakan apa yang kumaksud dengan premis dari pertanyaan what if. Premis bukan pertanyaan. Dia selalu pernyataan.

Contoh sederhananya, kita ambil "Jurassic Pork" aja:

What if question >> "apa jadinya jika kita bisa menghadirkan Babisaurus di jaman sekarang?"

Premis >> "Cerita tentang kebun binatang yang mencoba menghidupkan kembali Babisaurus lewat rekayasa genetik, tetapi gagasan cemerlang itu justru berubah jadi bencana."

Lihat bedanya?

Premis yang kumaksud adalah gambaran singkat tentang keseluruhan cerita, menunjukkan ke 'arah' mana cerita itu lari. Dia bukan what if question, karena what if question tidak menggambarkan. Dia lebih mirip frase "petani anggur" memberi gambaran tentang pekerjaan yang ga jauh-jauh dari memilih benih anggur, mengolah lahan, memanen, bikin wine dan selai.

Atau, dalam kasus Jurassic Pork, ham dan bacon. Nyam.

striferser mengatakan...

Topik yang menarik :D

Premis 1. apa yang dianggap benar sbg landasan kesimpulan kemudian; dasar pikiran; alasan 2. prasangka; asumsi 3. kalimat atau proposisi (rancangan usulan; Ling ungkapan yang dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, atau dibuktikan benar apa adanya) yang dijadikan dasar penarikam kesimpulan di logika (KBBI 2nd ed)



premis untuk novel yang sedang saya buat sekarang inspirasinya dari cerpen a boy and his dog karya Harlan Ellison, pengen bikin cerita 'buddy' yang tidak normal di tengah dunia post-apocalypse, walau settingnya dibuat abstrak, 'maybe on earth, maybe in the future' (taglinenya komik BLAME!), dan itu saya lakukan dengan menyamarkan nama negara dan tidak menyebut waktu yang spesifik...

premisnya novel saya kira2 seperti ini:

dunia yang lingkungan dan peradabannya rusak setelah perang besar. Nero, seorang pemuda liar dan kepala manusia yang bisa berbicara, Mimir, mengembara di dunia tersebut sebagai seorang outlaw, panggilan bagi orang yang tidak mengikuti peraturan. mereka berusaha bertahan hidup di tengah dunia tersebut.

apakah yang di atas bisa disebut sebagai premis? thanks

Villam mengatakan...

@juun, menemukan mana yang lebih dulu muncul antara pertanyaan dan pernyataan seringkali sama sulitnya (dan mungkin sama gak bermanfaatnya, kecuali jika kita adalah para filosof) dg menentukan mana yg lebih dulu antara ayam dan telor.

jadi, iya, seringkali ide2 cerita gue muncul dari pertanyaan2. gue abis baca berita koran, baca buku tertentu, atau nonton film tertentu, dan kemudian timbul pertanyaan: "bagaimana jika kejadiannya bertolak belakang dengan ini?", "bagaimana jika begini atau begitu?", "apa reaksi orang jika kejadiannya begini dan begitu?". baru kemudian: "oke, bagaimana kalau gue bikin cerita seperti ini."

artinya, dalam kasus jurassic pork-nya luz, jawaban atas pertanyaan 'what if'nya gak sebatas pada membuat ham dan bacon, tapi lebih jauh lagi bagaimana reaksi orang2 di sekitarnya nanti jika hal itu terjadi, dan juga implikasi2 lainnya.

tapi, tentunya gue gak akan menjadikan ini sebagai keharusan, bahwa prosesnya harus begitu. karena memang kenyataannya pasti tidak akan selalu seperti itu. dan kalo gue terpaku pada itu, sama artinya gue udah gak sesuai lagi dengan paham 'kebebasan menulis' yang gue anut. heheheh...

@striferser, itu bisa disebut premis.

Luz Balthasaar mengatakan...

menemukan mana yang lebih dulu muncul antara pertanyaan dan pernyataan seringkali sama sulitnya (dan mungkin sama gak bermanfaatnya, kecuali jika kita adalah para filosof) dg menentukan mana yg lebih dulu antara ayam dan telor.

Sebetulnya, itu mudah, dan bermanfaat. Sangat, malah.

Manfaatnya adalah untuk menentukan metode mana yang lebih kena ke kita. Pake what if, atau pake langkah-langkah yang kutulis? Atau mungkin cara lain?
___

@Striferser, itu udah lumayan lengkap buat memulai. Tokoh ada, premis 'pertemanan untuk bertahan hidup', dan setting dunia post-apocalypse.

Aku belum baca Blame. Malah baca Noise dulu kemaren... O_O

Bagusan Blame yak...?

striferser mengatakan...

@Luz
kalau soal lebih bagus yang mana, kualitasnya sama, gaya cerita juga sama. Kalau suka Noise, kemungkinan suka Blame juga.
Thx atas penjelasannya

@Villam
Ok, thanks

Juno Kaha mengatakan...

@Luz: Oh? Yg punya striferser gak terhitung kepanjangan sebagai premis yah? *rasanya salah satu "syarat" premis tu isinya kalimat pendek*

Tapi kalo merujuk ke definisi premis yg dikutip strifeser, sepertinya udah kena sih. Otak gw lsg mengaitkan ke isian description di Goodreads kalo kita mau posting cerita. :D

Coba gw copas description cerita gw yg gw pajang di Goodreads. Jangan2 sbnrnya udah termasuk premis. :P

Signat:
Di atas tanah tandus Median, lebih dari satu agama dan kepercayaan berdiri. Seseorang memutuskan untuk menjadi "Dewa" satu-satunya demi menghentikan konflik berkepanjangan antar-negara, antar-agama. Untuk alasan lain, seseorang berniat membalas dendam kepada sang calon "Dewa".

Dunamis:
Mazzares tidak pernah mengalami serangan Loki yang lebih merugikan di abad ini. Seseorang harus disalahkan atas hal tersebut dan pencarian Departemen Pemerintah berhenti pada seorang remaja yang sama sekali tidak tahu apa-apa.

Ato itu jatuhnya "teaser" ...?

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun, kalimat-kalimat pendek. Nggak satu kalimat juga gpp kan.

Asal itu ngasih gambaran singkat cerita kami ini tentang apa, dan kira-kira arahnya kemana.

Kalau Striferser punya, itu udah lebih dari premis. Tokoh ma settingnya segala udah ada.

Nah, kalau kamu punya itu, udah premis. Bisa dibilang premis itu deskripsi cerita.

Benernya premis mirip-mirip teaser. Premis pun bisa dipakai buat jadi teaser, karena fungsinya more-less sama. Ngasih gambaran cerita itu kayak apa. Cuma kalau teaser kan diarahkan untuk lebih 'narik', jadi cara penyampaiannya biasanya lebih berbau promosi.

Anonim mengatakan...

@Luz

Apa jadinya kalau kita menghadirkan Babisaurus? Akan jadi pork chomp terbesar di dunia =))

Hue he he. Nice, article mba ^^

Adrian

Fenny Wong mengatakan...

Hehehe.. nice article *thumbs up*

Biasanya metode yang aku gunakan itu nentuin tema dan cerita tentang apa yang pingin aku bikin, kayak langkah 1 yang ditulis di atas itu.

Lalu aku buat dua file... Satu file plot. Isinya sinopsis keseluruhan cerita, lalu plot per bab. Aku nggak tahu apa harus nyebut ini plot ringan atau longgar, tapi walaupun aku bikin kerangka kayak gini, sewaktu nulis, sering aja ada yang aku ubah dari plot awal (ya tapi melencengnya ga akan jauh banget dari nyelametin dunia jd cinta segitiga sih! hehehehehehe). Aku juga sering nentuin mood cerita di sini. Pengen ceritanya light-hearted atau berat atau bahkan angst, gitu..

Lalu file lainnya isinya karakter-karakter utama yang aku mau. Nama mereka keluarga mereka setiap detail yang kepikiran tulis di sana semua! Kalau dua file ini udah jadi, baru aku mulai nulis awal deh... Biasanya kalau udah ada panduan, nulis pun bisa jadi jauh lebih cepet.

Masalah yang paling aku sering temuin sih kayak gini. Udah nentuin cerita dan kerangka, udah nentuin ending juga. tapi kesulitan nentuin detail-detail adegan. ('Kira-kira waktu si A ketemu sama si B, si B lagi ngapain ya? Setting nya di mana ya?')

Hehehe... sekedar sharing... :)

Anonim mengatakan...

hwaaa...belajar *nyatet*

kalo modelku, "what if" dulu keluar dari otak, setelahnya ditulisnya berupa pernyataan singkat. Dan biasanya pernyataan singkat itu nggak 1 macam.

Jadinya malah nggak kelar-kelar critanya. he he...nyari alesan

tengkyuh Luz
lagi dan lagi dan lagi... :-)

Luz Balthasaar mengatakan...

@Adrian, Pork Chop tergendut di dunia, wkwkwkwk... Hubungin Guiness Book of Record dulu ah.
__

@Wong, Mbak El, thanks juga (sama buat yang lain, yang juga berbagi saran). Moga-moga catatan-catatan metode kita bisa berguna, baik bagi kita sendiri, juga bagi orang yang mau belajar nulis secara mbeling dan kebetulan nyasar kesini, wkwkwkwk...

Juno Kaha mengatakan...

Hooh, I see, I see. Premis = deskripsi cerita.

Thx pencerahannya, Signora. :D :D Maaf kalo gw lemot abis.

Hehe.

Villam mengatakan...

lha? kok jadinya kesimpulannya premis = deskripsi cerita???

premis itu ide awal. dasar pemikiran. muncul di awal pertama kali dulu, bukan hasil utak-atik belakangan begitu ceritanya udah jadi/setengah jadi.

soal kemudian dia bisa dijadikan sinopsis atau teaser, ya itu udah perkara yang lain.

ah jadi muter lagi... :-P

Luz Balthasaar mengatakan...

@Villam,

ha? kok jadinya kesimpulannya premis = deskripsi cerita???

Bukan kesimpulan. Memang dari awal premis itu adalah gambaran. Kan aku udah bilang di sini.

"sebenernya premis bukan plot, tapi gambaran yang menjelaskan cerita itu tentang apa. Mungkin kalau aku bilang, "Gambarkan Artefaktor dalam lima kalimat pendek!" dan kamu ngasih penjelasan itu ke aku, maka penjelasan itu adalah premis."

Dan kayaknya nggak ada yang bilang bahwa premis adalah, "Ide awal. dasar pemikiran. muncul di awal pertama kali dulu, bukan hasil utak-atik belakangan begitu ceritanya udah jadi/setengah jadi."

Premis itu memang muncul di awal, dan sebaiknya dilengkapi sesegera mungkin menjadi gambaran keseluruhan. Tujuannya agar begitu mendengar premis itu, kita tahu cerita kita larinya kemana. Juga, bisa jadi pedoman kita untuk bikin plot. Dengan kata lain, premis itu sudah jadi di awal.

Jadi, siapa yang bilang premis itu utak-atik setelah jadi?

Pastinya bukan aku. Itu bukan definisi premis yang kuberikan, dan kayaknya bukan yang ditangkap oleh mereka yang serius berdiskusi.

Dan kalau ada orang yang mau ngasih definisi premis sendiri, he's welcome to write his own article.

Sekali lagi, aku ingin membedakan premis dengan what-if. What if itu cuma pertanyaan awal, yang tentu saja nggak memberi gambaran (deskripsi). Sedangkan premis adalah gambaran.

Seperti contoh Juun, itu premis. Hanya dengan membaca dua premis itu, kita tahu Signat dan Dunamis menceritakan apa secara keseluruhan.

Dan premis itu bisa saja diubah menjadi teaser, kalau bahasanya dibikin lebih promo.

Jadi, kalau dibilang muter, aku cuma lihat satu pendapat yang muter. Dan itu bukan pendapatku.

Villam mengatakan...

ya intinya pendapat kita berbeda ttg apa yang dimaksud dengan premis. menurut lu premis adalah gambaran atau deskripsi, menurut gue premis adalah ide awal atau dasar pemikiran. itu ajah.

keep writing. good luck with your story. :-)

Juno Kaha mengatakan...

@Villam: Hmm, kesimpulan gw itu lbh ke arah gw mencoba memahami premis yang dimaksudkan Luz di dalam postingan blognya dan dikombinasikan dengan deskripsi premis menurut KBBI yang dikutip oleh striferser. Gitu aja sih. Gw milih ngikutin definisi yang dijabarin Luz lbh krn gw setuju dengan pendapatnya (dan mnrt gw diperkuat dengan definisi dari KBBI yang dikutipkan)

Hehe.

Maha Deoh mengatakan...

Saya masih buat novel fantasi. Tapi, ada satu kendala dari dulu, yaitu saya ga bisa nulis cerita yang panjang. target 300 halaman tapi baru 100 halaman udah mau tamat. (Hell!) -_-
Sebenarnya ada cara yang efektif buat memasukkan adegan biar cerita jadi panjang ga? Hehe... saya belum terbiasa nulis novel sih.

Mohon jawabannya. Terima kasih.

Luz Balthasaar mengatakan...

@Maha Deoh: Sebetulnya banyak pengarang justru mau bisa nulis fikfan pendek. Penerbit juga kepinginnya nerbitin fikfan pendek! Singkat itu bisa jadi kekuatan lho, jangan salah.

Saia pribadi nggak menyarankan cerita ditambahin filler supaya dia tambah panjang. Kalau dia memang cerita yang bisa diceritakan singkat dan lugas, nggak perlulah diulur.

Yang bisa kita lakukan mungkin adalah membuat deskripsinya lebih detil, serta membuat karakter dan dunianya lebih kaya.

Mungkin ada bagian dimana aksinya terlalu konstan, bisa dipotong dengan bagian cooldown yang menjelaskan lebih banyak tentang salah satu karakter. Tentunya ini dilakukan dengan menimbang di mana pemotongan itu cocok dilakukan.

Atau mungkin kita bikin dunianya kurang detail. Orang susah membayangkan cerita itu terjadi di latar seperti apa. Kasihlah deskripsi tentang kendaraan, pakaian, makanan, dan sebagainya. Ini juga dipakainya in moderation, jangan sampe detailnya kelebihan sampai-sampai alurnya mandeg.

Ini cuma info dasar sih. Mungkin dikau sudah lebih advanced levelnya, saia nggak tahu. Kalau saia dikasih lihat contoh tulisan (nggak usah banyak, 3000 kata saja) mungkin saia bisa lebih banyak membantu.

marsiah mengatakan...

aku juga lagi mau nulis novel fiksi, baru pertama kali dan masih coba-coba sih. cerita ku baru sampe perkenalan dimana si tokoh utama udah masuk dalam setting. nah, disitu aku nge-stuck. soalnya konflik yang udah aku pikirin buat penjahatnya rada-rada aneh.

contohnya, penjahatya ini ceritanya dulunya seorang putri kerajaan. saudari dan keluarganya itu sering sekali merendahkan dia. pokoknya apapun yang bisa bikin dia dendam. akhirnya dia jadi jahat dan kabur dari kerajaan ke negri lain. di sana dia belajar jadi penyihir. nah, hubungan sama tokoh utamanya itu, karena si penyihir mengincar sebuah buku yang diinginkan oleh tokoh utamanya itu pula untuk kembali ke dunia nyata alias bumi. jadi kayak kompetisi gitu. nah di endingnya, si tokoh utama berusaha nyadarin si penyihir. abis itu, si penyihirnya sadar terus hidup di kerajaan lagi deh.
terlalu singkat kan? atau aku aja yang berfikir itu kurang *nyess lah konflik dan endingnya..
mohon sarannya yooo..