Rabu, 06 Oktober 2010

A Series of Unfortunate Manuscripts ~ Ketika Pasar Bicara

Sabtu dua minggu lalu aku dapat kabar dadakan kalau minggu depan aku bakalan ditugasin lagi untuk pergi seminggu ke Jepang. Kali ini ke Hamamatsu, kota bunga di dekat Nagoya. Selama beberapa hari ini jadi grusa-grusu lagi nyiapin ini itu. Hari ini dapat jeda sedikit, jadi aku nyempat-nyempatin bikin tulisan tentang fantasi berseri yang kujanjikan untuk dua orang pemampir blog ini, Vina dan Ivan.

Mari mundur sejenak ke postku dua minggu lalu. Aku sedang berpikir untuk membuat kerangka cerita fiksi fantasi yang pendek, ketika kedua pemampir tersebut menyinggung soal fiksi fantasi berseri. Special thanks untuk Vina yang mengingatkanku untuk membedakan fantasi berseri biasa dengan fantasi bersekuel.
    
  
Fantasi berseri kubagi menjadi fantasi berseri biasa dan fantasi x-logi. Bedanya gini. Fantasi x-logi biasanya punya satu cerita besar yang terbagi-bagi dalam beberapa novel. Satu novel merupakan sekuel dari novel lain, ceritanya berhubungan erat, dan umumnya tokoh utamanya sama. Tiap kali aku ngebaca satu buku macam ini, aku ngerasa seakan-akan ada tulisan "bersambung" di belakang setiap buku itu. Tentunya kecuali di buku terakhir, yang tulisannya "tamat."  Contoh buku berjuluk x-logi (ganti x dengan dwi, tri, deka, sesuai keperluan,) macam ini adalah Harry Potter dari tante J. K. Rowling kita tercinta, Uglies dari Scott Westerfeld, dan The Hunger Games dari Suzanne Collins. Kalau Fantasi lokal, aku akan nyebut Tanril-nya Nafta S. Meika dan Married With a Vampire dari Joko D. Mukti.

Ini beda dengan novel yang sekedar berseri. Novel seri biasa nggak memiliki plot gede yang dibagi-bagi. Tiap novel punya cerita yang berdiri sendiri. Kadang tokohnya sama, kadang beda, tapi selalu ada satu tema yang menyatukannya. Misal, Goosebumps dan Fear Street-nya R.L. Stine. Kalau contoh lokal, mungkin aku pengen menobatkan The Bookaholic Club dari Poppy D. Chusfani. Sayangnya aku belum baca contoh terakhir ini, dan cuma nebak-nebak buah manggis dari resensinya di Goodreads.

Moga-moga ini jelas yah. (Penonton lempar tomat. "Jelas? Iya, jelas ngasal!!")

Baik, balik ke fantasi berseri. Mereka yang mengakrabi dunia perfiksifantasian Indonesia bakalan ngeh kalau fantasi berseri yang sudah-sudah cenderung ke pengertian pertama. Fantasi x-logi. Penerbitan buku macam ini pun sudah punya pola khas: satu buku terbit, ending ngegantung, sekuel dijanjikan, sekuel tidak keluar. Atau keluar, tapi tidak semua. Dari tujuh yang direncanakan hanya dua yang terbit. Sisanya ditelan gerhana.  

Lihat contoh kasus yang dikasih Ivan, yaitu Goran karya Imelda A. Sanjaya dan Cardan karya Chandra Adhitya Winarno. (Sodara Om Bondan?) Keduanya tampak seakan bersekuel karena endingnya yang kebuka. Jujur-jujuran, aku nggak pernah dengar ada rencana dari penulis Goran maupun Cardan untuk membuat sekuel. Tapi marilah kita berasumsi, demi kelancaran perngasalan kali ini, bahwa novel-novel ini direncanakan bersekuel.

Lalu yang berikut, contohku sendiri. Ledgard karya W. D. Yoga dan Tanril. Untuk Ledgard, aku dengar selentingan kalau rencananya akan diterbitkan tujuh seri. Uhuk. Hiks. Dan yang kedua, Tanril, malah sudah ada sekuelnya. Meski cuma satu buku dari sekian banyak yang direncanakan. Dan reaksiku adalah Uhuk uhuk hiks hiks lagi.

Pertanyaannya, kenapa sekuel novel-novel ini nggak keluar? Karena satu hal yang ingin kusebut sebagai Hukum Sekuel#1: Sekuel nggak muncul sekedar karena ada cerita yang perlu dilengkapi. Sekuel diterbitkan jika ada pasar yang bagus untuk cerita itu. Dan keempat contoh yang kusebutkan tampaknya bermasalah dengan pasar.

Mulai dari Cardan. Aku berpikir bahwa novel ini kurang banget secara penulisan, dan itulah yang membuatnya bermasalah dengan pasar.

(Sedikit catatan, setelah munculnya novel-novel fiksi fantasi lain, aku jadi merasa bahwa Cardan ini nggak se-kurang yang semula kupikir. Iya sih, banyak bagiannya yang keju maksimal. Penggunaan katanya kadang-kadang selip. Namingnya juga agak kurang pas. Tapi paling sedikit aku masuk ke dunianya, dan jalan ceritanya jelas. Andai saja yang nulis ini punya teman diskusi yang mumpuni, Cardan bisa menjadi lebih baik.)

Lalu yang kedua, Goran. Novel ini lebih 'matang' daripada Cardan. Barangkali bahkan ada yang menyebutnya unik. Tapi problem yang kudapati setelah membacanya sendiri, Goran terlalu banyak meminta suspension of disbelief. Dalam bahasa seorang kenalanku, ada terlalu banyak inkonsistensi yang harus diabaikan untuk bisa menikmati cerita. Aku, yang nggak bisa sukarela mengabaikan lubang-lubang itu, mendapati bahwa cerita ini kayak tulang ikan yang dagingnya dibuang, saking banyaknya yang harus diabaikan. Nah, pertanyaanku, gimana bandar ikan bisa untung, kalau dagangannya tulang ikan?

Yang ketiga, Ledgard. Sebetulnya novel ini termasuk lumayan bagus. Menengah keataslah dalam skalaku. Lalu dimana masalahnya dengan pasar? Ceritanya cerita remaja, tapi buku ini tebal dan harganya lumayan mahal untuk ukuran remaja. Klo gak salah awalnya Rp 50.000,- waktu pertama kali rilis. Aku lumayan yakin kalau penyebabnya adalah harga ini, yang terlalu mahal untuk kantong target marketnya. Padahal faktor pendukung untuk novel ini banyak. Pertama, penulisnya adalah eks anggota Forum Lingkar Pena. Dan kedua, buku ini dirilis pas film Lord of the Rings lagi terkenal-terkenalnya.

Yang keempat, Tanril. Novel ini banyak menerima pujian. Aku bahkan sudah baca sendiri dan mendapat bahwa novel ini memang bagus, walau ada masalah dengan editingnya. Bicara dengan pengarangnya di forum, aku menyimpulkan kalau novel ini seharusnya bisa lebih sukses. Tapi setelah bertukar pikiran dengan pengarang bersangkutan, aku menyimpulkan bahwa barangkali masalahnya adalah pasar yang keliru.

Tanril ini temanya unik, novel silat berbumbu fantasi. Atau fantasi berbumbu silat, silakan pilih sendiri. Aku cenderung ke yang pertama, karena menurutku cerita ini silat banget, mulai dari pemakaian istilah sampai penggambaran perkelahian dan perangnya. Bayangkan komik-komik silat, tapi beberapa tokohnya pake nama berbau sedikit kebarat-baratan. Atau bayangkan game Suikoden, tapi tarungnya pake silat model Pendekar Pemanah Rajawali, hehehe. Seperti itulah rasanya membaca Tanril.

Nah, dengan keunikan seperti ini, kepada siapakah novel ini seharusnya disasarkan? Apakah kepada penggemar cersil, atau kepada penggemar fantasi? Atau penggemar cersil yang suka fantasi? Atau penggemar fantasi yang suka cersil? Keempatnya bisa.

Penggemar cersil barangkali sempat merasa 'salah tempat' ketika pertama kali melihat nama-nama aneh di dalam novel ini. Tapi begitu mereka menangkap cara penamaan jurus, diskusi mengenai chi, dan melihat bagian-bagian pertarungannya, aku lumayan yakin mereka mengendus aroma cersil. Sebaliknya, penggemar fantasi mungkin merasa aneh saat membaca soal bagian yang kesilat-silatan itu, tapi mereka bisa menemukan alur fantasi saat melihat bagaimana si tokoh utamanya berevolusi dari cupu sampe jago, atau membaca bagian perang epik yang ngingetin sama adegan sejenis dalam banyak film fantasi.

Dan penggemar fantasi sekaligus cersil hampir pasti jingkrak-jingkrak girang waktu baca ini. (Om Soto(y), I am looking at you...)

Pertanyaannya sekarang, apa yang keliru? Aku, Om Soto(y) dan pengarang sepakat kalau sampul belakang Tanril itu jelek banget. Ukuran font dan editing buku ini juga parah. Tapi apakah cuma itu masalahnya? Tidak. Mungkin promosinya juga bermasalah.

Atau, barangkali, yang terjadi di dalam kepala penggemar fantasi maupun cersil bukan kemungkinan-kemungkinan positif seperti yang kukatakan di atas. Bisa jadi penggemar cersil berpikir, "Ah, apaan nih? cersil kok namanya nama Barat?" Sementara penggemar fantasi berpikir, "Fantasi kok pake tarung silat dan chi? Nggak ah." Buku ini jadi nggak dipahami baik penggemar fantasi doang maupun penggemar silat doang karena sifat campurannya. Persis anak blasteran yang salah tempat di negara nyokap maupun negara bokap. Jadilah yang bisa 'klik' hanya penggemar fantasi sekaligus penggemar cersil. Padahal, pasar penggemar fantasi itu (belum) seberapa besar. Pasar penggemar cersil  (yang berbentuk novel) juga mungkin nggak besar. Nah, kalau dicari yang sekaligus penggemar kedua-duanya, (Ingat pelajaran diagram venn waktu SMP?) bisa dibayangkanlah betapa kecilnya pasar ideal untuk Tanril pada saat buku keren ini diterbitkan.

Maka, biar kusimpulkan lagi, masalah dengan pasar ini adalah salah satu faktor yang membuat buku-buku ini terkendala dalam mengeluarkan sekuel. Oleh karena daripada itu, kalau mau mengeluarkan sekuel, salah satu hal yang kudu diperhatikan adalah bahwa buku pertamanya bisa diterima pasar.

Pertanyaannya, buku yang bagaimana yang bisa diterima pasar, dan, karenanya, berpotensi mengeluarkan sekuel?

Itu bahasan ngasal untuk nanti deh, setelah aku pulang dari Hamamatsu.




Luz Balthasaar

23 komentar:

Anonim mengatakan...

jadi inti utama teteup:

market rulez!

dan sebuah pentokan yg rda besar bwat penulis muda seperti saya (muda dlam pengalaman bukan umur :shy)

padahal, saya sendiri masih dalam era
"keep & just keep writing"

dan quote di atas itu juga yg bikin cerita berlogi"

soal tanril mungkin bisa dianalogikan sama seperti megaman legends series.

kata produsernya
"benda ini keluar 10 tahun lebih cepat"

seandainya tanril bner" kluar saat semua orang bosan dgn medieval fantasy mungkin akan seheboh da vinci code ( hyperbole dikit)

itu aja dan gak lupa PERTAMAX! hehe

peace out
ivan

Juno Kaha mengatakan...

Hmm. Pendapat Ivan soal keluar terlalu cepat sekian tahun.

Tapi gw aja sekarang udah bosen ama medieval fantasy. :P :P

Kalo soal Tanril, gw gak ngambil tu krn dua faktor:

- Dari yg udah dibahas, ada penekanan bahwa cerita di dalamnya adalah cerita silat. Gw mgkn kebawa bokap gw nonton film silat, tapi seumur2 gw blm pernah baca cerita silat dan ragu apakah gw akan bisa menyukai cerita silat yg dikemas dalam bentuk novel. Lha wong yg film aja skrg udah mulai merasa jalur cerita yg pernah gw tonton itu agak gimanaaa gitu.

- Ada omongan ttg layout bagian dalam yg gak nyaman. Kalo gak salah inget sih gw jg pernah buka Tanril yg gak disegel di toko buku, mendapati layoutnya emang bkn gw berkata dlm hati "waduh". Nyokap gw yg berpengalaman di bidang percetakan masa sblm thn 88 sih lsg mengomentari kalo emang ada format kyk gitu, tapi gw tetep merasa itu layout sepertinya bisa bikin gw jengkel. Lbh baik gak jadi beli.

Itu kalo gw dan Tanril.

Hehe.

Anonim mengatakan...

menurut gw penulis pemula *ah gw berharap bisa nunjuk diri sendiri -_-* mending bikin buku yang sekali habis. Ntar kalo udah punya barisan berani mati beli (:p) baru mulai menuliskan cerita yang lebih panjang lagi.

tentang Tanril. gw kebetulan hidup membaca bersama cerita silat se model Kho Ping Ho, Chan dan Lei Wu *atau Lee Woo (?). dan beberapa lainnya lupa kerna selain dibaca tanpa sampul juga buku-bukunya entah pada ke mana (koleksi bapak).

Sebagai penikmat silat dan fantasi gw bilang Tanril itu cenderung ke silat *walo pengarangnya keukeuh itu crita fantasi*

Tanril bukan kecepetan 10 tahun, kalo gw sih. Masalahnya di memasarkan ide ceritanya yang belum maksimal.

dan ya, gw termasuk pembaca yang terjegal-jegal saat menikmati latar kehidupan si tokoh, ibu dan kakak-kakaknya yang cersil banget dengan naming yang barat.

tapi itu mungkin juga kerna gw buru-buru membaca dua buku Tanril sekaligus barengan 3 buku lainnya yang harus dibaca :p

*baru baca satu kali sih jadi mungkin harus dibaca pelan-pelan sekali lagi*


Ada yang mau lempar Ledgard? ato sempat liat masih nangkring di TB?

Luz : asik-asik jalan lagi, foto-fiti yang unik-unik ditunggu. Draftnya sudah selese ya?

menunggu. lho. :)

Luz Balthasaar mengatakan...

@Ivan: Yang bisa kita lakukan bukan menulis dan menulis. Tapi menulis dan belajar. Belajar ini bisa lewat diskusi, debat, dan baca karya orang lain.

Kalau yang terakhir itu ga ada, sampai kapanpun kita nggak akan melihat selanya.

Soal Tanril terbit bukan pada masanya... bisa jadi. Tapi kebosanan sama medieval belum tentu mereka pasti lompat ke genre Fantasilat (haha, istilah baru lagi!) Bisa aja mereka nyari fantasi distopia, atau fantasi steampunk.

@Juun, jadi layout juga termasuk turn-off ya? Jangan2 Editor Tanril yang rese itu dulu kerja di percetakan era pre-88. Makanya dia mindsetnya masih gitu-gitu aja pas ngedit...

@el, hueh? penggemar fantasi dan silat yang nggak suka Fantasilat Tanril? dikau ternyata kebalikan Om Pur @_@

Aku sih punya Ledgard... tp emoh kulempar ah. Dah rare item XD XD XD

Dan soal naskah Euravia, iyup, dah kelar. Cuma aku belum bisa bikin ending yang memuaskan. Pun ada beberapa bagiannya yang mau kuubah Jadi naskah itu kuistirahatkan dulu. Ntar klo dah lewat sebulan baru kuedit.

Sementara ini aku lagi bikin kerangka untuk novel lain. Mumpung idenya ada!

Juno Kaha mengatakan...

Wagh, gawat juga yah kalo dpt editor primitif yg mindsetnya bisa gak berubah dari thn pre-88 ... :| :|

Ah, iya. Ada yg tahu cerita2 di balik proses penerbitan Tanril gak? Barangkali ada cerita sisi lain yg macemnya "ternyata pengarangnya udah pernah ditunjukin layout dan dia fine2 aja". Mgkn bisa belajar dari sisi lain itu. :-?

Hehe.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

Aku setuju ama Mbak El, kalo penulis pemula, apalagi yang baru mau nerbitin karya debut, bagusnya sih bikin novel yang tamat satu buku.

Tapi aku juga nggak suka kalau buku yang harusnya tamat satu volume itu jadi dibikin sekuel karena pasar ternyata suka. Jadinya plotnya dipanjang-panjangin atau diada-adain demi melemparkan sekuel ke pasar.

Kalo emang niat nulis satu buku tamat, ya lakukan begitu. Kalo pasar suka, puaskan mereka dengan cerita/novel lain.

Kalo emang niat bikin X-logi, ya dari awal bikin plot yang jelas, misal buku satu plot A, buku dua plot B, and so on. Tapi kalau anda penulis pemula (kayak aku), mendingan karya X-logi itu disimpen buat penerbitan buku kedua atau ketiga atau ke-X, daripada novel anda yang udah disusun dengan jerih payah yang nggak sedikit itu akhirnya jadi A Series of Unfortunate Manuscripts atau Lost Novels :p

Anonim mengatakan...

Luz : gw suka Tanril walo nggak seheboh Mas Pur ^_^ dari pada buku fantasi lokal yang gw baca sebelumnya, Tanril jaaa...uh matang dan keren. begitu pun bacaan gw di tanril berasa ke jegal-jegal.

*semalam coba skimming lagi, dan berpikir gw belum cukup energi untuk membacanya dalam waktu dekat*

yea rite, tulisannya yang kecil-kecil itu juga cukup menjengkelkan. *sebenarnya lumayan nyaman dari pada tulisan style courier-nya kho ping ho* :p

Dewi : kalau dipanjang-panjangin kek sinetron dunk :p

...

Juno Kaha mengatakan...

Hei, arah pembicaraannya menarik. :-?

Pertanyaan sederhana dari gw menyangkut sekuel dan sekali tamat:

Kalo kalian selaku pembaca pergi ke toko buku dan melihat sebuah novel fikfan yg tersegel, selain dari tulisan "buku pertama dari ..." di kover, apa yg membuat kalian merasa bahwa buku tsb kyknya bersekuel?

Apakah judul yg menggunakan sub-judul?

Ato sinopsis semata?

Ato hal lain?

Hehe.

Anonim mengatakan...

contoh series kita bisa tulis animorph

walaupun tetep enak baca loncat"

masih ada kind of spaced out somewhere

x-logi: lot, lot of imported books.

nah yg saya tanya istilah untuk 1 universe beda protagonist.

kya narnia buku k1 kan jagoannya bukan 4 bersodara, eh selanjutnya ganti protagonist.
universe nya tetap. itu istilahnya apa?

peace out
ivan

Fenny Wong mengatakan...

hehe, menurutku sih, pasar pembaca fantasi lokal itu kan masih berkembang. Jadi kalau memutuskan untuk beli sekalipun, pasti mereka mikir daripada beli cerita yang bersekuel dan belum jelas rame atau tidaknya, dan lebih memilih buku yang langsung tamat. Ya nggak sih?

Juno Kaha mengatakan...

@Wong: Betul, betul, betul. Bahkan untuk buku terjemahan pun gw nyari sebisa mungkin serialnya gak terlalu banyak. :P

Hehe.

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@mba luz : hehe.. makasih udah jelasin perbedaan seri dan sekuel..^^ agaknya sekarang aku udah lumayan bisa bedain..

kalau menurut mba luz sendiri, selain faktor pasar yang menentukan munculnya sekuel atau tidaknya dari suatu novel, apa ada faktor lain? dari penulis sendirikah atau mungkin penerbitnya yang mengalami suatu maasalah?



@jun : setuju ma kamu soal tanril, pertama baca review mas pus tentang tanril aku juga udah nyium-nyium bau silat macam jaman dulu.. dan jujur, untuk penggemar silat macam diriku, entah kenapa aku menolak mengambil tanril dari rak buku...

apa bedanya dengan novel garuda 5 yang juga mengambil unsuur silat?

Diclonius 'Vina' Youichi mengatakan...

@wong : tadaa! sama... aku jugalah berpikiran seperti itu.. kalo bisa nyari buku yang sekali baca langsung tamat.. untuk acara lanjutannya, sekuel, atau seri, lebih baik gak banyak-banyak dan pastinya novel pertama yg kubeli gak gantung ceritanya... soalnya pngalaman aku beli komik baru seri 4 pas lagi seru-serunya malah bersambung.. eh ujung-ujungnya gak ada sambungannya.. = =''
malah jadi kepikiran terus lanjutannya...

Luz Balthasaar mengatakan...

@Juun: Aku dulu bicara sama Guradan di forum FFDN, dan dia sendiri nggak suka sama layout dan aturan editing super rese itu. Tapi editornya maksa, dan dia powerless karena syaratnya ya, kalau mau terbit, harus ikut maunya si penerbit/editor.

Jadi pelajarannya, menurutku, adalah, TELITI DRAFT KONTRAK SEBELUM TEKEN.

Mengenai apa yang membuatku merasa buku itu bersekuel?

1. Pengarangnya orang Indonesia, bukan Poppy D. Chusfani atau Joko D. Mukti.
2. Sinopsisnya menyiratkan cerita gede yang nggak proporsional dengan ukuran bukunya.
3. Sinopsisnya mencantumkan kata "Intrik." Yeah. cerita apapun yang banyak "Intrik"nya jarang jelas satu buku. Kalaupun satu buku, biasanya tebel.
4. Bukan terbitan Gramedia.
5. Buku itu self-published. (Altho, yang ini arahnya lebih ke sekuel direncanakan tapi putus.)

Yang dua terakhir itu kedengeran diskriminatif, tapi faktanya Gramedia memang nggak mau nerima Fantasi yang sejak awal direncanakan sebagai X-logi kalau itu punya pengarang baru.

Bahkan Poppy Chusfani pun awalnya bikin one shot--selain karena dia memang editor di Gramedia--dan Joko Mukti awalnya nulis non fiksi, klo ga salah. Bukannya mau mengibliskan Gramedia, tapi mereka kayaknya cenderung test the waters dulu, dan benar-benar ngitung marketability.

Luz Balthasaar mengatakan...

@(Mbak)Dewi, berhubung sudah tahu ternyata aku lebih muda: dapat stilah baru lagi untuk yang model gitu. FANTASINETRON! Muwakakakakakakakaka!!!
__

@Mbak El, Yang dijajal Tanril yang 1 apa yang 2? Yang 1 aj mbak. Kata Om Pur dan Bubub dari Goodreads, enakan yang 1, dan aku setuju.
__

@Ivan: Animorphs, yep. Itu bisa jadi contoh, meski buatku sci-finya lumayan kental juga. Soal Narnia, gini. Jangan lihat protagonisnya. Lihat ceritanya. Nyambung nggak? Kalau nyambung, maka itu X-logi. Kalau nggak, seri.

Kasus yang mirip juga buat Wicked Lovely. Setahuku ini buku pertamanya nyambungnya ke buku 3 dan 5, sementara buku 2 dan 4-nya cerita terpisah. Jadi, 1, 3, dan 5 itu trilogi, sedangkan 2-4 itu seri biasa.
__

@Wong, right. Itulah yang (telat) kupahami. Sebenarnya dari dulu aku udah niat bikin one-shot, tapi cara untuk bikin one-shot yang baik itu benernya agak kabur buatku. Makanya sekarang lagi rajin membedah buku2 tipis. ^^
__

@Vina, bisa jadi sekalipun buku itu punya fans banyak sekuel/serinya ga keluar. Kalau gini masalahnya mungkin si penulis writer's block, atau masalah dengan penerbitnya. Banyak faktor si.

Contohnya? Mumpung kamu make contoh komik, aku mau nyebut satu manga kesukaanku: Pengantin Demos/Akuma no Hanayome. Gyaaaaaah!!! Ini sialan banget. Kok shoujo manga sebagus gini gantung di no. 17 sih? GYAAH!!!

*berubah jadi kaiju*

Juno Kaha mengatakan...

@Signora Luz: Aaah, bener juga yah. Gramedia ketat ke penulis newbie blm pny nama kalo bukunya bersekuel. Selain Joko Mukti ama Poppy Chusfani, gw mengidentifikasi Luna Torashyngu sih. Sblm dia nerbitin trilogi D'Angel dan trilogi Mawar Merah, dia kan bkn teenlit yg satu buku habis.

Hmmh, Gramedia bisa "ditipu" gak yah ...? Kirimin satu naskah, naskah itu sendiri ceritanya beres-res-res, tuntas-tas-tas, tapi tiba2 tahun depan gw ngirim naskah kedua dengan judul sama dgn naskah pertama ditambahin sub-judul. Of course, isi ceritanya beda tapi tuntas-tas-tas dan beres-res-res.

Kira2 akan dpt gak yah kalo gitu. :-?

Hehe.

Danny mengatakan...

Ide bagus tuh, Juu. Persoalannya tinggal gimana ngegabungin plot dari satu cerita yang udah tuntas-tas-tas?

Juno Kaha mengatakan...

@Danny: Kalo mnrt gw sih milih masalah yg menjadi latar belakang cerita hrs cermat juga dan nantinya pas "masalah utama" tersebut menimbulkan "masalah major" yg ukurannya lbh kecil.

Nah, nantinya si "masalah major" inilah yg diulas di buku, tentu saja dengan memastikan bahwa di penceritaan di buku tsb si "masalah major" ini terisolir (setidaknya begitulah yg dirasakan pembaca) dari si "masalah utama".

Si "masalah utama" baru muncul di buku pamungkas, mengakhiri segalanya sekaligus membuat pembaca ngeh bahwa "masalah major" yg ada di buku2 yg dia baca sblmnya itu akarnya adalah si "masalah utama".

Mnrt gw sih gitu.

Yg susah tu biasanya si penulis udah dari awal setup "masalah utama" yg gak bisa menimbulkan "masalah major", jadinya ya si "masalah utama" yg sejak awal ukurannya besar itulah yg dibahas sepanjang sekian-logi bukunya.

Hehe.

Luz Balthasaar mengatakan...

^
^
^
Itu, Juun, namanya "Rumus Harry Potter."

Wakwakwak...

Juno Kaha mengatakan...

Well, pada dasarnya sih bisa dibilang begitu, tapi tidak begitu juga. *ikut2an salah satu dialog di cerpen Kage Barker di kumcer Wizards :P*

Kenapa? Krn, IMHO, di HarPot dari awal kita udah tahu kalo Voldemort sedang berusaha melakukan come back. Ada "indikasi" sejak awal bahwa untuk menuntaskan segala masalah sekaligus menamatkan HarPot Voldemort Must Die. Ini contoh "masalah major" tidak terisolir dari "masalah utama", IMHO.

Jd kalo misalnya HarPot msg2 buku mau diisolir dari "masalah utama", jgn disebut2 bahwa Voldemort hendak kembali, buat aja lawannya unknown, tapi berbahaya. Baru di akhir dikuak bahwa masalah buku 1, 2, 3, dst itu berkaitan ama Voldemort yg hendak bangkit.

Itu mnrt gw lho yaa. :D :D Apalah saya ini, nerbitin buku aja blm kok ngomongnya udah sok profesional. :D

Hehe.

Dewi Putri Kirana mengatakan...

@Luz, fantasinetron? wkwkwkwk

Kalo beneran ada yang bikin, gimana yaa...?

Btw, nggak usah lah pake mbak. Berasa tua aku. Panggil Dewi atau Rie ajah :D

@Juun, emang bisa ya di buku satu dibahas "masalah utama" yang rebes bes bes di ending cerita, tapi trus di buku kedua dibahas "masalah lebih utama" atau "akar masalah" yang memang pada akhirnya rebes bes bes juga?

Rasanya itu kayak formula komik yang dipanjang-panjangin deh, contohnya kayak di seri awal ngalahin sekelompok orang jahat nan kuat, trus di seri lanjutannya ngalahin kelompok orang jahat lain yang ternyata adalah tuan dari kelompok pertama, atau lebih kuat dari yang pertama, atau asal dari yang pertama, dan nanti di seri berikutnya berulang formula yang sama?

Kayak komik semacam Recca gitu?

Bukannya jatuhnya jadi, FANTASINETRON? wkwkwkwkwk

Fenny Wong mengatakan...

@luz: aku malah pengen bikin fantasi yang ditulis lebih panjang... tapi setiap ngikutin kerangka yang dibikin, ujung2nya selalu berakhir lebih tipis daripada yang diharapkan. tipis itu kadang ada ga bagusnya juga sih, pembaca jadi lom bisa terlalu masuk........

Luz Balthasaar mengatakan...

@Wong, Iya juga. Aku baca Nocturnal yang kira-kira 70 k kata, dan setelah itu aku teriak, "I WANT MORE" ke pengarangnya.

Mungkin tipis yang ideal adalah 80k-90k kata. Aku ngelihat X&V terbaru. Itu kayaknya sekitar 100k kata, dan layoutnya mulai bikin aku agak capek baca. Nggak sampai ngebetein sih, tapi buku itu jadi sering kutaruh-taruh. Padahal kayaknya menarik.