Baru-baru ini aku membongkar-bongkar lemari bukuku dan menemukan beberapa buku lama yang menarik perhatian. Ketiga buku itu adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, Salah Asuhan karya Abdul Muis, dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli.
Merasa tak asing membaca ketiga judul ini? Most likely, yes. Ketiga buku ini beserta para pengarangnya seringkali disebut-sebut oleh ibu dan bapak guru Bahasa Indonesia jaman Es Em pE dulu sebagai contoh karya sastra dan sastrawan angkatan Balai Pustaka--terlepas dari apakah kita peduli apa itu angkatan Balai Pustaka atau nggak. Barangkali ada di antara anda yang dahulu termasuk siswa Bahasa Indonesia teladan dan peduli. Tapi aku termasuk yang bodo amat.
Aku baru mulai peduli apa dan siapa mereka sebenernya pada semester-semester akhir kuliah. Yup, pada masa-masa itu, dimana mata kuliah semakin dikit dan nggak ada game baru.
Aku memutuskan untuk melakukan sedikit Iseng Tingkat Tinggi. Aku mengunjungi Penerbit Balai Pustaka demi membeli ketiga buku yang kusebut. Pulang dari sana aku membaca... dan mendapatkan pencerahan. "Ooooh, jadi ini toh maksud Bu R dan Pak S dahulu...
Pelajaran yang kupelajari waktu SMP, baru bisa kuapresiasi benar-benar setelah aku hampir lulus kuliah. Padahal aku bisa memahami pelajaran ilmu alam dasar (terdiri dari Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, atau, sebutan gaya cosa nostra-nya, MAFIA-BIO,) begitu pak guru dan bu guru meninggalkan ruang kelas/lab praktikum.
Apa yang salah? Kemungkinannya:
Terlepas dari siapa yang salah, kemarin aku menemukan buku-buku itu lagi. Dan bola lampu Iseng Tingkat Tinggi nyala lagi di atas kepalaku. Apa salahnya aku mudik sebentar ke karya-karya para Sesepuh Sastra Indonesia? Toh sekarang aku juga lagi belajar nulis dan nyinis. Aku sudah merasa punya pedoman buku kayak mana yang kuanggap bagus dan buku kayak mana yang ngebetein. Plus, mudik macam ini nggak perlu pake nunggu tiket promo Air Asia, dan nggak membikin aku menghadapi dilema antri di loket vs. memesrai calo tiket.
Jadi mulailah aku skimming daaaaan... alarm sinis meraung-raung. Asli, dengan standar Miss Cynis yang kupegang sekarang, ketiga novel besar itu banyak banget bagiannya yang bisa disinisi. Jika aku katakan ini pada Bu R dan Pak S, tentulah beliauwan dan beliauwati akan dengan senang hati menghujani aku dengan bahan-bahan salad busuk. Tapi mengingat mereka tidak berada di sini, aku akan bersinisotoy ria.
Merasa tak asing membaca ketiga judul ini? Most likely, yes. Ketiga buku ini beserta para pengarangnya seringkali disebut-sebut oleh ibu dan bapak guru Bahasa Indonesia jaman Es Em pE dulu sebagai contoh karya sastra dan sastrawan angkatan Balai Pustaka--terlepas dari apakah kita peduli apa itu angkatan Balai Pustaka atau nggak. Barangkali ada di antara anda yang dahulu termasuk siswa Bahasa Indonesia teladan dan peduli. Tapi aku termasuk yang bodo amat.
Aku baru mulai peduli apa dan siapa mereka sebenernya pada semester-semester akhir kuliah. Yup, pada masa-masa itu, dimana mata kuliah semakin dikit dan nggak ada game baru.
Aku memutuskan untuk melakukan sedikit Iseng Tingkat Tinggi. Aku mengunjungi Penerbit Balai Pustaka demi membeli ketiga buku yang kusebut. Pulang dari sana aku membaca... dan mendapatkan pencerahan. "Ooooh, jadi ini toh maksud Bu R dan Pak S dahulu...
Pelajaran yang kupelajari waktu SMP, baru bisa kuapresiasi benar-benar setelah aku hampir lulus kuliah. Padahal aku bisa memahami pelajaran ilmu alam dasar (terdiri dari Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, atau, sebutan gaya cosa nostra-nya, MAFIA-BIO,) begitu pak guru dan bu guru meninggalkan ruang kelas/lab praktikum.
Apa yang salah? Kemungkinannya:
- Aku bego bahasa. Barangkali IQ verbalku nggak lebih dari 20.
- Apresiasi bahasa dan sastra memang lebih susah daripada memahami ilmu alam dasar.
- MAFIA-BIO terlalu berkuasa dalam sistem pendidikan kita, dan kekuatan mereka sudah demikian hebatnya sehingga nggak ada polisi, apalagi Satpol-PP, yang berani meng-crackdown mereka.
Terlepas dari siapa yang salah, kemarin aku menemukan buku-buku itu lagi. Dan bola lampu Iseng Tingkat Tinggi nyala lagi di atas kepalaku. Apa salahnya aku mudik sebentar ke karya-karya para Sesepuh Sastra Indonesia? Toh sekarang aku juga lagi belajar nulis dan nyinis. Aku sudah merasa punya pedoman buku kayak mana yang kuanggap bagus dan buku kayak mana yang ngebetein. Plus, mudik macam ini nggak perlu pake nunggu tiket promo Air Asia, dan nggak membikin aku menghadapi dilema antri di loket vs. memesrai calo tiket.
Jadi mulailah aku skimming daaaaan... alarm sinis meraung-raung. Asli, dengan standar Miss Cynis yang kupegang sekarang, ketiga novel besar itu banyak banget bagiannya yang bisa disinisi. Jika aku katakan ini pada Bu R dan Pak S, tentulah beliauwan dan beliauwati akan dengan senang hati menghujani aku dengan bahan-bahan salad busuk. Tapi mengingat mereka tidak berada di sini, aku akan bersinisotoy ria.
Ambil Salah Asuhan, Favoritku diantara tiga judul itu. Dari halaman satu aja aku udah ketemu salah satu cara penyampaian yang kubenci banget: kuliah (mengenai relativitas norma kesopanan) yang disamarkan dalam dialog antara Hanafi yang Bumiputera dan Corrie du Bussee yang cewek Eropa. Di bab 2, lagi-lagi ada kuliah yang nyamar jadi dialog. Kali ini dari Tuan du Bussee, bokap Corrie. Oh. My. God.
Lalu yang kedua, Layar Terkembang, dengan tokoh utama bernama Yusuf, Maria, dan... Tuti? Lebih aneh lagi, Maria dan Tuti itu bersaudara. Tuti yang kakak. WTF. Nyokap mereka pasti kecanduan nonton telenovela waktu hamil si Maria. Dan apa yang terjadi di Salah Asuhan juga terjadi di sini: kuliah-yang-nyamar as-something-else, dalam hal ini pidato berapi-api di Kongres Perempuan, courtesy of Tuti. Panjangnya? 8 halaman. Oh. My. God. Again.
Tambah lagi dengan ending yang menurutku berbau SuperMassiveCopOut. Cinta segitiga diantara ketiga tokoh diselesaikan dengan *spoiler alert, block to read* membuat Maria mati kena TBC. Gah!
Dan yang terakhir, yang paling populer, Sitti Nurbaya. Uhui. Semua orang pasti tahu tentang novel satu ini. Sempat disinetronkan pula. Nama Sitti Nurbaya, si tokoh utama, bahkan sering dijadikan alusi untuk menggambarkan keadaan dimana seorang perempuan dipaksa kawin dengan laki-laki yang tidak ia cintai.
Sedikit belok dari ngomelin ceritanya, apakah para pengguna alusi ini pernah membaca Sitti Nurbaya? Aku yakin tidak, karena di novelnya Sitti kawin dengan Datuk Meringgih atas kehendaknya sendiri, demi ngelunasin hutang bokapnya, Baginda Sulaiman, yang minjem fulus dari Datuk Meringgih. Mengapa? Si Datuk ini mengancam akan memperkarakan si bapak ke pegawai-pegawai Belanda kalau dia ga bisa bayar utang (atau ga diijinin ngawinin Sitti sebagai gantinya). Baginda Sulaiman sendiri nggak pernah memaksa anaknya kawin sama om H.I.M Damsyik... eh, maksudnya, si Datuk. Ini petikan dialognya:
Jadi? Goooo figure, Indonesia."Sesungguhnya aku terlebih suka mati daripada memaksa engkau kawin dengan orang yang tiada kau sukai."
Yang mau kuomelkan dari Mbak Sitti ini pada dasarnya sama dengan dua novel sebelumnya. Banyak nasihat yang menyamar sebagai percakapan. Aaaaaaaaah! Sekarang aku ngerti banget mengapa banyak novel fikfan Indonesia yang doyan memakai trik ini, or simply doyan mempetuahi: the unsubtle art of preaching is inherent in every Indonesian's literary gene.
In other words, we are all Sons of a Preacher Man. How's that for an original pun?
Tapi terlepas dari kehadiran hal-hal yang kubenci, jujur aja aku suka sama ketiga novel ini. Mengapa? Apakah cuma karena ini dikarang sama para Mbah, dan aku nggak berani menjelekkan orang tua, atau karena takut pada frase sakti, "Emangnya elu sape, berani-beraninya mendiskreditkan para maestro sastra Indonesia?" Well, no. Alasanku hanya satu, dan sederhana. Because the plot and the characters are so good that they outweigh the faux dialogues.
Bagaimana aku bisa bilang plot dan tokohnya bagus? The sign of a good work is that it left a mark on you. Dan bagaimana plot dan karakter bisa left a mark? Ada sesuatu yang disampaikan lewat plot atau karakter itu yang tinggal bersama kita setelah halaman terakhir buku kita tutup.
Dalam kasus Salah Asuhan, aku jadi berpikir. Hanafi mungkin antihero superbrengsek yang bikin aku pengen bunuh dia sepanjang cerita. Tapi apakah ibunya yang tampaknya 'suci' tidak punya andil dalam menjadikan dia seperti itu? Apakah artinya menjadi bumiputera, dan apa artinya menjadi orang Eropa? Apakah kita harus menerima saja kita dilahirkan seperti apa, ataukah kita punya kebebasan untuk mementukan siapa diri kita sendiri? Dan kalau kita memilih yang kedua, yang kayaknya relevan untuk jaman ini, apakah kita siap menghadapi tekanan sosial jika menjadi diri sendiri berarti menentang pandangan masyarakat?
Dalam kasus Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana memainkan karakter Maria dan Tuti untuk menyampaikan dilema Tuan Putri Vs. Perempuan Independen. Maria yang girly, cantik, dan doyan baca novel romantis dikontraskan dengan Tuti yang aktivis gerakan perempuan. And no, konflik mereka bukan cakar-cakaran rebutan Yusuf. Maria menderita sakit dan nggak punya tempat bergantung selain Yusuf dan kakaknya. Sedangkan Tuti sebagai kakak sangat mencintai Maria, tapi ia iri pada hubungan Maria dan Yusuf. Apalagi karena ada ekspektasi sosial bahwa "sepintar apapun, perempuan bukan apa-apa kalau dia nggak laku." Di tengah kegalauannya itu ia dihadapkan pada pilihan untuk mengambil suami yang nggak dia cinta hanya untuk memenuhi maunya masyarakat.
Dan dalam kasus Sitti Nurbaya, ini yang paling sederhana, tapi nyengat banget. Antara kawin dengan Kakek-kakek Rada Hentai untuk menyelamatkan Bapak atau hidup hepi sama Pacar tapi Bapak dipenjara, mana yang akan kita pilih? The moral dilemma is so heavy here.
Inilah yang seringkali tidak kudapat di dalam novel fiksi fantasi Indonesia yang kubaca. Setelah halaman terakhir ditutup, so what? Nggak ada pertanyaan lanjutan. Nggak ada yang menggugah. No profoundness that makes you think. Kenapa? Karena kebanyakan novel fiksi fantasi--dan sci-fi--Indonesia yang kubaca cuma berhenti di kulit. Kita menyajikan pertarungan keren, naga, sihir, kutipan-kutipan buku referensi... tapi ceritanya sendiri nggak berisi. Kita tahunya fantasi itu pokoknya ada sihir-sihiran dan pedang-pedangan dan--oh, ya, perang--tapi pernahkah kita memikirkan pesan apa, atau benang merah apa yang kita sampaikan ke pembaca, di balik segala unsur fantasi itu?
Apakah kita ingin menyampaikan, seperti Tolkien, bahwa One Ring itu adalah simbol untuk kekuasaan absolut--dan betapa berbahayanya kekuatan absolut itu? Apakah, seperti Philip Pullman dengan Trilogi His Dark Materials karyanya, kita ingin mengajukan argumen bahwa religi terinstitusi itu sebetulnya nggak punya otoritas dalam menentukan bagaimana dan apa yang harus kita percaya? Apakah kita ingin mengajukan suatu suatu renungan yang memperkaya khazanah berpikir pembaca, ataukah kita cuma pengen bikin pedang keren, naga keren, dan pertarungan keren yang berdarah-darah?
Aku jadi ingat sebuah pepatah Spanyol yang bagus. A mal Christo mucha sangre. Terjemahan bebasnya, a bad Christ is [covered in] much blood. Pepatah ini dipakai untuk menyindir perajin salib; jika mereka membuat Kristus-di-kayu-salib yang jelek atau cacat, biasanya mereka menutupi cacat-cacat itu dengan menambahkan darah. Jadi, makin banyak cacatnya, makin banyak darahnya--untuk menutupi cacat sekaligus membuat patung itu makin tampak memilukan.
Pesan yang sama sering terjadi di cerita fiksi fantasi Inonesia. Makin ga ada isinya, makin tebel kulitnya. Kita melupakan substansi--isi, benang merah, profoundness, daging cerita, craftsmanship saat membuat salib--dan terlalu terfokus pada kulitnya. Pada bagaimana membuat Kristus makin berdarah. After all, gore is cool, right? Not always.
Sebab itu, untuk minggu ini, marilah kita belajar dari para Mbah-mbah Angkatan Balai Pustaka dan merenung. What's the point of my story? Apakah kita sudah mencoba menyampaikan sesuatu ke meja, or are we still making bad Christs without realizing it?
Luz Balthasaar
23 komentar:
Ah! Salah Asuhan. Salah satu karya klasik yg berhasil kudapat (pinjam) dari perpustakaan Keuskupan.
Jujur, gw terkesima dengan penokohannya lho. :D :D Rasanya gak ada yg bnr2 hitam, gak ada yg bnr2 putih. Seorang ibu yg begitu baik hati dst dst pun terasa pny andil "kejahatan". :D :D
Kalo soal cerita, sejujurnya Salah Asuhan itu ceritanya simpel, tapi ... tapi gimana yah? Gw merasa bahwa di jaman itu cerita semacam itu bagus (banget) apalagi didukung ama karakteristik dan ending yg gak fairy tale. :P
Btw, nanya, Signora, di Sitti Nurbaya (gw kira "t"nya satu) kalo gak salah si pacarnya Sitti ini malah jd "berpihak" ke tentara Belanda sementara si Datuk ini "berpihak" ke rakyat Indonesia dan di akhir cerita mereka tewas? Gw cuma pernah denger bagian ini dari guru gw, yg menyatakan bahwa bagian itu menunjukkan bahwa sehentai2nya dan setengkulak2nya si Datuk, dia adalah seorang nasionalis sementara org yg disukai Sitti justru bukan org yg nasionalis.
Mnrt gw, itu sesuatu yg oke. :D :D Menunjukkan bahwa seorang Datuk yg kesannya jahat dst2 itu ternyata nasionalis. :D :D
Hehe.
Aduh, tiga buku itu, JUJUR, belum pernah kubaca. Sedikitpun.
Jadi merasa harus mudik juga nih, mengingat ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil dari karya para maestro itu.
Mengenai "What's the point of my story", aku pernah dikasih tahu oleh seseorang yang dulu kuanggap guru nulisku, kalau cerita fikfan (dan sci-fi) itu harus mengandung suatu nilai moral. Tapi, waktu kutanya ke penulis setengah mateng dan penulis mateng lainnya, mereka berpendapat kalau cerita ya cerita, ga harus melulu ada pesan moralnya. Tujuan cerita kan menghibur pembacanya?
Terus, gimana dengan cerita2 (maaf) rohaniah bahkan religius? Contohnya (karena aku beragama sama) cerita islami yang malah banyak preaching nya (menurutku), karena sebagian besar menceritakan tentang kesenjangan sosial, perang terhadap agama lain, dan yang pasti, SELALU DAN SELALU DAN SELALU menyebutkan kematian di dalamnya, dan biasanya sang tokoh utamanyalah yang mati?
Biasanya cerita kayak gini malah minim cerita dan malah banyak preaching (terselubung)
Nah, kalau kayak gitu gimana?
Oh iya, seingatku, dulu guru bahasa Indo-ku pernah bilang, angkatan Balai Pustaka itu memang tipe ceritanya kayak gitu, preachy, karena memang si-kon saat itu di Indonesia. Angkatan berikutnya (angkatan 45) banyak menyajikan cerita kepahlawanan (karena lagi perang) dan angkatan berikutnya (angkatan 66) mulai lebih moderat dalam menyampaikan cerita, ga melulu preachy.
Hmmm, dulu berapa ya nilai Bahasa Indonesiaku?
Hmm... tiga cerita itu ya? Golongan cerita yang harus diingat pas SMP tapi dilupakan pas SMA. (kalo ada anak SMA baca ini, jangan ditiru ya. Hehe)
Aku setuju kalo setiap cerita harus ada "nilai moral"nya. Tapi kalo satu pengarang terlalu serius ato berniat masukin nilai moral itu, akhirnya kan cuman bisa nyampe ke kulitnya aja.
Mugkin para penulis fikfan yang ada sekarang cuman belum tau caranya masukin nilai2 itu sampe lebih dalem daripada kulit. Jadilah cerita yang bisa mereka bikin kaya yang banyak kita baca.
Dan aku pernah baca di internet, katanya kita ga perlu repot2 musingin nilai yang terpendam dalam cerita kita. Kalo cerita kita itu bagus, pembaca pasti nyari2 sendiri nilai apa yang bisa dia ambil dari situ.
Nah kalo kasusnya gitu gimana? Pengarang ga ada niat masukin moral cerita, tapi saking bagusnya ceritanya ada pembaca yang ambil kesimpulan sendiri soal nilai moralnya.
@Juun, guru kamu bener sih.
Altho, kalau kita menganggap seorang tengkulak pervert 'baik' hanya karena dia nasionalis, reksiku adalah, "Ew, nasionalisme Indonesia butuh dukungan sampai segitu desperate-nya ya?"
Funny thing is, guruku mengatakan hal yang sama soal si Datuk bela Indonesia dan Samsulbahri bela Belanda. Entah guru mereka sama, atau pas ngajar mereka ngintip dari contekan yang sama. Wkwkwkwkw...
@Rie, Danny,
Style over substance memang selalu diributkan. Yang pasti buatku adalah dua: cerita yang terlalu condong ke salah satunya umumnya bukan cerita yang bagus.
Kalau dia cenderung ke substansi, (ex. Dunia Sophie,) dia jadinya bakal mirip textbook kuliah. Jadinya nggak enak dibaca meskipun barangkali bergizi sekali.
Tapi kalau dia kebanyakan style, nggak ada isinya, biasanya karya-karya itu 'cuma lewat'. Setelah kita nutup sampul belakang, so what? Nothing from the story stays with me.
Yeah, ada orang yang bilang, selama "ceritanya bagus" kita nggak perlu memusingkan pesan moral. Aku punya pertanyaan balik yang hampir selalu ampuh untuk menguji pernyataan kayak gini. "Menurut kamu, bagaimana caranya bikin cerita bagus?"
Biasanya mereka diam di sini. Karena mereka cuma ngomong tapa tahu "apa dan bagaimana" cerita yang disebut bagus itu.
Cerita bagus itu, selain penyampaiannya menarik, punya substansi. Ada sesuatu yang dia sampaikan, dan sesuatu yang dia sampaikan itu tinggal bersama si pembaca setelah dia selesai membaca.
Dan penyampaian isi ini nggak melulu harus dalam "kuliah dalam cerita." Yang membuat Salah Asuhan menarik bukan percakapan-kuliah antara Corrie dan Hanafi, tapi karakter Hanafi yang menyiratkan betapa bahayanya menjadi manusia tanggung--pribumi nggak, Belanda nggak--gara-gara cara pandangnya yang nggak lengkap tentang kepribumian dan kebelandaan. Pesan moralnya: Jangan membangun ambisi di atas pandangan stereotipikal.
Kadang penyampaian itu nggak berupa pesan moral, tapi belaka sesuatu yang bikin kita merenung. Bahkan ibunya Hanafi yang suci itu sebetulnya punya andil dalam membuat Rapiah (istri Hanafi) menderita. Mengapa? udah jelas Hanafi bilang dia ga suka sama Rapiah, eh nyokapnya masih maksa si Hanafi ngawinin Rapiah juga. Jadi? Tanpa berpetuah, subplot ini mengajukan pemikiran pada kita bahwa si nyokap pun sebenernya nggak bersih-bersih amat.
Kesimpulanku, orang boleh bilang asal bagus kita ga usah pusingin substansi. The fallacy of this logic is, they forgot that a good story needs substance. Memang kita ga perlu berusaha terlalu keras dengan masukin khotbah atau copas referensi kiri-kanan, tapi seharusnya ada substansi terintegrasi di dalam plot maupun karakterisasi yang membuat pembaca merasa 'dapet sesuatu'.
Kadang subtansi itu terintegrasi sedemikian baiknya hingga kesannya ga ada pesan, dan kalau pembaca menyimpulkan, kesannya merekalah yang mencari sendiri. Padahal nggak. Pesan itu ada disana. Hanya saja ditampilkan begitu anggunnya sehingga nggak kelihatan.
Huah, tiga buku itu belum pernah saya baca. Habisnya, guru bahasa indo dulu ga pernah nyuruh baca sih *ngeles*
Hmm, saya jadi merasa tertohok. Soalnya cerita saya juga kayaknya ga ada pesan moralnya >.< Mesti semedi lama dulu nih buat nyari pesan moral yg pas, hehe
Thanks Mbak Luz, reviewnya keren :D
@Danny + yican: Kalo mnrt gw sebuah moral of the story itu perlu meskipun gak mutlak. :-? Yg lebih perlu lagi itu tujuan dan arah cerita yg jelas.
Ngg, sblmnya maaf kalo nyatut karya punya orang lain sebagai contoh, kalian pernah baca Forever Wicked punya ewing? Dia posting di Pulpen dan sekarang mengedarkannya dlm bentuk e-book dgn perantaraan Evolitera.
Mnrt gw satu hal yg membuat Forever Wicked itu gak gw anggak bagus adalah tidak adanya "moral of the story" dan arah serta tujuan cerita yg gw dapatkan di sana. Penulisannya keren, mulai dari deskripsi, narasi, dst. Karakter? Bad-ass. Tapi adakah sesuatu yg gw dapatkan di sana selain komen sadis ini itu, bad-ass si siapa2, deskripsi keren, penggunaan kalimat yg oke? Buat gw gak ada. Ceritanya loss, kyk gak punya tujuan (apalagi moral of the story).
His Dark Materials menyodorkan pertanyaan besar menjelang akhir cerita: seandainya Otoritas yg dipercaya sebagai penguasa dan pengatur segalanya ternyata melakukan kesalahan, apakah kamu akan berani menentangnya dan pesan ttg live your life to the fullest.
Jonathan Strange & Mr Norrell, sampe mencapai buku ketiga, gw gak berhasil mendapatkan moral of the story, tapi kenapa gw ngikutin sampe setiga buku itu? Krn buat gw ceritanya sendiri tersusun atas beberapa konflik menarik yg berdasarkan pada: apa yg akan terjadi jika muncul seorang penyihir praktis di Inggris? Masalahnya bermunculan dari mulai sifat si penyihir "satu2nya" (dia gak lg jadi satu2nya di awal buku kedua) yg agak munafik, licik, dan selalu ingin hanya menjadi satu2nya penyihir, kedatangan murid si penyihir yg ternyata pny haluan yg berbeda dengan sang guru, peri yg ternyata membawa perubahan besar dlm kehidupan org yg pernah dihidupkan kembali oleh si penyihir, dst. Tujuan dan arah ceritanya ada, tapi si pengarang sampe awal buku ketiga blm terasa menyisipkan moral of the story.
Ambil contoh lokal deh. Valharald. Tujuan dan arahnya jelas: membendung kekuatan kegelapan yg menyerang dgn membuka segel "senjata rahasia". Tapi dalam perjalanannya mencapai tujuan dan arah tersebut, ada hal2 yg "salah".
Xar&Vichattan. Arah dan tujuannya jelas, jalan pencapaian arah dan tujuannya cukup jelas, tapi buat gw karakteristiknya yg lemah. Moral of the story? Gw menyimpulkan bahwa kejahatan selalu kalah melawan kebaikan. :D :D
Semua yg gw jabarkan di atas menggunakan mode IMHO alias In My Humble Opinion, jadi mohon maaf yg sebesar2nya kalo byk flaw dan sotoy abis. :D :D
CMIIW. :D :D
Hehe.
@Juun, Dyah, substansi nggak selalu sama dengan pesan moral.
Substansi, itu isi cerita. Buah-buah pikiran yang ingin disampaikan pengarang lewat ceritanya. Bentuknya bisa pesan moral. Bisa juga dia nggak terasa kenceng kayak pesan moral. Bisa aja cerita itu hanya memberikan sense of profoundness, suatu gagasan yang melekat entah di tokoh atau plot, yang membuat pembaca merenungkan tokoh atau plot itu.
Aku rasa Juun benar dengan bilang kalau secara sederhana, tanda-tanda substansi itu ada, adalah kita bisa megang arahnya cerita itu ke mana.
Cerita itu kayak ngomong. Ada orang yang ngomongnya ngalor-ngidul pake segala macam jargon canggih, tapi inti yang dia sampaikan benernya ga ada. Kosong.
Tapi ada juga orang yang kalau ngomong ada isinya. Biasanya kalau yang kayak gitu, kita bisa nangkep dia itu tujuannya apa ngomong kayak gitu. Dan kita bisa mengikuti jalan pikiran dia sementara dia bicara.
Bercerita juga sama. Kelihatan nggak si pengarang ini mau nyampaikan gagasan apa waktu bikin cerita? Alur berpikirnya dia seperti apa? Dan apa yang mau dia sampaikan di ujung alur itu?
kalau dari beberapa contoh Juun, aku mau menyoroti dua yang terakhir. Soalnya, (kayaknya kamu bener Juun,) itu kasusnya bukan nggak ada substansi. Ada, tapi cara penyampaiannya nggak kena di kita.
@Luz: Kebetulan fikfan lokal yg gw baca gak ada yg terlalu parah sih.
Barangkali setiap guru bhs Indonesia dicekokin soal hal yg sama pas mereka dikasih tugas bedah karya Sitti Nurbaya, eh? Wkwkwk.
Anyway, Signora kan lbh berpengalaman ngebaca fikfan lokal (at least lbh byk daripada gw), iseng aja bedah dikit substansinya di bagian komen sini. :D Gak usah panjang dan dijadiin posting sendiri cem di fikfanindo. :D
Hehe.
Adrian likes this *gambar jempol*
Ho oh mba, setuju. Saya dulu diajarin sama guru-guru bahasa Indonesia saya bahwa salah satu unsur intrinsik (hayooooo apa tuh unsur intrinsik dari cerita? :-P ) dari cerita selain plot, penokohan, alur, dst, yang terakhir (but not the least important) adalah the point of the story; cerita ini tentang apa sih? Apa sih yang pengen disampaikan oleh penulisnya?
Dan saya juga setuju kalo point of the story terintegrasi ke dalam narasi dan plot, bukan petuah ceramah dialog panjang lebar berlembar-lembar plus-minus catatan kali.
Soal Sitti Nurbaya, saya belom pernah baca tapi saya nonton sinetronnya dari awal sampe akhir (mba juga ya? he he he) Dan emang bener tuh, beban si Sitti bener-bener berat. Dan soal si Samsul bela belanda, saya inget banget dia bilang, "Yang saya cari adalah kematian," karena buat dia dah bosen hidup karena Sitti dah mati. Si Datuk yah emang lawan belanda karena emang waktu itu lagi jaman pergolakan, dan dia sebagai orang tua pemuka adat ya emang tugas dia mimpin dan ikutan lawan belanda. CMIIW.
Adrian
@Juun, mau bedah substansi yang mana? Semua karya yang kamu sebut dah pernah kurepiu, kecuali Jonathan Strange.
Kalau Valharald, aku lom sempat2 nulis repiu panjang untuk Fikfanindo. Proyek sendiri lg titik tanggung nian soalnya, dan jadwal kerja ikutan padat. ~_~
Tapi kalau untung, November aku ke Tokyo lagi. XD Kalo untung lho...
If I can go to Tokyo again, aku coba bawa freebie buat dibagi2 pas gath deh. Tp bukan barang mahal ya.
__
@Adrian (dan Mbak Dyah juga), Hehe, makasih. Moga2 artikel ini bisa 'mengusik pikiran' yang baca. ^^
Aku nonton sinetron Sitti. Tp cuma sebagian. Kayaknya motif Sam yang disampaikan di sinetron ga jauh beda dari novelnya. Memang dia uda ga tau mau ngapain setelah Nurbaya tewas. Dan si Datuk memang bela tanah adat.
Tapi kalau kita pikir si Datuk memanfaatkan Belanda juga pas ngancam Baginda Sulaiman biar bisa kawinin Sitti, aku kok jadi rada ragu ya si Datuk ini nasionalismenya tulus?
Nasionalisme situasional. Wkwkwkw.
@Luz: Ato si Datuk itu cuma ngancem sekedar ngancem. :P
Ngg, tdnya sih bedah yg kumaksud tu macam membuat karya2 (yg lokal btw, maksudku) tsb jd "contoh" ttg substansi cerita. Gw kan sejauh ini baru baca karya lokalnya Zauri, Akkadia, Valharald, ama Xar&Vichattan.
Btw, gw tiba2 penasaran ama Cardan. Signora punya?
Hehe.
hwah... saya juga blom pernah baca 3 buku itu XD
tapi kayaknya keren deh, jadi pengen baca
saya juga suka substansi cerita
pengen bikin cerita yg ada substansinya, tapi ga yakin plot yg dibuat cukup kuat buat nyampein substansi
soalnya saya juga ga doyan model ceramah2 gitu, maunya yg terselubung hehehe
artikelnya bagus kk
stezsen
@Juun, Oh, getoh...
Mau karya apa yang dijadiin contoh substansi? ...
Hmm... *buka Fikfanindo dan lemari buku* Urut dari yang paling "Hah?" ke yang paling asik...
WF, Summonster, Mantra, Janos, Aerial, Arquella, Cardan, Eurgava, Goran, Hozzo, Area X, Pinissi, Futatsu no Nagareboshi, Nadi Amura, Zauri, Mampus Bakalan Datang, X&V, Sang Penandai, Akkadia, Ledgard, Tanril, Nocturnal, Narend.
Kalau Cardan gimana ya... memang belum bagus sih. Tapi banyak yang belakangan ini terbit bikin Cardan kelihatan kayak masterpizza... I mean, masterpiece.
___
@Stez, senang ada yang sepikiran. Moga-moga artikelku bisa ngasih sedikit isnpirasi. Ganbatte ne...! X3
@Luz: Hm. Let's see. Summonster ama Mantra itu bisa mewakili yg masih terseok2 di urutan bawah. Gw gak tahu yg tengah2 apa (Cardan?), tapi gw rasa kalo mewakili yg atas Akkadia ama Death to Come bisa.
Gw rasa lho. Ada pendapat lain?
Hehe.
@Luz: Area X? Gw malah sempet nyangka yg nulis novel ini engkau (serius) at least sempet kepikiran pas liat profil penulisnya si Eliza yg jebolan sekolah semi militer trus "melenceng" dari mainstream temen2 seangkatannya...ha ha (sotoy kronis apa bego). Tp ga kuat baca Novel ini, spasinya rapet gitu, dan sempet ngira ini novel tentang profesi Pelahapkuecucur :p
Zenas
hoah....................perenungan ini bikin karyaku hancur lebur runtuh jadi seonggok tanah
jujur aja mbak ,aku emang salah satu penulis (goblok) yang cuma memperhatikan kulit ,mungkin sudah saatnya memasukkan daging kambing kedalamnya ada lebih ekstrim lagi ,daging singa
thenks for lesson
@Juun: Urutan yang kukasih itu sebetulnya cenderung ke seberapa 'nikmat' buku itu saat aku membacanya. Mau dia teenlit, mau novel berat, selama poin ceritanya tersampaikan dengan enak ya oke.
__
@Zenas: Bukan kok. Eliza V Handayani yang ngarang Area X itu lebih tua 2 tahun dari aku.
Benernya referensi dia kuat sih; problemnya buatku, buku cerita itu yang kita nikmati ceritanya. Bukan referensinya.
Dan BTW, apa hubungannya pelahapkuecucur dengan UFO? Aku kok ga mudeng ya... O_O
__
@Januar, Ahak ahak... ga segitunya ancur kali Bang Jan. Kalau memang kita merasa belum bisa memasukkan isi, yang perlu kita lakukan ya belajar. Baca buku-buku yang bisa ngasih kita bahan pemikiran. Atau renungi pengalaman hidup sendiri. Lalu kita coba untuk memasukkan pemikiran dan renungan itu ke dalam cerita kita tanpa menjadikannya khotbah. Aku kira inilah yang dilakukan para Mbah (meskipun mereka masih preachy di titik-titik tertentu).
@Luz: he he, otak primitif gw ngira itu "x" bukan sepuluh dalam romawi...jadi yaaa Area "x" kebayangnya para pelahapkuecucur pada ngumpul, hi hi...lokalisasi Alien kali yaa
umm.. boleh minta bantuan kk?
Saya baru bikin cerpen yg pengennya dimasukin substansi2 gitu (http://www.kemudian.com/node/246242#comment-906948)
Tapi gagal total soalnya pesannya ga ketangkep pembaca TT
Malahan yg ketangkep pesannya jadi beda jauh TT
Apa saya terlalu mengaburkan pesan sampe jadi gaje ya?
Ada saran kk?
Thanks
stezsen
@Stetzen: Kalo menurutku sih, ga masalah biarpun orang nangkepnya beda. Persepsi orang kan emang beda2. Yang penting mereka dapet "sesuatu" dari ceritanya.
@Zenas: Aiyaaa... disitu toh kaitannya, hahaha. Iyah, tuh novel memang judulnya agak2 sugestif. Dulu waktu di pulpen aku suka nyebut tu novel dengan nama parodinya: Daerah XXX. Lebih sugestif lagi gag sih itu?
__
@Stez: Kalau aku bilang sih pesan moralnya sebetulnya dah dapet. Nggak usah diutak-atik lagi penyampaiannya. Ntar malah kelihatan maksa.
Paling diedit lagi, soalnya ada typo. Soal bahasa hikayatnya itu ga papa sih. Cuman, rima dan struktur kalimat yang nyaris sama (kebanyakan kalimat majemuk yang terdiri dari dua anak kalimat,) malah bikin aku bosan. Ibaratnya kalau denger lagu, cuma denger doremifa, doremifa, gitu terus dari awal sampe akhir.
Kalau aku sih, aku akan pakai gaya bahasa hikayat, tapi aku akan pakai struktur kalimat yang lebih bervariasi.
__
@Danny, well, yeah, kadang-kadang ga bisa dihindari juga sih kalau salah-tangkap gitu. ~_~ Aku bisa setuju dengan "as long as they get 'something'," asal 'get something'-nya itu nggak mencelakakan orang lain, wkwkwkw...
Waw dapat ilmu baru
Iya, kalimat2nya kebanyakan dibikin majemuk 2 anak gitu soalnya saya masih ga yakin dengan rima ama nadanya
Soalnya saya ga bisa 'mendengar nada dalam tulisan' (udah coba berkali2, berbulan2, tapi masih blom bisa ><)
Jadi maunya main aman gitu dibikin sama semua
Nanti klo bikin begituan lagi saya coba ganti2 strukturnya hehe
Oh, ya, setuju berat ama "asal 'get something'-nya itu nggak mencelakakan orang lain"
Itu yang paling kutakutkan hehe
Thanks kk
stezsen
Posting Komentar